Stereotip Dunia Sastra dan Film di ‘Wicked’: Cantik Dianggap Baik, Buruk Rupa Dianggap Jahat

Dunia sastra dan perfilman sering menggunakan simbol visual dan narasi untuk membentuk karakter. Salah satu simbol yang lazim kita lihat adalah stereotip pada 2 karakter: penampilan yang tidak konvensional dianggap "buruk" dan cenderung jahat, sementara karakter dengan “kecantikan” fisik, dianggap baik.

Dua karya besar yang relevan untuk dibahas dalam memberikan stereotip pada karakter-karakter ini adalah film klasik The Wizard of Oz dan musikal Wicked (baik versi tahun 2003 atau 2024).

Dalam film ini, penampilan fisik karakter sangat menentukan persepsi penonton terhadap moralitas mereka, yang mengaitkan kecantikan dengan kebaikan, dan keburukan fisik dengan kejahatan.

Saat ini, jagat perfilman dunia sedang tersihir oleh keajaiban film “Wicked” yang tayang pada pertengahan November 2024 ini. Film yang dibintangi oleh Cynthia Erivo (Elphaba) dan Ariana Grande (Glinda) serta beberapa artis papan atas lainnya sukses meraih rating tinggi diantara para kritikus.

Visual yang megah mampu memanjakan mata, tak kalah dengan lagu-lagu indah yang dikemas rapi dan spektakuler oleh para maestro musik tersebut yang membuatnya berputar tak henti di kepala sejak hari pertama mendengarnya. 

Jon M. Chu, sang sutradara, beserta timnya sukses membawakan sensasi “menonton Broadway” ke dalam bioskop.

Baca Juga: Jika Relasi dengan Ibumu Tak Baik-Baik Saja, Kamu Bisa Belajar Dari Film “Bila Esok Ibu Tiada”

Film Wicked terbagi menjadi 2 bagian, yang mana bagian kedua akan tayang di tahun 2025 mendatang yang kabarnya, akan menyajikan konflik cerita lebih kompleks dibandingkan dengan bagian pertamanya. Tak lupa penonton pasti akan ikut dibawa terbang menentang gravitasi menembus puncak plot yang penuh dengan twist.

Selain dari novel karya L. Frank Baum berjudul “the Wonderful Wizard of Oz” (1900), film ini merupakan adaptasi dari pertunjukan Broadway Wicked” (2003) yang pertama kali dibintangi oleh Idina Menzel dan Kristin Chenoweth. Pertunjukan ini juga merupakan adaptasi dari novel karya Gregory Maguire berjudul “Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West” (1995).

Ada beberapa hal yang menggelitik hati saya ketika membandingkan beberapa karya tersebut mulai dari novel orisinilnya, film adaptasi fenomenal “the Wizard of Oz” (1939), hingga “Wicked” baik versi novel, Broadway hingga filmnya. Berikut perlu saya berikan disclaimer terlebih dahulu sebelum membaca artikel ini: Spoiler Alert!! 🙂

Penyihir Jahat dari Barat & Glinda si Penyihir Baik

The Wizard of Oz, sebuah adaptasi film dari novel L. Frank Baum, adalah cerita fantasi yang menampilkan perjalanan Dorothy ke dunia ajaib Oz, di mana ia bertemu penyihir baik, penyihir jahat, dan banyak makhluk tak biasa lainnya.

Dalam film The Wizard of Oz, Glinda si Penyihir Baik dari Utara memberikan pernyataan yang menggambarkan stereotip antara penampilan fisik dan moralitas. 

Ketika Glinda pertama kali bertemu dengan Dorothy sesampainya di Oz, ia sempat mengatakan kalimat berikut di tengah dialognya:

“Only bad witches are ugly.”

Pernyataan ini secara langsung mengaitkan kecantikan dengan kebaikan dan keburukan fisik dengan kejahatan. Dialog tersebut memperkuat stereotip yang sering ditemukan dalam budaya populer, yaitu bahwa penampilan luar seseorang mencerminkan moralitas atau niat mereka.

Baca Juga: Film ‘YOLO’ Ajarkan Mencintai Diri dan Hidupkan Mimpi  

Sebaliknya, Wicked, sebagai prekuel yang mengisahkan latar belakang Penyihir Jahat dari Barat, menawarkan interpretasi ulang dari cerita klasik dengan memanusiakan karakter yang sebelumnya digambarkan sebagai antagonis murni.

Dalam The Wizard of Oz, Penyihir Jahat dari Barat digambarkan sebagai figur dengan kulit hijau mencolok, hidung bengkok, dan suara serak. Fitur fisik ini secara visual langsung menandakan kejahatan kepada penonton. Dalam film, dia tidak diberi banyak latar belakang atau motivasi untuk tindakannya. Sebaliknya, dia hanya digambarkan sebagai sosok haus kekuasaan yang mengancam Dorothy dan teman-temannya.

Stereotip ini memperkuat gagasan bahwa seseorang yang tampak berbeda atau dianggap tidak menarik secara fisik secara otomatis diasosiasikan dengan sifat-sifat negatif. Dalam konteks budaya populer, representasi ini menciptakan pola pikir bahwa penampilan luar adalah cerminan moralitas. Penyihir Jahat dari Barat menjadi contoh klasik dari “penjahat murni” yang tidak perlu dijelaskan, hanya dihukum.

Baca Juga: Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’: Perjuangan Perempuan Terbentur, Terbentuk, dan Bebas dari Belenggu KDRT

Sebaliknya, Glinda dalam cerita menjadi lambang kecantikan dan kebaikan. Dia digambarkan dengan gaun yang indah, suara lembut, dan sikap penuh kasih. Dalam narasi, Glinda menjadi mentor bagi Dorothy, dan membantu tokoh protagonis dengan cara yang lembut dan penuh perhatian. Karakterisasi ini memperkuat hubungan antara kecantikan fisik dan moralitas positif.

Dengan penampilan yang sempurna dan aura kebaikan, Glinda menjadi representasi arketipal dari “karakter ideal” dalam cerita fantasi. Tidak ada ruang untuk ambiguitas moral dalam karakternya, dan ini menegaskan kontras tajam antara dirinya dan Penyihir Jahat dari Barat.

Sedangkan terdapat suatu dekonstruksi dalam karya Wicked. Diketahui fokus ceritanya beralih ke Elphaba, karakter yang kemudian menjadi Penyihir Jahat dari Barat. Dari awal, dia digambarkan memiliki kulit hijau yang membuatnya terasing dan menghadapi diskriminasi. Namun, musikal ini menggali latar belakang Elphaba, menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang cerdas, idealis, dan peduli terhadap ketidakadilan sosial. 

Baca Juga: ‘Home Sweet Loan’: Semua Orang Butuh Bahu Untuk Bersandar

Narasi ini menantang stereotip “jelek = jahat” dengan menunjukkan bahwa kejahatan Elphaba bukanlah sesuatu yang melekat pada dirinya, melainkan hasil dari perlakuan buruk, pengkhianatan, dan perjuangan melawan sistem yang korup. Visual yang sama—kulit hijaunya—tidak lagi menjadi simbol kejahatan tetapi menjadi lambang keberanian melawan norma-norma yang tidak adil.

Di sisi lain, Wicked memberikan dimensi yang lebih kompleks pada karakter Glinda. Meskipun masih ‘cantik’ secara fisik dan standar universal sebagaimana disebutkan sebelumnya, Glinda memiliki sifat egois, manipulatif, dan sering kali lebih terobsesi dengan status sosial daripada kebaikan sejati.

Dalam lagu“Popular” dari musikal Wicked, egoisme Glinda tampak jelas melalui usahanya untuk mengubah Elphaba agar sesuai dengan standar kecantikan dan sosial yang ia anggap ideal. Glinda menyamarkan egosentrisitasnya sebagai bentuk kepedulian, tetapi sebenarnya, ia lebih peduli pada citra dirinya sebagai mentor yang “sempurna.” Hal ini terlihat dalam lirik seperti:

“I’ll teach you the proper poise when you talk to boys, little ways to flirt and flounce.”

Baca Juga: ‘The Platform 2’: Gambaran Kapitalisme yang Terus “Membunuh” Kalangan Menengah ke Bawah

Di sini, Glinda mengarahkan Elphaba untuk mengadopsi perilaku tertentu demi diterima oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan kepribadian atau preferensi Elphaba sendiri. Lagu ini menggambarkan Glinda sebagai sosok yang lebih terobsesi dengan status sosial dan penampilan luar daripada kualitas karakter sejati, menyoroti sifat egois yang tersembunyi di balik niatnya untuk membantu.

Hubungan Glinda dengan Elphaba adalah campuran persahabatan dan persaingan, yang memperlihatkan bahwa kecantikan fisik tidak selalu mencerminkan karakter yang tanpa cela.

Dengan menggugat stereotip”cantik = baik,” Wicked mengundang penonton untuk memikirkan kembali bagaimana kecantikan seringkali digunakan sebagai penanda moralitas dalam budaya populer. Glinda adalah pengingat bahwa manusia tidak bisa dinilai hanya dari penampilan luarnya.

The Wizard of Oz memiliki daya tarik universal karena narasi hitam-putihnya yang mudah dipahami: ada protagonis yang baik dan antagonis yang jahat, dan semua hal lain didefinisikan dalam kerangka ini.Namun, film ini secara tidak langsung memperkuat asumsi bahwa penampilan fisik adalah indikator moralitas, yang dapat berdampak negatif pada cara penonton melihat dunia nyata. 

Baca Juga: ‘The Platform 2’: Gambaran Kapitalisme yang Terus “Membunuh” Kalangan Menengah ke Bawah

Sedangkan Wicked Menawarkan narasi yang lebih kompleks. Karakterisasi Elphaba mengundang empati dan mengajarkan bahwa “kejahatan” sering kali bersumber dari faktor eksternal, seperti ketidakadilan dan pengucilan sosial. Hal ini mencerminkan isu-isu modern seperti diskriminasi berdasarkan fisik atau stereotip negatif terhadap mereka yang berbeda dari norma masyarakat. 

Dalam The Wizard of Oz, pesan moralnya sederhana: kebaikan akan selalu menang atas kejahatan. Namun, kebaikan dan kejahatan dalam film ini bersifat absolut dan tidak menawarkan ruang untuk nuansa atau kompleksitas.

Sebaliknya, Wicked mengajarkan bahwa kebaikan dan kejahatan bersifat relatif. Tidak ada karakter yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat; semuanya tergantung pada sudut pandang dan konteks sosial. Pesan ini sangat relevan di dunia modern, di mana empati dan pemahaman terhadap kompleksitas manusia menjadi semakin penting.

Media, Manipulasi, dan Kebenaran Tersembunyi: Pelajaran dari The Wizard of Oz dan Wicked

Dalam dunia fiksi, The Wizard of Oz memang kisah yang menonjol sebagai cerita sederhana tentang kebaikan melawan kejahatan. Namun, jika dilihat lebih dalam, kisah ini juga dapat dimaknai sebagai alegori bagaimana media dapat membentuk persepsi publik melalui narasi yang terdistorsi. 

Film tahun 1939 ini menggambarkan Penyihir Jahat dari Barat sebagai musuh utama, sosok yang harus dikalahkan demi kebaikan Dorothy dan teman-temannya. Namun, tidak ada yang bertanya mengapa sang Penyihir menjadi seperti itu. Semua percaya begitu saja pada cerita yang disajikan, tanpa mempertanyakan apakah ada kebenaran lain yang tidak diungkap. 

Dalam hal ini, The Wizard of Oz bisa dianggap sebagai cerminan dari bagaimana media modern sering kali menyederhanakan kompleksitas peristiwa menjadi narasi yang memihak, sehingga melahirkan stereotip dan penilaian yang tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu.

Kemudian datang Wicked, sebuah musikal yang secara radikal membalik perspektif klasik itu. Dalam Wicked, kita diperkenalkan kepada Elphaba, perempuan berkulit hijau yang akhirnya menjadi Penyihir Jahat Dari Barat.

Baca Juga: ‘The Secret of Us’, Kisah Lesbian di Tengah Homofobia dan Kesenjangan Sosial

Dari sudut pandangnya, kita menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya jahat. Ia adalah korban diskriminasi, ketidakadilan sosial, dan manipulasi narasi oleh mereka yang berkuasa, termasuk Glinda, sang Penyihir Baik. Narasi Wicked menantang penonton untuk memahami bagaimana sejarah sering kali ditulis oleh pemenang, sementara kebenaran orang-orang yang kalah dilupakan atau bahkan sengaja disembunyikan.

Fenomena ini sangat relevan dengan apa yang terjadi di masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Media di era digital memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membentuk opini publik. Dalam banyak kasus, individu atau kelompok tertentu seringkali disalah pahami atau dihakimi hanya karena narasi yang dikuasai oleh pihak yang lebih dominan, misalnya, kasus viral di media sosial sering kali menggiring opini publik tanpa mempertimbangkan fakta atau konteks yang sebenarnya.

Seseorang yang menjadi korban framing media bisa langsung dianggap bersalah, meskipun kemudian terbukti tidak demikian. Sama seperti Elphaba yang dihukum oleh masyarakat Oz karena persepsi yang dibentuk oleh penguasa, banyak orang di dunia nyata yang menjadi korban karakterisasi tidak adil.

Baca Juga: ‘Love in The Big City’: Persahabatan Dua Orang Kesepian di Kota Besar

Di sisi lain, Wicked juga mengajarkan bahwa setiap cerita memiliki lebih dari satu sisi. Jika The Wizard of Oz Mewakili narasi yang dipoles oleh media untuk menyederhanakan kompleksitas, Wicked adalah kisah yang mewakili kebenaran tersembunyi di balik layar. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat relevansi ini pada isu-isu sosial seperti stigma terhadap minoritas.

Narasi arus utama sering kali mendikte bagaimana kelompok tertentu dipandang oleh masyarakat. Mereka yang berbeda dari mayoritas sering kali digambarkan sebagai “penjahat” atau “pengganggu,” tanpa mempertimbangkan perjuangan atau konteks mereka.

Namun pelajaran terbesar dari Wicked adalah bagaimana pentingnya empati dan keberanian untuk menggali kebenaran. Sama seperti Glinda yang akhirnya menyadari bahwa Elphaba bukan musuh sejati, masyarakat modern juga harus belajar untuk tidak langsung percaya pada apa yang mereka lihat atau dengar, terutama di era banjir informasi.

Baca Juga: Film ‘Pinky Promise’, Pentingnya Peran Careworker Penyintas Kanker Payudara 

Ketika kita terlalu cepat menyerap narasi yang diberikan media tanpa mempertanyakan motif atau bias di baliknya, kita berisiko menjadi bagian dari sistem yang tidak adil, sama seperti warga Oz yang membenci Elphaba tanpa alasan yang benar. 

Dalam filmnya, Madame Morrible, mantan mentor dari Elphaba-lah yang diketahui menggiring opini pertama kali dengan menyebut Elphaba sebagai “Penyihir Jahat yang menyimpang” yang kemudian dengan mudah dipercayai oleh hampir seluruh warga Oz.

Lagu “No One Mourns the Wicked” dari musikal dan film Wicked juga menggarisbawahi bagaimana masyarakat sering kali menciptakan narasi sederhana tentang baik dan jahat untuk membenarkan perlakuan mereka terhadap individu tertentu.

Lirik seperti “the wicked die alone” atau “si jahat akan mati sendirian” mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk mengucilkan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma, tanpa mencoba memahami latar belakang atau kompleksitas mereka. 

Baca Juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Dalam dunia nyata, stereotip ini kerap diterapkan pada mereka yang berbeda secara fisik, sosial, atau pandangan, sehingga mereka dianggap “jahat” atau “tidak layak” mendapat empati. Lagu ini mengkritisi bagaimana manusia dengan mudah menghakimi dan mengabaikan, bahkan ketika “kejahatan” tersebut mungkin lahir dari penderitaan atau ketidakadilan yang dialami, seperti yang terjadi pada Elphaba dalam cerita Wicked.

Dengan memahami Wicked sebagai representasi kebenaran yang terabaikan, kita diajak untuk lebih kritis dalam memandang dunia di sekitar kita. Dalam konteks Indonesia, pelajaran ini sangat relevan. Kita perlu memahami bahwa di balik setiap berita viral, ada cerita yang lebih dalam; di balik setiap stereotip, ada individu yang kompleks. Hanya dengan mendengar lebih banyak perspektif, kita bisa menemukan kebenaran yang sebenarnya dan, mungkin,menemukan keadilan untuk Elphaba-Elphaba di dunia nyata.

 Defying Gravity: Sebuah Alegori Perlawanan Terhadap Rezim Otoriter

Lagu Defying Gravity dari musikal Wicked adalah sebuah manifestasi kebebasan individu dan keberanian untuk melawan sistem yang tidak adil. 

Dalam konteks cerita, Elphaba, yang selama ini dikucilkan dan disalah pahami, memutuskan untuk mengambil kendali atas nasibnya sendiri, menolak tunduk pada norma dan otoritas yang korup. Lirik seperti “I’m through with playing by the rules of someone else’s game”menggambarkan momen transformatif ketika seseorang memutuskan untuk melawan status quo demi mempertahankan prinsip dan keyakinannya.

Dalam konteks modern, lagu ini dapat dilihat sebagai representasi perjuangan melawan rezim otoriter yang sering kali menindas kebebasan individu atau kelompok yang berbeda pandangan. Banyak orang di era sekarang menghadapi konsekuensi berat karena memilih untuk bersuara melawan ketidakadilan. Mereka Yang menentang penguasa yang represif sering kali mengalami marginalisasi, pengucilan, atau bahkan kekerasan, seperti yang dialami Elphaba.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Biar Kamu Makin Paham Soal Child Grooming

Namun, Defying Gravity menyoroti pentingnya keberanian dalam melawan narasi mayoritas yang menindas, bahkan jika itu berarti harus menghadapi risiko yang besar.Konsekuensi melawan rezim, sebagaimana tergambar dalam lagu ini, tidak hanya mencakup kehilangan dukungan sosial tetapi juga pengorbanan pribadi yang mendalam. 

Di dunia nyata, banyak aktivis atau individu yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia menghadapi stigma, intimidasi, dan pengorbanan besar demi membela kebenaran. Namun, seperti Elphaba yang memilih untuk “terbang bebas” meskipun ia akan terbang sendirian di tengah dunia yang menentangnya, mereka juga menunjukkan bahwa perlawanan bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi.

Lagu ini juga mengajarkan bahwa melawan rezim bukan sekadar tindakan destruktif; itu adalah sebuah deklarasi untuk mengambil kendali atas narasi pribadi dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Dalam dunia di mana media dan kekuasaan sering memutarbalikkan fakta, Defying Gravity menjadi pengingat untuk tetap teguh pada keyakinan meski harus menghadapi konsekuensi yang tampak mustahil diatasi.

Baca Juga: ‘Home Sweet Loan’ Memvalidasi Keresahan Perempuan Pekerja Kelas Menengah

Sedangkan Glinda dalam cerita Wicked dapat dilihat sebagai representasi individu yang mendukung status quo atau rezim dominan, meskipun sadar bahwa rezim tersebut tidak sepenuhnya benar atau adil.Karakternya mencerminkan dilema moral yang sering dihadapi oleh individu berpengaruh: memilih untuk melawan ketidakadilan dengan risiko kehilangan kekuasaan, atau tetap diam demi mempertahankan posisi dan status sosial. 

Sebagai penyandang gelar “Penyihir Baik”, Glinda menikmati kepercayaan masyarakat Oz yang telah dimanipulasi oleh propaganda untuk memandang Elphaba sebagai ancaman. Dalam cerita, Glinda menyadari bahwa Elphaba sebenarnya bukan penjahat seperti yang digambarkan, namun dia memilih untuk tidak sepenuhnya mendukung sahabatnya. Sebaliknya, Glinda membiarkan narasi palsu tentang Elphaba tetap berjalan, karena melawan arus bisa merusak citra dan posisi sosialnya. Sikap ini terlihat dalam bagaimana dia berusaha menghindari konflik terbuka dengan rezim Oz yang korup.

Keputusan Glinda untuk tetap dalam posisinya mencerminkan sikap pasif kolaboratif terhadap ketidakadilan. Dia mewakili individu yang, meskipun mengetahui kebenaran, memilih untuk berkompromi demi keamanan pribadi dan keuntungan politik. 

Baca Juga: Film ‘Subservience’ Stigma Pada Robot AI Penggoda Suami

Hal ini menjadikannya simbol kepengecutan moral yang sering ditemukan dalam struktur sosial atau politik: mereka yang mendukung rezim otoriter secara tidak langsung dengan tidak bertindak atau bersuara menentangnya. 

Namun, peran Glinda juga menawarkan kritik sosial yang mendalam. Pada akhirnya, posisinya sebagai “Penyihir Baik” tetap tidak dipertanyakan oleh masyarakat, menunjukkan bagaimana mereka yang memiliki citra baik di mata publik sering kali lolos dari tanggung jawab moral, bahkan ketika mereka secara diam-diam memanfaatkan atau membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Pesannya jelas: dunia seringkali lebih memaafkan mereka yang berpenampilan mulia tetapi diam, dibandingkan mereka yang melawan sistem dengan keberanian namun dianggap kontroversial.

Dalam lagu “Defying Gravity,” khususnya dalam bagian dialog yang dinyanyikan oleh Glinda, terdapat momen yang mengungkap dilema moralnya secara implisit. Ketika Glinda berkata:

“I hope you’re happy in the end… I hope you’re happy, my friend.”

Baca Juga: Kekuatan Perempuan yang Melawan dalam Film Laura: A True Story of a Fighter

Lirik ini mencerminkan rasa ambivalen dan keterpecahan Glinda terhadap keputusan Elphaba untuk melawan rezim. Di satu sisi, Glinda ingin Elphaba menemukan kebahagiaannya—sebuah bentuk dukungan pribadi terhadap keberanian sahabatnya untuk melawan ketidakadilan. Namun di sisi lain, Glinda tetap memilih untuk tidak bergabung dalam perjuangan itu, karena mempertaruhkan posisi dan statusnya sebagai simbol “kebaikan” di mata masyarakat Oz.

Bagian-bagian lagu yang dinyanyikan melalui perspektif Glinda menunjukkan bagaimana Glinda sadar akan keberanian moral Elphaba, tetapi tidak cukup berani untuk menirunya. Keputusannya untuk bertahan dalam status quo adalah refleksi dari karakter yang memilih kompromi demi keamanan pribadi. Dia tetap diam dalam menghadapi rezim yang korup dan membiarkan propaganda terus berjalan, dengan dalih bahwa menjaga citra dirinya sebagai Penyihir Baik lebih penting bagi stabilitasnya.

Namun, melalui kata-kata itu, kita juga melihat sisi manusiawi Glinda—rasa bersalahnya karena tidak mendukung Elphaba sepenuhnya. Hal ini menguatkan peran Glinda sebagai simbol individu yang terjebak dalam dilema moral antara kesetiaan kepada sahabat dan ketakutan akan konsekuensi dari melawan sistem.

Baca Juga: ‘Perfect Family’, Apakah Keluarga Sempurna Benar-Benar Ada?

Lirik tersebut menunjukkan bagaimana dia berharap Elphaba “bahagia,” tetapi sebenarnya ini adalah harapan kosong yang lahir dari rasa bersalah karena dia tidak memiliki keberanian yang sama untuk menantang status quo. Pada akhirnya, Glinda tetap “selamat” dalam citra publiknya, tetapi kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar: keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.

Dengan nada yang megah dan lirik yang penuh semangat, Defying Gravity melampaui sekadar lagu musikal. Ini adalah simbol dari perlawanan universal terhadap penindasan, baik dalam fiksi maupun dalam realitas sosial-politik masa kini.

Film Wicked tidak hanya menyajikan visual dan musik spektakuler, tetapi juga menghadirkan kritik sosial yang dalam tentang stereotip, manipulasi narasi, dan perjuangan melawan ketidakadilan. Sebagai adaptasi dari novel dan musikal yang mendekonstruksi kisah klasik The Wizard of Oz, Wicked menawarkan perspektif baru tentang Elphaba, sosok yang sebelumnya dilabeli sebagai “jahat” karena perbedaan fisiknya hingga idealisme dalam mempertahankan keyakinannya.

Baca Juga: Yang Bisa Kamu Pelajari dari Film ‘Seni Memahami Kekasih’ : Mencintai Dengan Apa Adanya

Film ini menunjukkan bahwa “kejahatan” sering kali lahir dari diskriminasi dan sistem yang tidak adil, berbeda dengan narasi hitam-putih The Wizard of Oz yang mengaitkan kecantikan dengan kebaikan dan kejelekan dengan kejahatan. Melalui perbandingan ini,jelas bahwa Wicked berhasil mendekonstruksi stereotip lama yang diperkuat oleh The Wizard of Oz

Dengan memberikan latar belakang dan dimensi emosional kepada karakter yang sebelumnya dianggap sebagai”penjahat,” Wicked mengingatkan kita bahwa penampilan fisik tidak boleh menjadi penanda moralitas.

Musikal ini tidak hanya merekonstruksi karakter klasik, tetapi juga menawarkan pelajaran yang relevan dengan isu-isu sosial kontemporer, seperti diskriminasi, penerimaan terhadap perbedaan, dan pentingnya empati. 

Baca Juga: Martha Bukanlah Penjahat Utama di ‘Baby Reindeer’, Tapi Kenapa Digambarkan Seperti Itu?

Dengan mengajarkan audiens untuk melihat melampaui permukaan, Wicked memperkuat nilai-nilai yang lebih inklusif dan berkeadilan dalam budaya populer. Lagu-lagu seperti Defying Gravity dan No One Mourns the Wicked menggambarkan perjuangan Elphaba melawan norma sosial dan otoritas korup,mengundang penonton untuk melihat dunia dengan lebih kritis. 

Dengan menggugat stereotip dan mendorong empati, Wicked tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alegori relevan tentang isu-isu sosial modern, termasuk diskriminasi, framing media, dan keberanian melawan penindasan.

(Sumber Gambar: TIX ID)

Stella Hita Arawinda

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!