Novel ‘Vegetarian’ Bukan Kisah Sukses Vegetarianisme, Ini tentang Penguasaan Atas Diri Perempuan

Novel 'Vegetarian' karya penulis Han Kang memenangkan Nobel Sastra 2024. Namun, ini bukan buku tentang kisah sukses menjadi vegetarian. Ia adalah rekaman suram perempuan dari sudut pandang yang bukan dirinya sendiri.

Novel ‘Vegetarian’ karya penulis asal Korea Selatan, Han Kang, meraih Nobel Sastra 2024. Pengalaman membacanya bakal membuat kita harus duduk dulu, mencerna setiap keping kisah, dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi dalam buku itu.

Saya mencoba membaca ‘Vegetarian’ pelan-pelan, membalik halaman demi halaman. Memastikan untuk tidak hanya sekadar membaca dan kehilangan fokus saat di tengah jalan.

Pun setelah membaca, saya berusaha memikirkan yang sebenarnya ingin dikatakan novel ini. Mulai membaca ulasan orang-orang dan membuka buku kembali untuk mencari satu-dua kutipan yang cukup menggambarkan isi dari keseluruhan cerita. Namun, setiap penggalan yang ingin saya kutip tidak pernah bisa menggambarkannya. Semakin saya berusaha mencari, semakin saya terseret ke dalam ngarai kebingungan.

Sampai akhirnya saya menyimpulkan satu hal: semakin bersemangat kamu menginginkan penjelasan tentang makna di balik sebuah karya seni yang kuat dan samar, semakin tidak memuaskan dan komprehensif jawabannya.

Baca Juga: ‘Menua dengan Gembira’: Menyelami Kehidupan Warga Suburban Jakarta Dengan Santai

Barangkali itulah semangat yang ada dalam ‘Vegetarian’-nya Han Kang. Novel ini menjadi salah satu karya yang mengantarkan penulis Korea Selatan tersebut meraih Nobel Sastra tahun 2024. ‘Vegetarian’ diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Deborah Smith dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Dwita Rizki, yang terbit di Penerbit Baca.

Novel ini berkisah tentang seorang perempuan yang memutuskan untuk menjadi vegetarian. Tetapi, ‘Vegetarian’ bukanlah tentang hal itu sendiri. Novel ini bukan buku yang menjelaskan soal-soal vegetarianisme, bukan tentang bagaimana kiat-kiat menjadi seorang vegetarian yang paripurna dan mengapa. Ini tentang ketidakinginan menjadi apa dan siapa-siapa. Sebuah upaya untuk melepaskan diri dari segala hal yang dianggap sebagai sifat-sifat yang rentan membelenggu: kepatuhan, hasrat, bahkan kasih sayang. 

Sekarang aku bukan binatang lagi, Kak. … Aku tidak perlu makan nasi. Aku bisa hidup. Asal ada cahaya matahari. … Perkataan dan pemikiranku akan segera lenyap. Segera.” (‘Vegetarian’, hal. 186)

Tiga Sudut Pandang dan Tak Ada Yeong-Hye di Antaranya

Novel ini bercerita melalui tiga bagian sudut pandang. Secara berurutan dari suami, kakak ipar laki-laki, dan kakak perempuan sang tokoh utama. Saya baru menyadari hal ini setelah maju-mundur dan membolak-balik halaman saat pergantian sudut pandang. Uniknya, karakter utama dalam novel ini, perempuan bernama Yeong-Hye, seolah tidak punya suara. Ia hanya bergerak melalui tindakan dan dialog-dialog datar. Sudut pandangnya hanya diperlihatkan melalui kalimat-kalimat yang menggambarkan mimpi buruknya—berupa paragraf yang dicetak miring.

Bagian pertama diceritakan melalui sudut pandang Tuan Cheong, suami Yeong-Hye yang acuh-tak-acuh, angkuh, dan bodoh. Ia menganggap istrinya sebagai perempuan yang biasa-biasa saja, tak terlalu istimewa. Hal itulah yang dia sukai: perempuan yang tidak cantik-cantik amat, tidak banyak meminta perhatian 24 jam, dan cukup pendiam. 

Suatu malam, ia melihat Yeong-Hye berdiri di depan kulkas dan membuang semua bahan makanan yang berasal dari daging. Ia bertanya kepada istrinya itu dan hanya memperoleh jawaban, “Saya bermimpi.”

Baca Juga: ‘Paya Nie’: Belenggu Patriarki Perempuan Aceh Di Masa Konflik

Hari-hari selanjutnya berjalan tanpa daging. Di meja makan hanya tersedia sayur dan kacang-kacangan, selama berbulan-bulan. Yeong-Hye menjadi pendiam. Kesehariannya hanya membaca buku. Tidak ada lagi pergumulan suami-istri. Yeong-Hye menolak untuk makan, memasak, dan menyediakan daging di rumah. Berbagai hal itu membuat Cheong terus menggerutu, hari demi hari. Ia khawatir istrinya akan mempengaruhi kariernya. Cheong pun menceritakan semua itu kepada keluarga Yeong-Hye. Mereka semua mendatangi perempuan tersebut. Lalu adegan mengerikan itu terjadi: Yeong-Hye berakhir di kamar rumah sakit jiwa.

Bagian kedua diceritakan melalui sudut pandang saudara ipar laki-laki Yeong-Hye yang memiliki obsesi seni tak lazim dan agak lain. Ia adalah seorang pelukis dan seniman video. Obsesinya adalah citra tubuh laki-laki dan perempuan yang memancarkan keindahan dari lukisan bunga-bunga di sekujur tubuh mereka melalui pose hubungan seks.

Baca Juga: ‘Love and Labour’: Cinta dan Perjuangan Myrtle Witbooi

Ketika ia mengetahui bahwa Yeong-Hye memiliki tanda lahir biru berbentuk kelopak, ia berpikir bahwa Yeong-Hye adalah perempuan dalam mimpinya pada hari-hari yang lalu. Meski merupakan saudara ipar, laki-laki itu memang sudah memiliki ketertarikan sendiri pada Yeong-Hye. Ia ingin menjadikan Yeong-Hye sebagai medium untuk menyalurkan ekspresi erotismenya dalam karya lukis dan video. Obsesinya itu kemudian menghancurkan pernikahannya.

Lalu bagian ketiga memuat cerita dari sudut pandang kakak perempuan Yeong-Hye. Perilaku-perilaku aneh mulai tampak pada diri Yeong-Hye. Di kamar rumah sakit jiwa, sang kakak melihat Yeong-Hye menjelma menjadi anak kecil yang polos, bebas, dan mengungkapkan segala perasaannya. Ia pergi ke bukit yang dipenuhi pohon-pohon dan berdiri terbalik, mengharapkan dedaunan dan bunga tumbuh dari sekujur tubuhnya. 

Dokter mendiagnosisnya sebagai pengidap anoreksia—gangguan makan yang membuat penderitanya terobsesi memiliki tubuh yang kurus, memiliki rasa takut terhadap kenaikan berat badan, serta memiliki persepsi yang salah mengenai berat badan. Kakaknya frustrasi, tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menangis. Sekali lagi Yeong-Hye harus dipaksa makan—kali ini oleh dokternya.

Kesehatan Mental dan Perampasan Kuasa Perempuan Atas Tubuhnya

Ada satu hal yang saya lihat dari sekian banyak hal yang terjadi di novel ini. Tak ada yang berbicara atas nama Yeong-Hye, baik suami maupun keluarganya. Pada bagian ini, setiap karakter berbicara atas peneguhan pandangannya sendiri: kepatuhan, harga diri, juga kuasa atas nama besar. Tidak ada kepedulian untuk menyimak, atau setidaknya mendengar penuturan Yeong-Hye: apa mimpi buruk yang ia alami? Barangkali dari sana, mereka bisa menemukan sebuah jawaban. Mungkin juga tidak semudah itu.

Nyatanya, harga diri sebagai suami dan keluarga yang tidak mendapat apa-apa—yang tidak dipenuhi keinginannya—lebih mengganggu ketimbang memedulikan masalah mental Yeong-Hye—sebagai istri, sebagai adik, sebagai perempuan. Mereka seolah tahu hal yang menurut mereka benar untuk Yeong-Hye. Lalu pada titik ini, Yeong-Hye tidak lagi berkuasa atas tubuhnya sendiri.

Baca Juga: “Please Look After Mom”, Ternyata Kita Tidak Terlalu Dekat Dengan Ibu

Saya mampu merasakan betapa hancurnya Yeong-Hye saat mempertahankan kuasa atas tubuhnya. Yeong-Hye disidang oleh keluarganya, dipaksa untuk makan daging oleh ayahnya. Mulutnya dibetot. Tangannya dipegangi. Ibu dan kakak perempuannya hanya menangis menyaksikannya. Suaminya hanya diam.

Dalam banyak hal, potret ihwal gangguan mental ini sering kali muncul dan dimunculkan dari lingkungan terdekat: keluarga. Mereka menjelma hakim agung yang sekenanya mengetok palu untuk menentukan hal ‘terbaik’ bagi diri dan tubuh seseorang. Lagi-lagi, sering kali perempuan yang menjadi korban atas semua itu. Seperti yang dialami Yeong-Hye: dihakimi karena kondisi mentalnya, dirampas pula otonomi tubuh dan suaranya.

Bagi saya, novel ini memberikan perspektif betapa rentannya orang-orang yang tidak diberi ruang untuk bersuara. Bercerita atas apa yang menimpanya, bercerita atas pemikirannya, bercerita atas kondisi mentalnya. Di banyak tempat, dalam banyak kasus, mereka dianggap aneh; mengganggu ketertiban, lalu tidak normal. Membuat onar, lalu tidak normal—dan seterusnya, dan seterusnya.

Baca Juga: Kita Kadang Bingung Mengartikan Cinta, bell hooks Membuka Titik Terang Cinta

Beban ekspektasi dan stigma itu pun terutama dilekatkan pada diri perempuan dalam masyarakat patriarki. Harus ‘mengikuti norma dan aturan’, jika tidak maka ia ‘mengganggu masyarakat’. Dan sejak awal tak ada kesempatan baginya untuk bersuara, menjelaskan kondisi yang ia alami.

Kisah Yeong-Hye dalam novel ‘Vegetarian’ mungkin tampak ‘tak lazim’. Namun jangan-jangan, ada banyak ‘Yeong-Hye’ di sekitar kita dengan berbagai kondisinya. Dan barangkali, yang mereka butuhkan hanya hal yang sederhana, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya: kebebasan dan pendengar yang baik untuk bercerita.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi 

(Sumber Foto: photo-DailyO)

Abdul Manan

Penikmat bau buku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!