Tulisan ini merupakan terjemahan bebas pada bab pertama buku bell hooks, yang berjudul All About Love: New Visions.
Sebelumnya, Diane Ackerman pernah menyatakan, bahwa kita masyarakat kadang malu mengatakan cinta. Kita memperlakukan cinta seolah ia sesuatu yang vulgar. Kita enggan mengakui cinta. Bahkan mengucapkannya saja membuat kita tergagap dan tersipu. Padahal cinta adalah hal terpenting dalam kehidupan kita, sebuah semangat yang kita perjuangkan harga mati. Tetapi, kita ragu-ragu untuk bersitahan pada namanya. Tanpa kosakata yang luwes, kita tidak bisa membicarakan atau memikirkannya dengan jelas.
Dalam buku ini, bell hooks mengurai tentang para laki-laki yang dalam hidup adalah orang-orang yang selalu waswas mengucapkan kata “cinta” dengan rileks.
Mereka waswas karena mereka mempercayai bahwa perempuan terlalu banyak mencintai. Dan, mereka tahu bahwa apa yang dimaksud sebagai cinta tidak selalu sejalan dengan apa yang mereka yakini.
Kebingungan tentang apa yang kita maksud ketika bicara kata “cinta” adalah biang kesulitan kita dalam mencintai. Jika masyarakat kita memegang pemahaman bersama tentang arti cinta, mempraktikkan cinta takkan sebegitu membingungkan.
Definisi kamus tentang cinta cenderung menekankan cinta yang romantis. Mendefinisikan cinta pertama dan utama sebagai “kasih sayang dengan gairah dan kelembutan mendalam terhadap orang lain, khususnya ketika didasari ketertarikan seksual.” Tentu, definisi lain menjelaskan kepada pembaca bahwa seseorang bisa saja mempunyai perasaan serupa tidak dalam konteks seksual. Akan tetapi, kasih sayang mendalam sekalipun tidak terlalu menjelaskan arti cinta.
Mayoritas buku yang membahas cinta justru bersikeras menghindari pendefinisian yang jelas.
Dalam kata pengantar A Natural History of Love oleh Diane Ackerman, dia menyatakan, “Cinta adalah ketidakjelasan yang dahsyat.” Sejurus kalimat kemudian dia mengusulkan, “Kita semua mengakui bahwa cinta itu menakjubkan dan penting. Namun tiada seorang pun yang dapat menyepakati apa cinta itu sebenarnya.” Malu-malu dia menambahkan, “Dengan begitu ceroboh kita menggunakan kata cinta, sehingga ia hampir tak memiliki arti atau bisa berarti apa saja.”

Tiada satupun definisi yang muncul dalam bukunya, yang dapat membantu siapapun yang sedang mempelajari seni mencintai. Hingga kini, bukan hanya dia yang menuliskan cinta secara samar-samar. Ketika arti kata cinta diselubungi kabut misteri, sama sekali tidak mengejutkan karena kebanyakan orang sulit mendefinisikan apa yang mereka maksud ketika bicara “cinta”.
Baca juga: “Please Look After Mom”, Ternyata Kita Tidak Terlalu Dekat Dengan Ibu
Bayangkan alangkah lebih mudah bagi kita untuk mempelajari cara mencintai jika kita memulainya dari definisi bersama.
Kata “cinta” paling sering didefinisikan sebagai “kata benda”, meski teoretikus cinta yang lebih cermat menyadari bahwa kita semua akan mencintai dengan lebih baik jika kita memperlakukannya sebagai “kata kerja”.
Bertahun-tahun waktu kuhabiskan demi menelusuri definisi yang bermakna dari kata “cinta”. Dan, sangat lega ketika menemukannya dalam buku self help klasik, The Road Less Traveled, karya psikiater bernama M. Scott Peck, yang pertama kali diterbitkan pada 1978.
Melanjutkan kerja Erich Fromm, dia mendefinisikan cinta sebagai “niat untuk mengembangkan diri demi saling merawat pertumbuhan batiniah (spiritual).” Dia melanjutkan, “Cinta adalah cerminan tindakan. Cinta adalah tindakan yang berasal dari niat— ia adalah niat sekaligus tindakan. Niat juga mengimplikasikan pilihan. Kita tidak harus mencintai. Kita memilih untuk mencintai.” Karena pilihan harus diputuskan untuk merawat pertumbuhan diri, definisi ini bertentangan dengan asumsi umum bahwa kita mencintai secara naluriah.
Setiap orang yang mengamati proses tumbuh kembang anak dari kelahirannya melihat jelas bahwa sebelum memahami bahasa, sebelum mengenali orang yang mengasuhnya, bayi merespon terhadap kasih sayang. Biasanya mereka merespon dengan bunyi atau tatapan rasa nyaman. Seiring pertumbuhan, mereka mulai merespon balik kasih sayang, menggumam saat melihat orang yang mengasuhnya. Kasih sayang hanyalah salah satu unsur cinta. Untuk sungguh-sungguh mencintai, kita harus belajar untuk menyatupadukan berbagai unsur — kepedulian, rasa sayang, pengakuan, rasa hormat, komitmen, kepercayaan, serta komunikasi yang jujur dan terbuka.
Mempelajari definisi yang keliru tentang cinta saat muda mempersulit kita mencintai ketika beranjak dewasa. Kita berniat melangkah di jalur yang benar, tetapi malah salah arah. Kebanyakan kita sejak dini memahami cinta sebagai perasaan. Ketika merasa sebegitu tertarik dengan seseorang, kita terpikat (cathect) dengannya. Dengan kata lain, kita mendedikasikan perasaan atau emosi kepadanya. Proses dedikasi di mana seorang terkasih menjadi penting bagi kita disebut sebagai keterpikatan (cathexis).
Baca juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’
Dalam bukunya Peck dengan tepat menekankan bahwa kebanyakan dari kita “salah memahami rasa terpikat sebagai cinta.” Kita semua tahu betapa sering orang-orang yang merasa terjalin melalui proses keterpikatan ini bersikeras bahwa mereka mencintai. Bahkan jika orang yang bersangkutan melukai atau mengabaikan mereka. Lantaran perasaan ini tak lain adalah keterpikatan (cathexis), mereka bersikukuh bahwa apa yang mereka rasakan adalah cinta.
Tatkala memahami cinta sebagai niat untuk saling merawat pertumbuhan batiniah diri sendiri dan orang lain, maka jelaslah kita tidak bisa mengaku-ngaku telah mencintai jika menyakiti dan abusif. Cinta dan kekerasan tak bisa sejalan. Lain halnya kekerasan dan pengabaian, yang pada dasarnya berlawanan dengan perawatan dan kepedulian. Sering kali kita jumpai laki-laki menghajar anak dan istrinya, lalu nongkrong di warkop dan berkoar-koar betapa dia mencintai mereka. Jika kalian bicara dengan istrinya di hari yang damai, mungkin dia juga bersikukuh bahwa si suami mencintainya, terlepas dari kekerasan yang dia perbuat.
Sebagian besar kita memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional di mana kita diajari bahwa kita tidak baik-baik saja, dipermalukan, dilukai secara verbal dan fisik, serta diabaikan secara emosional. Meski begitu, kita juga diajarkan untuk percaya bahwa kita dicintai.
Bagi kebanyakan orang, terlalu menakutkan rasanya untuk menerima definisi cinta yang membuat dirinya tak lagi melihat cinta sebagaimana yang hadir dalam keluarganya. Terlalu banyak dari kita yang bergantung kepada gagasan cinta yang membuat kekerasan bisa dimaklumi atau setidaknya tidak seburuk itu.
Baca juga: Buku ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’ Perjuangan Penyintas KDRT Berdamai dengan Masa Lalu
Dibesarkan dalam keluarga di mana berbagai kekerasan verbal berdampingan dengan melimpahnya kasih sayang dan kepedulian, berat bagiku untuk menerima istilah “disfungsional” ini. Sebab aku pernah dan masih merasa terikat dengan orang tua dan saudara-saudaraku, serta bangga dengan segala hal positif dalam keluarga kami. Aku enggan menggambarkan keluarga kami dengan istilah yang menorehkan kesan seolah kehidupan kami telah sepenuhnya negatif atau buruk. Dan tidak ingin orang tuaku merasa kurendahkan. Aku sungguh berterima kasih dengan segala hal baik yang telah mereka berikan dalam keluarga.
Melalui penanganan terapi, akhirnya aku bisa memandang istilah “disfungsional” sebagai penjelasan yang berguna, bukan semata-mata penghakiman. Melalui masa kecilku, keluarga asalku telah membangun latar belakang yang disfungsional dan masih menyisakannya. Namun, bukan berarti dalam latar ini sama sekali tiada kasih sayang, sukacita, dan kepedulian.
Ada momen di keluarga kami di mana aku mendapatkan perhatian penuh, diakui dan disemangati sebagai anak perempuan yang cerdas. Hanya berselang berapa jam kemudian, aku dicaci bahwa diriku ini gila akibat sok pintar dan sebaiknya dilempar ke rumah sakit jiwa di mana takkan ada yang datang menjenguk. Tak mengejutkan, perpaduan kontradiktif antara perhatian dan perlakuan kasar ini tidak memberi pengaruh baik bagi pertumbuhan batiniahku. Menerapkan definisi cinta dari Peck terhadap pengalaman masa kecilku dalam keluarga, sejujurnya aku tidak bisa menganggapnya sebagai tindakan cinta.
Didorong selama terapi untuk menjelaskan apakah keluargaku mencintai atau tidak, dengan patah hati kuakui diriku tak merasa dicintai oleh mereka. Namun, aku tetap merasakan kepedulian mereka. Dan di luar keluarga inti, aku merasa dicintai dengan tulus oleh sejumlah anggota keluarga, semisal oleh kakekku. Pengalaman cinta yang tulus ini (perpaduan kepedulian, komitmen, kepercayaan, pengetahuan, tanggung jawab, dan rasa hormat) membasuh luka batinku. Dan membantuku tetap tegak berdiri di tengah perlakuan-perlakuan tanpa cinta.
Baca juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ Mungkin Cinta Tidak Harus Memiliki
Aku amat bersyukur telah dibesarkan dalam keluarga yang peduli, dan sungguh percaya bahwa orang tuaku telah dicintai dengan baik oleh orang tua mereka. Maka dari itulah, orang tuaku ingin mewarisinya kepada anak-anak mereka. Mereka mewarisi apa yang mereka terima — kepedulian. Ingat, kepedulian hanya salah satu unsur cinta, tapi hanya karena peduli bukan berarti kita mencintai.
Sebagaimana banyak orang dewasa yang menderita kekerasan verbal dan/atau fisik di masa kecil, bertahun-tahun panjang aku bersikeras menyangkal hal-hal buruk yang telah berlalu, berupaya bergantung hanya kepada memori-memori yang baik dan menyenangkan yang kutahu itu bentuk kepedulian. Sepengalamanku, semakin diriku sukses, semakin aku ingin mengubur dalam-dalam kebenaran tentang masa kecilku.
Sering kali kritikus buku self help dan program pemulihan suka menuding bahwa kebanyakan kita latah menggembar-gemborkan keluarga tempat kita tumbuh pernah sekaligus masih disfungsional dan kekurangan cinta. Akan tetapi, kudapati banyak orang, termasuk diriku sendiri, terlepas apakah dibesarkan dalam keluarga yang teramat abusif atau tidak, justru menghindari kritik negatif terhadap pengalaman pribadinya. Biasanya, perlu pendekatan pemulihan terlebih dahulu, baik melalui buku yang memberi pencerahan maupun pendampingan terapi, barulah akhirnya kita sanggup menjelaskan secara kritis pengalaman masa kecil kita dan menyadari dampaknya terhadap perilaku kita di masa dewasa.
Kebanyakan kita sukar menerima definisi cinta yang mengajarkan kalau kita tidak pernah dicintai ketika ada kekerasan di dalamnya. Kebanyakan anak yang mengalami kekerasan psikis dan fisik diajari lewat asuhan orang dewasa bahwa cinta dapat sejalan dengan kekerasan. Bahkan, dalam kasus yang ekstrem, kekerasanlah yang jadi ekspresi cinta.
Kekeliruan berpikir ini tak jarang membentuk persepsi kita tentang cinta di masa dewasa. Jadi, tatkala bergantung kepada gagasan bahwa mereka yang menyakiti diri kita sebagai anak sesungguhnya mencintai kita, kita berusaha mencari dalih pembenaran untuk percaya bahwa mereka yang menyakiti kita di masa dewasa juga mencintai kita. Sepengalamanku, banyak penghinaan pahit yang kualami tetap berlanjut dalam hubungan romantis saat dewasa.
Baca juga: Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Waria yang Kurang Taat Agama
Awalnya, aku menolak definisi cinta yang memaksaku menghadapi kemungkinan bahwa aku tak mengenal cinta dalam hubungan paling intim yang kujalin. Bertahun-tahun masa terapi dan refleksi kritis membantuku membuang stigma, untuk menyadari kurangnya cinta dalam hubungan yang paling intim sekalipun. Dan jika tujuan seseorang adalah untuk pemulihan diri, untuk mencapai kebaikan jiwa, menghadapi ketiadaan cinta dengan jujur dan realistis adalah bagian dari proses pemulihan. Nyatanya, hubungan romantis yang telah lama kujalin, sebagaimana ikatan dalam keluargaku, diwarnai banyak kepedulian hingga rawan membuatku luput terhadap disfungsi emosional yang berlangsung.
Demi mengubah ketiadaan cinta dalam hubungan paling intim, aku mesti belajar kembali arti cinta, lalu berangkat dari titik itu belajar cara mencintai. Menerima definisi cinta yang jelas adalah langkah pertama dalam prosesnya. Senada dengan segenap sesama pembaca The Road Less Traveled, lagi dan lagi, aku bersyukur bisa mempelajari definisi cinta yang membantuku tegar menghadapi situasi-situasi dalam hidupku di mana cinta tidak tumbuh subur.
Aku masih berusia pertengahan 20-an tatkala pertama kali belajar memahami cinta “sebagai niat mengembangkan diri demi saling merawat pertumbuhan batiniah.” Masih butuh bertahun-tahun bagiku untuk melepaskan diri dari pola perilaku yang menihilkan kemampuanku untuk mencintai dan dicintai. Salah satu pola yang menyulitkanku mempraktikkan cinta adalah diriku yang terus-terusan memilih bersama laki-laki yang terluka secara emosional, yang tidak terlalu tertarik untuk mencintai meski mereka begitu ingin dicintai.
Ingin aku mengenal cinta tapi takut berserah dan percaya kepada orang lain. Aku takut menjadi intim. Ketika memilih laki-laki yang tidak berminat untuk mencintai, aku bisa mencurahkan cinta, tapi selalu dalam hubungan yang tak membuat diriku merasa utuh. Otomatis, kebutuhanku untuk dicintai gagal terpenuhi. Aku mendapatkan apa yang biasa kuterima: kepedulian dan kasih sayang yang tak jarang terkontaminasi kekerasan, pengabaian, dan terkadang kekejaman yang vulgar. Terkadang aku jadi bertingkah buruk.
Baca juga: Tak Sekedar Cinta Monyet, 5 Hal yang Bisa Kamu Cermati dari Film ‘Dilan 1983: Wo Ai Ni’
Memakan waktu lama bagiku untuk menyadari, sementara aku ingin mengenal cinta, aku juga takut untuk benar-benar menjadi intim. Sebagian besar kita, memilih hubungan yang terdapat kepedulian dan kasih sayang tetapi takkan berkembang jadi cinta, karena mereka merasa aman. Tuntutannya tidak seberat “hubungan yang mencintai”. Risikonya tidak sebesar itu.
Begitu banyak kita yang merindukan cinta tapi tidak berani mengambil risiko. Meski kita berhasrat dengan gagasan tentang cinta, nyatanya banyak dari kita menjalani hidup yang relatif memadai, namun tak merasakan kehadiran cinta. Dalam hubungan semacam ini, kita saling memadu kasih sayang dan/atau kepedulian yang tulus. Bagi sebagian besar kita, hubungan semacam ini rasanya sudah cukup karena biasanya dari sana kita menerima kasih sayang dan kepedulian lebih banyak daripada keluarga asal kita.
Tak pelak, banyak dari kita justru lebih nyaman dengan konsep cinta yang cair, yang bisa berarti apa saja bagi siapa saja. Lantaran ketika mendefinisikannya dengan seksama dan jelas, kita jadi terpaksa harus menghadapi kekurangan kita — dengan keterasingan yang menakutkan. Akibatnya, terlalu banyak orang dalam budaya kita yang tak mengenal cinta. Dan ketidaktahuan ini seolah rahasia yang mengerikan, kekurangan yang harus digembok rapat-rapat.
Andai kuketahui definisi yang jelas tentang cinta lebih awal, takkan menghabiskan waktu begitu lama bagiku untuk jadi orang yang lebih mampu mencintai. Andai kubagikan pemahaman bersama tentang apa sebetulnya arti mencintai, akan lebih mudah untuk menumbuhkan cinta. Miris sekali mengetahui betapa marak buku terkini tentang cinta masih saja menganggap definisi cinta sama sekali tidak penting. Atau lebih buruknya, para penulis ini menyarankan cinta sebaiknya memiliki arti yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan — bahwa perbedaan seks (jenis kelamin) ini harus mengikuti dan menyesuaikan ketidakmampuan kita untuk berkomunikasi karena kita tidak bicara dengan cara yang sama. Buku semacam ini populer karena tidak menuntut perubahan cara berpikir yang langgeng mengenai peran-gender, budaya, dan cinta.
Baca juga: Serial ‘Gadis Kretek’ Cerita Tentang Cinta dan Misteri di Industri Tembakau
Daripada berbagi strategi yang akan membantu kita untuk lebih mampu mencintai, buku semacam ini malah mengajak kita untuk menyesuaikan diri terhadap situasi di mana cinta tidak tumbuh subur.
Melebihi laki-laki, perempuan berbondong-bondong membelinya sebab kami sadar betul akan ketiadaan cinta. Banyak perempuan yakin takkan menemukan cinta yang membuat dirinya merasa utuh. Maka dari itulah, mereka rela bertahan dengan cara yang setidaknya meringankan rasa sakit serta memberi bumbu kedamaian, kenikmatan, dan kegembiraan pada hubungan yang tengah dijalin, khususnya hubungan romantis.
Tiada sarana dalam budaya kita untuk menggugat para penulis ini. Pun kita tidak sepenuhnya tahu apakah ada gunanya menyuarakan perubahan yang konstruktif. Kenyataan bahwa lebih marak perempuan membeli buku self help ketimbang laki-laki, (pasar) memanfaatkan pundi-pundi konsumen untuk mempertahankan penjualannya di daftar bestseller, tidaklah serta-merta berarti buku-buku semacam ini membantu mengubah hidup kita. Bertumpuk-tumpuk buku self help kubeli, hanya segelintir yang membawa perubahan berarti dalam hidupku. Inilah yang dirasakan banyak pembaca.
Absennya perbincangan dan kebijakan di ranah publik tentang praktik mencintai dalam budaya dan kehidupan kita, menunjukkan kita masih berkiblat kepada buku sebagai sumber utama untuk mencari arah dan pedoman. Banyak pembaca yang merangkul pendefinisian oleh Peck tentang cinta dan menerapkannya dalam kehidupan mereka dengan cara yang bermanfaat dan transformatif. Kita dapat menyebarluaskannya dengan menghadirkan definisinya dalam percakapan sehari-hari. Tak hanya ketika kita bicara dengan sesama orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Saat menggugat asumsi membingungkan seolah cinta tidak bisa didefinisikan dengan gagasan yang dapat diterapkan dan bermanfaat, kita telah menciptakan situasi di mana cinta dapat mekar mewangi.
Baca juga: Film ‘Kisah Cinta Gadis dengan Para Ombak’ Soroti Kehamilan Tidak Direncanakan
Sebagian orang akan sulit memahami definisi cinta oleh Peck karena dia menggunakan diksi “spiritual” (batiniah). Dia merujuk kepada dimensi realitas di mana pikiran, tubuh, dan roh adalah satu kesatuan. Seseorang tidak harus menjadi penganut agama tertentu untuk menerima gagasan bahwa adanya prinsip yang hidup dalam diri — sebuah daya hidup (ada yang menyebutnya jiwa). Yang bila dirawat akan meningkatkan kemampuan aktualisasi diri serta kemampuan melibatkan diri dalam kesatuan dunia sekitar.
Mulai senantiasa memahami cinta sebagai tindakan ketimbang perasaan adalah cara agar kita dapat meletakkan cinta bersandingan dengan rasa tanggung jawab terhadap tindakan dan dampaknya. Kita sering diajari kalau kita tidak memegang kemudi atas perasaan kita sendiri. Namun, banyak dari kita sadar bahwa kita memilih untuk bertindak. Maksud dan tujuanlah yang menentukan tindakan kita. Kita juga sadar kalau tindakan menuai dampak. Memahami bahwa tindakanlah yang membentuk perasaan, adalah salah satu cara menjauhkan kita dari anggapan umum seperti orang tua mencintai anak-anaknya, atau seseorang “jatuh cinta” begitu saja, tanpa melatih kehendak dan pilihan.
Contoh lainnya, seolah ada yang namanya “kejahatan atas nama cinta”, semisal seorang laki-laki membunuh perempuan karena dia teramat mencintainya. Bila kita terus-menerus mengecamkan dalam benak bahwa cinta adalah cerminan tindakan, kita takkan sembarang menggunakan kata “cinta” dengan cara-cara yang mengurangi bahkan melenyapkan nilainya. Ketika mencintai, kita secara terbuka dan jujur mengekspresikan kepedulian, kasih sayang, tanggung jawab, rasa hormat, komitmen, dan kepercayaan.
Definisi adalah titik berangkat yang krusial untuk imajinasi. Apa yang tidak dapat kita imajinasikan tidak bisa mewujud. Pendefinisian yang baik menandai titik berangkat dan memberi gambaran ke mana kita menuju. Tatkala melangkah menuju tujuan yang diinginkan, kita sedang memetakan perjalanan. Kita butuh peta yang membimbing perjalanan kita untuk mencintai — mulai dari titik di mana kita dapat memahami apa artinya ketika kita bicara cinta.
Foto: https://bellhooksbooks.com/product/all-about-love/#iLightbox[gallery_image_1]/16