Kata 'buntung' dan teman disabilitas

Stop Atribut “Buntung” dalam Berita: Ini Langgengkan Stereotipe bagi Disabilitas

Dear Media, fokuslah memberitakan kasus kekerasan seksual dan perjuangan keadilan bagi korban. Bukan malah melanggengkan stereotipe disabilitas dengan sebutan “buntung”.

Saat tulisan ini dibuat, berbagai pemberitaan soal dugaan kekerasan seksual belasan korban oleh seorang disabilitas fisik berinisial IWAS alias Agus (21) tengah marak di perbincangkan. 

IWAS yang kini ditetapkan tersangka adalah orang dengan disabilitas yang memiliki hambatan gerak di bagian atas kedua tangannya. Sayangnya, alih-alih fokus pada pemberitaan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, tak sedikit pemberitaan yang justru melanggengkan bias dan stereotipe pada disabilitas. 

Bias tersebut hadir dalam bentuk pelabelan terhadap status tersangka sebagai penyandang disabilitas. Kita bisa melihat, media kompak memberikan sorotan yang terlalu berlebihan perihal kondisi kedisabilitasan tersangka. Selain itu, tidak sedikit pula media yang ramai-ramai menyematkan atribut “buntung” untuk menyebut tersangka. 

Stereotipe Disabilitas

Gaya pemberitaan ini berimplikasi pada dua persoalan besar. Pertama, ia melanggengkan penggambaran negatif mengenai penyandang disabilitas. Menurut Remotivi, misrepresentasi menjadi salah satu penyakit akut yang menjangkit media ketika membicarakan orang dengan disabilitas. 

Media sering kali menggambarkan mereka dengan cara yang tidak adil, dan hal ini berdampak pada posisi sosial orang dengan disabilitas di masyarakat.

Masalah misrepresentasi yang sama juga terlihat pada pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang menyeret Agus sebagai tersangka. Atribut “buntung” yang marak disematkan oleh media misalnya, tidak bisa diremehkan begitu saja. Jika ditelisik melalui kamus tesaurus, diksi “buntung” setara dengan “pincang”, “timpang”, “sial”, “apes”, “celaka”, “malang”, “naas”.

Baca Juga: Orang dengan Disabilitas Jadi Tersangka Kekerasan Seksual, Gimana Proses Hukumnya?

Dengan demikian penggunaan istilah tersebut secara eksploitatif, bukan tidak mungkin semakin mempertebal stigma orang dengan disabilitas. Sebab mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas dua yang kekurangan, cacat, tidak utuh, tidak mampu, dan kekurangan. 

Cara pandang ini biasa pula dipakai di dalam perspektif amal. Di mana penyandang disabilitas selalu dilihat sebagai objek yang rentan, tidak berdaya, serta harus dikasihani dan ditolong.

Implikasi persoalan kedua adalah, pemberitaan bernada labelling seperti ini juga mengalihkan dan mengaburkan fokus atas kekerasan seksual sebagai inti masalah utama. Seakan-akan kondisi kedisabilitasan tersangka adalah informasi yang relevan untuk disampaikan. 

Padahal, posisi tersangka sebagai penyandang disabilitas jelas tak memiliki relevansi apapun dengan persoalan kasus kekerasan seksual. Tindak pidana atau moralitas individu tidak memiliki hubungan dengan kondisi kedisabilitasan.

Beberapa media bahkan juga memberikan panggung bagi narasi tersangka yang menggunakan kondisi kedisabilitasannya untuk menyangkal tuduhan kekerasan. Hal ini sama saja dengan meremehkan urgensi kasus kekerasan seksual. 

Seolah-olah adalah sebuah anomali ketika seorang penyandang disabilitas fisik melakukan tindak pidana kekerasan. Media mungkin lupa, bahwa definisi kekerasan seksual itu sendiri semakin cair dan tidak selalu mensyaratkan aktivitas fisik. Menurut Undang-undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022, kekerasan seksual juga bisa terjadi dalam nuansa verbal dan juga psikologis. 

Baca Juga: Minar, Cerita Hidup Penyandang Disabilitas Intelektual Perjuangkan Kehamilan

Modus ini juga tidak kalah bermasalahnya. Karena dengan demikian media ikut mereproduksi mitos-mitos yang keliru tentang kekerasan seksual, mengkerdilkan pengalaman korban, dan berpotensi menyesatkan publik dalam memahami situasi darurat dari kasus kekerasan seksual. 

Tak hanya itu, publik pun beresiko diarahkan kepada simpati yang salah. Tidak menutup kemungkinan publik justru malah menyalahkan korban dan berempati kepada tersangka sebagai penyandang disabilitas. Bahkan, bisa menambah lapis stigma orang dengan disabilitas sebagai calon pelaku kekerasan.

Mengapa Gaya Pemberitaan Ini Dinormalisasi?

Praktik pelabelan berjamaah dari media terhadap orang dengan disabilitas tersangka kekerasan seksual, memperlihatkan adanya lubang besar di dalam praktik jurnalisme. Ada dua persoalan besar yang kiranya bisa menjelaskan mengapa gaya pemberitaan seperti ini dinormalisasi.

Persoalan pertama adalah minimnya perspektif para pekerja media mengenai isu disabilitas dan inklusivitas. Dewan Pers sendiri telah menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberitaan RamahDisabilitas. Pedoman ini di antaranya menghimbau wartawan untuk tidak melakukan stigma dan stereotipe kepada penyandang disabilitas saat melakukan aktivitas jurnalisme. 

Selain itu, pedoman yang sama juga menyarankan wartawan untuk tidak serampangan dalam memilih terminologi mengenai penyandang disabilitas. Maraknya tren pemberitaan “Agus Buntung” memperlihatkan bagaimana sosialisasi dari pedoman ini belum menyentuh para pekerja media secara menyeluruh. Sehingga pemberitaan yang ada masih banyak membawa stigma atau stereotipe negatif yang berkembang di masyarakat.

Di samping perspektif tentang isu disabilitas dan inklusivitas, media tampaknya juga masih minim perspektif korban. 

Baca Juga: Mendengar Pengalaman Para Ibu yang Merawat Anak dengan Sindrom Down

Di dalam kerangka kerja jurnalisme tradisional, wartawan dituntut untuk menghasilkan pemberitaan yang berimbang. Prinsip ini tidak salah. Namun jika tanpa adanya perspektif korban, modus keberimbangan ini hanya akan menghasilkan pemberitaan kekerasan seksual yang tidak adil. Hal ini terbukti dengan tren pemberitaan “Agus Buntung” yang masih banyak memberikan ruang bagi narasi penyangkalan dari tersangka.

Persoalan kedua berkaitan dengan corak ekonomi politik media. Normalisasi atribut “buntung” dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual yang menersangkakan Agus dapat dimaknai sebagai cara media untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. 

Memanfaatkan stigma dan stereotipe yang sudah langgeng di masyarakat dinilai efektif menambah bumbu dramatisasi pada berita, dan demikian dapat mengundang lebih banyak klik.

Perlunya Jurnalisme yang Inklusif Sekaligus Berperspektif Korban

Media memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Bukan sekadar untuk menyampaikan fakta, tetapi juga memastikan korban mendapatkan keadilan dan hukum bagi pelaku ditegakkan. 

Berikut ini adalah beberapa saran pendekatan yang bisa diterapkan oleh media ketika ingin meliput kasus kekerasan seksual yang menyeret penyandang disabilitas sebagai pelaku:

1.   Fokus pada Kekerasan, Bukan Identitas

Pemberitaan harus fokus menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa harus mengulas identitas pribadi yang tidak relevan, seperti kondisi kedisabilitasannya. 

Berita harus menegaskan bahwa kekerasan adalah perilaku individual, dan tidak mewakili kelompok yang direpresentasikannya. 

Jangan sampai publik justru berempati kepada tersangka kekerasan hanya karena ia adalah seorang penyandang disabilitas. Apalagi sampai mempersepsikan semua penyandang disabilitas sebagai calon pelaku kekerasan.

2.   Gunakan Terminologi dengan Hati-hati

Terminologi bisa mengindikasikan stigma dan stereotipe negatif tertentu. Karena itu, media juga perlu hati-hati memilih terminologi untuk menyebut penyandang disabilitas. Dalam hal ini, wartawan bisa mengacu pada istilah ragam disabilitas yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

Selain itu, jurnalis juga bisa menggunakan berapa terminologi alternatif yang disarankan di dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas dari Dewan Pers. 

3.   Libatkan Perspektif Korban

Memahami perspektif korban memang membutuhkan proses yang panjang. Namun hal yang paling minimal yang bisa diupayakan oleh wartawan adalah membatasi ruang bagi suara pelaku dan sumber-sumber lain yang meremehkan urgensi kekerasan. Pemberitaan sebisa mungkin menunjukkan empati dan dukungan kepada korban sebagai individu yang membutuhkan penanganan dan akses keadilan.

4.   Edukasi kepada Publik

Ketika kasus kekerasan seksual menyeret kelompok rentan sebagai tersangka, publik rentan dihadapkan dengan berbagai dilema moral dan bingung kepada siapa harus berempati. Di sinilah, media tidak boleh melupakan fungsi edukasi. 

Media juga perlu membantu publik untuk memahami, bahwa kondisi disabilitas memang membuat seseorang terpinggirkan. Namun, bagaimanapun tidak bisa membenarkan tindakan kekerasan. Sebaliknya, karena orang dengan disabilitas juga setara di mata hukum, mereka juga harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang ia lakukan dengan dukungan sistem peradilan yang inklusif.

Nobertus Mario Baskoro

Menaruh perhatian pada isu gender, inklusi sosial, dan anti kekerasan. Pernah bekerja di sebuah lembaga yang bergerak untuk hak-hak perempuan dan penyandang disabilitas. Saat ini sedang belajar di Magister Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!