Luviana Ariyanti, Dian Purnomo, Eva Nurcahyani (Kiri ke Kanan) Pasca Gelaran Sesi Perdana TEDxEast Cempaka Putih St. Women di Gedung Kesenian Miss Tjitjih, Minggu (1/12). (Dok: Konde.co)

TEDxEast Cempaka Baru Street Women Bongkar Wajah Kapitalisme dan Patriarki

Apa yang menyatukan perempuan dari Salatiga, Banten, dan Klaten? Jawabannya adalah perjuangan melawan patriarki yang membelenggu ruang hidup perempuan, baik dalam struktur adat, kebijakan, dan kapitalisme. Pada sesi TEDxEast Cempaka Baru Street Women bertema gender policy, Dian Purnomo, Eva Nurcahyani, dan Luviana Ariyanti membawa perspektif beragam tentang bagaimana ketidakadilan terhadap perempuan dapat terpelihara.

Ketimpangan gender masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia. Kondisi ini yang membuat TEDxEast Cempaka Baru Street Women terselenggara pada Minggu (1/12). Pada sesi pertama dengan tema gender policy, ketiga pembicara yakni Dian Purnomo (penulis dan founder Nulis di Taman), Eva Nurcahyani (founder Lingkar Studi Feminis), dan Luviana Ariyanti (founder dan pemimpin redaksi Konde.co) menghadirkan cerita yang membongkar berbagai lapisan persoalan tersebut. Mulai dari tradisi adat yang membelenggu, birokrasi yang tidak berpihak, hingga sistem ekonomi yang menafikan pekerjaan perempuan.

Bersama pengalaman yang beragam, mereka menggambarkan bagaimana perempuan menghadapi tantangan yang berbeda, tapi berasal dari akar persoalan yang sama: patriarki yang terstruktur, sistemik, dan terpelihara.

Dian Purnomo mengawali diskusi dengan membawa kita ke Sumba dan Sangihe. Di Sumba, Ia menyaksikan praktik kawin tangkap yang awalnya merupakan bagian dari adat, tetapi kini berubah menjadi kekerasan seksual sistemik yang merampas hak perempuan atas tubuh dan kehidupannya.

Di Sangihe, perempuan menghadapi ancaman tambang emas yang merusak lingkungan dan merampas sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan mereka. Dian dengan tegas menggambarkan bahwa patriarki tidak hanya menyasar perempuan sebagai individu, tetapi juga menghancurkan alam hingga komunitas perempuan melalui tradisi yang bias lagi eksploitatif atas nama investasi.

Baca Juga: Pelakor Lebih Disorot Ketimbang Pebinor: Bukti Perempuan Jadi Korban Kekerasan Bahasa

Eva Nurcahyani mengarahkan perhatian pada pentingnya kebijakan yang berpihak pada perempuan. Ia menunjukkan bagaimana di Banten, meskipun sudah ada regulasi seperti UU TPKS, pelaksanaannya sering kali mandek akibat minimnya anggaran, kerumitan birokrasi, dan kurangnya perspektif korban di kalangan aparatur negara. Eva menyoroti fenomena victim blaming yang masih mengakar, penyintas kekerasan seksual sering kali harus berulang kali menceritakan pengalaman traumatik mereka hanya untuk menghadapi sistem yang tidak mendukung. Baginya, kebijakan responsif gender tidak hanya membutuhkan hukum yang adil, tetapi juga pelaksana yang berkomitmen pada keadilan itu sendiri.

Luviana Ariyanti melengkapi diskusi dengan kritik tajam terhadap kapitalisme sebagai wajah lain dari patriarki. Berangkat dari kisah hidupnya sebagai anak buruh pabrik di Klaten, Luviana menggambarkan bagaimana sistem ekonomi sering kali menghapus kontribusi perempuan dalam pekerjaan domestik dan pengasuhan (care work). Ia menyoroti invisibilitas pekerjaan perawatan dalam narasi besar ekonomi, meskipun pekerjaan ini menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan masyarakat. Melalui Konde.co, media alternatif yang ia dirikan, Luviana berjuang untuk mengangkat suara perempuan marginal, dari pekerja rumah tangga hingga buruh pabrik, yang selama ini terlupakan dalam diskusi publik.

Pengalaman ketiga pembicara ini menawarkan refleksi mendalam tentang ketidakadilan gender di Indonesia. Mereka mengajak audiens untuk melampaui pemahaman persoalan, yakni mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan keadilan.

I. Dian Purnomo – Sistem Melemahkan Perempuan, Hukum Menindas Perempuan
Dian Purnomo di panel TEDxEast, saat pemaparan keynote speech menjelaskan tentang pengalamannya di Sumba yang menjadi inspirasi novel garapannya berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam. (Dok: Konde.co)
Dian Purnomo di panel TEDxEast, saat pemaparan keynote speech menjelaskan tentang pengalamannya di Sumba yang menjadi inspirasi novel garapannya berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam. (Dok: Konde.co)
Meski Barangkali Terlambat Sadar, Tidak Ada Kata Terlambat untuk Bersuara

Sejak kecil, Dian Purnomo telah terpesona oleh dunia fantasi. Kisah-kisah seperti petualangan Tintin, Wiro Sableng, dan Deni Manusia Ikan menjadi inspirasinya. Dian bercita-cita menjadi pahlawan yang memerangi kejahatan, sebagaimana Wiro Sableng yang ia kenal sejak duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Namun, saat itu ia hanya mengenal tokoh-tokoh hero laki-laki. Tokoh perempuan seperti Mulan, Moana, atau Gamora baru ia kenal jauh belakangan, seiring kesadarannya tentang ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat.

Dibesarkan di Salatiga, kota kecil di lereng Gunung Merbabu dan Merapi, Dian tumbuh di keluarga komunal yang egaliter. Lingkungannya mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki setara, dengan akses pendidikan dan peluang yang sama. Hal ini terlihat dari perempuan-perempuan di keluarganya yang menjadi dokter, dosen, jurnalis, hingga ibu rumah tangga yang berdaya.

Pengalaman masa kecil ini membuat Dian sempat hidup dalam gelembungnya sendiri. Ia terlambat menyadari adanya perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan di luar pintu rumahnya, hingga akhirnya Dian beranjak dewasa dan mulai bekerja di sektor sosial.

“Sayangnya, kalau diperhatikan, semua tokoh pahlawan itu laki-laki. Saya belum mengenal tokoh-tokoh hero perempuan seperti sekarang, misalnya Mulan, Moana, atau Gamora. Saya terlambat mengenal mereka—atau lebih tepatnya, mereka yang terlambat masuk ke dalam kehidupan saya. Sama seperti saya terlambat menyadari bahwa ketimpangan sosial itu ada. Bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda di muka bumi ini,” terang Dian.

Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam di Sumba dan Sangihe

Pengalaman pertamanya di bidang sosial membawanya ke wilayah Sumba. Di sinilah ia melihat secara langsung ketimpangan sosial yang dialami perempuan dalam masyarakat patriarki. Meski di lingkup keluarganya kesetaraan sudah menjadi norma, kenyataan di luar sama sekali berbeda.

Ketika pertama kali mendengar tentang Sumba, yang terbayang olehnya adalah keindahan alam dan kain-kain tradisionalnya yang tiada tanding. Dian mengakui keindahan itu, kendati secara bersamaan ia menemukan bulan hitam di antara sinaran matahari terang, bulan hitam itu bernama kawin tangkap.

Awalnya, praktik ini merupakan perjanjian antara keluarga dengan mahar berupa hewan besar seperti sapi, kerbau, atau kuda. Namun, sejak 1980-an, kawin tangkap berubah menjadi kekerasan seksual yang dibungkus atas nama adat. Praktik ini kini sering dilakukan tanpa persetujuan perempuan. Mereka “diambil” begitu saja, bahkan di jalanan. Ketika perempuan dan keluarganya menolak, para pemuka adat enggan menghentikan praktik ini karena khawatir adat lainnya ikut hilang.

“Dalam bahasa lokal, praktik ini disebut yappa mawine atau palangidi. Awalnya, kawin tangkap adalah perjanjian antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, di mana mahar atau belisnya berupa hewan besar seperti sapi, kerbau, atau kuda.”

Baca Juga: Feminis Selalu Marah? Bagaimana Tidak, Pengalaman Hidup Perempuan Ditindas Patriarki

“Tetapi, sejak tahun 1980-an, ketika orang luar mulai masuk ke Sumba, praktik ini berubah. Banyak perempuan Sumba memilih menikah dengan laki-laki bukan Sumba. Para laki-laki Sumba merasa sumber daya mereka, yakni perempuan ‘direbut’ sehingga mereka beralih ke praktik kawin tangkap tanpa prosedur adat. Mereka ‘mengambil’ perempuan, bahkan di jalanan. Praktik ini sebetulnya bukan kawin tangkap, melainkan kekerasan seksual, fisik, dan psikis yang dibungkus kedok adat. Pergulatan muncul karena para pemuka adat tidak rela jika praktik ini dihentikan. Mereka khawatir jika satu adat dihentikan, adat lainnya akan ikut hilang,” ujarnya.

Di sisi lain, minimnya fasilitas untuk mendukung korban, seperti rumah aman atau psikolog, membuat perempuan semakin rentan.

“Di Sumba, misalnya, hanya ada satu orang sarjana Psikologi yang memberikan terapi untuk korban kekerasan seksual. Korbannya banyak, sekitar 30–40 kasus per kabupaten per tahun, sementara jarak antar kabupaten cukup jauh. Rumah aman pun tidak sepenuhnya aman karena wilayah Sumba kecil sehingga semua orang saling mengenal,” jelas Dian.

Dari Sumba, pekerjaan membawa Dian singgah di Sangihe. Di sana, ia melihat perempuan menghadapi ancaman berbeda, yakni tambang emas yang melahap lebih dari separuh pulau kecil ini. Sesuai aturan, pulau sekecil Sangihe tidak boleh ditambang, tetapi izin tetap diberikan atas nama investasi. Kerusakan lingkungan akibat tambang merugikan perempuan secara langsung, karena mereka bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga seperti air dan makanan.

“Ketika alam rusak, perempuanlah yang paling dirugikan. Dalam masyarakat patriarki, perempuan bertanggung jawab menyediakan makanan, air, dan kebutuhan rumah tangga. Ketika sumber daya ini hilang, mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ironisnya, keputusan seperti menjual tanah dilakukan oleh laki-laki, tanpa melibatkan perempuan,” paparnya.

Baca Juga: ‘Gerakan 4B ke 6B’, Cara Perempuan Korea Selatan Bebas dari Kapitalisme dan Patriarki

Perempuan di Sangihe tidak tinggal diam. Mereka memblokade alat berat, mengajukan gugatan hukum, hingga memenangkan putusan di Mahkamah Agung. Sayangnya, praktik tambang tetap berlangsung karena lemahnya penegakan hukum. Perjuangan mereka sering kali berujung pada kriminalisasi, tetapi mereka tetap berjuang demi peradaban.

“Di Sangihe, perempuan juga menghadapi kriminalisasi saat menolak tambang. Mereka ikut memblokade alat berat, menyediakan makanan bagi demonstran, dan tetap mengurus anak-anak di rumah. Gugatan mereka terhadap izin tambang sempat menang di Mahkamah Agung, tetapi praktik tambang tetap berjalan karena lemahnya penegakan hukum,” kata Dian.

Ketimpangan gender di masyarakat patriarki seperti yang terlihat di Sumba dan Sangihe sangat mencolok. Perempuan memikul beban rumah tangga, tetapi tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting, seperti menjual tanah. Ketimpangan ini memicu kekerasan domestik ketika sumber daya lingkungan hilang. Lemahnya regulasi semakin memperburuk keadaan.

Seperti nota kesepahaman tentang larangan kawin tangkap di Sumba yang tidak efektif karena tidak ada sanksi serta anggaran yang memadai. Kebijakan yang pro-investor di Sangihe juga pada gilirannya melanggar aturan lingkungan, hal ini memperlihatkan bahwa kepentingan kapital sering kali mengorbankan hak-hak perempuan.

“Dari kedua wilayah ini, jelas bahwa kita masih jauh dari keadilan gender. Contohnya, di Sumba, ada MOU untuk melarang kawin tangkap, tetapi tanpa sanksi atau anggaran untuk sosialisasi, dampaknya sangat minim. Kawin tangkap masih terjadi, bahkan sering tidak terlaporkan,” tegas Dian.

Cita-cita masa kecil Dian untuk menjadi pahlawan kini diwujudkan melalui tulisannya dalam novel. Dalam novel-novelnya, Dian menciptakan dunia ideal dengan keadilan gender, selayaknya di keluarga semasa ia kecil, perempuan dihargai setara dan kejahatan mendapatkan hukuman yang setimpal. Baginya, tulisan adalah cara untuk menyuarakan harapan akan perubahan. Sebagaimana kata Dian, “Harapannya, dunia ideal ini suatu saat terwujud. Namun, sementara itu masih jauh, kita harus terus bersuara.”

II. Eva Nurcahyani – Regulasi Sudah Tepat, Aparatnya Jalan di Tempat
Eva Nurcahyani saat menceritakan pengalamannya mengadvokasi UU TPKS di Banten pada gelaran TEDxEast Cempaka Baru St. Women. (Dok. Konde.co)
Eva Nurcahyani saat menceritakan pengalamannya mengadvokasi UU TPKS di Banten pada gelaran TEDxEast Cempaka Baru St. Women. (Dok. Konde.co)

Eva Nurcahyani telah lama terlibat dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender, khususnya di Banten. Sejak awal, ia menyadari bahwa perempuan masih menghadapi berbagai tantangan struktural, budaya, dan sosial yang menghambat akses mereka terhadap keadilan.

Dalam upayanya, Eva bersama Lingkar Studi Feminis melakukan advokasi untuk mendorong SOP yang terintegrasi antar organisasi perangkat daerah (OPD) di Banten. Hal ini penting untuk memastikan korban kekerasan mendapatkan pendampingan yang layak tanpa harus menghadapi kerumitan birokrasi.

“Sayangnya, banyak instansi yang belum memahami pentingnya perspektif korban dan masih terjebak dalam pola pikir victim blaming,” ungkap Eva.

Data UN Women menunjukkan bahwa kebijakan responsif gender memiliki dampak signifikan di negara-negara yang telah menerapkannya. Hal ini terbukti dari peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan peran publik. Sayangnya, di Indonesia, implementasi kebijakan ini masih jauh dari harapan. Meskipun ada regulasi seperti Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan instruksi presiden tentang pengarusutamaan gender, tantangan struktural dan minimnya pendanaan membuat pelaksanaannya tersendat.

“Kenyataannya, birokrasi di negara kita sering kali menjadi tantangan dalam proses pendampingan korban kekerasan. Contohnya, korban harus berulang kali menceritakan kronologi kejadian, mulai dari pelaporan di kepolisian hingga proses peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan seringkali belum berperspektif korban. Lebih buruk lagi, masih banyak praktik victim blaming yang menyalahkan pakaian atau gaya hidup korban. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kami,” terang Eva.

Baca Juga: Pembuatan Kebijakan Harus Akomodir Peran Perempuan, Tapi Masih Terbentur Patriarki

Menurut Eva, kebijakan responsif gender tidak bisa dilepaskan dari teori feminis dalam hukum atau Feminist Legal Theory. Teori ini menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan gender dalam kerangka hukum. Namun di Indonesia, menurutnya feminisme sering disalahpahami.

“Ada stigma bahwa feminis itu galak atau suka marah-marah. Padahal, teori ini menawarkan cara pandang yang adil dan inklusif,” jelasnya.

Selain tantangan struktural, stereotipe juga menjadi hambatan besar. Di masyarakat patriarki, perempuan masih dianggap tidak layak untuk memimpin atau berpendidikan tinggi. Hal ini juga terlihat dalam struktur pengambilan keputusan yang didominasi laki-laki. Misalnya, pimpinan Komisi VIII DPR yang membahas isu anak dan perempuan seluruhnya diisi oleh laki-laki.

“Perempuan masih sering dianggap sebagai warga kelas dua. Stereotipe seperti ‘perempuan tidak layak memimpin’ atau ‘perempuan sebaiknya fokus pada urusan domestik’ masih mengakar kuat.”

“Contohnya, ketika seluruh anggota [pimpinan] Komisi VIII terdiri dari laki-laki, bagaimana mereka bisa merepresentasikan pengalaman perempuan? Meskipun ada laki-laki yang peduli terhadap isu gender, tetap ada batas dalam memahami pengalaman biologis dan sosial perempuan,” paparnya.

Pendanaan menjadi masalah lain yang tidak kalah pelik. Proses legislasi UU TPKS, misalnya, terganjal pada tahap penyusunan peraturan pemerintah tentang pendanaan. Eva menggarisbawahi pentingnya komitmen pemerintah untuk memastikan kebijakan responsif gender benar-benar dapat diimplementasikan.

“Pendanaan juga menjadi hambatan besar dalam implementasi kebijakan. Salah satu peraturan turunan UU TPKS yang membahas soal pendanaan hingga kini masih mandek,” lanjutnya.

Baca Juga: Narasi Male Pregnancy di Medsos: Dari Fanfiksi Jadi Kritik Perempuan terhadap Patriarki

Meski dihadapkan hambatan terjal, Eva tidak menyerah. Ia sebagai generasi muda percaya bahwa generasinya memiliki peran besar dalam mendorong perubahan. Eva mendorong semua pihak untuk memulai dari hal-hal kecil, seperti mengedukasi diri, menyuarakan keresahan melalui kampanye, atau bekerja sama lintas komunitas.

“Gerak bersama, tanpa memandang usia atau latar belakang adalah kunci untuk menciptakan perubahan. Mungkin perjalanan ini panjang, tapi langkah-langkah kecil kita hari ini akan membawa perubahan besar di masa depan,” pungkasnya.

III. Luviana Ariyanti – Kapitalisme Adalah Patriarki, Vice Versa
Luviana Ariyanti saat memaparkan presentasi TEDxEast berjudul “Kelas dan Kapitalisme: Care Worker tak Dianggap Kerja.” (Dok. Konde.co)
Luviana Ariyanti saat memaparkan presentasi TEDxEast berjudul “Kelas dan Kapitalisme: Care Worker tak Dianggap Kerja.” (Dok. Konde.co)
Menggugat Ketimpangan Sebagai Perempuan Kelas Buruh

Luviana Ariyanti lahir dan tumbuh di Klaten, Jawa Tengah, dalam keluarga buruh pabrik. Ayahnya bekerja sebagai penjaga gudang di sebuah pabrik, sementara ibunya menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan buruh tani tebu. Masa kecilnya dihabiskan di perkampungan buruh, hidup berpindah-pindah rumah kontrakan sederhana tanpa kamar mandi pribadi.

“Kami sering mandi di kali bersama teman-teman atau menggunakan kamar mandi umum. Hidup sangat sederhana; makanan kami sehari-hari kadang hanya nasi dengan garam atau kerupuk,” kenangnya.

Meski begitu, orang tua Luviana selalu menanamkan pentingnya pendidikan. Sang ayah, yang didorong oleh kakek-neneknya, kemudian berkuliah di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Setiap akhir pekan, ia mengayuh sepeda sejauh 40 hingga 50 kilometer dari Klaten ke Yogyakarta. Kerja keras ini membawa keluarga Luviana pindah ke Yogyakarta dan memiliki rumah sendiri untuk pertama kalinya.

Luviana sempat percaya idiom “kerja keras untuk jadi sukses” adalah nyata dari kisah ayahnya. Sampai akhirnya Luviana melihat realitas yang berbeda di lingkungannya. Meski sudah berpindah tempat, lingkungan tempat tinggal Luviana masih penuh dengan cerita kemiskinan struktural. Banyak teman-temannya di sekolah dasar gagal naik kelas dan tidak bisa lanjut ke jenjang berikutnya karena membantu keluarga di ladang atau mengurus pekerjaan domestik.

“Dari babak awal hidup ini, saya percaya bahwa kerja keras akan membawa keberhasilan. Namun, keyakinan itu berubah di babak kedua kehidupan saya. Saya melihat bahwa kerja keras orang-orang di sekitar saya tidak selalu cukup untuk memutus siklus kemiskinan. Ada batasan sistemik yang menghalangi mereka,” ujarnya.

Baca Juga: ‘Paya Nie’: Belenggu Patriarki Perempuan Aceh Di Masa Konflik

Ketika memasuki sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta, Luviana mulai menyadari stratifikasi sosial yang lebih luas. Di sekolah, ia melihat bagaimana anak-anak dari keluarga pejabat atau kelas menengah diperlakukan dengan lebih hormat. Pada saat itu, ia tidak mengenal konsep penindasan kelas, stratifikasi sosial, atau kapitalisme. Namun, ia sudah merasakan dampak ketiganya.

“Saya melihat penyeragaman nilai, seperti standar kecantikan yang menuntut perempuan berkulit putih dan cantik agar dianggap menarik. Anak-anak dari keluarga pejabat lebih dihormati dan dianggap sukses. Hal ini membuat saya mulai mempertanyakan sistem yang ada. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga sederhana cenderung diabaikan,” kenangnya.

Pengalaman ini menjadi titik balik yang mendorongnya mencari jawaban melalui literatur. Dua buku yang sangat memengaruhi pemikirannya adalah Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dan biografi Elizabeth Cady Stanton.

“Dari buku-buku ini, saya mulai memahami bahwa penindasan terhadap perempuan bukan sekadar masalah individu, melainkan bagian dari sistem yang lebih besar,” jelasnya.

Kesadaran ini membawanya mendirikan kelompok studi gender bernama Kalinka, tempat Luviana dan teman-temannya mendiskusikan isu perempuan, kapitalisme, dan ketimpangan sosial yang satu rasa dialami saat duduk di bangku sekolah.

Kerja Perawatan, Pilar Tak Terlihat dalam Kapitalisme

Setelah lulus, Luviana menghabiskan lebih dari dua dekade bekerja sebagai jurnalis di media arustama. Selama itu, ia banyak melihat isu-isu perempuan secara lebih luas, mulai dari kekerasan domestik hingga tantangan ganda yang dihadapi perempuan sebagai pekerja dan pengurus rumah tangga.

“Saya menyaksikan bagaimana perempuan sering terbebani peran ganda, sementara pengakuan terhadap kontribusi mereka di sektor domestik dan informal sangat minim,” ungkapnya.

Pada 2016, Luviana sebagai jurnalis-cum-aktivis mendirikan Konde.co, sebuah media alternatif yang berfokus pada isu perempuan dan kelompok marginal. Melalui platform ini, Luviana mengangkat narasi yang jarang disorot oleh media arus utama, seperti diskriminasi pekerja informal dan pentingnya pekerjaan perawatan atau pengasuhan.

Care work adalah fondasi dari sistem sosial dan ekonomi, tetapi tetap tidak dihitung dalam statistik resmi. Perempuan yang menjalani peran ini sering kali dilupakan,” katanya.

Luviana menyoroti bagaimana perjuangan untuk mengakui dan melindungi pekerja domestik masih jauh dari selesai. Sebagai contoh, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah diperjuangkan selama lebih dari 20 tahun belum juga disahkan.

Melalui Konde.co, Luviana mendokumentasikan kisah-kisah dari perempuan yang menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satunya adalah Yuni Sri, seorang pekerja rumah tangga yang hanya diizinkan menggunakan lift barang di apartemen tempat ia bekerja. Ada pula Jumisih, seorang aktivis yang memulai kariernya sebagai buruh pabrik di Cakung, Jakarta.

“Kisah-kisah ini menunjukkan kekuatan perempuan dalam menghadapi tantangan meski sering kali tidak mendapat pengakuan,” tutur Luviana.

Baca Juga: Stop Sebut Buruh Migran ‘Pahlawan Devisa’, Ini Konstruksi Patriarki di Era Surplus Pekerja

Menurut Luviana, media seringkali hanya menyoroti figur publik atau peristiwa besar, sementara suara-suara dari kelompok marginal jarang terdengar.

“Saya dan rekan-rekan di Konde.co belajar pentingnya memperjuangkan narasi alternatif. Jika tidak, media hanya akan menyoroti figur publik atau peristiwa besar, sementara suara-suara marginal tetap terpinggirkan.”

“Kami percaya bahwa menulis adalah cara untuk menghadirkan perspektif baru dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang tidak terdengar,” tegasnya.

Luviana percaya bahwa dunia yang lebih adil dapat diwujudkan jika semua orang berkontribusi dalam upaya perubahan. Mengutip Malala Yousafzai, ia menekankan bahwa setiap elemen harus bergandengan tangan menaikkan suara untuk menyuarakan mereka yang suaranya tidak bisa didengar.

“Saya ingin mengakhiri dengan kutipan dari Malala Yousafzai: ‘Aku menaikkan suara bukan agar suaraku keras terdengar, tetapi agar mereka yang tak bisa bersuara dapat didengar,’” tutupnya.

Baca Juga: Perempuan Desa Gak Perlu Sekolah? Ini Mitos dan Stigma Patriarki

Melalui TEDxEast Cempaka Baru Street Women, Dian Purnomo, Eva Nurcahyani, dan Luviana Ariyanti menawarkan wawasan yang saling melengkapi tentang ketidakadilan gender dalam konteks adat, kebijakan, dan sistem ekonomi. Kisah Dian mengungkapkan pentingnya melindungi perempuan dari tradisi yang telah kehilangan esensinya. Perspektif Eva menggarisbawahi perlunya birokrasi yang berpihak pada korban dan kebijakan yang berjalan di luar kertas. Sedangkan Luviana mengajak kita untuk mengakui nilai pekerjaan perawatan sebagai bagian tak terpisahkan dari ekonomi dan kehidupan.

Ketiganya menyuarakan pesan yang sama, bahwa perjuangan perempuan tidak berkutat hanya pada pemenuhan hak, tetapi juga keadilan sosial. TEDxEast Cempaka Baru yang diinisiasi oleh Girl Up Jakarta ini menjadi ruang penting untuk melakukan refleksi dan aksi atas kapitalisme dan patriarki.

Selain bahasan dari tiga perempuan di atas, TEDxEast ini juga membahas isu-isu penting seperti panel isu ekonomi dan keadilan iklim dari perspektif perempuan. Pembicara yang hadir antara lain Laetania Belai Djandam, seorang pemudi Dayak adat yang luar biasa dan juga seorang praktisi kesehatan planet; Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia; Monakisa Sembor, pemengaruh sekaligus Pendiri Papuan Trada Sampah; Christina Yaori, CEO SellerUp Academy & Mompreneur; Denia Isetianti, CEO Cleanomic & Corporate Lawyer. Selanjutnya, ada Galuh Ainur Rohmah, Pendiri dan Direktur Mestara; Wingky Vikri Saputri, seorang spesialis ekonomi sirkular di Divers Clean Action; Yasmina Hasni, Pendiri AKAR Family; dan Intan Khatulistiwa, seorang pengusaha dinamis dan pemasar pertumbuhan yang telah memberdayakan perusahaan rintisan Indonesia selama lebih dari 12 tahun.

Luthfi Maulana Adhari

Staf program Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!