Beberapa waktu lalu, hoe phase ramai jadi bahasan di media sosial. Berawal dari unggahan sebuah akun yang flexing atau memamerkan prestasi terbesarnya yakni tidak pernah mengalami hoe phase karena ia ingin jadi ibu dan istri. Menurutnya, dengan begitu ia nggak akan bikin malu calon pasangannya.
Hoe phase ini merujuk pada periode saat seseorang, biasanya perempuan muda, mengeksplorasi seksualitas mereka melalui serangkaian hubungan seksual kasual dengan pasangan yang berbeda. Urban dictionary menyebut aktivitas ini tidak selalu berakhir dengan seks, tetapi dapat mengarah ke sana. Dikatakan fase ini membantu seseorang menentukan hal yang ia suka atau tidak, mengeksplorasi seksualitas, dan bersenang-senang. Mereka yang menjalani fase ini juga punya kemampuan untuk menghentikan tindakan ini atau keluar dari fase tersebut.
Postingan tersebut mendapat banyak tanggapan, tidak hanya di akun TikTok, tetapi juga lintas media sosial. Diantara tanggapan tersebut banyak yang mengkritik sikap pembuat konten yang dinilai mencari validasi laki-laki dengan merendahkan perempuan lain yang pernah atau sedang ada di fase tersebut.
Sementara komentar yang membela pembuat konten justru menganggap mereka yang mengkritik unggahan tersebut sebagai kebakaran jenggot, bawa perasaan (baper) dan menormalisasi hoe phase. Setelah muncul pro dan kontra pemilik akun/pembuat konten akhirnya menghapus postingan tersebut.
Terlepas dari “keramaian” yang muncul di media sosial, hoe phase ini sejalan dengan hookup culture, dan juga bisa dilakukan oleh laki-laki. Kalau kita telusuri, Istilah ini menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir melalui media sosial. Namun istilah ini sudah ada dan dikenal sejak lama.
Baca juga: Marak Konten FWB di Sosmed, Komentar Warganet Buktikan Minimnya Pendidikan Seksual
Maraknya istilah “friends with benefits” (FWB) atau “teman tapi mesra” dan “one-night stand” (ONS) atau “hubungan seks satu malam” di media sosial menunjukkan praktik ini dikenal luas di kalangan anak muda. Misalnya seperti percakapan yang bisa kita temui di akun-akun base atau mention confess (menfess) terkait FWB atau 18+ di Twitter. Apalagi dengan kehadiran aplikasi kencan online di Indonesia yang memungkinkan penggunanya mencari pasangan yang serius ataupun sekadar untuk kepuasan seksual.
Polling yang pernah dilakukan CNN Indonesia pada 2019 menegaskan hal ini. Polling yang ditujukan kepada pembaca CNN Indonesia lewat akun Twitter tersebut menanyakan alasan pembaca menggunakan situs atau aplikasi kencan online. Sebanyak 41 persen dari 343 responden mengaku memakai aplikasi kencan daring untuk mencari teman tidur. Sedang 28 persen responden memakainya untuk mencari pacar dan 13 persen secara spesifik mencari pacar WNA. Hasil polling ini memberi sedikit gambaran atas situasi kontemporer.
Ringkasnya hookup culture merujuk pada lingkungan yang terbuka pada hubungan seksual kasual yang tidak selalu mengarah ke hal lebih lanjut. Hookup culture umumnya dikaitkan dengan seksualitas remaja di Barat khususnya di lingkungan kampus di Amerika Serikat.
Istilah hookup culture banyak digunakan di Amerika Serikat setidaknya sejak tahun 2000. Istilah hookup sendiri dipandang punya definisi yang ambigu karena bisa saja merujuk pada aktivitas ciuman atau segala bentuk aktivitas seksual fisik antara pasangan seksual. Hal ini diakui Sosiolog dari Universitas La Salle, Philadelphia, Kathleen Bogle yang meneliti standar ganda yang berlaku dalam perilaku seksual.
“Hookup dapat berarti berciuman, hubungan seksual, atau bentuk interaksi seksual apapun yang umumnya dianggap berada di antara dua ekstrem tersebut.”
Meski ada perbedaan definisi, dalam konteks lanskap perguruan tinggi di Amerika Serikat, setidaknya ada 4 elemen umum yang bisa diidentifikasi dari hookup culture. Yakni kurangnya komitmen, penerimaan ambiguitas, peran alkohol, dan tekanan sosial untuk menyesuaikan diri.
Baca juga: Baca Tips Ini Sebelum Menemui Match Kamu di Dating Apps
Namun dari identifikasi ini tidak lantas bisa disimpulkan bahwa semua mahasiswa di Amerika Serikat punya pengalaman yang sama dengan fenomena ini. Meskipun tekanan sosial untuk menyesuaikan diri menjadi faktor yang membuat hookup culture dianggap sebagai kelaziman, tetapi pengalaman kuliah di Amerika serikat tidaklah monolitik. Penelitian yang dilakukan Conor Kelly menunjukkan ada sejumlah faktor yang berperan. Keragaman ras, etnis, status sosial ekonomi, jenis perguruan tinggi, dan variabel lain menciptakan pengalaman yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Untuk konteks Indonesia, media sosial dan aplikasi kencan online punya peran signifikan dalam praktik hookup culture. Media sosial dan aplikasi kencan online mempermudah seseorang menemukan partner untuk hookup. Ini terjadi baik pada relasi heteroseksual maupun LGBTQ+. Seperti bisa dilihat pada sejumlah penelitian terkait topik ini, baik berupa skripsi maupun tesis.
Kaum muda yang menjalani hookup biasanya berargumen hubungan tanpa ikatan itu menyenangkan dan memberdayakan. Perempuan yang terlibat dalam hubungan fisik dengan laki-laki mengambil alih kepemilikan atas tubuh mereka dan menantang patriarki. Dalam beberapa kasus hal ini bisa jadi benar.
Namun tak bisa dimungkiri ada juga yang keberatan dan menolak hookup culture. Keberatan ini sering kali berasal dari pandangan negatif atas seksualitas dan ketakutan terhadap seksualitas kaum muda. Hal ini membawa mereka untuk berpikir bahwa kaum muda terutama perempuan muda yang terlibat dalam hubungan seks kasual sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan menjijikkan.
Pandangan ini dikritik karena mengabaikan aspek struktural seksisme dan dinilai gagal melihat hooked culture dari kacamata feminis. Para feminis berargumen problem yang mereka lihat dalam hookup culture bukan karena ia melibatkan seks kasual, melainkan karena melibatkan seksisme. Dan seksisme ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat kita.
Para pengkritik juga berargumen hookup culture ini bisa jadi berbahaya dan bahkan antifeminis. Ini tidak terlepas dari fakta bahwa dalam hubungan seksual laki-laki masih cenderung punya kuasa yang lebih besar.
Bagaimana Pandangan Feminis?
Dewi Candraningrum, peneliti isu perempuan, kepada Konde.co mengungkapkan hookup ada di semua budaya, hanya saja kebetulan terminologinya berasal dari Barat. Hookup sendiri lahir dalam masyarakat yang punya ideologi patriarki yang kuat. Ideologi patriarki yang kuat ini punya resep terkait dengan hubungan seksual yang sifatnya rape culture, budaya perkosaan.
Budaya perkosaan merupakan lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan. Budaya perkosaan ini tercermin antara lain lewat sikap menyalahkan korban, objektifikasi seksual, meremehkan pemerkosaan, menyangkal pemerkosaan, menganggap enteng kekerasan seksual, dll.
Dewi menambahkan meskipun ada consent atau persetujuan dari si perempuan, tetapi ia melihatnya sebagai bagian dari budaya perkosaan. Ini lantaran, pertama, hubungan seksual merupakan hak setiap manusia sebagaimana dijamin dalam konvensi internasional. Kedua, menurut Dewi hubungan seksual itu menyenangkan, indah, sehat, dan bertanggung jawab. Selain itu hubungan seksual juga tidak melahirkan akibat-akibat buruk. Seperti dampak fisik misalnya kehamilan yang tidak direncanakan (KTD), dampak psikologis misalnya trauma akibat penyerangan, pelecehan atau perkosaan.
“Dalam hookup culture atau one-night stand, semua pasal-pasal itu tadi tidak terpenuhi,” tegas Dewi.
Menurutnya ini terjadi karena negosiasi relasi kuasanya tidak imbang. Posisi laki-lakinya lebih kuat daripada perempuan. Ini lantaran struktur sosial kita masih melemahkan posisi tawar seksualitas perempuan. Karena itu pleasure atau kenikmatan seksualitas atau orgasme bagi perempuan masih dipandang tabu. Bahkan perempuan tidak diberikan hak untuk merasakan kenikmatan tersebut.
Ini bisa dilihat dari masih suburnya praktik female genital mutilation/FGM atau sunat perempuan yang bertujuan untuk mengontrol seksualitas perempuan. Begitu juga dengan aturan soal baju yang mewajibkan perempuan memakai atau tidak memakai pakaian tertentu yang berujung mengontrol tubuh perempuan. Termasuk sejumlah peraturan baik di tingkat nasional maupun daerah yang mendisiplinkan seksualitas perempuan.
Baca juga: #KBGOut: Deepfake Serang Jurnalis Perempuan, Pembuat Konten Gunakan Perempuan sebagai Tools
Ia menambahkan dalam struktur masyarakat yang demikian, maka ketika perempuan terlibat dalam hookup culture ia akan dicap sebagai perempuan murahan.
“Karena dalam masyarakat patriarki, perempuan cuma ada dua, angelic atau bitch, malaikat atau jalang,” katanya.
Sementara laki-laki yang terlibat dalam relasi FWB atau ONS mendapat sebutan sebagai adventurer, petualang yang hebat.
“Tetapi pada perempuan label yang diberikan adalah murahan. Begitu seorang perempuan terlibat dalam hookup culture, dia terpeleset secara struktural dan dianggap bukan perempuan baik-baik. Jadi lebih banyak merugikan perempuan kalau dari perspektif feminis,” papar Dewi.
Menurutnya kondisinya akan berbeda kalau si perempuan itu punya kebebasan dan kemerdekaan 100% untuk menentukan pilihannya menjalani hookup culture. Apalagi dia merasa bahagia dengan pilihan dan keputusannya tersebut.
“Itu beda karena kan berarti pertama, dia menyadari hak-hak seksualitasnya. Kemudian yang kedua dia menyadari struktur sosial yang merepresi dia. Dan yang ketiga dia akan mengambil langkah-langkah dengan hati-hati ketika memasuki transaksi hookup culture,” terangnya.
Dengan kata lain dia sudah menyadari kemungkinan dirinya nanti akan mendapatkan kekerasan. Misalnya kemungkinan dia akan direkam dan/atau difoto dan disebarkan. Kemungkinan mendapatkan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau KBG fisik.
Baca juga: #911Femisida: Femisida di Kupang, Istri Dibakar Suami Akibat Cemburu Tak Beralasan
“Jadi dia sudah tahu konsekuensi-konsekuensi itu tapi basically itu sebenarnya masih merugikan perempuan,” tandasnya.
Dewi juga tidak menafikan adanya pandangan bahwa hookup culture juga bisa memberdayakan karena menantang pandangan patriarki yang menabukan seks. Menurutnya argumen tersebut sah saja. Namun yang perlu diingat struktur masyarakat kita masih timpang.
“Problem kita kan struktur tidak seperti itu ya. Struktur sosial, budaya, peraturan, kebijakan negara belum adil terhadap perempuan. Kemudian layanan korban itukan 99% korbannya perempuan. Ini enggak hanya di negara kita bahkan di negara maju yang ibaratnya sudah mengalami kemerdekaan seksualitas juga masih terjadi.” urainya.
Dewi kembali menegaskan risiko yang dihadapi perempuan ketika menjalin relasi FWB atau ONS sangatlah tinggi. Mulai dari KTD, KBG fisik dan online, trauma bahkan pembunuhan atau femisida. Ia menjelaskan sejumlah kasus femisida terjadi dalam konteks relasi yang dijalin lewat FWB atau ONS.
Menurutnya, beberapa kasus femisida yang terjadi di Indonesia itu terjadi ketika menjalin hookup culture. Jadi, perempuan memenuhi undangan atau diajak bertemu laki-laki yang masih asing atau baru dikenal. Tiba-tiba dia kemudian dipaksa berhubungan seksual. Perempuannya tidak mau karena dia ekspektasinya kenalan dulu, tapi ternyata laki-lakinya berekspektasi berhubungan seksual.
“Ketika si laki-laki menginginkan itu dan tidak dipenuhi maka dibunuhlah si perempuannya. Kasus-kasus femisida kan ada di area itu. Kekerasan bahkan femisida dalam relasi hookup terjadi karena relasi kuasa yang tidak imbang. Intensi kedua belah pihak tidak sama sehingga berakibat pada kekerasan,” pungkas Dewi.
Editor: Nurul Nur Azizah