Maria Mbati Mbana tewas mengenaskan. Ia diduga dibakar suaminya, Gabriel Sangkoen (34), seorang sopir angkutan kota (angkota) pada 27 November 2024 lalu.
Kota Kupang seperti mendung kelabu ketika peristiwa itu terjadi. Femisida atau pembunuhan pada perempuan kembali terjadi. Para aktivis juga melakukan aksi atas femisida yang kerap terjadi disana.
2 Januari 2025, kontributor Konde.co, Anna Djukana mencoba mendatangi rumah Maria Mbati Mbana. Jalanan di dalam Kota Kupang masih sepi kala itu, lengang karena masih banyak warga yang silaturahmi Natal dan Tahun Baru. Kakak Maria Mbati Mbana beserta istrinya, serta anak korban, menerima kedatangan Konde.co.
Julius (13), anak korban menuturkan, ketika peristiwa itu terjadi, ia sedang berada di luar rumah bermain dengan teman-temannya. Temannya bernama Elvan tiba-tiba memintanya pulang karena ada masalah di rumahnya. Ia langsung pulang, dan tak menyangka nasib ibunya, berakhir mengenaskan.
Sebelumnya, ibunya sering dipukul oleh ayahnya karena cemburu, kejadian itu sudah terjadi berulang kali terjadi. Saudara-saudara merekajuga sering melihatnya. Kecemburuan pelaku pada korban sangat tidak beralasan.
“Ada laki-laki lewat, mama kebetulan batuk, ayah sudah cemburu sama mama, bilang sudah panggil laki-laki. Pulang rumah langsung pukul mama. Seringkali seperti itu,” katanya.
Baca Juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir
Saudara korban juga menuturkan, jika korban dan pelaku sedang jalan bersama dan kebetulan ada laki-laki yang berpapasan dengan mereka dan ibunya batuk, ayahnya kemudian menuduh ibunya mengangguk pada laki-laki tersebut. Setiba di rumah, pasti ayahnya memukul ibunya.
Kakak kandung korban, Petrus Umbu Pajaru Ndjobu (49) membenarkan tentang kecemburuan pelaku yang membabi buta. Kepada semua laki-laki, tetangga yang maasih bersaudara, pelaku juga cemburu. Kalau ia ke rumah korban, setelah ia pulang dan suami korban (pelaku) datang dan melihat ada bekas ban motor di tempat parkir motor, pelaku langsung bertanya kepada korban, itu motor siapa?
“Yang pelaku tidak cemburu cuma saya, karena saya saudara kandung korban. Jadi kalau saya datang ada bekas ban motor, di situ pelaku bertanya kepada korban, ini siapa punya bekas ban motor,” ungkapnya dengan dialek Sumba
Kadang ada petugas koperasi datang menagih tagihan koperasi, itupun dicemburui pelaku dan menjadi alasan nya untuk menganiaya korban.
Selanjutnya, Petrus mengisahkan saatnya dirinya menikah, korban bersama pelaku dan anak-anaknya datang untuk mengikuti acara di rumah-nya. Pada saat itu, terjadi pertengkaran antara pelaku dan korban sehingga sebagai kakak ia menasehati mereka berdua. Malam itu, korban tidak pulang.
Keesokan harinya, saat tenda untuk acara pernikahan dibuka, pelaku menganiaya korban hingga babak-belur. Pelaku memukul korban sampai kepalanya ke bawah. Sebagai kakak, ia sangat marah dan mengejar pelaku.
Baca Juga: ‘Nyala untuk Nia’: Solidaritas Perempuan untuk Stop Femisida
Menurut Petrus, kalau adat Sumba, suami tidak boleh memukul istri di depan saudara laki-lakinya, karena akan didenda adat. Saat itu, Petrus membawa denda adat ke keluarga pelaku, sehingga mereka membayar denda adat. Tujuannya memberikan efek jera kepada pelaku supaya ia bertobat dan tidak mengulangi lagi perbuatannya memukul isteri.
Sebagai kakak dari korban, ia sangat tahu kondisi ekonomi keluarga adiknya yang sulit sehingga ia tidak ingin menyusahkan nya, tetapi langkah denda adat yang diambil semata-mata untuk memberikan efek jera.
Sejak saat itu, Petrus memang tidak pernah mendengarkan ada keributan lagi dimana pelaku tidak pernah lagi memukuli korban. Ia menanyakan kepada korban apakah dirinya pernah dipukul lagi oleh pelaku, korban mengatakan jika ia tidak pernah lagi mendapat kekerasan dari pelaku.
Hingga di tahun 2024, pada bulan Juni, Petrus mendengar jika korban kembali dipukul pelaku hingga babak belur, mukanya bengkak. Petrus sangat marah sehingga memanggil saudara dari pelaku untuk mengurus persoalan tersebut.
Sebulan kemudian, kembali pelaku memukul korban hingga muka dan kepalanya bengkak-bengkak. Sebagai kakak, Petrus tidak bisa lagi menerima perlakuan pelaku terhadap korban. Ia kemudian melaporkan pelaku ke Kepolisian Sektor (Polsek) Maulafa, Kota Kupang. Di sel Tahanan Polsek Maulafa, pelaku ditahan semalam.
Baca Juga: Perang Gender dan Misogini: Alasan Perempuan Korea Tolak Menikah dan Punya Anak
Namun keesokan harinya atas permintaan korban, pelaku dikeluarkan.
Tak lama keluar dari tahanan, pelaku kembali memukul korban kembali sampai korban dan kedua anaknya melarikan diri berlindung di rumahnya. Beberapa hari kemudian pelaku datang menjemput istri dan anaknya dan meminta maaf kepada korban dan keluarga. Jadi, kejadian kekerasan dan permintaan maaf ini sudah terjadi berulang kali.
Terakhir, ada kejadian lagi di tanggal 27 November 2004 saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Korban ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos. Di TPS, korban bertemu dengan penjual ikan dan membayar uang ikan seharga Rp 20.000. Sebelumnya, di rumah, korban membeli ikan Rp 20.000 dan membayar dengan uang Rp 100.000. Hanya saja penjual ikan tersebut tidak mempunyai uang kembalian. Penjual ikan mengatakan, nanti bisa membayar lagi saat ke TPS untuk mencoblos, atau kalau tidak bisa juga membayar besok harinya.
Melihat korban memberikan uang kepada penjual ikan, pelaku langsung bertanya kepada korban, uang apa itu? Korban menjelaskan, ia membayar uang ikan karena saat tadi pagi membeli ikan, membayar penjual ikan tidak mempunyai uang kembalian. Saat itu-pun pelaku langsung memukul korban dan memaksa korban pulang ke rumah bersama-samanya mengendarai motor. Di atas motor, pelaku menyikut tubuh korban dengan keras, lalu pelaku memberhentikan motornya dan menganiaya korban dalam perjalanan pulang.
Baca Juga: Deretan Pembunuhan Perempuan, Jakarta Feminist Minta Pemerintah Selesaikan Femisida
Tak puas menganiaya sepanjang perjalanan, tiba di rumah, pelaku memukul, menendang tubuh korban, menjatuhkan korban dan menginjak batang leher korban. Saat korban sekarat, puncaknya, pelaku kemudian menyiram minyak tanah pada tubuh korban dan membakar korban.
Petrus mengaku sekitar pukul 16.00 Wita, ia mendapat telepon dari Agustinus, kakak pelaku yang memintanya datang karena pelaku membakar korban. Petrus pun langsung ke rumah korban. Setiba di rumah korban, korban sudah tidak ada karena dilarikan ke rumah sakit. Di rumah korban, Petrus mendapati bekas sofa yang terbakar.
Petrus dan istrinya tidak mendapatkan kabar ketika korban dibawa ke rumah sakit mana, sehingga ia sempat ke RS Bhayangkara. Di sana polisi menginformasikan kepadanya kalau korban dibawa ke RSUD WZ Yohanes Kupang. Pelaku sempat mengantar korban ke rumah sakit dan saat itulah polisi menangkap pelaku.
Korban sempat dirawat di IGD sebelum dibawa ke ICU, luka bakar korban di sekujur tubuh dengan prosentase 85 persen.
Baca Juga: Viral Suami Pelaku KDRT dan Bunuh 4 Anak Kandung, Apa Hukuman Yang Tepat?
Dirawat beberapa hari di ICU, korban kemudian meninggal, pergi untuk selama-lamanya.
“Dia sudah pergi, adik saya satu-satunya,” kata Petrus berlinang air mata dengan suara serak terbata-bata dan terdiam untuk beberapa saat.
Menurut Emi, Marlon melihat kejadian ayahnya yang membakar ibunya, lalu ia memanggil tetangga yang sebagian besar adalah keluarga ayahnya untuk menolong korban.
Saudara sepupu korban, Peter Mehang yang dihubungi saat itu juga menuturkan kejadian tanggal 27 November 2025 tersebut. Saat kejadian ia dan istrinya tidak berada di rumahnya di Kelurahan Tofa, Kecamatan Maulafa, karena sementara berada di rumah kakaknya di Oesapa. Sekitar pukul 16.30 Wita, ia ditelepon saudara laki laki korban Petrus Pajaru meminta untuk ke BTN Kolhua, tempat kejadian perkara (TKP) karena pelaku membakar korban. Peter Mahang segera mematikan HP setelah mendapat kabar tersebut dan mengajak istrinya dengan motor ke sana dan melarikan motornya dengan kecepatan tinggi.
Setiba di TKP, rumah korban sudah banyak orang. Peter langsung menanyakan korban dan pelaku. Mereka memberi informasi kalau korban sudah dilarikan ke rumah sakit. Saat ia akan menstarter motornya untuk berangkat ke rumah sakit. Peter langsung ke IGD dan mendapati pelaku sementara menjelaskan ke dokter kalau istrinya adalah korban dari kompor yang meledak saat memasak mie.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian
Peter ke ruang tindakan IGD melihat korban. Melihat kondisi korban, dirinya tidak kuat sehingga keluar dari ruang tindakan. Saat itulah, ia melihat dua orang anggota Polsek Maulafa menangkap pelaku dan menaikkannya ke mobil polisi. Peter tetap berada di RS.
Setelah dilakukan tindakan medis terhadap korban, dokter memvonis korban mengalami luka bakar sekitar 85 persen. Sekitar pukul 19.00 Wita, Peter ke Polresta Kupang Kota untuk memberikan laporan di Bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Setelah membuat laporan kembali ke RS dan melihat korban sudah dirawat intensif di ruangan ICU. Esok harinya, Kapolresta Kupang Kota menjenguk korban yang dirawat d ICU.
Korban dirawat di ruang ICU selama 4 hari yaitu dari tanggal 27 November 2024 pukul 18.00 Wita sampai tanggal 1 Desember 2024 pukul 13.13 Wita, dokter mengatakan kalau korban sudah meninggal dunia.
Selanjutnya jenazah dibawa ke Rumah Sakit Internasional dr.Ben Mboi untuk dilakukan otopsi dari pukul 18.00-22.30 Wita. Setelah jenazah diotopsi, dibawa ke rumah Petrus Pajaru untuk disemayamkan. Pada hari Selasa, 3 Desember 2025 jenazah dimakamkan di TPU Damai.
Baca Juga: Femisida Ada di Sekitar Kita: 5 Perempuan Dibunuh Tiap Jam
Petrus menjelaskan, perkenalan korban dan pelaku dulu terjadi saat keduanya merantau di Denpasar, Bali 2012.
Korban saat itu bekerja di sebuah salon. Korban dan pelaku sempat tinggal di kampung halaman Sumba Timur selama satu tahun yakni 2013 mereka , dan tahun 2014 kemudian pindah ke Kupang.
Di Kupang, mereka tinggal bersama Petrus di Kuanino beberapa waktu. Setelah itu, Petrus meminta pelaku dan korban mencari indekos (kost) karena mereka sudah mempunyai anak. Mereka akhirnya mendapat tempat kost di Kelurahan Naikolan, dan Petrus juga membantu mengisi perabot di kost tersebut.
Di Naikolan, mereka tinggal selama tiga tahun dan pelaku tidak pernah memukul korban. Saat mereka tinggal di Perumahan BTN itulah, pelaku mulai memukul korban.
“Mereka hidup bersama baru urusan adat belum nikah secara gereja. Rencana tahun 2024 itu mereka akan nikah gereja,” kata Petrus dengan suara perlahan sambil menundukkan kepala.
Baca Juga: Femisida Terjadi Karena Pelaku Merasa Superior dan Misogini Terhadap Perempuan
Petrus menambahkan setelah kejadian adiknya dibakar, Petrus langsung membawa kedua keponakannya itu untuk tinggal bersamanya sebagai tanggung jawabnya.
Petrus berharap korban dan anak-anaknya mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang adil dan transparan terhadap pelaku. Kalau bisa, pelaku dihukum seumur hidup karena perbuatannya keji tidak menghargai nyawa manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Mulia.
“Anak kedua trauma kalau melihat api.”
Psikolog yang disiapkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pemerintah Kota Kupang menyarankan agar kedua anak korban jangan dibiarkan sendiri dan tidak boleh memperlakukan mereka dengan kasar.
Proses Hukum Berlanjut
Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota, AKP Marselus Yugo Amboro, SIK saat dihubungi wartawan Selasa (7/1) mengatakan berkas perkara tersangka Gabriel Sengkoen sudah dikirim ke Kejaksaan Negeri Kupang pada Desember 2024 lalu.
Namun dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengembalikan berkas perkara tersebut ke penyidik Polresta Kupang Kota untuk diperbaiki. Ketika ditanya apa saja petunjuk jaksa, ia mengemukakan hal itu dalam proses, sehingga belum bisa dipublikasi.
Dikatakannya, tersangka dikenakan Pasal 187 dan 354 KUHP dan penambahan pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Belum efektif.”
Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, SH menyatakan, terkait efektif nya sosialisasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ PKDRT dan femisida, kepada masyarakat, ia menegaskan walaupun UU PKDRT usianya sudah 20 tahun lebih sejak tahun 2004 sampai sekarang, tetapi dipastikan belum semua warga Negara Indonesia mengenal, mengetahui UU PKDRT apalagi yang berada di remote area khususnya daerah pedalaman, pedesaan.
Baca Juga: Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’: Perjuangan Perempuan Terbentur, Terbentuk, dan Bebas dari Belenggu KDRT
Menurutnya, untuk NTT belum semua terpapar dengan UU PKDRT. Kalaupun ada generasi yang pernah mendengar UU PKDRT tidak otomatis mereka akan melanjutkan atau menyampaikan kepada generasi berikut.
“Jadi untuk kerja sosialisasi dan pendidikan harus kerja bersama dan lintas sektor yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, NGO. Jadi di NTT sosialisasi, pendidikan belum maksimal. Semua stakeholder terkait dan dunia pendidikan, harus dilibatkan. Metode-metode terus bekermbang baik dalam konteks offline dan on line tetapi belum menjangkau semua pihak dalam konteks korban perempuan dan anak serta kelompok rentan. Apalagi femisida adalah bentuk tertinggi dari kekerasan terhadap perempuan, puncak dari kekerasan terhadap perempuan.”
Femisida adalah pembunuhan terhadap seorang perempuan karena mereka perempuan. alam kultur patriarki belum banyak diketahui penyebabnya karena regulasi belum ada yang mengatur tentang femisida. Femisida yang terjadi di rumah selalu dikaitkan dengan KDRT karena dalam fakta atau prakteknya diawali dengan kekerasan baik di dalam rumah atau di luar rumah, terhadap orang di dalam rumah atau di luar rumah tangga seperti relasi pacaran, atau faktor-faktor lain di kantor-kantor karena relasi pekerjaan dan berakhir dengan femisida.
Baca Juga: Sensasionalisme Media Ikut Mereviktimisasi Artis Korban KDRT
Ansy Damaris menjelaskan, tantangan dalam pendampingan selain femisida belum dikenal luas, masyarakat memahami selama ini jika terjadi KDRT masih dilihat sebagai hal yang tabu atau membuka aib keluarga kalau korban speak up.
“Secara kultur kita ada dalam kultur patriarki yang belum bisa menjamin perempuan, anak dan kelompok rentan tidak mengalami KDRT,” katanya dan menambahkan dalam konteks penanganan KDRT selama ini UU PKDRT tidak sempurna itu masih ada bolong-bolongnya masih banyak yang harus diperbaiki apalagi UU PKDRT belum ada aturan turunannya.
Contohnya pasal 16 UU PKDRT yakni perintah perlindungan terhadap korban itu belum ada turunannya sehingga implementasinya menyulitkan aparat penegak hukum kepolisian baik diproses penyelidikan maupun penyidikan sehingga banyak korban KDRT yang menarik laporan, dan itu menjadi sesuatu yang sangat mengganggu kerja-kerja aparat penegak hukum khususnya kepolisian.
Selain itu katanya perempuan yang melaporkan KDRT terhadap dirinya telah mendapatkan kekerasan berkali-kali dan juga kekerasan berlapis. Dalam konteks penanganannya, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai korban sebagaimana amanat UU PKDRT. Selain itu, prosesnya cukup lama dan tidak mendapat dukungan support system dari keluarga dan lingkungannya.
Baca Juga: ‘Paya Nie’: Belenggu Patriarki Perempuan Aceh Di Masa Konflik
Menurut dia, femisida belum terlalu dikenal tetapi ketika femisida itu terjadi, awalnya saja orang euphoria tetapi tidak mampu mengawal sampai proses selesai bahkan sering menyalahkan korban. Sebagai misal dalam advokasi bersama kasus Mama Mey yang dianiaya suaminya hingga meninggal. Semangat di awal saja dalam perjalanan kendor.
Selanjutnya Ansy menyimpulkan tantangan pendampingan kasus KDRT dan femisida yakni negara sudah hadir melalui UU PKDRT tetapi itu saja belum cukup karena UU PKDRT itu mengandung kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki.
Dari segi aparat penegak hukum masih banyak yang bias dan belum memiliki perspektif korban. Misalnya pemahaman antara kepolisian, kejaksaan dan hakim. Jadi dalam pengalaman kasusnya sering bolak-balik kejaksaan sehingga penanganan kasusnya menjadi lama.
Femisida ujar Ansy latar belakangnya KDRT, tetapi juga di luar KDRT seperti relasi personal, relasi dalam konteks pacaran kemudian dalam relasi kerja begitu. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang memiliki background ketidakadilan gender.
Baca Juga: Viral Influencer Alami KDRT, Sulitnya Perempuan Korban Lepas dari Belenggu Kekerasan
Ada konteks pembunuhan terhadap perempuan karena ada ketidakadilan gender yang dilahirkan atau berakar dari kultur patriarki yang disebut misogini. Misogini adalah kebencian terhadap perempuan karena gendernya dan dilatarbelakangi oleh ketidakadilan gender dan membenci karena perempuan itu sendiri.
Femisida tegasnya adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan karena perempuan sampai meninggal. Sebelum meninggal ada proses panjang korban mengalami siklus kekerasan itu.
Sementara itu, dosen Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Dr. Juliana Ndolu, SH, M. Hum menjelaskan bagaimana feminis legal teory melihat teks hukum positif UU PKDRT, pertama konteks sosial dan historis, UU PKDRT lahir dari kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan berbasis gender, yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum karena dianggap sebagai masalah privat. Teori hukum feminis menekankan pentingnya KDRT sebagai isu domestik dibawah ke ranah publik.
Kedua lanjut mantan Direktur Rumah Perempuan Kupang ini, isi UU PKDRT menegaskan tentang pengakuan atas berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Dalam UU PKDRT mengakui berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan, melampaui kekerasan fisik.
Baca Juga: Mengapa Influencer Kerap Sembunyikan Derita KDRT Demi Citra Bahagia Mereka?
UU PKDRT memberikan perlindungan kepada korban dengan memprioritaskan kebutuhan korban, cukup holistik dari aspek hukum, medis dan psikologis.
Kritiknya menurut Juliana implementasi seringkali lemah. Hal ini disebabkan oleh bias gender di lembaga penegak hukum, kurangnya pemahaman aparat dan budaya patriarkhi yang masih dominan.
Selain itu, aksesibilitas hukum banyak perempuan korban KDRT kesulitan mengakses keadilan karena faktor ekonomi, stigma sosial dan kurangnya dukungan. Kritik lainnya yakni UU PKDRT masih kurang dalam memperkuat pemberdayaan perempuan secara struktural. Misalnya pemberian sanksi kepada pelaku tidak selalu diimbagi dengan upaya rehabilitasi atau transformasi hubungan gender dalam rumah tangga.
Ia melihat penyebab femisida KDRT dalam konteks NTT yakni kultur patriarki dan relasi kuasa gender, dominasi laki-laki dalam rumah tangga, laki-laki pemegang otoritas utama berhak mengontrol istri termasuk melakukan kekerasan. Masih banyak masyarakat memandang KDRT adalah urusan domestik dan bukan pelanggaran yang serius.
Norma budaya dan praktis adat seperti belis menurut Juliana yang menempatkan perempuan sebagai “milik” laki-laki, stigma perceraian yang memberatkan perempuan sehingga perempuan sulit keluar dari lingkaran kekerasan untuk mencari perlindungan, penyelesaian KDRT melalui mekanisme adat tanpa adanya mekanisme kontrol paksa penyelesaian adat berimplikasi pada pelaku yang merasa tidak menghadapi konsekuensi yang serius.
Baca Juga: Jika Korban KDRT di Pernikahan Siri Menggugat, Bisakah Pelaku Dijerat Hukuman?
Selanjutnya Juliana mengemukakan masih banyak masyarakat yang memandang KDRT sebagai urusan privat sehingga enggan untuk memberikan pertolongan pada korban, salah satu penyebabnya karena rendahnya pemahaman tentang hak-hak perempuan, hak korban dan kewajiban untuk membantu korban.
Faktor kemiskinan juga menjadi penyebab femisida KDRT yang menyebabkan tekanan ekonomi, mudah stress, ketergantungan ekonomi pada pasangan, minimnya akses keadilan dan perlindungan termasuk bias pada penegak hukum yang menganggap KDRT “wajar” tidak ditangani secara serius. Proses penyelesaian KDRT melalui perdamaian belum diikuti dengan membangun mekanisme kontrol yang melibatkan pemerintah desa, tokoh agama untuk memastikan kekerasan tidak berulang.
“Yang tak kalah penting yakni minuman keras (miras) ujarnya sebagai salah satu penyebab. Konsumsi alkohol pemicu perilaku agresif. Selama ini ada pandangan miras berhubungan dengan konsep keperkasaan dan maskulinitas.”
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT dalam Data Statistik DP3A Provinsi NTT memaparkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2023 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 1000 kasus, kekerasan seksual 500 kasus eksploitasi seksual 100 kasus.
Baca Juga: Artis Perempuan Kena KDRT: 5 Hal Yang Bisa Kamu Lakukan Jika Temanmu Jadi Korban KDRT
Rumah Harapan (RH) Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sepanjang tahun 2023 telah mendampingi 198 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), 60 kasus KBG yakni 18 kasus KDRT 27 kasus kekerasan terhadap anak, 15 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa di luar KDRT, Sembilan (9) kasus perdagangan orang dan 120 jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT.
KBG juga didampingi oleh Lembaga Penyedia Layanan lainnya seperti Rumah Perempuan, LBH APIK NTT.
Tahun 2024 dalam waktu yang berdekatan di Kota Kupang terdapat dua orang perempuan menjadi korban KDRT yang menyebabkan kematian. Selain kasus Maria Mbati Bana, kasus lainnya yang menjadi trending topic dan viral. salah satu menimpa Mama Mey Agustus 2024, seorang PNS yang disiksa dan dianiaya suaminya menyebabkan tewas.
Artikel ini termasuk dalam serial liputan #911 Femisida yang menjadi bagian dari kampanye Konde.co menyuarakan pemberantasan femisida yang menjadi masalah sistemik Negara.