Poster 'The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim' (sumber foto: Instagram @emaginetheatres)

The Lord of The Rings: The War of the Rohirrim, Cerita Perempuan Keluar Dari Lingkaran Patriarki Kerajaan

“The Lord of The Rings: The War of the Rohirrim” adalah film berperspektif feminis. Perempuan memperjuangkan dirinya keluar dari lingkaran patriarki, cerita khas yang terjadi dalam kerajaan.

Hera (Gaia Wise) tak pernah menyangka bahwa penolakannya atas lamaran dari pangeran Wulf (Luke Pasqualino) dari Kerajaan Dunlending, akan berakibat pertumpahan darah 2 kerajaan. Premis ini membawa kita menyusuri kisah dalam film ‘The Lord of the Rings: the War of the Rohirrim‘.

Suatu hari, Wulf bersama ayahnya, tiba-tiba datang ke Kerajaan Rohan untuk meminang putri Rohan yang bernama Hera sebagai pengantin. Dalihnya, pernikahan ini bisa menyatukan 2 kerajaan, Rohan dan Dunlending. Padahal di situlah titik pertempuran dimulai.

Ayah Hera yang merupakan Raja kerajaan Rohan, Helm Hammerhand (Brian Cox) menolak pinangan Wulf. Pasalnya, ia melihat Wulf dan ayahnya hanya ingin berkuasa. Pinangan terhadap Hera hanya sebagai dalih untuk berkuasa dan menjadikan Hera sebagai objek kekuasaan.

Film ‘The Lord of The Rings: The War of the Rohirrim’, merupakan film feminis. Film ini menunjukkan situasi di masa itu ketika perempuan hanya dijadikan obyek pertukaran bagi kerajaan dengan dalih persatuan. Perempuan juga cuma jadi objek dalam sebuah kekuasaan.

Tak terjadi persamaan pendapat, kedua kerajaan tersebut akhirnya berperang. Ayah Wulf lalu kalah, mati mendadak. Perang 2 kerajaaan pun dimulai.

Baca Juga: Tahun Baru Anti Horor, 5 Film Perempuan Ini Tayang di Januari 2025

Cerita dalam film ini kemudian berfokus pada kehidupan dan masa pertumpahan darah dari salah satu tokoh legendaris di Middle-earth, King of Rohan. Yaitu Helm Hammerhand melawan Wulf. Serta perjuangan Hera sebagai perempuan untuk menyelamatkan kerajaan Rohan.

Film ini juga merupakan film sekuel The Lord of the Rings. Berlatar 183 tahun sebelum peristiwa yang diceritakan dalam trilogi film aslinya. “The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim” menceritakan nasib Wangsa Helm Hammerhand, Raja Rohan yang legendaris. Serangan mendadak oleh Wulf, seorang penguasa Dunlending yang cerdik dan kejam yang ingin membalas dendam atas kematian ayahnya, memaksa Helm dan orang-orangnya untuk melakukan perlawanan terakhir yang berani di benteng kuno Hornburg—benteng perkasa yang kemudian dikenal sebagai Helm’s Deep. Hera, putri Helm, menemukan dirinya dalam situasi yang semakin putus asa. Dia harus mengumpulkan tekad untuk memimpin perlawanan terhadap musuh yang mematikan yang ingin menghancurkan masa depan Kerajaan Rohan.

Raja Helm Hammerhead dan pasukannya selanjutnya menghadapi serangan mendadak oleh Wulf (Luke Pasqualino).

Kekalahan ayah Wulf membuat Wulf harus pergi dari kerajaannya. Ia merasa dibuang dan kalah. Di tempat pengasingannya, ternyata Wulf menghimpun kekuatan untuk membalas dendam. Wulf merupakan seorang penguasa cerdas dan kejam asal Dunlending. Ia memiliki niat besar untuk membalas dendam, juga karena lamarannya ditolak Hera.

Hera dan Wulf sebenarnya merupakan teman semasa kecil, mereka anak-anak raja yang saling bertetangga. Serangan tersebut mengharuskan sang raja dan pasukannya membentuk siasat pertahanan terakhir dengan membangun sebuah benteng kokoh di wilayah Hornburg. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai Helm’s Deep di trilogi The Lord of the Rings.

Situasi ini memaksa Hera, putri dari sang raja, untuk mengambil alih kepemimpinan pasukan Rohan untuk bertahan dari serangan berbahaya musuh yang ingin menghancurkan mereka.

Baca Juga: Film ‘Mary’: Tuai Kritik Atas Pemilihan Aktris dan Perspektif Sejarah yang Dipakai

Hera sendiri hidup di masa dimana haknya sebagai perempuan harus diperjuangkan. Ayahnya hanya percaya pada 2 saudara laki-lakinya, sedangkan Hera yang perempuan,  tak boleh keluar rumah, hanya laki-laki yang boleh berperang.

Situs hiburan screenrant.com menulis War of the Rohirrim membuat perubahan menjadi film feminis. Hera yang seorang perempuan kemudian dipaksa untuk menduduki posisi kepemimpinan. Ia juga meminta bantuan dari suku pejuang yang semuanya perempuan. Ini mengubah kisah Lord of the Rings menjadi jenis cerita feminis yang dibutuhkan saat ini.

Situs tersebut juga menulis, bahwa penokohan Hèra bukanlah upaya pertama Hollywood untuk memberikan karakter perempuan untuk peran yang lebih menonjol dalam The Lord of the Rings. Trilogi film Peter Jackson menjadikan Arwen fitur yang jauh lebih kuat dari cerita tersebut, menjadikannya bagian dari penyelamatan Frodo ketika dia bahkan tidak memiliki dialog dalam buku-buku Tolkien. Kemudian, Prime Videos The Lord of the Rings: The Rings of Power telah membuat Galadrial jauh lebih seperti prajurit daripada yang biasanya digambarkan di masa lalu. Ini merupakan perubahan yang agak kontroversial. Sementara Tolkien pernah menggambarkan Galadriel sebagai “orang Amazon” di Zaman Pertama, Amazon telah dituduh melakukan ini terlalu jauh untuk menjilat.

Baca Juga: Film ‘Kaka Boss’: Upaya Mendobrak Stereotipe Orang Timur

Film animasi sekuel ini disutradarai oleh Kenji Kamiyama. Sementara itu, skenarionya ditulis oleh Phoebe Gittins dan Arty Papageorgiou berdasarkan naskah dari Jeffrey Addis dan Will Mathews dan diproduksi Warner Bros dan Line Cinema diputar pada Desember 2024 di Indonesia.

Film animasi ‘The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim‘ akan diisi sederet aktor dan aktris Hollywood.

Pengisi suara film animasi ini antara lain, Lorraine Ashbourne, Yazdan Qafouri, Benjamin Wainwright, Laurence Ubong Williams, Brian Cox, Gaia Wise, Miranda Otto, serta Luke Pasqualino. Selain itu, Shaun Dooley, Michael Wildman, Jude Akuwudike, Bilal Hasna, dan Janine Duvitski juga terlibat untuk menjadi pengisi suara. Aktris Miranda Otto akan kembali mengambil alih peran Eowyn sebagai pengisi suara. Ia juga sekaligus menjadi narator dalam film ‘The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim‘.

(sumber foto: Instagram @emaginetheatres)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!