Squid Game S2 (sumber foto: Instagram @squidgamenetflix)

K-Power: ‘Squid Game S2’ dan Suksesnya Pemasaran Budaya Korea Selatan

Serial 'Squid Game S2' yang populer menjadi tongkat maraton kesuksesan pemasaran budaya Korea Selatan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Musim pertama Squid Game, drama distopia Netflix tentang bahaya kapitalisme dan kesenjangan kekayaan yang ekstrem di Korea Selatan, sukses besar. Lanjutan serial hit ini, yang telah dinanti-nantikan sejak beberapa tahun terakhir, tampaknya juga tidak mengecewakan.

Dengan 68 juta penayangan di minggu pertamanya, serial Squid Game melesat ke puncak sepuluh besar global dan menduduki peringkat pertama di 92 negara. Serial ini menerima nominasi Golden Globe bahkan sebelum dirilis pada 26 Desember 2024. Fenomena budaya “gelombang Korea”, atau Hallyu, terus berlanjut.

Selain Squid Game, rekam jejak kesuksesan gelombang Korea sebelumnya secara beruntutan ditorehkan film Parasite karya Bong Joon-ho tahun 2019. Film tentang keserakahan dan diskriminasi kelas ini menjadi film berbahasa asing pertama yang memenangkan Oscar untuk kategori film terbaik. Ada juga grup vokal pria K-Pop BTS, yang dianggap oleh sebagian orang sebagai band terbesar di dunia, menyumbang sekitar US$3.7 miliar (sekitar Rp60.3 triliun) setiap tahun bagi ekonomi Korea Selatan dalam bentuk ekspor, konsumsi, dan pariwisata.

Baca Juga: Retorika Antifeminis Presiden Korea Selatan: Bagaimana Yoon Suk Yeol Perkuat Patriarki di Negaranya

Dampak ekonomi semacam ini bukan kebetulan. Ini sebagian disebabkan oleh kebijakan pemerintah tahun 1993 yang secara khusus didedikasikan untuk meningkatkan posisi global Korea Selatan dengan mengekspor produk budaya. Idenya adalah untuk meningkatkan “soft power (kekuatan lunak)” negara tersebut dengan menjadi eksportir hiburan internasional utama.

Sebelumnya, ekonomi Korea Selatan tumbuh pesat selama tahun 1960-an dan 1970-an di bawah strategi berorientasi ekspor yang dipimpin oleh konglomerat besar yang dikelola keluarga—dikenal sebagai jaebol. Selama beberapa dekade, ekspor negara tersebut didominasi oleh semikonduktor, mobil, hingga barang elektronik konsumen dari perusahaan-perusahaan seperti Hyundai, LG, dan Samsung.

Meningkatnya ekspor budaya dimulai pada akhir tahun 1990-an, ketika drama Korea awalnya dinikmati di Cina dan kemudian di negara-negara tetangga lainnya. Tiga puluh tahun kemudian, ketertarikan terhadap budaya populer Korea meluas ke film, animasi, dan musik pop.

Fenomena ini tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Menurut salah satu eksekutif Disney, studio-studio Barat sangat ingin mendapatkan keuntungan dari “demam emas” konten Korea Selatan. Netflix sendiri berinvestasi sebesar US$2.5 miliar (setara Rp40.7 triliun) di sektor hiburan negara tersebut.

Baca Juga: Bukan Cuma Nostalgia: Welcome Back 2NE1, ‘Ratu K-Pop’ yang Gebrak Standar Kecantikan Korea!

Pengaruh Korea Selatan juga melebar ke bidang kecantikan dan kuliner. Turis internasional bepergian ke Myeong-dong, distrik perbelanjaan utama Seoul. Hanya untuk membeli kosmetik dalam jumlah besar dari gerai seperti Olive Young dan Face Shop. Tak heran, pasar kecantikan global Korea diproyeksikan mencapai US$18 miliar (sekitar Rp 293.5 triliun) pada tahun 2030.

Makanan Korea seperti kimchi—hidangan sayuran yang difermentasi—disebut sebagai “favorit baru” para pencinta kuliner. Pasalnya, restoran Korea semakin banyak dibuka di kota-kota besar di seluruh dunia.

Secara keseluruhan, peningkatan kehadiran budaya global Korea Selatan telah memberikan dampak ekonomi yang besar. Pada tahun 2023, ekspor konten dan produk terkait Hallyu berjumlah sekitar US$14 miliar (sekitar Rp228.3 triliun).

Hallyu juga memengaruhi persepsi orang. Menurut penelitian, orang yang mengonsumsi budaya populer Korea cenderung memiliki citra positif terhadap negara tersebut dan lebih cenderung mengunjunginya. Sebuah studi terpisah menunjukkan bagaimana konsumsi ini mengurangi kesenjangan budaya dan meningkatkan rasa keakraban dengan Korea Selatan.

‘K-power’

Sebagian besar kesuksesan Hallyu didorong oleh platform daring yang menyediakan infrastruktur untuk interaksi sosial dan meningkatkan konektivitas.

Siapa yang bisa melupakan sensasi video musik Gangnam Style pada tahun 2012 yang menjadi sensasi video musik pertama—bahkan jadi konten pertama di YouTube—yang mencapai 1 miliar penayangan. BTS juga memecahkan rekor mereka sendiri ketika rilisan mereka tahun 2021, Butter, ditonton 108 juta kali hanya dalam 24 jam.

Baru-baru ini, lagu APT tahun 2024 dari penyanyi Korea Selatan Rosé dan penyanyi-penulis lagu Amerika Bruno Mars, yang terinspirasi oleh budaya minum Korea, telah diputar lebih dari 823 juta kali.

Baca Juga: Korean Wave Menggebrak Kecantikan Korea atau Ini Bentuk Kapitalisme Baru?

Penelitian saya dan rekan saya menunjukkan bahwa konsumsi daring produk budaya populer Korea, melalui “perilaku berkelompok”—fenomena sosial meniru orang lain—memiliki dampak positif pada pariwisata Korea Selatan.

Namun, budaya Korea modern tidak hanya untuk penonton asing. Budaya ini digambarkan sebagai “sumber kebanggaan dan kepercayaan diri bagi warga Korea Selatan”. Bahkan dimasukkan ke dalam unjuk rasa baru-baru ini yang menuntut pencopotan presiden negara itu, Yoon Suk Yeol. Panitia memutar lagu-lagu K-pop sementara para demonstran melambaikan lightstick K-pop, mengubah demonstrasi menjadi demonstrasi musik warna-warni.

Hallyu, yang awalnya merupakan taktik untuk mendapatkan kekuatan lunak dan pengaruh ekonomi, kini digunakan sebagai alat protes politik. Namun, Hallyu juga telah meraih keberhasilan luar biasa dalam tujuan awalnya, yaitu memperkenalkan budaya negara Asia kecil kepada khalayak global.

Kebijakan strategis, dipadukan dengan penggunaan platform digital yang inovatif dan kreativitas berkelanjutan, telah mengubah budaya Korea Selatan menjadi fenomena yang menguntungkan perekonomian negara, pariwisata, dan pengaruh internasional—sekaligus mengamankan posisi Korea Selatan sebagai pusat budaya.

(sumber foto: Instagram @squidgamenetflix)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Sameer Hosany

Professor of Marketing, Royal Holloway University of London
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!