Pekerja Magang Di Kedubes Alami Pelecehan Seksual, Lapor Polisi Kasusnya Malah Dihentikan

Seorang pekerja magang di sebuah kantor kedutaan besar di Indonesia mengalami pelecehan seksual. Saat lapor ke polisi dibilang tidak ada peristiwa pidana, dan penyelidikan kasusnya dihentikan. Korban kembali mengalami ketidakadilan karena penyidik tak punya perspektif gender.

Peringatan pemicu: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.

Seorang perempuan pekerja magang, sebut saja namanya Mitra, mengalami serangkaian pelecehan seksual fisik oleh terduga pelaku, yang merupakan atasannya. 

Pelecehan seksual terjadi saat Mitra magang kerja di sebuah kantor kedutaan besar yang berada di Indonesia. Mitra adalah salah satu staf magang yang bekerja di sebuah perusahaan yang berada di bawah kedutaan besar tersebut.

Mitra mengalami serangkaian peristiwa pelecehan seksual sepanjang Maret 2019. Kejadian pertama terjadi pada 12 Maret 2019, saat itu Mitra baru saja keluar dari toilet, tiba-tiba terduga pelaku menghampirinya dan menyentuh bagian payudaranya. Mitra kaget, ia sangat syok hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Mitra lalu masuk kembali ke bilik toilet perempuan dan menangis di sana.

Kejadian kedua terjadi sekitar 3 hari kemudian, yaitu 15 Maret 2019. Siang ketika istirahat makan sekitar jam 12, Mitra makan siang lebih awal. Saat itu terduga pelaku datang menghampiri Mitra lalu menarik rok Mitra ke bawah hingga ke bagian lutut. Mitra lalu menghardik terduga pelaku. 

Namun terduga pelaku malah mengelus kepala dan rambut mitra sambil berkata, “Kamu manis.”

Setelah kejadian itu, Mitra cepat keluar dari pantry. Ia lantas menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya kepada rekan kerjanya. 

Keesokan harinya terduga pelaku kembali melakukan pelecehan seksual secara fisik terhadap Mitra. Saat itu mitra berada di ruang dekat mesin fotokopi. Ia sedang membereskan kertas-kertas lalu ada kertas yang terjatuh.

Tiba-tiba dari belakang terduga pelaku menghampiri Mitra sambil berbisik dekat sekali ke wajah Mitra, “Belahan rokmu terlalu tinggi.” Sembari menyentuh bagian paha Mitra.

Baca juga: Kekerasan Seksual Di Depok: Terduga Pelakunya Anggota DPRD, Aktivis Desak Pencopotan

Sesudah kejadian tersebut, Mitra butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian dan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Mengingat posisinya saat itu sebagai pekerja magang, sementara terduga pelaku merupakan atasan kerjanya. 

Setelah punya keberanian, Mitra melaporkan kejadian yang dialaminya kepada direktur dan HRD (Human Resources Development) pada Januari 2021. Laporan itu ditindaklanjuti oleh manajemen. 

Pada 3 Februari 2021 Mitra diundang rapat dengan direktur bisnis, HRD dan direktur umum untuk membahas penanganan kasus terkait penyelesaian di internal lembaga mereka.

Kemudian pada 5 Februari 2021, HRD mengirimkan surat sanksi kepada terduga pelaku. Surat itu berisi penjelasan terkait fakta-fakta keterangan Mitra dan pengakuan terduga pelaku bahwa dirinya telah melakukan serangan seksual. 

Terduga pelaku kemudian mendapat sanksi berupa skorsing selama 5 hari.

Mitra merasa sanksi tersebut tidak sesuai dengan harapannya. Apalagi lembaga tempatnya bekerja memiliki Standar Operasional dan Prosedural (SOP) terkait nol diskriminasi. Mitra kemudian berkonsultasi dengan beberapa pihak, dan akhirnya memutuskan untuk membuat laporan ke polisi. 

Pada 23 Agustus 2021, Mitra dengan didampingi pengacaranya melapor ke Polda Metro Jaya. Pasal yang digunakan adalah pasal 294 ayat 2 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana percabulan terhadap perempuan dewasa yang berada di bawah pengawasan seseorang.

Namun penanganan kasusnya berlarut-larut, hingga akhirnya Mitra mencabut surat kuasa pengacaranya. Ia lalu didampingi oleh LBH APIK Jakarta sejak April 2023. Penyidik menginformasikan ke LBH APIK Jakarta tentang hambatan yang mereka hadapi terkait tempat kejadian yang berada di kedutaan besar. 

Pada 10 Oktober 2023, Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP). Dalam surat tersebut, penyidik menjelaskan telah melakukan pemeriksaan terhadap 6 orang. Mereka adalah pelapor/Mitra, saksi de auditu yakni rekan kerja Mitra yang mengetahui kejadian yang dialami Mitra dari cerita Mitra. Selain itu ada juga dokter visum, psikolog dari unit UPTD PPA, ahli pidana dan juga saksi terlapor.

Baca juga: Kekerasan Seksual Di Sekitar Pilkada, Para Calon Kepala Daerah Terduga Pelakunya

Awal November 2023, LBH APIK Jakarta kemudian berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Koordinasi ini dibutuhkan karena lokasi kejadian berada di bawah wewenang kedutaan, sehingga perlu melibatkan Kemlu terkait penanganan kasus ini. Hasilnya Kemen PPPA dan Kemlu mengeluarkan surat rekomendasi yang dikirimkan kepada Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.

Salah satu rekomendasi tersebut adalah agar penyidik melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) dalam bentuk replika. Namun rekomendasi ini tidak dijalankan oleh penyidik Polda Metro Jaya. Justru kemudian pada 22 November 2023, Polda Metro Jaya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lidik). Penyidik beralasan tidak ditemukan adanya peristiwa pidana dalam perkara tersebut.

“Ini menjadi pertanyaan besar kami ketika kasus tersebut dianggap bukan merupakan peristiwa pidana. Jadi kalau bukan peristiwa pidana, lalu peristiwa apa? Itu yang sampai sekarang kami belum mendapatkan jawaban,” kata Tuani Sondang, pengacara LBH APIK Jakarta saat konferensi pers, Rabu (22/1/25).

Keluarnya SP2 Lidik berakibat pada dihentikannya pemberian perlindungan kepada mitra oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini sangat disayangkan oleh pendamping korban. 

Sebelumnya LBH APIK Jakarta mengajukan permohonan perlindungan bagi korban ke LPSK dan dikabulkan.

“Sangat disayangkan ketika kasusnya di-SP2 Lidik, perlindungan dari LPSK juga berhenti,” tambah Tuani.

Korban dan LBH APIK Jakarta kemudian mendorong untuk dilakukan gelar perkara khusus agar bisa membuka kembali proses penyelidikan. 

Setelah proses yang cukup lama akhirnya pada 14 Januari 2025 dilakukan gelar perkara khusus. Namun Tuani Sondang mengaku, hingga Rabu (22/1/25) pihaknya belum mendapat informasi terkait hasil gelar perkara tersebut.

Penyidik Tidak Punya Perspektif Korban

LBH APIK Jakarta punya sejumlah catatan terkait penanganan kasus dan gelar perkara khusus yang menunjukkan tidak adanya perspektif korban di kalangan penyidik dalam menangani perempuan korban kekerasan.

Tuani menjelaskan proses penyelidikan tidak dilakukan secara optimal oleh penyidik Polda Metro Jaya. Hal ini ditunjukkan oleh sikap penyidik yang tidak mempertimbangkan asas nasional aktif yaitu terlapor sebagai warga negara Indonesia (WNI) dapat dijerat dengan hukum Indonesia berdasarkan pasal 5 KUHP. 

“Karena memang asas yang digunakan bukan asas nasional aktif. Mereka (penyidik) menghadirkan ahli yang menyatakan bahwa prosesnya tidak menggunakan hukum Indonesia,” kata Tuani.

Selain itu menurut Tuani Sondang, penyidik tidak mempertimbangkan sejumlah alat bukti yang sudah diberikan, seperti saksi yang mendengar cerita korban (testimonium de auditu) dan hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan UPTD PPA, termasuk bukti petunjuk lainnya seperti bukti chat, surat pernyataan dari korban lain, dan sanksi dari tempat kerja.

Bukti elektronik berupa chat/percakapan via pesan singkat tersebut antara lain berisi ajakan terduga pelaku kepada korban untuk pulang bersama. Percakapan tersebut berlangsung sebelum pelecehan tersebut terjadi.

Tuani Sondang menambahkan, terdapat beberapa korban lain yang juga mengalami kekerasan seksual oleh terduga pelaku. Namun ada korban yang belum siap memberikan keterangan dan hanya menyampaikan kalau dirinya juga menjadi korban. Tetapi ada satu korban yang sudah membuat surat pernyataan bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual dari terduga pelaku. Surat pernyataan tersebut sudah diserahkan kepada penyidik.

“Jadi ada korban lain dan dia membuat surat pernyataan. Bukti-bukti itu sudah kami serahkan pada saat proses penyelidikan tapi itu tidak dipertimbangkan,” paparnya.

Selain itu terdapat juga surat sanksi yang dikeluarkan HRD kepada terduga pelaku/terlapor. Tetapi bukti petunjuk ini juga tidak dijadikan pertimbangan oleh penyidik polisi. Penyidik juga tidak melakukan olah TKP sebagaimana rekomendasi Kemlu dan Kemen PPPA.

Baca juga: ‘Menyingkap Rok sampai Mencubit Payudara’ Stop Normalisasi Kekerasan Seksual di Sekolah

Selain itu, penyidik juga membebankan proses pembuktian kepada korban dan pendamping. Ini dilakukan dengan meminta korban dan pendamping untuk mencari bukti yang dapat memperlihatkan kejadian tindak pidana pelecehan seksual fisik yang terjadi.

Tidak adanya perspektif korban juga ditunjukkan oleh sikap penyidik selama proses gelar perkara khusus. Ini terlihat pada tindakan penyidik mempertemukan terduga pelaku dengan mitra dalam satu ruangan saat berlangsung gelar perkara khusus. Meskipun saat itu Mitra bersama pendamping, tetapi langkah tersebut menimbulkan ketidaknyamanan.

Hal lain adalah ketika gelar perkara, terduga pelaku membela diri dengan mengatakan tidak mengenal korban pada saat kekerasan seksual terjadi. LBH APIK menilai pernyataan tersebut tidak konsisten.

“Nah, ini yang menjadi keheranan kami, ketika gelar perkara, pelaku menyatakan pada saat peristiwa itu, dia tidak mengenal korban. Tapi kami punya bukti-bukti chat (antara terduga pelaku dengan korban) yang menunjukkan sebelum kejadian, pelaku mengajak kenalan. Artinya inikan tidak konsisten,” urai Tuani Sondang.

Catatan lain dari pendamping korban adalah pertanyaan dari para peserta gelar dinilai menyudutkan korban.

“Kejadiannya sudah 2019, kenapa baru lapor di tahun 2021?,” tanya penyidik.

Pertanyaan ini selalu jadi pembuka setiap kali korban ditanya oleh peserta gelar perkara khusus. Gelar perkara tersebut dihadiri oleh Wassidik, Propam dan sejumlah anggota polisi.

Baca juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?

“Sebelum memulai pertanyaan pasti peserta itu menanyakan pertanyaan itu. Kami melihat korban jadi gemetar dan dia sangat ketakutan mendengarkan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu disampaikan di tahun 2025 ini,” jelas Tuani.

Konde.co lalu menghubungi Panit 2 Unit 2 Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Iptu Waluyo dan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait kasus ini pada Kamis (30/1/25). Melalui pesan singkat pada Jumat (31/1/25), Waluyo hanya menanggapi soal hasil gelar perkara khusus.

“Saya masih menunggu hasil rekomendasi gelar perkara khusus dari bagian Wassidik Ditreskrimum dulu bu, apakah nanti penyelidikan bisa dibuka kembali atau tidak. Demikian penjelasan sementara dari kami bu Anita, terima kasih,” kata Waluyo.

Ia menambahkan per Jumat (31/1/25) hasilnya sudah ada, tetapi dirinya belum mendapatkan salinan keputusannya. Ia berjanji akan menginformasikan kalau sudah menerima hasil rekomendasinya.

Sumber: diolah dari infografis Analisa Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, LBH APIK Jakarta 2023.

Sumber: diolah dari infografis Analisa Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, LBH APIK Jakarta 2023.

Apa Kata Ahli Pidana?

Kekerasan seksual sebagaimana disampaikan ahli hukum pidana, Dr. Beniharmoni Harefa, merupakan kejahatan yang paling serius, namun proses pembuktian atau acara pidananya memang agak sulit. Ini lantaran biasanya hanya korban dan pelaku yang tahu karena kekerasan seksual terjadi di wilayah privat.

“Sementara kita butuh alat-alat bukti. Ketika bicara hukum acara pidana ada 5 alat bukti, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Itu berdasarkan pasal 184 KUHAP. Nah, tetapi sering sekali kasus-kasus kekerasan seksual itu sulit dibuktikan,” papar Beniharmoni  pada Rabu (22/1/25).

Beni menegaskan, meski pada kasus kekerasan seksual pembuktiannya sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa dibuktikan. Kasus-kasus kekerasan seksual bisa dibuktikan dengan menggunakan scientific crime investigation, atau menggunakan bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam perkembangannya saat ini sudah ada terobosan dengan hadirnya UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 25 menyebutkan keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 alat bukti sah lainnya. Tetapi ketentuan ini berlaku pada kasus kekerasan seksual yang terjadi sesudah undang-undang tersebut disahkan atau setelah 2022. Ini lantaran sebuah undang-undang tidak bisa berlaku surut.

Alat-alat bukti yang bisa digunakan termasuk di dalamnya adalah petunjuk. Petunjuk ini bukan saksi mata langsung atau bukan orang yang melihat, mendengar, mengalami langsung. Melainkan bisa jadi korban atau penyintas pernah cerita atau mengirim email atau apapun ke orang lain tentang kejadian yang dialaminya. Keterangan tersebut bisa digunakan sebagai petunjuk.

Baca juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas

“Secara garis besar kekerasan seksual bukan tidak bisa dibuktikan dan pelakunya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tetapi ada metodologi-metodologi yang bisa digunakan,” ujar Beniharmoni.

“Dan karena ini kejahatan yang paling serius, maka seharusnya aparat penegak hukum harus berkonsentrasi penuh dan serius juga dalam menanggapinya. Nah bukti keseriusannya ya memang harus betul-betul dilakukan penyelidikan yang mendalam,” katanya.

Terkait kasus kekerasan seksual yang lokasi kejadiannya di kedutaan besar dan terduga pelaku merupakan warga negara Indonesia, Beni menjelaskan soal asas hukum teritorial. Asas ini mencakup asas hukum nasional aktif dan nasional pasif. Dalam konteks kasus ini maka yang berlaku adalah asas hukum nasional aktif. 

“Selama yang terlibat, pelakunya warga negara Indonesia, (maka) yang berlaku hukum Indonesia. Itu namanya asas hukum nasional aktif. Sehingga kemudian hukum apa yang digunakan? Ya sederhana, hukum Indonesia yang digunakan meskipun di kedutaan kejadiannya. Jadi menggunakan asas nasional aktif,” tegas Beniharmoni.

Pendapat Ahli Hukum dan Gender

Sementara ahli hukum dan gender, Asnifriyanti Damanik menekankan bahwasanya kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran asasi manusia. Pasalnya dalam kekerasan seksual yang diserang adalah integritas tubuh korban dan harkat martabatnya sebagai manusia.

Ia menambahkan kekerasan seksual juga salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Kekerasan ini umumnya dialami oleh perempuan yang biasanya relasinya tidak setara dengan pelakunya, misalkan ada relasi kuasa atau relasi kerja. 

“Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa korban itu adalah pekerja magang yang posisinya dalam struktur kerja dia adalah bawahan dari atasannya,” kata Asni.

Asnifriyanti menjelaskan terkait penanganan kasus atau penegakan hukum, meski pada 2022 sudah lahir UU TPKS, tetapi kalau kita berbicara tentang sistem hukum yang dilihat, tidak hanya substansi hukumnya melainkan juga struktur hukumnya. Artinya bagaimana penegak hukum memiliki perspektif gender untuk bisa memahami kondisi korban. 

Sayangnya, dalam kasus yang dialami Mitra, aparat penegak hukum (APH) dinilai belum punya perspektif gender. Ini terlihat dari munculnya pertanyaan yang menyudutkan korban. Sementara menurut Asni UU TPKS sudah menjelaskan cara-cara bertanya yang tidak menyudutkan dan menyalahkan korban. Apalagi UU TPKS sudah berjalan hampir 3 tahun. 

Pertanyaan yang diajukan peserta dalam gelar perkara soal kenapa baru lapor tahun 2021 sementara kejadiannya 2019 juga mengandaikan semua warga negara terutama perempuan-perempuan korban sudah paham proses penegakan hukum. Bahwa setiap korban harus segera lapor. Sementara dalam praktiknya selama ini sangat sedikit korban yang baru mengalami kekerasan seksual lalu langsung melaporkannya.

Hal lain adalah langkah penyidik mempertemukan korban dengan terduga pelaku/terlapor dalam satu ruangan pada saat gelar perkara khusus. Apalagi hal ini dilakukan tanpa ada informasi di awal misalnya dengan menanyakan kesediaan atau kesiapan korban secara psikologis.

Baca juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas

“Misalnya ada proses gelar perkara, itukan sebenarnya bisa dilakukan dengan cara didengarkan dulu korbannya. Nanti setelah korbannya keluar (ruangan), baru didengarkan si terlapor/terduga pelakunya,” terang Asnifriyanti. 

“Jadi upaya penyelidikan dengan cara mempertemukan dalam satu ruangan seperti disampaikan pendamping, itu bisa menimbulkan dampak baru lagi bagi korban,” tambahnya.

Asnifriyanti juga menyoroti keluarnya SP2 Lidik oleh polda Metro Jaya dengan alasan tidak ditemukannya peristiwa pidana. Alasan ini menimbulkan permasalahan tersendiri bagi korban karena artinya peristiwa yang dialaminya tidak diakui sebagai suatu peristiwa pidana. Padahal mengacu pada KUHP terkait perbuatan cabul jelas bahwa perbuatan menyentuh, meraba merupakan peristiwa pidana jika korban tidak menyetujui atau bukan atas kehendak korban.

“Jadi kami melihat ada ketidakseriusan penegak hukum untuk menggali lebih banyak bukti-bukti pendukung supaya apa yang dialami oleh korban bisa diproses lebih lanjut,” kata Asnifriyanti.

Selain itu Asnifriyanti juga mengkritik penanganan perkara yang berlarut-larut. Kasus yang dialami mitra dilaporkan pada 2021 tetapi hingga 2025 korban belum mendapatkan kepastian hukum. Penanganan kasus yang lama ini merupakan salah satu bentuk dari proses delay in justice.

“Terlambatnya seseorang untuk mengakses keadilan sebenarnya bisa kita lihat sebagai pelanggaran dari Konvensi Anti Penyiksaan. Karena proses yang berlama-lama ini telah menimbulkan dampak baru bagi korban. Dan melihat dari kasus ini jelas saya bisa menyatakan bahwa proses ini telah menimbulkan ketidakadilan baru bagi korban,” papar Asni. 

Dengan kata lain kekerasan yang dialami korban justru diperpanjang alih-alih diputus dengan memberikan kepastian hukum bagi korban. Kondisi ini juga bisa menjadi preseden buruk bagi korban-korban yang lain. 

Baca juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?

Terkait pembuktian, penyidik meminta korban melakukan visum et repertum, sementara peristiwa pidana yang terjadi adalah pelecehan seksual, sehingga hasilnya negatif. Menyikapi ini Asni menjelaskan dalam peristiwa yang dialami mitra, terduga pelaku menyentuh dan meraba tubuh korban sehingga kalau dipakai visum et repertum maka tidak akan maksimal karena tidak ada tanda luka atau memar pada tubuh.

“Disentuh itukan tidak menimbulkan bekas, maka alat bukti yang bisa digunakan sebenarnya adalah keterangan ahli. Ahli dalam hal ini untuk melihat dampak yang dialami oleh korban, bisa psikolog atau psikiater,” jelas Asni. 

KUHAP memang tidak merujuk langsung seperti halnya UU TPKS, tetapi pasal 184 KUHAP menyebutkan salah satu alat bukti yang sah adalah keterangan ahli. Seharusnya keterangan ahli ini yang dipakai untuk memperkuat dugaan adanya kekerasan seksual dan bukan visum et repertum.

Jadi korban bisa diminta melakukan visum et psychiatricum, yang hasilnya bisa dipakai sebagai bukti surat. Dan ketika ahli yang memeriksa korban dimintai pendapat, maka penjelasannya bisa jadi alat bukti berupa keterangan ahli.

Menurut Asnifriyanti dari pengalamannya visum et repertum biasanya digunakan untuk tindak perkosaan untuk melihat apakah ada tanda-tanda akibat persetubuhan dengan kekerasan. Tetapi pada perbuatan cabul, visum et repertum tidak bisa dipakai, kecuali misalnya pelaku meremas dengan kuat sehingga menimbulkan tanda memar.

Karena itu dalam proses pemeriksaan seharusnya penyidik betul-betul menggali untuk mengetahui apakah perbuatan cabulnya menimbulkan dampak pada fisik, misalnya ada memar atau ada bekas. Dengan begitu bisa ditentukan apakah perlu dilakukan visum et repertum atau visum et psychiatricum.

Dari sejumlah catatan dalam proses penyelidikan tersebut Asni melihat penyidik belum punya perspektif gender.

“Jadi proses penegakan hukumnya belum berperspektif gender. Seharusnya penyidik bisa lebih maksimal dan menggali lebih dalam dengan mengundang ahli. Ahli ini bukan hanya ahli hukum tapi juga yang memahami situasi perempuan yang berhadapan dengan hukum,” pungkas Asni.

Pandangan Ahli Psikologi Klinis

Sementara itu ahli psikologi klinis Christina Dumaria Sirumapea menjelaskan, kekerasan seksual merupakan peristiwa yang sangat traumatis sehingga sangat mungkin menimbulkan gejala stres. Selain dampak fisik, kekerasan seksual juga bisa menyebabkan dampak psikologis. 

Christina mengungkapkan ada konteks yang sangat khas dalam memahami dinamika psikologis dari seorang korban kekerasan seksual. Ada stigma sosial yang kuat di masyarakat terhadap korban kekerasan seksual apalagi ketika korban adalah perempuan dewasa. Sering kali peristiwa kekerasan seksual dianggap sebagai tindakan suka sama suka atau korban justru dipersalahkan karena penampilannya, sikapnya, dan sebagainya.

“Jadi ada stigma sosial yang melekat pada perempuan yang kemudian membuat perempuan itu dipersalahkan ketika dia mengalami peristiwa dugaan kekerasan seksual,” kata Christina.

Selain stigma sosial, ada pertimbangan lain yang membuat korban enggan bahkan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Diantaranya berkaitan dengan nama baiknya atau nama baik institusi tempat dia bekerja. Bisa juga karena khawatir akan dampak pelaporan terhadap kariernya yang bisa berujung pada kehilangan pekerjaan.

“Kalau kita lihat kenapa seseorang itu berusaha untuk menutupi apa yang terjadi padahal dia punya hak untuk melapor? Mungkin karena dia takut akan dampak kehilangan pekerjaannya,” jelasnya.

Hal lain adalah kemungkinan adanya intimidasi dari terduga pelaku. Selain itu minimnya dukungan dari lingkungan sekitar juga bisa membuat korban kembali menjadi korban.

Baca juga: Mau Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!

“Dari kronologi kasus ini kita bisa melihat korban sudah mengalami ketidakadilan yang lain karena lingkungan sekitarnya tidak mendukungnya. Dia sudah mengalami kasus kekerasan dan harus menghadapi situasi dimana ketidakadilan yang dialaminya tidak diakui (oleh penyidik). Jadi dari situ bisa dilihat bahwa korban merasa tidak ada yang mendukung dan memahami kondisinya,” urai Christina.

Kondisi sosial dan hukum yang minim dukungan terhadap korban ini bisa menjadi preseden buruk sehingga membuat korban makin malas melapor. Christina menegaskan seluruh aspek sosial, budaya dan hukum ini perlu dijadikan pertimbangan untuk memahami dinamika psikologis korban kekerasan seksual agar bisa memberikan layanan yang berperspektif korban.

“Jadi hal-hal ini yang perlu kita pahami ketika kita melakukan pendampingan atau ketika kita memberikan layanan untuk korban. Kita harus memahami dinamika ini supaya kita bisa lebih berperspektif terhadap korban,” pungkasnya.

Pentingnya Polri Punya Regulasi Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Menyikapi perkembangan penanganan kasus yang tidak berpihak kepada korban, LBH APIK Jakarta berpendapat, kepolisian sangat membutuhkan pengaturan tersendiri mengenai mekanisme penanganan perkara khususnya untuk Perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH).

Koordinator Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan LBH APIK Jakarta, Putri Indah Wahyuni mengatakan, yang paling urgen untuk dilakukan kepolisian adalah mengubah perspektif agar lebih berpihak kepada perempuan khususnya perempuan korban. 

Ia menambahkan, sejauh ini lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan mahkamah agung sudah memiliki peraturan khusus terkait tata cara pemeriksaan kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum.

“Meskipun pada implementasinya tentu masih perlu dipantau tetapi setidaknya mereka (kejaksaan dan MA) sudah memiliki regulasi khusus,” kata Putri. 

“Sayangnya, polisi sebagai aparat penegak hukum yang menjadi garda terdepan untuk penerimaan ajuan maupun pelaporan dari para pelapor korban justru belum memiliki peraturan khusus terkait penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum,” tambahnya.

Seharusnya sebagai garda terdepan, kepolisian mestinya bisa memberikan rasa aman dan jaminan agar tidak terjadi viktimisasi sekunder yang dapat terjadi pada korban perempuan. Khususnya dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

Putri mengungkapkan sebenarnya Kepolisian RI punya beberapa peraturan internal yang mengatur tentang tata cara penanganan perempuan korban. Namun aturan tersebut terbit pada 2007 dan 2008. Artinya secara substansi dan juga implementasi sudah sangat tidak relevan dengan kondisi sekarang. 

Terlebih lagi di tahun 2022 lalu Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Aturan ini mengatur secara lebih progresif terkait hukum acara khusus bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.

Putri menjelaskan pada 2024 LBH APIK Jakarta pernah menginisiasi proses penyusunan draf usulan peraturan kepala kepolisian soal PBH. Draf tersebut antara lain mengatur kewajiban polisi untuk memenuhi hak-hak PBH mulai dari penanganan, perlindungan, sampai dengan pemulihan. Tentunya dengan menggunakan perspektif gender. Proses penyusunannya juga dihimpun dari pengalaman dan suara perempuan-perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan seksual.

Tuntutan Korban

Berdasarkan perkembangan kasus yang tengah bergulir, LBH APIK Jakarta bersama korban kemudian menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama agar Polda Metro Jaya mencabut surat penghentian penyelidikan terhadap kasus ini.

Selanjutnya menuntut Polda Metro Jaya menerbitkan surat keputusan baru untuk melanjutkan proses penyelidikan terhadap terlapor/terduga pelaku mengenai dugaan tindak pidana pelecehan seksual dan/atau pencabulan di tempat kerja.

LBH APIK Jakarta dan korban juga mendesak Polda Metro Jaya melaksanakan rekomendasi terkait olah TKP yang disampaikan Kemen PPPA dan Kemlu tertanggal 11 Oktober 2023, khususnya mengenai keperluan permohonan pemotretan ruangan yang menjadi tempat kejadian di Kantor Kedutaan Besar untuk replika olah TKP. Polda Metro Jaya harus melakukan koordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri untuk bersurat ke Kemlu.

Selain itu korban juga menuntut Polda Metro Jaya melakukan pembuktian hukum acara berdasarkan Undang-Undang 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

LBH APIK Jakarta dan korban juga menuntut institusi yang merupakan tempat kerja korban dan juga bagian dari Kedutaan Besar harus mendukung korban dan memberikan sanksi maksimal kepada pelaku.

Korban menuntut Komnas Perempuan sebagai lembaga negara untuk melakukan pemantauan terhadap kasus ini pasca Dengar Keterangan Umum (DKU) yang disampaikan LBH APIK Jakarta pada 20 November 2023. Korban juga mendesak Komnas Perempuan mendorong kepolisian mengadakan pembuktian dan pemeriksaan yang berpihak kepada korban sehingga tidak menimbulkan viktimisasi sekunder

Terakhir, LBH APIK Jakarta dan korban menuntut Polda Metro Jaya mendorong pengesahan Rancangan Perkap tentang penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!