#OkeGasAwasiRezimPrabowo: Pemberedelan Sukatani dan Karya Seni Kritis, Alarm Bahaya dari Rezim Antikritik

Pemberedelan terhadap lagu band Sukatani, ‘Bayar Bayar Bayar’, menambah daftar pengekangan ekspresi seni khususnya di rezim baru ini. Ini seakan-akan membunyikan alarm pembungkaman seni yang kritis terhadap penguasa.

Mau bikin SIM? Bayar polisi!/ Ketilang di jalan? Bayar polisi!/ Touring motor gede? Bayar polisi!/ Angkot mau ngetem? Bayar polisi!

Lagu band punk asal Purbalingga, Sukatani, berjudul ‘Bayar Bayar Bayar berkumandang kencang di tengah demonstrasi #IndonesiaGelap di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat pada Jumat (21/2/2025). Bukan hanya karena lagu ini diputar melalui sound system horeg’ dari mobil komando di sana. Ratusan demonstran turut berteriak-teriak menyanyikan Bayar Bayar Bayar, tepat di depan para aparat kepolisian yang berdiri di belakang beton penutup jalan dengan wajah datar.

Aduh aduh/ ‘ku tak punya uang/ untuk bisa bayar polisi…

Lagu ‘Bayar Bayar Bayar tidak semata-mata diputar dalam rangka aksi unjuk rasa. Faktanya, ini bukan lagu yang betul-betul baru; ia adalah 1 dari 8 lagu yang dirilis Sukatani lewat album ‘Gelap Gempita’ pada 24 Juli 2023. Lagu ini sudah beredar sejak hampir 2 tahun lalu. Lantas, kenapa baru dipermasalahkan dan viral sekarang?

Lagu itu menyindir keras praktik pungutan liar dan korupsi yang dilakukan polisi. Semua mengalaminya; dari rakyat biasa sampai penguasa harus ‘bayar’ ke polisi untuk mengurus tilang, menggelar acara musik, meminta pengawalan touring kendaraan bermotor, masuk-keluar penjara, hingga menggusur tanah. Selain pungutan uang, kritik tajam terhadap kepolisian meningkat karena maraknya pengabaian kasus, kekerasan, intimidasi, hingga pembunuhan warga sipil oleh polisi selama beberapa waktu terakhir. Maka rakyat gencar menggemakan ‘Bayar Bayar Bayar dan lagu-lagu kritis lainnya.

Baca juga: Lirik Lagu Cengeng Mendominasi Pasar Lagu Indonesia, Menihilkan Perjuangan Perempuan

Bayar Bayar Bayar’ sudah santer sejak beberapa bulan terakhir, seiring dengan meningkatnya protes masyarakat terhadap kabar Revisi Undang-Undang Polri dan desakan reformasi institusi kepolisian. Ditambah lagi kabar kasus kematian pelajar seperti Afif Maulana (13) dan Gamma Rizkynata Oktafandy (17) yang terjadi pada tahun 2024 dan diduga kuat dilakukan oleh polisi. Ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian pun memuncak.

Kemudian pada awal Februari 2025, beredar kabar bahwa lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ dihapus dari semua platform musik arus utama. Berlanjut tanggal 20 Februari 2025, Sukatani mengunggah video di akun Instagram resmi band mereka. Dua personelnya, Alectroguy (Al) dan Twister Angel (Ovi), memperkenalkan diri dengan nama asli dan muncul tanpa topeng yang biasa mereka kenakan saat manggung. Mereka meminta maaf kepada Kapolri Listyo Sigit dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas lirik lagu ‘Bayar Bayar Bayar’. Dalam video tersebut, mereka menyatakan bahwa lagu itu untuk mengkritik perilaku oknum tertentu, bukan institusi Polri secara keseluruhan. Sukatani juga meminta para pendengar untuk menghapus lagu tersebut dari media sosial.

Muncullah rumor-rumor berikutnya, mulai dari pemecatan Ovi sebagai guru di sebuah SDIT sampai dugaan penangkapan dan intimidasi terhadap Sukatani. Setelah kabar Sukatani ramai dan memicu kemarahan warga, Listyo Sigit berdalih ada miskomunikasi terkait permohonan maaf band tersebut. Akunya, kepolisian bersikap terbuka terhadap kritik. Ia juga sempat menawari Sukatani untuk menjadi ‘duta polisi’ agar dapat membawa institusi Kepolisian RI jadi lebih baik.

Namun, ‘Bayar Bayar Bayar’ tak lantas sirna usai diberedel. Bukannya menghilang, lagu tersebut justru semakin kencang diputar. Masyarakat ramai-ramai mendengarkan lagu itu lewat platform yang masih menyediakannya, musisi lain ramai-ramai membuat cover dan remix. ‘Bayar Bayar Bayar’ juga diperdengarkan di Aksi Kamisan di sejumlah kota pada 20 Februari 2025, tepat setelah para personel Sukatani mengunggah video permintaan maaf dan penarikan lagu dari layanan streaming.

Ovi Dipecat dari Profesi Guru, Aktivis: Ini Misoginisme

Lantangnya lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ menguliti praktik pungutan polisi tak lepas dari suara vokalisnya, Twister Angel alias Ovi.

Setelah Sukatani merilis permintaan maaf dan viral, identitas asli Alectroguy dan Twister Angel pun terungkap. Rupanya, Twister Angel atau Ovi sempat bekerja sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ovi dipecat dari sekolah tempatnya mengajar dan datanya sudah dihapus dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada 13 Februari 2025. Itu sekitar seminggu sebelum Ovi dan Al membuat video permintaan maaf kepada Kapolri.

Namun kabarnya, pemecatan Ovi bukan karena lagu Bayar Bayar Bayar. Melansir berbagai sumber, pihak sekolah menyebut, perempuan itu diberhentikan sebagai guru karena melanggar kaidah dan kode etik SDIT tersebut. Salah satunya perihal ‘membuka aurat’, yang tidak dibenarkan di sekolah itu meski dilakukan di luar sekolah.

Zahra Amin, aktivis perempuan muslim dari Mubadalah Cirebon, yang ditemui Konde.co menyatakan bahwa pemecatan yang terjadi pada Ovi alias Twister Angel adalah bentuk misoginisme yang ditujukan pada tubuh perempuan atau membenci tubuh perempuan. 

Baca juga: Lagunya Bikin Empowering: Senang Berhasil War Tiket Taylor Swift

Pemecatan dengan mempersoalkan lekuk tubuh perempuan dan auratnya sebagai perempuan adalah bentuk diskriminasi. Sebab hak memakai baju atau memakai apapun itu merupakan otoritas perempuan, tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Jadi pemecatan dengan alasan aurat tubuh ini tidak hanya apolitis. Tetapi juga ketidakpahaman sekolah pada ekspresi politik seseorang yang sedang berpendapat memprotes sesuatu.

“Ini merupakan tindakan yang apolitis karena seorang guru perempuan yang kritis malah dianggap bermasalah dan dipecat. Sepertinya sekolah yang bersangkutan mau cuci tangan, takut dianggap politis. Padahal mestinya hal kritis yang dilakukan guru harus didukung karena mencoba membela masyarakat. Tapi yang terjadi malah dipecat,” kata Zahra Amin pada Konde.co, Selasa (25/2/2025).

Zahra Amin melihat, tindakan dari sekolah ini seperti dipicu untuk selalu membawa nama baik sekolah. Layaknya hendak mempertahankan sekolah dengan nama baiknya. 

“Padahal sekolah ini harusnya bangga punya guru yang kritis-tindakan yang seharusnya dilakukan oleh para guru. Yaitu membela masyarakat dan mengajak orang lain berpikir tentang situasi negara ini.”

Punk dan Perlawanan Terhadap Kekuasaan

Band Sukatani berkarier sebagai grup musik dengan aliran punk, lebih tepatnya post-punk. Bagi sebagian orang, punk hanya soal genre musik—mungkin yang berisik dan tak karuan. Bagi sebagian lainnya, punk adalah fesyen ‘urakan’ dan ‘galak’ dengan pakaian hitam-merah compang-camping dan aksesoris rantai. Namun, punk juga dianggap sebagai gaya hidup, bahkan ideologi.

Secara aliran musik, punk di kancah global lahir dari kekecewaan terhadap industri musik yang didominasi musisi rock mapan. Lagu-lagu punk kerap memuat lirik protes terhadap penguasa, pemodal, hingga polisi dan tentara. Kata-kata yang disuarakan kadang kasar, tapi mengandung kenyataan nasib rakyat. Mereka bercerita tentang frustrasi dan kemarahan menghadapi situasi seperti hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, dan represi aparat.

Tak sedikit band punk tampil di panggung dengan mengusung anonimitas seperti Sukatani. Mereka bermusik menggunakan topeng, penutup wajah, atau atribut lainnya yang menyembunyikan identitas mereka. Selain itu, punk juga diisi oleh suara perlawanan perempuan. Salah satu band punk perempuan yang terkenal di dunia adalah Pussy Riot dari Moskow, Rusia. Tampil menggunakan topeng, mereka kerap tampil di tempat-tempat yang tak lazim. Contohnya di depan katedral gereja Ortodoks pada tahun 2012. Di sana, Pussy Riot tampil menentang kembalinya Vladimir Putin sebagai presiden. Mereka juga memprotes eratnya hubungan negara dan gereja di Rusia.

Terang saja hal itu membuat pihak gereja dan Putin berang. Tiga anggota Pussy Riot pun ditangkap dan didakwa atas tuduhan ‘hooliganisme’ dan ‘memicu kebencian agama’. Hukuman terhadap anggota Pussy Riot memicu aksi solidaritas di Moskow serta mendapat perhatian internasional. Sejumlah warga Rusia menganggap kasus yang ditimpakan pada Pussy Riot adalah upaya pemerintah untuk membungkam kritik.

Baca juga: Yang Bisa Kita Pelajari Dari Adele: Lagu-Lagu Sedih Membuat Kita Lebih Baik

Indonesia sendiri cukup lekat dengan punk. Berbagai komunitas punk tersebar di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Malang, dan lainnya, disinyalir sejak tahun 1980-an. Dimulai dari Antiseptic dan The Stupid, muncullah band dan musisi-musisi punk dengan lagu-lagu yang keras mengecam kemapanan, kekuasaan, kekerasan aparat, dan korupsi. Ada beberapa band punk yang namanya cukup dikenal sampai sekarang, misalnya Morfem, Jeruji, Seringai, Bananach, The Jansen, dan sebagainya. Kini, Sukatani masuk ke jajaran nama musisi punk yang diketahui khalayak luas atas lirik perlawanannya.

Selain itu, ‘Bayar Bayar Bayar’ bukan satu-satunya lagu yang mengkritik institusi polisi. ‘A.C.A.G’ atau ‘All Cops are Gods’ dari Bars of Death, misalnya, memuat lirik satire tentang intimidasi, kekerasan, dan supremasi polisi. ‘A.C.A.G’ mengkritik para oknum dalam institusi ini yang sering melakukan penangkapan demonstran saat aksi, lalu mengatai dan melabelinya sebagai ‘anarko-sindikalis’. Ada juga ‘Pilih Sidang atau Berdamai’ dari Morfem yang menyindir tilang ilegal polisi lalu lintas. 

Pemberedelan Seni dari Masa ke Masa: Semakin Ditekan, Semakin Melawan

Pemberedelan terhadap lagu milik Sukatani menambah catatan pemberangusan seni di era rezim Prabowo-Gibran.

Desember 2024 silam, pameran karya pelukis asal Yogyakarta, Yos Suprapto, dibatalkan secara tiba-tiba. Pameran bertajuk ‘Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan’ itu seharusnya berlangsung di Galeri Nasional, Jakarta Pusat pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Namun, pada hari pembukaan pameran, gedung pameran justru ditutup dan lampu-lampunya mati. Yos juga mengaku dilarang masuk ke pamerannya sendiri yang berada di Gedung A Galeri Nasional. Selain itu, menurutnya, ia diminta untuk ‘menurunkan’ lima lukisannya dengan dalih memuat gambar ‘mesum’ hingga ‘tidak sesuai dengan tema dan bobot pameran’.

Dua dari lima lukisan Yos Suprapto yang dipermasalahkan bertajuk ‘Konoha I’ dan ‘Konoha II’. Yang satu menggambarkan sosok laki-laki yang duduk dengan latar belakang kerumunan orang membawa senjata laras panjang, sedangkan sosok tersebut menginjak orang-orang di bawahnya. Satu lukisan lagi menggambarkan banyak orang saling menjilat satu sama lain. Sosok yang ditampilkan pada masing-masing lukisan itu diduga menggambarkan Jokowi dan Megawati karena kemiripan wajahnya.

Kemudian pada Februari 2025, sebelum ramai kasus yang menimpa Sukatani, giliran seni teater yang diusik. Kelompok Teater Payung Hitam berencana menggelar pentas seni bertajuk ‘Wawancara dengan Mulyono’ di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 15-16 Februari 2025. Pagelaran itu dimaksudkan untuk memperingati 43 tahun usia kelompok Teater Payung Hitam. Namun mereka menghadapi sejumlah kendala. Seperti pencopotan baliho hingga penggembokan pintu ruang pertunjukan oleh pihak kampus.

Maraknya pemberedelan karya seni sejak awal rezim presiden RI Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka menuai kritik banyak pihak. Salah satunya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang membuat pernyataan resmi terkait hal tersebut.

“Situasi ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mempersekusi karya-karya seni yang kritis terhadap pemerintah,” sebut DKJ melalui akun Instagram resmi mereka, Kamis (20/2/2025).

Baca juga: Konser Coldplay Ditolak karena Dukung LGBT? Lagu Lama dari Ormas Intoleran

“Peristiwa ini menunjukkan bahwa iklim kesenian semakin terancam oleh sensor dan pembatasan terhadap karya yang mengandung kritik sosial.”

Jika ditarik ke belakang, soal pemberedelan pada ekspresi seni ini tak hanya terjadi di masa pemerintahan sekarang. Kejadian serupa sudah berulang kali terjadi sejak masa Orde Lama. Organisasi masyarakat sipil menyebut ini sebagai pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi. 

Di Zaman Presiden Soekarno misalnya. Lagu-lagu Koes Plus pernah dikritik karena dianggap musik yang ‘ngak-ngek-ngok’ atau musik cengeng dan dianggap kebarat-baratan karena meniru The Beatles. Ini dianggap tidak sesuai dengan nasionalisme yang sedang dibangun di Indonesia.  

Sedangkan pada masa Soeharto, lebih banyak lagi suara-suara kritis yang dibungkam. Bahkan lagu rakyat berjudul ‘Genjer-Genjer’ (1942) sempat dilarang karena dilekatkan pada identitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, seniman perempuan pada masa transisi kekuasaan tersebut banyak yang dicap sebagai bagian dari Lekra, Gerwani, atau komunis secara umum. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke kamp, bahkan mengalami kekerasan fisik, mental, dan seksual.

Pembungkaman juga terjadi pada lembaga kesenian Lekra, serta pada buku-buku yang dianggap berbahaya dan mengakibatkan penulisnya dipenjara. Salah satunya dialami Pramoedya Ananta Toer yang dipenjara dan diasingkan karena tulisannya mempengaruhi anak muda untuk berpikir kritis. Pada 1958, Pram bergabung sebagai anggota Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Itu adalah lembaga kesenian di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang nantinya jadi awal polemiknya di pemerintahan Orde Baru. Sebab pada 13 Oktober 1965, Pram ditangkap akibat peristiwa 30 September. Dia dipenjara dari Salemba, Cilacap, hingga pulau Buru. Tak kurang dari 10 tahun Ia hidup dalam pengasingan. 

Baca juga: Film ‘Lagu untuk Anakku’: Kisah Perempuan 65 Di Balik Penjara

Bahkan 3 orang yang memasarkan buku-buku Pramoedya juga dipenjara. Pada tahun 1989, ada tiga aktivis ditangkap dan dibui gara-gara buku Pramoedya. Mereka adalah Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono. Bonar dituding menjadi aktor intelektual penyebar Bumi Manusia. Tuduhannya serius: dianggap sebagai ‘penyebar ideologi komunisme’. Dia dipenjara selama 8,5 tahun, hanya karena ada salah seorang kawannya yang kedapatan menjual Buku Manusia. Bonar dianggap memiliki afiliasi dengannya karena pernah mengisi acara diskusi di komunitas kawannya itu. Gara-gara jadi pembicara, dia dianggap aktor intelektual penyebar buku Bumi Manusia.  

Selain Bonar, dua aktivis lainnya yang kena hukuman berat yaitu Bambang Isti Nugroho (8 tahun penjara) dan Bambang Subono (7 tahun penjara). 

Di zaman kekuasaan Jokowi, sekelompok orang membubarkan acara diskusi bertema Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional salah satu hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada September 2024. Diskusi ini diadakan sebagai forum silaturahmi dan tukar pikiran mengenai kondisi kebangsaan dan kenegaraan jelang pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Namun, diskusi yang dihadiri tokoh-tokoh dari berbagai bidang itu batal digelar karena intimidasi sekelompok preman yang tiba-tiba datang.

Kesenian, buku, panggung atau mimbar ekspresi selalu dianggap ruang kritis. Sebab ia mengajak publik untuk tidak usah takut-takut bersuara atau mengemukakan pendapat. Namun di mata penguasa yang menganggap bahwa kekritisan itu berbahaya, maka ekspresi seperti ini biasanya akan dibungkam. Padahal ekspresi seni dan bicara adalah bagian dari komunikasi publik yang ingin didengarkan oleh pemerintah yang berkuasa karena pemerintah dianggap tak mendengarkan suara publik atau kebijakannya merugikan publik. 

Baca juga: Lagu Nadin Amizah dan Idgitaf Bantu Perempuan Berdamai Dengan Diri Sendiri

Di sisi lain, seniman yang dekat dengan kekuasaan kerap dirangkul. Contohnya Dewa 19, yang manggung di acara launching logo baru Kementerian Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PKP) pada Jumat (21/2/2025). 

Konser musik tersebut menuai protes karena digelar di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran kementerian dan lembaga negara. Meski Ahmad Dhani mengaku ia dan band-nya tidak mau dibayar untuk tampil di acara pemerintahan Prabowo, persoalannya lebih dari sekadar penggelontoran dana untuk pentas seni. Muncul juga anggapan ironis karena Dewa 19 yang digawangi Ahmad Dhani—musisi sekaligus kader partai Gerindra—masih aman mengisi panggung, sementara banyak seniman dan musisi seperti Sukatani yang dihantui ancaman pemberedelan karena berseberangan dengan kekuasaan.

Pemberedelan seni dan pelarangan berekspresi sudah lama terjadi di Indonesia, berganti masa satu ke yang lainnya. Hanya saja, paling tidak sejak dua rezim terakhir—era kekuasaan Jokowi berlanjut Prabowo—kebebasan itu makin terkikis.

Hari ini, rezim mengekang Sukatani. Kemarin, Yos Suprapto dan Teater Payung Hitam. Dulu, Lekra dan Pramoedya Ananta Toer. Besok? Tiada yang tahu. Bisa jadi kita, tapi tentu mudah-mudahan tidak.

Seharusnya masih ada sekitar lima tahun lagi untuk menakar demokrasi dan kebebasan berekspresi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, melihat pola-pola represi sejak awal rezim, wajar jika muncul ketakutan akan pemberangusan kritik terhadap pemerintah dan jajarannya.

Di sisi lain, kemarahan demi kemarahan kembali menjadi pupuk solidaritas masyarakat. Dukungan terhadap Sukatani menjalar jadi gerakan massa melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan aparat. Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ kini jadi bagian dari protes dan tuntutan untuk kehidupan rakyat yang lebih baik. Dan rezim yang gemar mengintimidasi, pada akhirnya, hanyalah rezim yang sedang ketakutan.

Artikel ini termasuk dalam serial liputan #OkeGasAwasiRezimPrabowo dalam rangka mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Foto: YouTube Sukatani

(Editor: Luviana Ariyanti)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!