Cek Fakta Perempuan adalah sebuah rubrik dalam rangka melawan misinformasi soal perempuan dan kelompok marginal.
Pernahkah kamu mendengar ucapan-ucapan berikut ini saat membahas soal perempuan dan bulan Ramadan?
“Enak ya jadi perempuan, puasa Ramadan nggak harus sebulan full. Jam 12 siang begini bisa minum air, padahal yang lain lagi haus-hausnya.”
“Kasihan, lagi haid jadi nggak bisa cari pahala di bulan Ramadan.”
“Kok, kamu nggak masak untuk buka puasa dan sahur? Kan, itu pekerjaanmu sebagai perempuan.”
“Kamu nggak usah ikut kegiatan di masjid. Kan, lagi haid.”
Berbagai kalimat tersebut mungkin hanya sebagian dari mitos yang berseliweran tentang perempuan di bulan Ramadan. Biasanya, hal itu tidak jauh dari kondisi perempuan yang tidak dapat berpuasa dan shalat saat sedang haid atau keluar nifas.
Baca Juga: Yuk Cari Tahu Kenapa Kita Jadi Impulsif Belanja Setelah Puasa Seharian dan Tips Mengatasinya
Namun, bukan cuma soal anggapan yang kadang keliru, hal itu juga kerap menjadi stigma terhadap perempuan. Karena tidak dapat berpuasa saat Ramadan misalnya, perempuan dianggap malas beribadah atau lebih ‘beruntung’ nasibnya karena tak harus menahan lapar dan haus sejak waktu Subuh hingga Maghrib.
Padahal, banyak yang harus diluruskan terkait anggapan-anggapan tersebut. Seperti fakta bahwa perempuan haid masih bisa beribadah, dapat mengganti puasanya di lain waktu, dan sebagainya. Untuk itu, Cek Fakta Perempuan kali ini hadir menyajikan mitos dan fakta seputar perempuan di bulan Ramadan, dilihat dari perspektif Islam yang progresif.
Benarkah Perempuan Lebih Diuntungkan karena Tidak Wajib Berpuasa Ramadan Saat Sedang Haid atau Keluar Nifas?
Banyak perempuan tidak dapat berpuasa dan shalat selama sebulan penuh Ramadan karena kondisi biologis berkaitan dengan reproduksi. Seperti haid dan keluar nifas. Pasalnya, ketika haid dan keluar nifas, agama Islam melarang perempuan melaksanakan ibadah puasa dan shalat.
Namun, orang-orang sering keliru mempersepsi nasib perempuan lebih baik karena hal itu. Seakan-akan perempuan sengaja tidak berpuasa dan shalat karena keinginannya sendiri, lalu mereka dicap lebih ‘enak’ nasibnya. Tapi benarkah demikian?
Pera Sopariyanti, Direktur Perhimpunan Rahima sekaligus anggota Majelis Musyawarah KUPI, melihat ketidakbolehan perempuan menjalankan puasa saat menstruasi sebagai bagian dari kebaikan Tuhan.
“Karena Tuhan tahu, ketika perempuan sedang menjalankan menstruasi—sebagaimana di dalam Al-Qur’an digambarkan, ‘wa yas aluunaka ‘anil mahidh qul huwa ‘adza(n)’. Bahwa perempuan yang sedang menstruasi itu adalah dalam keadaan ‘adza, ‘sakit’,” kata Pera kepada Konde.co, Jumat (14/3/2025). “Karena itu dia tidak diperbolehkan untuk menjalankan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang sakit, tadi itu. Sebagai bagian dari bentuk kasih sayang Tuhan pada perempuan.”
Baca Juga: Bukan Adu Gengsi, Ini Cerita Bukber Yang Jadi Ruang Perjuangan Buruh Pabrik
Lanjutnya, laki-laki tidak pernah mengalami rasanya saat menstruasi. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan yang menstruasi lebih ‘diuntungkan’ karena ‘bebas dari kewajiban puasa Ramadan’ dan ‘tidak menjalankan sesuatu yang dianggap berat’. Padahal, perempuan juga punya kewajiban untuk menggantinya di hari yang lain atau dengan cara yang lain.
“Dan menstruasi itu bukan sesuatu yang terus menyenangkan,” ujar Pera. “Tetapi pengalaman perempuan menstruasi itu beragam. Ada yang sakit dan sangat sakit. Karena itu, Tuhan memberikan keringanan atas kondisi perempuan yang sedang sakit untuk tidak menjalankan ibadah. Beban ibadahnya yaitu salah satunya puasa. Dia tidak diwajibkan untuk puasa dan tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat.”
Menurut Pera, menstruasi mungkin juga bisa dikatakan sebagai ‘kodrat’, karena pengalaman menstruasi adalah siklus alami sebagai pemberian dari Tuhan. “‘Given’, bukan itu sesuatu yang bisa dipertukarkan,” Pera berujar.
Akan tetapi, bukan berarti orang yang sedang tidak menstruasi tidak menjalankan kodrat. Pera menegaskan, pengalaman perempuan beragam. Ketentuan Tuhan bisa saja membuat perempuan tidak mengalami pengalaman menstruasi atau hal kodrati lainnya.
“Bukan berarti ketika Tuhan kehendaki dia tidak menstruasi, itu dianggap tidak menjalankan kodratnya. Karena itu juga di luar kemampuan kita sebagai manusia. Itu sudah given, ketentuan Tuhan.”
Benarkah Perempuan Hamil dan Menyusui Harus Tetap Berpuasa?
Perempuan hamil dan menyusui kerap dianggap semestinya sanggup untuk tetap berpuasa. Ketika memilih untuk tidak berpuasa, perempuan dilekatkan dengan stigma dan penghakiman dari masyarakat.
Padahal, kata Pera, ada pilihan yang Allah berikan kepada perempuan hamil dan menyusui untuk meringankan kesulitan mereka.
“Kalau Al-Qur’an mengatakan, perempuan hamil itu dalam keadaan ‘wahnan alaa wahnin’; ‘lelah di atas lelah’,” Pera menjelaskan. “Maka perempuan yang sedang hamil diberikan pilihan. Ketika dia dengan kehamilannya membuat dia semakin lelah dan juga payah, dan dia khawatir terhadap diri dan bayinya. Maka itu diperbolehkan untuk berbuka puasa atau tidak melakukan puasa. Pun begitu dengan perempuan yang sedang menyusui.”
Pera menegaskan, ajaran agama tidak seharusnya menyulitkan umatnya, justru memudahkan. Pun jika sulit, akan ada pilihan alternatif demi memastikan kesanggupan perempuan hamil atau menyusui untuk berpuasa.
Misalnya, untuk perempuan hamil dan menyusui yang memilih untuk tidak berpuasa Ramadan, dapat mengganti di waktu yang lain. Atau jika proses reproduksinya masih berlangsung hingga menjelang Ramadan berikutnya—misalnya, ia hamil dan tidak berpuasa di Ramadan kali ini dan masih menyusui setelah itu—agama membolehkan perempuan untuk mengganti puasa dengan membayar fidyah.
Benarkah Perempuan Merugi karena Tidak Dapat Beribadah Saat Haid di Bulan Ramadan?
Pera membenarkan bahwa perempuan tidak dapat menjalankan ibadah puasa dan shalat saat sedang haid di bulan Ramadan. Namun, bukan berarti mereka tidak dapat beribadah sepenuhnya.
“Karena di bulan Ramadan ini bulan yang penuh pahala,” ujar Pera. “Dan ‘perempuan sangat merugi karena tidak bisa beribadah di bulan Ramadan’. Saya kira itu nggak benar.”
Menurut Pera, perempuan yang sedang menjalankan perintah Allah terkait larangan puasa dan shalat saat haid di bulan Ramadan juga adalah bentuk ibadah. Selain itu, ibadah tidak terbatas pada dua hal tersebut di bulan Ramadan.
“Ada banyak sekali ibadah-ibadah. Berdoa, berdzikir, dan melakukan hal-hal baik yang itu memiliki nilai pahala yang sama.”
Stigma sosial yang melekat pada perempuan yang berhalangan untuk puasa pun menjadi persoalan tersendiri. Banyak masyarakat yang masih menggeneralisir pengalaman perempuan dengan pengalaman orang lain. Termasuk berkaitan dengan pengalaman proses reproduksi seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui saat Ramadan.
Baca Juga: Beragama Itu Mestinya Gembira, Gak Harus Tegang: Melihat Akun ‘Agama Garis Lucu’
“Faktanya, Islam itu mengajarkan untuk kita saling menghormati dan memahami kondisi masing-masing individu,” tegas Pera. “Keberagaman kondisi masing-masing individu termasuk juga keberagaman dalam kondisi kesehatan. Saya kira hukuman sosial itu tidak seharusnya diberikan kepada perempuan yang tidak berpuasa karena alasan yang sah.”
Perempuan yang tidak berpuasa karena haid juga sering kali dianggap ‘kurang beriman’. Pasalnya, ia dianggap tidak dapat menjalankan ibadah dengan baik. Pera menolak stigma tersebut.
“Karena perempuan tidak puasa itu juga perintah agama. Gimana dikatakan perempuan tidak taat agama, padahal sesungguhnya saat tidak puasa, dia sedang menjalankan perintah agama itu sendiri?”
Benarkah Puasa Dapat Mengganggu Kesehatan Perempuan?
Anggapan puasa dapat mengganggu kesehatan perempuan kerap dikaitkan dengan pengalaman reproduksi perempuan, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi.
Namun, Pera membantah hal tersebut. Menurutnya, puasa jika dilakukan dengan benar dan pola nutrisi yang baik, tetap dapat memberikan manfaat kesehatan bagi perempuan.
Pera juga menyebut hadits yang mengatakan bahwa puasa bisa membawa manfaat kesehatan. Dengan catatan, puasa itu dilakukan dengan cara yang baik. “Artinya dia juga tidak berlebihan, memperhatikan gizi yang seimbang.”
“Karena tentunya puasa itu kan, kondisi lambungnya juga masih perlu beradaptasi. Jadi tidak mengkonsumsi makanan-makanan yang bisa memicu datangnya penyakit-penyakit lain,” ujar Pera.
Benarkah Perempuan Tidak Bisa Berpartisipasi dalam Kegiatan Sosial di Masjid Saat Menstruasi?
Mitos lain yang cukup santer beredar adalah perempuan dilarang memasuki area masjid saat menstruasi. Alhasil, perempuan gamang untuk terlibat dalam kegiatan sosial Ramadan yang berlangsung di masjid saat dirinya sedang menstruasi.
“Saya kira tidak begitu,” sanggah Pera. “Perempuan bisa berpartisipasi dalam kegiatan sosial selama Ramadan. Termasuk jika kegiatannya itu dilakukan di dalam masjid.”
Pera menjelaskan perkataan para ulama Fikih, bahwa perempuan tidak boleh masuk masjid saat menstruasi apabila khawatir darah haid akan mengotori masjid. Namun, tuturnya, saat ini sudah ada pembalut yang membuat kebersihan perempuan lebih terjaga saat haid. Jadi larangan tersebut perlu dipahami secara kontekstual.
“Saya kira sekarang sudah ada pembalut yang membuat perempuan lebih terjaga dari mengotori masjid karena darah menstruasi yang sedang dialaminya,” kata Pera.
Benarkah Perempuan yang Harus Memasak Saat Ramadan?
Secara umum, patriarki membentuk peran gender yang mendomestikasi perempuan. Akibatnya, perempuan sering dibebankan kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk memasak. Ini juga mencakup anggapan perempuan harus memasak saat Ramadan.
Pera tidak sepakat dengan stereotipe tersebut. Menurutnya, pekerjaan rumah adalah tanggung jawab semua, bukan hanya perempuan.
“Jadi saya kira mitos itu tidak benar,” ujarnya. “Kalau selama ini, mungkin masyarakat budaya kita atur norma sosial kita. Melekatkan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah itu menjadi tanggung jawab perempuan.”
Ia melanjutkan, “Faktanya tidak begitu. Ada banyak juga masyarakat yang cara relasi di dalam keluarganya beragam. Di mana pekerjaan rumah adalah pekerjaan bersama.”
Baca Juga: ‘Jualan Takjil Biar Dapur Ngebul dan Beli Baju Lebaran’, Perempuan Cari Cuan di Bulan Ramadan
Pera juga menyebut, Islam tidak memberikan beban berat itu hanya kepada salah satu pihak, utamanya perempuan. Buktinya, Nabi Muhammad sendiri melakukan berbagai pekerjaan dalam rumah tangganya.
“Jadi pekerjaan domestik ini bisa menjadi ruang untuk bekerja sama dengan suami. Bukan menjadi pekerjaan untuk perempuan.”
Di sisi lain, berbagai pekerjaan rumah yang selama ini dibebankan hanya kepada perempuan, seperti memasak dan membereskan rumah, harus menjadi ladang ibadah bersama. Bukan hanya perempuan, hal itu mesti dikerjakan oleh laki-laki pula. Dengan demikian, ada kerja sama yang terjadi dalam melakukan pekerjaan rumah alih-alih hanya membebankan pada salah satu pihak.
“Karena pekerjaan rumah itu adalah pekerjaan yang mulia,” kata Pera. “Kenapa dikatakan mulia? Karena dengan bersih-bersih rumah membuat anggota keluarga merasa nyaman, keluarga menjadi lebih bahagia karena lingkungannya bersih, lingkungannya tenang.”
Oleh karena itu, siapa pun yang melakukan pekerjaan rumah berarti telah menjalankan ibadah. Itu juga berarti, pekerjaan-pekerjaan bernilai ibadah itu bisa dilakukan oleh siapa pun, baik oleh suami maupun istri.
“Karena itu saya kira perlu bekerjasama. Bagaimana suami dan istri dengan pernikahan itu bisa sama-sama mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan saling menghormati dan juga saling membahagiakan pasangannya.”
Ramadan: Bulan Spesial untuk Semua Umat Islam, Termasuk Perempuan
Bulan Ramadan adalah bulan spesial yang Tuhan berikan kepada seluruh hamba-Nya yang beragama Islam, menurut Pera. Sebab ada banyak keutamaan yang Ia janjikan di bulan ini. Pera menceritakan kisah salah satu malam ‘spesial’ di bulan Ramadan, yakni malam nuzulul Qur’an, ketika Tuhan pertama kali menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad. Sebutnya, peristiwa nuzulul Qur’an tidak boleh dilepaskan dari pengalaman perempuan.
“Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu saat beliau kembali dari ruang tempat persemediannya di Gua Hira, Rasulullah memberikan kabar ini pertama kali kepada istri tercinta, yaitu Khadijah, dalam keadaan gemetar,” jelas Pera.
Kemudian Sayyidah Khadijah mendekap Nabi Muhammad. Ia meyakinkan bahwa suara itu adalah benar, adalah suara malaikat. Meyakinkan bahwa Rasulullah adalah utusan Tuhan.
Melalui sejarah nuzulul Qur’an itu, Pera menekankan pentingnya peran Khadijah di tengah kegamangan Nabi Muhammad dan menguatkannya.
Baca Juga: Produk Kosmetik Paling Dicari Konsumen Selama Ramadan
“Karena itu, tafsir-tafsir agama ketika membaca iqra’ pertama kali, mestinya dibaca bukan hanya dia membaca ‘iqra’ bismirabbikalladzi khalaq (bacalah dengan nama Tuhanmu)’. Ayat pertama (surah Al-’Alaq) itu ‘bacalah dengan nama Tuhanmu, dengan apa yang Tuhan ciptakan’,” kata Pera. “Alam raya ini, termasuk juga membaca ciptaan Tuhan pada perempuan. Karena peran Siti Khadijah juga sangat penting di dalam proses penerimaan, dalam proses mendampingi Rasulullah. Meyakinkan beliau dalam mengemban misinya sebagai utusan Tuhan.”
Ada pula malam lailatul qadar, malam yang digambarkan ‘lebih baik dari seribu bulan’ di bulan Ramadan. Malam lailatul qadar adalah keutamaan Ramadan yang diberikan kepada siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Keutamaan malam ini untuk hamba Allah yang benar-benar memasrahkan diri kepada-Nya dan mengharap ridha-Nya.
“Karena itu, kedua-duanya memiliki peluang untuk mendapatkan keutamaan dari malam lailatul qadar. Bagaimana keduanya—laki-laki atau perempuan—mengisi hari-hari, malam-malam itu dengan amalan-amalan yang baik.”
Pera menyoroti pentingnya memberikan edukasi kepada perempuan, bahwa baik laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan pahala ibadah yang banyak di bulan Ramadan.
Baca Juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku Mengenal Teman Beda Agama
“Keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keutamaan, fadilah-fadilah, atau pahala-pahala lain yang Tuhan janjikan selama bulan Ramadan,” terang Pera. “Saya kira itu perlu diedukasi.”
Ia juga berharap, edukasi tersebut membuat perempuan tidak merasa rendah diri atas stigma yang muncul di masyarakat ketika perempuan tidak dapat berpuasa Ramadan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa mengerjakan apa-apa dengan kondisi biologisnya saat Ramadan harus dihilangkan.
“Perempuan masih boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan ibadah lain selain shalat dan puasa. Dan apa yang dia kerjakan tentu mendapatkan pahala, mendapatkan berkah dan keutamaan sebagaimana yang Tuhan janjikan selama di bulan Ramadan.”
Sementara itu, Ramadan juga menjadi bulan ketika Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk bertaqwa, sebagaimana termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 183. Lebih lanjut, Pera mengatakan, taqwa dalam surah Al-Hujurat ayat 13 menjadi indikator bahwa baik laki-laki atau perempuan dapat menjadi makhluk yang mulia di sisi Tuhan.
“Karena itu, makna taqwa itu adalah bukan hanya dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Tapi taqwa itu dia menghamba, dia benar-benar hanya menghamba kepada Tuhan. Meyakini bahwa Tuhan ini adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah,” pungkas Pera.






