Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Janji Manis Inklusivitas, Masih Bolong Sana-Sini (2)

Konde.co menelisik situasi transportasi umum di 10 kota di Indonesia. Hasilnya? Bolong-bolong penerapan di lapangan soal transportasi umum terus terjadi. Ada janji manis inklusivitas yang tinggal janji, dan jomplangnya aksesibilitas.

Jelang lebaran, Konde.co menerbitkan 3 (tiga) serial edisi khusus #MenagihTransumAman yang tayang tanggal 24, 25 dan 26 Maret 2025. Artikel kedua ini merupakan hasil liputan Konde.co di Jawa yang terangkum dari 8 kota di Indonesia

Transportasi umum yang aman, inklusif, dan terjangkau merupakan isu feminis. 

Kenapa bisa disebut isu feminis? Karena selama ini sistem patriarki yang timpang gender membebankan kerja-kerja domestik dan perawatan (care work) ke perempuan yang berimbas makin sulitnya mereka mengakses Transportasi umum (Transum).

Ini menjadikan perempuan lebih sengsara dengan transportasi umum yang tak mencukupi jumlahnya, maupun tak layak kondisinya. Mereka harus dalam kondisi buru-buru karena mengerjakan kerja domestik yang tidak banyak dilakukan laki-laki di rumah, berjibaku dengan kelelahan yang berlipat saat pergi ke pasar, mengantar anak sekolah, mengunjungi dan merawat orang tua yang sakit, pergi kerja, dan lain-lain. 

Belum lagi, situasi tak tak aman dan ancaman kekerasan berbasis gender di Transportasi umum (Transum) yang bisa terjadi kapan saja. 

Dalam penyediaan transportasi umum, pemerintah harusnya menyediakan transportasi umum aman dan inklusif bagi masyarakatnya. Kewajiban itu dituangkan dalam Pasal 21 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Salah satu unsur penting yaitu soal komponen standar pelayanan yang harus dipenuhi penyelenggara negara pelayanan publik. Yaitu, terjamin keamanan dan keselamatan pelayanan. Maka dari itu, transportasi umum mestinya memberikan rasa aman, bebas dari bahaya dan risiko keragu-raguan. 

Kondisi Transum Jabodetabek

Jauh panggang dari api, begitulah pepatah yang dapat menggambarkan target dan capaian penggunaan transportasi umum di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). 

Pemerintah menargetkan penggunaan transportasi umum mencapai 60% pada tahun 2029. Namun, data terbaru Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia menyebut, penggunaan transportasi umum di Jakarta baru mencapai sekitar 10%. 

Studi ITDP Indonesia (2023) juga memetakan hambatan penggunaan transportasi umum meliputi kenyamanan (berdesakan, panas), waktu tempuh lebih lama, dan keandalan (tidak tepat waktu, dll). 

Tiap harinya, masyarakat Jabodetabek harus menempuh perjalanan setidaknya 10,5 km untuk beraktivitas di Jakarta. Sementara itu, cakupan area layanan transportasi umum massal masih terpusat di Jakarta yang telah mencapai 78% wilayah, dibandingkan dengan Bodetabek yang masing-masing kotanya masih di rentang 8% hingga 29%. 

“Kesenjangan yang ada terhadap penyediaan transportasi publik itu, mempengaruhi mobilitas penduduk kota. Pada kota yang masih minim transportasi publiknya membuat penduduk bergantungan dengan kepemilikan transportasi pribadi,” ujar Odelia Humaira dari Forum Diskusi transportasi Jakarta (FTDJ) kepada Konde.co, pada akhir Januari 2025 lalu. 

Sebagai gambaran, Data Electronic Registration and Identification (ERI) Korlantas Polri per November 2024 mencatat, terdapat sekitar 19,4 juta unit sepeda motor dan 3,9 juta unit mobil di Jabodetabek. 

ITDP menyebut, otoritas yang tidak terpadu menjadi penyebab utama ketimpangan cakupan layanan. Selain itu, prioritas setiap daerah pun berbeda sehingga belum tentu dapat memberikan pelayanan transportasi umum yang andal. Kelompok yang terdampak dari kesenjangan akses transportasi di Jabodetabek ini, termasuk perempuan, disabilitas, lansia, dan kelompok rentan lainnya. 

Baca juga: Apakah Transportasi Publik Kita Sudah Berperspektif Gender dan Inklusif?: Hasil Riset Konde.co (1)

Dalam konteks Jabodetabek, lanskap transportasi umumnya memiliki beragam layanan berbasis jalan raya dan rel. Rutenya melayani dalam kota, antarkota, bahkan antarprovinsi. Pengelolaannya itu diatur oleh beberapa pemerintahan dengan kewenangan yang berbeda-beda. Gambarannya sebagai berikut:

(Sumber: Institute for Transportation and Development Policy)

Secara total, ada setidaknya terdapat 13 badan pemerintahan berbeda yang memiliki kewenangan mengelola transportasi umum di Jabodetabek. Di Jakarta, pemerintah provinsi DKI Jakarta dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di bawahnya bertugas mengintegrasikan transportasi publik secara fisik, dimulai dari revitalisasi area-area stasiun.

Selain pemerintah kota/kabupaten (pemkot/pemkab) dan pemerintah provinsi (pemprov), ada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas mengelola sektor transportasi pada tingkat nasional. Kemenhub terdiri dari multisektor termasuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).  

‘Bolong-bolong’ persoalan transportasi umum di Jabodetabek terjadi karena kebijakan yang belum ramah gender. 

Tiara Sophie Trinita, perempuan aktivis transportasi publik yang kini bergiat di isu perkotaan, Rujak Center for Urban Studies, menceritakan pengalaman dalam risetnya di seputar Bus Transjakarta. Sophie tak menafikan adanya perubahan di jalur-jalur protokol busway Transjakarta yang kini sudah banyak yang dilengkapi lift, ini berguna untuk kalangan minoritas seperti orang dengan disabilitas yang makin mudah aksesnya ketika naik transportasi umum. Dibanding harus melalui Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang seringkali menyulitkan: jalur panjang, gelap, lampu mati, dan rentan kriminalitas serta pelecehan seksual.  

Sophie pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat melintas di JPO Transjakarta. Situasi ini, hingga kini masih ada di beberapa halte busway.  

“Aku pernah jalan ke halte Simpang Cawang, JPO mati lampu. Suara di JPO gak kedengeran dari bawah. Itu yang menurut aku perlu diperhatikan. JPO menjadikan pejalan kaki makin berbahaya,” kata Sophie kepada Konde.co, Minggu (9/3).

Baca juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif

Saat ini, Sophie juga mempertanyakan desain-desain halte Transjakarta yang panjang sekali, tapi sempit. Sebagai pengguna Transjakarta dia jadi kurang nyaman, terlebih sekarang komersialisasi di halte Transjakarta makin masif seperti adanya spot yang menjual makanan atau minuman. Belum kalau ada event-event dan promosi program. 

“Jadi kurang enak.” 

Dari pengamatannya, Ia juga menyoroti petugas keamanan atau pramusapa di bus Transjakarta, yang jumlahnya makin minim. Jika dulu, dia bisa menemui paling tidak satu petugas, saat ini, seringkali tidak ada. Ini tentu krusial, sebab mereka punya peran untuk membantu kelompok prioritas sampai cepat tanggap jika ada pelecehan seksual. 

“Dulu ada satu pramusapa di bus (Transjakarta) untuk memantau biasanya dia keliling koridor. Makin ke sini, pramusapa gak ada. Kalau gak ada gini, tindakan kriminal atau pelecehan diselamatkannya pakai HP untuk dokumentasi.” 

Sophie dalam risetnya berjudul The Roots are Routines: Transjakarta sebagai Fenomena Liberasi Tubuh Perempuan Jakarta secara Kolektif melalui Mobilitas Fenomenologi Ketubuhan Maurice-Ponty, juga menyoroti soal pengalaman ketubuhan perempuan saat mengakses transportasi umum Transjakarta. 

Sophie kemudian mengangkat pemikiran yang mengutip fenomenologi ketubuhan menurut Merleau-Ponty dan membedahnya dengan menghadirkan pengalaman tubuh feminin dalam motilitas dan ruang. Konsep ini juga dibahas oleh pemikir kelahiran Amerika Serikat, Iris Marion Young dalam artikel jurnalnya yang diunggah pada Jurnal Human Studies 3, 137-156 pada tahun 1980 yang berjudul Throwing Like a Girl: A Phenomenology of Feminine Body Comportment Motility and Spatiality.

Dalam tulisannya, Young menjelaskan bahwasannya perempuan memiliki kecenderungan memiliki mawas diri dan berhati-hati dengan tubuh mereka, yang mengarahkan pada rasa tidak mampu dalam diri mereka sendiri. Rasa tidak mampu dalam diri ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan berakar pada sosialisasi dan cara asuh, bagaimana anak perempuan dikungkung dalam kategorisasi kegiatan apa yang ‘seharusnya’ perempuan lakukan. Sehingga, memunculkan keraguan dan ketakutan dalam gerak dan ruang, membuat mereka menginternalisasi keterbatasan kemampuan fisik mereka. 

Baca juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

Selain itu, objektifikasi dan cara pandang laki-laki (male gaze) juga disoroti oleh Young seperti yang ia katakan “Bagian penting dari situasi menjadi seorang perempuan adalah menjalani kemungkinan yang selalu ada bahwa dirinya akan dilihat sebagai tubuh belaka, sebagai bentuk dan daging yang menampilkan dirinya sebagai objek potensial dari niat dan manipulasi subjek lain, daripada sebagai manifestasi hidup dari tindakan dan niat” (Young, 1980, hal. 154).

Hal itu menunjukkan, bagaimana perempuan sering dipandang dan diperlakukan sebagai objek tatapan laki-laki berkontribusi dalam kesangsian perempuan untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat akan feminitas dan menghindari dianggap untuk dicerap sebagai yang terlalu ‘kuat’ atau ‘tegas’. Teori inilah yang kemudian ia tuangkan dalam risetnya tentang transportasi publik.

Wawancara Sophie dengan perempuan pengguna Transjakarta bernama Rini seperti terpapar dalam riset tersebut menyebut perlunya ruang khusus perempuan pada layanan Transjakarta. Ini mengingat banyaknya pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan pekerja dan anak sekolah yang rentan terjadi dikala keramaian dan padatnya penumpang bus. Itu menjadi langkah awal ruang aman, bagaimana dalam sehari-harinya menjadi iterasi (pengulangan).

Para pengguna Transjakarta jadi mengenali bahwasannya perempuan adalah pihak yang rentan akan kekerasan seksual di transportasi umum.  Seperti halnya para perempuan yang setiap harinya menghalau pengguna laki-laki yang menempati “Ruang Khusus Perempuan”, juga ketika ada yang salah menaiki “Bus Khusus Perempuan” untuk berpindah ke kawasan umum bus atau bus biasa, menjadikan pelatihan yang berulang akan mengetahui ketidakamanan perempuan dalam bertransportasi. 

Namun melalui hal tersebut, seperti yang Young katakan, ada pembatasan gerak, dan itu dimanifestasikan melalui ruang-ruang ‘aman’. Muara hal tersebut, aslinya adalah tidak adanya ruang aman di Transjakarta, sehingga melahirkan sekat baru, yang malah menjadi pembatas baru bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sehari-harinya. 

Baca juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Sophie juga menggali cerita Rini tentang akses aman Transjakarta. Ia juga menyoroti persoalan tentang JPO yang “horor” sampai pegangan bus Transjakarta yang tidak inklusif. Pegangan bagi penumpang di Transjakarta umumnya terlalu tinggi, bagi penumpang yang tingginya di bawah 165 cm, akan sulit berpegangan. Padahal orang Indonesia rata-rata tinggi tubuhnya 155-160 cm.

“Iya! kaya yang aku ceritain tadi JPO-nya horor banget, Harmoni, Semanggi, itu ya Allah, kayaknya gak perlu fitness lagi, deh hahaha. Ngapain sih panjang-panjang gitu?! kalo dulu di Sarinah itu, kalo ga salah ada liftnya, kalo buat yg orang tua bagus, tapi galama aku naik, lift JPO-nya rusak. kayanya perlu lift. (…) Pernah saat itu bus yang aku naiki pegangannya kan ketinggian jadi ada pernah tuh perempuan pegangannya ke aku karena tidak sampai.” (Wawancara dengan Rini, 31 Mei 2024). 

Walaupun Transjakarta dan KRL sudah berkampanye tentang stop kekerasan seksual, namun para penumpang transportasi umum ini masih mendapatkan diskriminasi dan stereotip negatif ketika mereka menunjukkan ekspresi gendernya di publik. Data ini terpotret dalam Laporan CATAHU Komnas Perempuan 2024. 

Komnas Perempuan misalnya menerima sebuah laporan bahwa ada kelompok seni yang beranggotakan identitas gender minoritas sebagai pengguna Kereta Rel Listrik/ KRL. Mereka lantas mengadukan tindakan diskriminasi yang terjadi di KRL. Bentuk diskriminasi berbasis gender itu seperti, tidak diperbolehkan untuk naik kereta api, mengalami pelecehan verbal, dipertanyakan jenis kelaminnya, di-cek KTP/identitas kependudukannya dan lain sebagainya. 

“Komnas perempuan melakukan penyikapan dengan menyurati PT Kereta Api Indonesia/ KAI indonesia, menyampaikan bahwa setiap orang berhak bebas dari tindakan dan perlakuan yg bersifat diskriminatif sesuai dengan amanat pasal 28 ayat (2) UU 1945,” ujar Olivia C Salampessy, Komisioner Komnas Perempuan dalam paparan yang diikuti Konde.co, Jumat (7/3).   

Tindakan diskriminasi tersebut, menurutnya berdampak traumatik untuk menggunakan KRL Commuter Line, yang adalah minoritas gender dan seksualitas. 

Baca juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

“(Mereka) Ketakutan menggunakan KRL Commuter Line, ketakutan menggunakan KRL commuter line dan toilet di stasiun kereta.” 

Berkaitan itu, pihaknya juga menekankan agar Kementerian BUMN menginstruksikan pada pengelola jasa transportasi umum khususnya PT KAI, membuat kebijakan dan sosialisasi pelayanan dan larangan merendahkan martabat khususnya terhadap kelompok minoritas gender.

Selain itu, masalah di transportasi umum di Jabodetabek yang banyak disorot adalah kelindan pelecehan seksual. Misalnya saja, pada kasus pelecehan seksual di kereta rel listrik (KRL). Data PT KAI Commuter periode Januari hingga Oktober 2024 saja, ada setidaknya 57 kasus pelecehan seksual yang terjadi. 

Pelecehan seksual yang potensial terjadi di tengah kepadatan penumpang KRL. Foto: Nurul Nur Azizah/Konde.co

Pelecehan seksual yang terjadi di KRL itu seperti yang terjadi pada Keenan (bukan nama sebenarnya). Ia mengalami pelecehan seksual sekitar akhir Februari 2025, dia melaporkan ke petugas dan terduga pelaku dinyatakan di-black list, namun nyatanya terduga pelaku masih bebas berkeliaran. Keenan sudah melaporkan ke pihak KAI, namun tak ada tindakan tegas sampai saat ini. 

Saat kejadian, Keenan pulang lebih terlambat dari kuliah. Dia naik KRL dari stasiun Sudirman menuju Bekasi pada sekitar pukul 18.30 WIB. Sejak saat pertama naik, dia sebetulnya sudah merasa ada yang menatapnya dari jauh. Di stasiun Manggarai, terduga pelaku semakin mendekat karena adanya penumpukan penumpang yang semakin padat. 

Sampai di stasiun Cakung, penumpang sudah banyak yang turun. Keenan pun, bersiap untuk turun KRL setelah melewati dua stasiun lagi. Dia menghadap ke arah pintu keluar. Terduga pelaku yang masih berada di belakang Keenan, tiba-tiba terasa ada yang meraba bahkan meremas bagian pantatnya. 

Baca juga: Taksi Perempuan di Uganda: Atasi Kekerasan Perempuan di Transportasi Publik

Kejadian itu berlangsung sampai dua kali. Pada saat pertama terjadi, dia membiarkan. Namun saat kedua kalinya, dia sempat menoleh ke belakang. 

“Pada saat belakang saya diraba itu saya kayak masih mikir, oh paling kesenggol atau kayak gimana. Karena saya cuma kayak ngerasa keraba aja gitu loh. Kan biasanya kalau misalnya lagi rame emang suka lah kayak kesenggol-senggol atau kayak gimana.

Jadi, kayak wajar. Nah, tapi tiba-tiba ada yang ngeraba lagi. Ini ngeraba-nya itu sampai meremas,” ujar Keenan saat berbincang dengan Konde.co, Minggu (9/3).

Di situasi itu, Keenan tidak bisa langsung merespons. Ada pikiran berkecamuk saat dia mau mengkonfrontasi langsung terduga pelaku. Ada ketakutan dia yang malah bakal disalahkan dan dimarahi penumpang lain. Namun, dia reflek untuk mengaktifkan kamera di HP-nya. 

“Saya langsung video-in. Jadi saya langsung buka video. Saya buka video itu takut buat kayak misalnya dia berani meremas lagi. Saya langsung sorot ke mukanya dia. Ketika saya buka kamera, dia tuh (terduga pelaku) langsung rada menjauh,” katanya. 

Keenan merekam sekitar 15 menitan hingga akhirnya sampai ke stasiun tujuannya, Bekasi. Dia sempat mau mengejar terduga pelaku. Dia lalu melaporkan kejadian pelecehan seksual yang dialami ke petugas keamanan yang berjaga di peron stasiun. Namun, reaksi kurang baik diterima Keenan. 

“Responsnya tuh kayak bodo amat. Kayak ‘cari yang mana pelakunya’ tapi abis itu pas saya ngasih lihat mukanya (dari rekaman video), dia kayak “oh” gitu doang. Udah kayak gak terjadi apa-apa.”

Sekitar 5 menitan Keenan berupaya mencari terduga pelaku tidak terlihat. Dia pun beralih dari eskalator ke tangga manual. Di situlah, dia bertanya lagi ke petugas keamanan yang lain. Keenan bilang jika dia baru saja mendapat pelecehan seksual dari laki-laki ini, sambil dia menunjukkan muka terduga pelaku dari rekaman videonya. 

Baca juga: Takut dan Tak Bisa Teriak: Pengalaman Pelecehan di Transportasi Umum

Petugas keamanan kedua ini, cukup lebih tanggap dibandingkan pertama. Dia kemudian dibantu mencari terduga pelaku yang masih tak jauh. Benar saja, akhirnya Keenan ditemani petugas keamanan itu menemukan terduga pelaku. 

“Abis itu saya langsung marah-marah lah di situ. Pertamanya, dia kayak gak mau ngaku. Tapi saya gertak, saya bilang punya videonya kalau misalnya Mas-nya megang saya.” 

Gertakan Keenan itu berhasil membuat terduga pelaku mengakui pelecehan seksual yang dilakukannya. Keenan tak habis pikir, terduga pelaku justru melakukan aksi pelecehan seksual fisik kepadanya saat penumpang KRL lenggang. Artinya, dia sengaja dan khawatirnya terduga pelaku memang predator kekerasan seksual. 

“Saya akhirnya di tanyalah sama security. Ini mau damai aja atau ditangani pihak KAI? Nah, yaudah saya langsung minta opsi kedua untuk ditangani pihak KAI.” 

Pada saat itu, Keenan memutuskan untuk hanya melaporkan ke pihak KAI karena pikirnya, KAI bakal serius menangani kasusnya dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berpihak pada korban. Sebab Ia memang tidak akan melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian karena adanya trust issues jika laporannya tidak ditanggapi dan berbuntut panjang. 

“Saya punya kayak trust issues ke polisi. Jadi kayak, saya mikir percuma untuk lapor ke polisi. Jadi yaudah, kalau misalnya KAI bisa menanggapi, saya serahkan ke KAI.” 

Keenan dan terduga pelaku kemudian dibawa ke ruang pos keamanan. Di situ terduga pelaku diinterogasi dan diminta menandatangani surat pernyataan di atas materai. Terduga pelaku dan korban saat itu dipisah di ruangan yang berbeda. 

Namun, baru kemudian Keenan sadari jika ada yang janggal di bagian kronologi kejadian. Bukan dari korban, kronologi kejadian itu justru ditulis oleh terduga pelaku yang mereduksi pelecehan seksual yang terjadi. Dia menuliskan “menyentuh bagian belakang penumpang lain sebanyak 1 kali”. Itu berbeda dengan yang dialami korban, bahwa terduga pelaku sebetulnya telah “meraba dan meremas bagian pantat sebanyak 2 kali”. 

Baca juga: Transportasi Umum yang Aman untuk Perempuan: Tanggung Jawab Siapa?

Sayangnya, perbedaan kronologi itu baru korban sadari usai sampai di rumah. Setelah dia mengecek kembali rekaman video dari HP-nya yang menyorot ke surat pernyataan yang di-ttd terduga pelaku. Sebelum akhirnya dilarang petugas keamanan untuk merekam. 

“Di situ saya bingung, kayak bisa ya, beda sama yang korban bilang. Jadi, dia kayak nulis surat pernyataan itu sesuai dengan kronologinya pelaku, bukan kronologinya korban,” kesalnya. 

“Korban di sini kan saya, tapi mereka (petugas keamanan KAI) malah pakai kronologinya si (terduga) pelaku.”

Menurut informasi petugas keamanan KAI, terduga pelaku bakal di-blacklist sebagai penumpang KRL untuk seterusnya. Namun, ada momen beberapa hari setelah kejadian itu, Keenan nyatanya tak sengaja bertemu kembali dengan terduga pelaku saat turun di stasiun KRL Bekasi. 

Waktu itu, Keenan melihat terduga pelaku sedang tap kartu KRL dan keluar dari stasiun. Dia tampak tidak memakai masker, sehingga Keenan bisa dengan mudah mengenalinya. 

“Kayak saya langsung mikir, ini blacklist kok orangnya masih bisa keluyuran, masih bisa bebas.” 

Usai itu, Keenan memposting status tentang apa yang dialaminya itu di story media sosialnya. Saat itu, ada salah seorang mutual friend-nya, yang masinis di KRL, sempat memberi komentar di story-nya, “Ya kan, security gak cuma ngurus satu orang. Kali aja pakai masker (terduga pelakunya),” Keenan menirukan balasan temannya itu yang membuatnya semakin kecewa. 

“Misal security gak ngeliat banyak penumpang, itu menurut saya gak mungkin. Karena terduga pelaku ini pertama, gak pakai masker dan kedua, bukan di jam rush hour,” kata Keenan.

Unggahan tentang kasus Keenan juga sempat direspons oleh admin medsos KAI. Pihak KAI sempat menghubunginya secara personal (Direct Message) dan berlanjut ke Whatsapp. Saat itu, Keenan ditanya soal kronologi kejadian dan diimbau untuk menghubungi kembali pihak KAI jika ada kejadian serupa. 

Namun, saat Keenan kembali bertemu terduga pelaku di stasiun yang sama terjadinya pelecehan seksual, Keenan merasa tak sesuai harapan. 

Baca juga: Butuh Kontribusi Semua Pihak untuk Mewujudkan Transportasi yang Aman untuk Perempuan

“Saya chat (pihak KAI), yang jawab tuh kayak bot (robot). Jawabannya template gitu loh dan gak ada follow up sama sekali.” 

Tak lama dari itu, Keenan juga mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang masih berkaitan dengan kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Itu bermula saat ada seorang penumpang KRL saat hari-H kejadian pelecehan seksual tanpa consent mengambil video Keenan dan terduga pelaku saat berhadapan dengan petugas keamanan KAI. 

Dalam video yang diunggah ke medsos termasuk Tiktok itu, tertulis caption yang intinya “Hati-hati ada pelaku pelecehan dan lain-lain gitu, loh. Jadi kayak dia (pengunggah) sebenarnya ngasih awareness, cuma yang bikin anehnya itu kolom komentarnya lebih menyudutkan saya (korban) daripada terduga pelaku.” 

Banyak bermunculan komentar-komentar yang melecehkan dan re-viktimisasi ke korban pelecehan seksual. Alih-alih mendukung korban yang berani melaporkan kasusnya. Beberapa komentar yang Keenan ingat seperti:

“Mas-nya aura ke-ibu-ibuannya ada gitu loh”

“Dia (korban) sebenarnya suka, cuma karena gak sesuai, terduga pelaku bukan tipenya. Jadinya marah-marah”

“Ini mah tinggal dibawa keluar aja, nanti dibawa ke kamar”

Ada juga yang bilang “Gue sih dukung pelaku, ya”

Dari situ, Keenan mengaku sempat down secara mental. Itu karena ruwetnya ketika dia melaporkan kasus pelecehan seksual yang dia alami dan mengupayakan keadilan bagi dirinya, sampai reviktimisasi dan KBGO yang justru kembali dialaminya sebagai korban. 

“Kayak pantasen ya, korban pelecehan di transportasi umum itu banyak yang memilih gak speak up atau berani melaporkan kasusnya,” kata Keenan.  

Apa yang Keenan katakan soal keengganan korban pelecehan seksual di transportasi umum melaporkan kasusnya, bukan omong kosong. 

Baca juga: Pelecehan Menimpa Perempuan di dalam Transportasi Online

Salah satu penumpang KRL berinisial RK (22) mengalami hal itu. Dia tak melaporkan, meski dia sudah sampai 5 kali mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Sebanyak 4 kalinya di KRL dan 1 kalinya di halte Transjakarta. Itu terjadi pada kurun waktu 2024 hingga awal 2025 ini. 

Kasus pelecehan seksual yang terjadi RK mulai dari catcalling, usapan pada bagian tangan, paha hingga pantat, ditatap bernuansa sensual, sampai dibuntuti dari dalam kereta sampai keluar gerbong KRL.  

Ada banyak faktor yang menyebabkan RK sebagai korban tak semudah itu melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Mulai dari mengalami freeze (respons korban yang seperti membeku), kebingungan dan denial, minim bukti dan petugas yang berjaga, hingga ketidakpercayaan pada penanganan berperspektif korban. 

“Saya merasa, harus seberapa parah pelecehan seksual yang terjadi sampai bisa dikasih tindakan serius? Kalau cuma ditegur, ya pelakunya besok-besok bakal free lagi. Bisa saja melakukan (pelecehan seksual) ke orang lain lagi. Sedangkan korbannya ini trauma dan selalu takut kalau naik transum,” kata RK kepada Konde.co, Selasa (11/3). 

Kasus pelecehan di KRL yang paling berat Ia rasakan saat kasus yang kelima. Saat itu, momen berangkat kerja, dan ada seorang tak dikenal tiba-tiba memegang pantatnya saat di eskalator. Pada saat itu perasaannya bercampur aduk: kesal, marah, malu, takut victim blaming, sekaligus kecewa berkecamuk. 

Saat tiba di kantor, tangis RK pecah. Hingga atasan dan rekan kerjanya di kantor mengetahui kasusnya. Untungnya, kantornya mendukungnya dan tidak menghakimi. Dia diizinkan untuk tidak bekerja dari kantor (WFO) selama seminggu dan pulangnya dipesankan moda transportasi online. 

Baca juga: Transportasi Umum dan Pelecehan Perempuan

Setelah kasus demi kasus pelecehan seksual yang dialami, RK sampai saat ini masih suka mengalami kecemasan ketika naik transportasi umum. Dia jadi seperti harus selalu waspada dengan sekitar. Meskipun, rasa takutnya sudah lebih berkurang karena mau gak mau, transportasi umum masih jadi tumpuannya beraktivitas sehari-hari. 

“Kalau takut mulu, nanti gak bisa kerja,” katanya. 

Meski begitu, RK juga menekankan agar adanya upaya serius dalam mitigasi penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi umum. Itu misalnya, bisa tampak pada sosialisasi pencegahan kekerasan seksual yang diumumkan ke publik, bisa menyertakan sanksi tegas yang disosialisasikan ke publik. Jadi, tidak hanya imbauan saja. 

Tak kalah penting, dia juga mengusulkan adanya sistem yang secara realtime bisa digunakan korban untuk melapor kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Misalnya dengan menggunakan tombol yang terhubung kepada petugas atau operator. Itu bisa juga berupa tombol darurat yang aksesibel bagi korban melapor. 

“Bisa ada sistem yang efektif apabila itu terjadi (pelecehan seksual), korban bisa lapor secara realtime. Ada semacam bel yang bisa dipencet di setiap gerbong yang bisa nge-signal petugas atau operator.” 

Kondisi di Sekitar Bodetabek, Ketimpangan Akses dan Belum terintegrasinya Transum

Kondisi lain dialami para pengguna Transum di wilayah sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Walau jaraknya dekat, namun kadang sulit dijangkau dengan belum terintegrasinya Transum.

Tiap pagi pukul tujuh, Lia (29), menunggu angkutan umum (angkot) yang mengantarkannya menuju pabrik karton di kabupaten Tangerang. 

Tak langsung di depan rumah, dia terlebih dulu mesti jalan kaki atau naik ojek pangkalan dari rumahnya di kawasan Tigaraksa. Jarak rumahnya hampir 1 km ke jalan raya yang ada angkotnya. Di sekitar rumah hanya ada angkot. Trayek Pinang ke Citra Raya yang paling sering digunakan untuk mobilitasnya bekerja. 

Jarak dari Kereta Rel Listrik (KRL) pun lebih dari 13 km. Di sekitar rumahnya juga tak ada halte bus. Halte terdekat dari rumahnya di trayek Poris-Jatiuwung yang lewatnya di Kota Tangerang, tidak sampai kabupaten. Dengan kata lain, akses transportasi publik di daerahnya tidak terintegrasi dengan baik. Namun karena Lia tak bisa mengendarai motor, transportasi publik jadi andalan. 

“Aku kan tinggal di kabupaten Tangerang, bus di sini gak ada. Akses ke transportasi publik jauh dan harus nyambung-nyambung,” ujar Lia kepada Konde.co, Selasa (28/1). 

Sudah empat bulan ini, Lia pindah kerja ke pabrik yang lokasinya lebih sulit dijangkau. Tak ada angkot yang langsung bisa menuju ke pabriknya, jadinya, dia harus naik ojek online yang setidaknya merogoh kocek Rp 30 ribuan (pulang pergi). Padahal, ongkos angkot sebelumnya Rp 10 ribu (pulang pergi). 

Dengan gaji buruh pabrik sekitar Rp 4 jutaan, ongkos transportasinya ke tempat kerja cukup terasa sekitar Rp 600 ribuan hanya untuk ojol. Apalagi, buruh pabrik dengan status kontrak pendek per 6 bulan sepertinya yang bisa dengan mudah terancam putus kontrak dan kehilangan pekerjaan. 

Kondisi jalur jalanan dari rumah Lia ke kawasan pabrik tempatnya bekerja yang nihil angkutan umum di kawasan kabupaten Tangerang. Dok. Pribadi

Belum lagi, ongkos mobilitasnya selain ke tempat kerja. Seperti pada akhir pekan, dia mengunjungi teman atau ada keperluan ke Kota Tangerang, dia keluar ongkos Rp 40 ribu-an untuk naik angkutan semacam shuttle elf (pp). 

Itu semua di luar dari kebutuhan sehari-harinya yang juga mesti membantu sekolah adik-adiknya. Juga membantu pemasukan keluarga karena ayahnya kini sudah pensiun. 

“Pengen juga kalau ada bus subsidi gitu, ongkos kemana-mana lebih murah. Bisa buat kebutuhan yang lain,” kata dia. 

Pengalamannya selama naik angkutan umum (angkot), dia mengeluhkan fasilitas angkutan yang minim penerangan dan pengap, ada juga yang bising dengan musik jedag-jedug. Pernah juga ada kriminalitas pencopetan saat suatu kali Lia naik angkot bersama ibunya. Selain itu, infrastruktur jalan raya yang masih minim menjadikannya tak aman.

“Kalau naik angkot kan, kita kadang udah sore banget dan malam, nah itu nunggunya kan gak ada haltenya. Itu rawan pelecehan terutama yang daerah-daerah gelap atau sedikit orang,” terangnya. 

Minimnya keterhubungan akses transportasi publik juga dirasakan oleh Olla (30), perempuan berdomisili di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia memilih naik ojol untuk bisa menuju stasiun Sudimara menyambung KRL untuk bekerja ke daerah Palmerah, Jakarta Barat. 

Itu disebabkan, angkot terdekat dari rumahnya sekitar 3 km dengan trayek Ciputat lewat pasar Jombang ke Sudimara. Untuk bisa naik bus Transjakarta Ciputat, jaraknya tak jauh beda dan masih harus menyambung dengan rute yang berputar. Di samping, fasilitas angkutan umum yang menurutnya banyak yang kurang layak. Seperti, kondisi angkot yang sudah tua, pengap, dan bau asap rokok.  

“Aksesnya juga susah terus gak tentu jamnya. Belum kalau angkot ngetem lama,” kata Olla ditemui pada Rabu (29/1). 

Olla yang beberapa tahun ini tinggal di Tangsel, mengaku ada ketimpangan yang terasa soal transportasi publik dengan Jakarta. Saat dia tinggal sebelumnya di Jakarta lebih dari lima tahun, dia relatif lebih suka naik transportasi publik dengan banyak alternatif. Berbagai macam transportasi publik sudah pernah dia jajal mulai dari kopaja, jaklingko, angkot, KRL, MRT hingga LRT. 

“Karena saling menyambung ya, jadinya lebih mudah. Beda kalau di sini (Tangsel) kayak mendingan naik kendaraan pribadi atau ojol mau gak mau,” imbuhnya. 

Meski tampak lebih terintegrasi, transportasi publik di Ibu Kota juga bukannya tanpa celah. 

Penelusuran Konde.co sepanjang rute KRL Sudimara hingga Tebet pada Jumat (24/1) menemukan klaim-klaim pemerintah (badan usaha milik pemerintah via website resmi KAI Commuter) ada yang belum sesuai dengan kondisi lapangan. Misalnya saja soal ruang laktasi ibu dan bayi, kemudahan mendapatkan pin hamil, sampai petugas pengamanan perempuan.  

Per Agustus 2024, KAI Commuter dikutip Kompas.com, merinci 27 stasiun KRL yang menyediakan ruang laktasi ibu dan bayi. Salah satunya adalah stasiun Tanah Abang. Saat Konde.co, mendatangi lokasi ternyata tidak tersedia. Salah seorang petugas keamanan mengarahkan ke ruang kesehatan. 

“Ini cuma bisa (pumping) kalau lagi gak ada orang sakit, ya,” ucap salah seorang petugas perempuan kepada Konde.co.  

Memang tidak ada yang orang sakit yang kemudian masuk ruangan itu selama hampir 30 menit pumping, tapi banyaknya lalu lalang petugas KRL lainnya, yang banyaknya laki-laki, cukup membuat tidak nyaman.  

Menyoal mengurus pin hamil untuk kursi prioritas di KRL, pengamatan Konde.co, juga masih jadi “PR” soal kemudahan dan aksesibilitas. Utamanya, soal informasi yang tidak tersosialisasi dengan baik. Ini tampak pada ketidaksigapan petugas dalam menjelaskan alur pengurusan pin hamil. Saat mendatangi stasiun Sudimara, petugas loket bilang harus ke stasiun Tanah Abang untuk mengurus. Tapi setelah sampai ke Stasiun Tanah Abang, petugas bilang harus diurus via aplikasi dan menunggu beberapa hari. Dengan alur yang simpang siur ini, perempuan dalam kondisi hamil seperti “dipingpong” untuk mengurus pin hamil yang mestinya bisa diurus di stasiun terdekatnya. 

Di sepanjang jalur KRL yang diamati Konde.co, juga tidak ditemukan petugas keamanan perempuan. Sehingga secara teknis, transportasi publik masih begitu maskulin yang seringnya tak sensitif gender. 

Kepadatan penumpang di stasiun Tanah Abang. Foto: Nurul Nur Azizah/Konde.co

Salah seorang penumpang KRL di stasiun Tanah Abang, Emi (35), yang membawa kedua anaknya, mesti ikut berdesak-desakan menuruni tangga. Sesampainya di tempat menunggu kereta ke arah stasiun Manggarai, dia juga tampak duduk ngampar bersama kedua anaknya. 

“Petugasnya gak ada sih tadi, jadi gak ada yang ngatur buat prioritas. Gak semuanya kan peka juga penumpang,” ujar Emi kepada Konde.co.  

Di stasiun Kebayoran Lama, lelaki separuh baya disabilitas netra, juga tampak tertatih berjalan sendiri dengan dibantu swadaya penumpang lain turun dari KRL. Tak ada petugas yang membantunya. Dia tampak kebingungan mencari lift untuknya turun ke lantai dasar. 

“Saya mau ke pasar, liftnya mana?,” tanyanya disambut oleh salah seorang penumpang yang peduli.  

Kesenjangan transportasi publik di kawasan Jakarta dan bodetabek ini juga pernah dipotret oleh Riset ITDP. Ketimpangan itu tampak pada jenis moda, titik pemberhentian transportasi publik dan tarif serta metode pembayaran. 

“Di Indonesia, transportasi publik/ massal belum menjadi prioritas bagi beberapa pengambil kebijakan di kota dan daerah untuk menyediakan transportasi publik yang inklusif bagi semua kalangan, hal ini mempengaruhi subsidi dan kebijakan yang diberikan untuk transportasi publik sehingga sulit untuk merealisasikan transportasi publik yang inklusif,” kata Odelia dari ITDP. 

(Sumber ITDP)

Bandung: ‘Kota Inklusif’ yang Hanya Wacana

Bagaimana dengan kondisi kota lain di kota-kota di Jawa? Konde.co kemudian melakukan pemetaan yang terjadi di Bandung.

Selasa, 27 Januari 2015, sekitar pukul 11 pagi, sejumlah orang duduk menanti kedatangan bus dan angkot di halte Alun-Alun Bandung.

Area tersebut tak sepi dari transportasi umum. Beberapa angkutan kota (angkot) berhenti menunggu penumpang tak jauh dari halte, sementara dua bus beriringan membuka pintu bagi orang-orang yang naik dan turun. Bus berwarna biru muda adalah bus DAMRI Cibiru – Leuwi Panjang, sedangkan bus biru tua yang lebih kecil adalah Trans Metro Pasundan (TMP) yang melayani koridor 2D rute Alun-Alun Bandung – Kota Baru Parahyangan.

Irma (43) adalah salah satu penumpang bus TMP 2D di halte Alun-Alun. Ia agak kesulitan saat menaiki tangga bus karena kakinya sedang sakit dan tangga bus cukup curam. Dibantu penumpang yang lain, Irma akhirnya duduk di kursi penumpang. Bus pun melaju, bertolak dari Alun-Alun Bandung menuju Kota Baru Parahyangan.

Tujuan Irma adalah rumahnya di daerah Kebon Kopi, Cimahi. “Jadi nanti turun di (halte) Kebon Kopi, teras ngke nganggo angkot Cimindi (lalu nanti pakai angkot Cimindi),” kata Irma kepada Konde.co.

Sepanjang perjalanan, bus beberapa kali berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Tak semua pemberhentian berupa halte dengan tempat duduk dan atap pelindung seperti di Alun-Alun. Malah, kebanyakan hanya berupa palang bus stop di trotoar yang rusak atau padat oleh parkir motor. Beberapa kali, penumpang berusia lanjut harus dibantu untuk masuk dan keluar dari bus. Sebab hanya ada satu pintu bus dengan tangga kecil yang bisa diakses.

Secara umum, Irma mengaku nyaman menggunakan bus TMP. Namun ia masih lebih memilih menggunakan angkot untuk mobilitas sehari-hari karena akses masuknya lebih mudah. “Kalau angkot mah, ke jalan kecil juga lewat. Bus saya mesti jalan lagi jauh ke rumah,” Irma mengatakan. “Tapi angkot oge hese (juga susah) sih, harus gonta-ganti.”

Sepanjang pengamatan Konde.co, halte Alun-Alun Bandung barangkali satu dari sedikit tempat pemberhentian bus yang ditata cukup baik dengan menyediakan kursi dan shelter. Sedangkan di banyak tempat lainnya, pemberhentian bus hanya berupa plang penanda bus stop tanpa shelter maupun fasilitas memadai lainnya.

Bus stop di jalur Cicaheum-Cibeureum yang ada di Bandung. Foto: Salsabila/Konde.co

Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dan dosen Universitas Katolik Soegijapranata, menilai bahwa kondisi transportasi umum di Indonesia belum sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang digadang-gadang pemerintah. Alih-alih semakin bagus, transportasi umum di Indonesia justru memburuk. Selain angkutan pedesaan yang menghilang, jumlah armada transportasi umum pun dikurangi.

“Semua negara maju itu, public transport-nya pasti bagus. Nggak ada satu pun negara maju, public transport-nya buruk seperti Indonesia,” ujar Djoko kepada Konde.co, Kamis (30/1/2025).

Menurut Djoko, transportasi umum erat kaitannya dengan kehidupan dan penghidupan masyarakat di sektor-sektor lain. Maka buruknya transportasi di Indonesia, terutama di pedesaan, berdampak salah satunya pada angka putus sekolah. Sebab anak-anak kesulitan menjangkau sekolah dari tempat tinggal mereka dan tak semua orang tua mampu memberikan ongkos lebih banyak untuk menggunakan moda transportasi lain, seperti ojek atau transportasi daring. Transportasi publik yang minim dan tak layak juga berdampak hingga pada tingginya angka perkawinan usia anak dan stunting.

Stunting itu bukan cuma karena gizi buruk. Salah satunya juga adalah karena perkawinan usia anak,” tutur Djoko.

Ia menambahkan, biaya transportasi di Indonesia tergolong mahal. Rata-rata biaya yang harus digelontorkan untuk ongkos transportasi di Indonesia mencapai di atas 30% dari penghasilan masyarakat. Padahal, banyak negara sudah berupaya menekan ongkos transportasi hingga di bawah 10%. Bahkan di Perancis dan Singapura, biaya transportasi hanya sebesar 3% dari penghasilan rata-rata.

“Kemudian pemerintah bangun rumah. Bangun rumah, banyak yang mangkrak. Itu ribuan kok, di daerah, yang mangkrak. Nggak laku-laku, kenapa? Ya karena aset transportasinya nggak ada.”

Kondisi transportasi publik di Indonesia juga belum aman untuk perempuan dan kelompok rentan seperti disabilitas. Perempuan pengguna transportasi umum masih rentan mengalami pelecehan seksual. Keberadaan ruang atau gerbong khusus perempuan di bus dan kereta pun adalah aksi afirmatif (affirmative action) yang lebih merupakan solusi jangka pendek. Sebab, area tersebut hanya berupa dua gerbong di bagian ujung kereta atau ruang kecil di bus. Sedangkan banyak pengguna transportasi umum adalah perempuan. Alih-alih melindungi, keterbatasan ruang justru membuat perempuan harus saling berebutan untuk dapat mengakses area khusus tersebut.

Sementara itu, moda transportasi umum dan fasilitas pendukungnya belum inklusif bagi orang dengan disabilitas. 

Berdasarkan pantauan Konde.co di Bandung, masih banyak jalur pejalan kaki menuju pemberhentian bus atau stasiun terdekat dengan guiding block ala kadarnya atau bahkan rusak. Padahal, jalur ini dimaksudkan untuk membantu akses disabilitas netra. Terdapat pula rintangan pohon, pembatas jalan, hingga motor dan mobil yang parkir sembarangan dan dikemudikan di trotoar. Akses jalur penyeberangan orang (JPO) menuju halte dan stasiun pun masih banyak yang berupa tangga curam, gelap, dan tak memiliki lift untuk perempuan hamil, lansia, dan disabilitas.

Di Bandung, hampir semua akses masuk bus yang beroperasi berupa tangga sehingga menyulitkan perempuan hamil dan lansia, apa lagi disabilitas. Tidak ada pintu lower deck maupun ramp untuk membantu penumpang pengguna kursi roda masuk ke dalam bus. Di satu sisi, pemerintah Bandung sebetulnya  telah meluncurkan transportasi bus untuk pengguna dengan disabilitas. Namun sejumlah pihak menilai langkah itu justru mengeksklusi disabilitas, berlawanan dengan jargon ‘kota inklusif’ yang diusung Bandung.

Para penumpang antre menaiki Trans Metro Pasundan di Bandung pada Kamis (30/1). Foto: Salsabila/Konde.co

Djoko juga memperhatikan banyaknya pengguna transportasi umum yang merupakan perempuan, anak-anak, lansia, dan disabilitas. Ia mendorong penggunaan anggaran daerah maupun pusat untuk optimalisasi fasilitas akses transportasi umum yang lebih baik bagi mereka.

“Untuk lansia, untuk perempuan, disabilitas, itu harus dapat perhatian khusus,” ucap Djoko. Ia mencontohkan transportasi umum di Singapura yang inklusif meski merupakan negara kecil. “Orang cuman turun tangga—berapa? Cuma 5 meter aja nggak sampai, itu, kan.” Tambahnya, “Kasihkan fasilitas buat orang, ketika desain-desain, selalu diperhatikan. Saya lihat negara Singapura itu luar biasa. Dia ketika mendesain apapun, dia hanya perhatian buat disabilitas.”

Djoko pun memperingatkan bahwa tinggal tersisa 20 tahun lagi menuju titel ‘Indonesia Emas 2045’. “20 tahun itu waktu yang singkat,” tegasnya. 

“Saya bercermin dengan Transjakarta. Transjakarta 20 tahun kan, baru hasilnya kelihatan. Itu pun orang belum mau beralih, ya, kan? Itu 20 tahun. Nah, kalau Indonesia maju, ya sekarang bergerak, jangan hanya janji politik ‘akan kami gratiskan’.”

Yogyakarta: Transum Minim, Ramah Kelompok Rentan Namun Tak Merata

Yogyakarta adalah kota dengan transportasi umum yang sangat minim, kebanyakan warga Jogja menggunakan motor. Orang lebih memilih naik motor karena kondisi Transumnya yang minim.

Vivi, 26 tahun, melahirkan anak pertama pada 2024 lalu. Selama hamil, ia masih bekerja bolak-balik dari rumah kontrakan di seputaran Jalan Kusumanegara Kota Yogyakarta hingga tempat kerja di kawasan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dengan mengendarai motor. 

Meskipun sebelumnya familiar menggunakan moda transportasi Trans Jogja sejak 2020, ia memilih untuk menghindarinya selama hamil.

Driver-nya ngebut,” ucap Vivi kepada Konde.co, Senin, 27 Januari 2025.

Ia masih ingat betul saat hari memasuki sore dan jalanan basah usai hujan. Perempuan asal Magelang, Jawa Tengah itu baru saja masuk bus dari halte portable di jalur lambat di kawasan jalan lingkar (ring road) utara. Bus pun dipacu cepat untuk lekas keluar dari jalur lambat yang biasa dilalui motor menuju ke jalur cepat. 

Penumpang bus Trans Jogja turun dari pintu yang berdesain rendah di Halte Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Tiba-tiba sebuah motor masuk dari jalur cepat ke jalur lambat. Sopir sontak kaget dan mengerem mendadak. Bodi bus nyaris menyerempet pengendara motor. Vivi menahan nafas. Penumpang yang hanya berjumlah 4-5 orang berseru-seru.

“Astaghfirullah!” seru mereka berulang-ulang sembari menebah dada lantaran kaget.

Tak ada penumpang yang langsung menegur sopir yang ugal-ugalan itu. Sementara Vivi mencoba mengirim laporan pengaduan melalui chat WhatsApp. Nomor Layanan Aduan itu tertera di bodi belakang bus.

“Tapi nggak direspons sama sekali,” keluh Vivi. 

Kebiasaan sopir bus ngebut saat mengendarai Trans Jogja bukan sekali itu dirasakan. Dan mau tak mau, saat motornya tengah dipakai suami, ia menggunakan moda kendaraan umum itu.

“Buat aku yang posisi nggak hamil (saat itu), lumayan deg-deg seeer ya naik Trans Jogja,” ujar Vivi.

Pertimbangan lain meliburkan diri naik Trans Jogja selama hamil, karena halte portable dekat tempat kerjanya tanpa atap dan tanpa tempat duduk. 

“Kalau musim penghujan, nggak ada tempat berteduh. Bagi saya waktu itu cukup struggle, apalagi kalau pas hamil,” ucap dia.

Sementara bangku tunggu di halte dekat rumah terasa keras dan tak nyaman untuk duduk. Alasnya juga dari besi. Belum lagi bus yang ditumpangi acapkali datang terlambat. Jika sekadar terlambat 5-10 menit, Vivi masih memakluminya. Namun acapkali ngaret sampai 30-45 menit, sehingga ia terlambat tiba di kantor. 

Perempuan penumpang bus Trans Jogja tengah menyeberang dari halte menuju bus dengan celah cukup lebar di Halte Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Dan pulang kerja adalah jam arus lalu lintas yang sibuk di Yogyakarta. Di titik-titik tertentu jalan yang dilalui, dipastikan ada kemacetan. Tak sefleksibel apabila mengendarai motor yang bisa menyelip di antara kerumunan mobil yang mengular, Vivi pun mesti berlama-lama di dalam bus karena bus ini rute nya terlalu banyak memutar dan menghabiskan waktu, tidak seperti motor yang relatif cepat sampai tujuan.

Usai melahirkan, Vivi belum pernah menumpang Trans Jogja lagi. Dia lebih sering naik motor atau diantar suami. Di Jogja, kini ada bus elektrik warna ungu berbahan bakar baterai yang tengah ujicoba dan gratis dalam setahun ini. 

“Pengen mencoba juga (bus elektrik). Apalagi penumpangnya (bus Trans Jogja) jarang-jarang ya. Ada keinginan untuk nglarisi,” aku dia, lalu tertawa kecil.

Hanya saja ada pertimbangan yang membuat dia berpikir dua kali untuk naik Trans Jogja.

“Lebih pada pertimbangan jadwal (kedatangan bus),” yang menurut Vivi sering ngaret itu.

Berbeda dengan Kuni Fatonah yang jadi penumpang dadakan Trans Jogja pada medio Oktober 2024 lalu. 

Gegara Project Officer Solider Inklusi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) ini diundang menjadi peserta diskusi terpumpun yang membahas aksesibilitas Trans Jogja yang digelar pihak Dinas Perhubungan DIY. Sementara, ia belum pernah naik moda yang disubsidi pemerintah itu. Sebelum Trans Jogja mulai beroperasi pada 2008, ia menggunakan layanan bus Damri. Namun sehari-hari, difabel daksa ini biasa mengendarai kendaraan roda tiga dan kursi roda untuk mobilitasnya.

Meskipun bukan sebagai narasumber di acara diskusi itu, Kuni ingin mengumpulkan masukan dari difabel untuk disampaikan kepada pemerintah. Termasuk mencoba langsung transportasi umum yang disediakan pemerintah itu.

Akhir pekan sebelum forum digelar, ia meluangkan waktu sehari untuk jalan-jalan dengan Trans Jogja. Butuh waktu 3-4 jam untuk mengikuti satu rute bus sejak dari Halte Monjali (Monumen Jogja Kembali) hingga kembali lagi di halte yang sama.

Kuni mengajak seorang teman tuli untuk naik Trans Jogja bersama. Temannya itu pula yang membantu mengabadikan aktivitas Kuni mengakses Trans Jogja sedari halte hingga di dalam bus lewat foto-foto kamera.

“Orang kan lebih mudah mendengar (Red. peduli) kalau ada visualnya,” kata Kuni mengawali kisah pengalamannya naik Trans Jogja kepada Konde.co, Senin, 27 Januari 2025.

Bidang miring untuk pengguna kursi roda yang memanjang di Halte Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Persoalan pertama dialami saat Kuni melewati ram atau bidang miring yang menanjak curam dari trotoar ke lantai halte. Ia kepayahan meskipun kedua tangannya sudah menumpu pada besi di sisi kiri kanan bidang miring untuk mendorongnya ke atas.

“Ini bahaya, terlalu tajam,” kata Kuni.

Padahal desain universal ram adalah tinggi 1 meter dan panjang 10-12 meter. Salah satu halte dengan bidang miring yang sudah standar, diketahuinya berada di halte-halte Malioboro. Bidang miring itu memutar dari belakang halte menuju pintu samping halte, sehingga landai.

Selain itu, tak ada guiding block untuk memandu difabel netra di halte. Aturannya, guiding block ada yang berpola vertikal berarti jalan lurus dan yang berpola lingkaran berarti hati-hati.

Guiding block untuk difabel netra yang bercorak vertikal dan lingkaran di trotoar kawasan Malioboro yang terintgrasi dengan jalan menuju Halte Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Sementara disabilitas tuli membutuhkan papan penanda berupa penunjuk arah, seperti tanda panah. Terutama untuk menunjukkan arah pintu masuk dan keluar di halte. 

Di dalam ruang sempit halte, sembari menunggu bus tujuan, Kuni mencoba untuk mengakses peta jalur bus yang ditempel pada dinding kaca. Ia kesulitan membaca dan mengakses barcode karena lembaran peta ditempel terlalu tinggi.

“Sebaiknya ditempel sejajar dengan kursi roda. Dan ada huruf Braille-nya agar difabel netra bisa mengakses juga,” jelas dia.

Persoalan selanjutnya adalah jarak antara lantai halte dengan lantai bus untuk mengakses pintu bus yang tak rata. Lantai halte lebih tinggi ketimbang lantai bus. Ada juga celah antara kedua bidang lantai itu yang berjarak lebar, karena bus tidak bisa merapat dekat pada halte.

“Ini juga berbahaya bagi pengguna kursi roda dan pengguna kruk (tongkat),” kata Kuni.

Solusinya, perlu ada papan yang menyambungkan kedua bidang tersebut sehingga aksesibel.

Sementara di dalam bus sudah tersedia lokasi bagi pengguna kursi roda di antara bangku penumpang yang menghadap ke arah pintu. Ada penanda berupa gambar simbol kursi roda di lantai bus.

Lokasinya tak seberapa luas. Jika posisi kursi roda menghadap ke arah depan, maka hanya cukup memuat satu kursi roda. Jika posisi kursi roda menghadap ke samping seperti bangku-bangku lainnya, maka bisa ditempati dua kursi roda.

“Tapi bahaya, karena menghadap ke pintu,” ungkap Kuni.

Sebab saat bus berjalan atau mengerem, kursi roda pun bergoyang. Bahkan satu waktu, kursi roda yang digunakan Kuni bergerak ke depan hingga mepet ke bangku penumpang di depannya. Meskipun ia sudah berpegangan pada besi di sampingnya.

“Mestinya ada tali atau pengganjal agar kursi roda tidak bergerak. Biar nggak njlungup (jatuh terdorong ke depan) kalau bus mandeg mendadak,” kata Kuni.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, Kuni mengakui peran kru bus sangat diharapkan bisa membantu. Misalnya membantu penumpang difabel netra atau pun pengguna kursi roda untuk menyeberang dari halte ke bus dan sebaliknya. Sopir pun tak tergesa-gesa memacu busnya saat melihat ada calon penumpang difabel netra tengah masuk ke dalam bus.

Papan berisi peta rute bus Trans Jogja yang dipasang lebih rendah di Halte Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Persoalannya, tak setiap bus ada krunya. Hanya seorang sopir saja, sehingga acapkali terburu-buru antara membantu penumpang difabel naik bus dan segera melajukan busnya.

“Memang kru dan sopir harus sabar ya. Itu membangun keakraban dengan teman-teman difabel. Teman-teman itu bukan nggak mau mandiri, tapi kadang nggak mampu sendiri sehingga butuh layanan lebih,” papar Kuni yang bersyukur kru yang membantunya saat itu ramah-ramah. 

Menurut Kuni, meskipun tak mengantongi data, masih banyak difabel yang mengandalkan Trans Jogja untuk mobilitas sehari-hari. Terutama difabel netra. Apalagi dengan biaya tiket murah hanya Rp2.700 lewat kartu elektronik dan Rp3.600 untuk cash, cukup puas naik bus dari ujung ke ujung.

“Kalau tempat kerja saya dilewati Trans Jogja, saya pilih naik bus ini. Jauh lebih irit,” aku Kuni.

Selayaknya aksesibilitas angkutan umum harus didorong dan ada perbaikannya dari waktu ke waktu. Mengingat kebutuhan mobilitas dengan angkutan umum sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan.

“Dengan aksesibilitas dan harga terjangkau itu bisa jadi alternatif kami yang bekerja menjadi lebih efektif, efisien dan aman,” harap Kuni. 

Selasa, 28 Januari 2025, Konde.co kemudian menyambangi sejumlah halte bus Trans Jogja di seputaran Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. 

Hari libur yang panjang Peringatan Isra Miraj dan Perayaan Tahun Baru Imlek sedari 25 hingga 29 Januari 2025 ini membuat Yogyakarta ‘gerah’. Seperti biasa, wisatawan tumplek blek di tempat-tempat wisata, terutama di pusat perekonomian kota yang menjadi ikon, Malioboro. 

Drama arus lalu lintas yang padat merayap dipastikan terjadi di seputaran kawasan itu, baik di jalur masuk menuju Malioboro, seperti Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan Mataram. Maupun jalur keluar dari Malioboro, seperti Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Panembahan Senopati, Jalan Pasar Kembang dan Jalan Jlagran Lor. Dan pastinya kemacetan di Malioboro itu sendiri, yakni sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan Margo Utomo (sebelumnya bernama Jalan Ahmad Yani). 

Tak harus menunggu libur panjang. Saban akhir pekan pun dipastikan kawasan tersebut padat merayap. Tak heran, apabila tak punya kepentingan, masyarakat Yogyakarta memilih untuk menghindari kawasan itu.

Di tengah kepadatan lalu lintas, bus-bus Trans Jogja berjibaku untuk melaju di antara kendaraan roda empat dan roda dua lain yang mayoritas kendaraan pribadi. Bahkan sempat terlihat ada tiga bus Trans Jogja hampir bertemu dan terjebak di tengah-tengah. Satu bus dari Jalan Abu Bakar Ali serta satu bus dan bus listrik dari Jalan Mataram.

Sementara di sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan Margo Utomo terdapat tiga halte yang sebenarnya berjarak tak terlalu jauh. Halte Malioboro 1 berada di dekat Gedung DPRD DIY, Halte Malioboro 2 di dekat Kantor Gubernur DIY, dan Halte Malioboro 3 di dekat Museum Benteng Vredeburg atau mendekati Titik Nol Malioboro.

Libur panjang ini, tiga halte Trans Jogja itu hampir selalu penuh dengan calon penumpang yang menunggu. Sedangkan bus-bus Trans Jogja yang tiba pun beriringan hingga 2-3 bus. Bus-bus dengan desain pintu masuk tinggi (high entry) atau setara lantai halte akan berhenti di depan halte. Hanya saja, celah antara lantai bus dengan lantai halte tampak lebar sekitar 30-40 centimeter alias bus tak cukup merapat dengan halte.

Konde.co mengamati, penumpang perempuan harus melangkahkan kaki lebar untuk masuk ke dalam bus. Tentunya cukup mengkhawatirkan bagi lansia maupun ibu hamil saat menyeberang. Begitu pun seorang laki-laki difabel netra tampak mengangsurkan tongkatnya kepada kru di dalam bus. Lalu ia dipandu untuk melangkahkan kaki masuk oleh petugas halte dan kru.

Sedangkan bus-bus dengan desain lantai dengan pintu masuk lebih rendah rendah (low entry) atau sedikit di atas aspal akan berhenti di ujung halte. Penumpang yang keluar maupun masuk langsung menuju trotoar, tidak melalui halte. Meskipun lebih simple, namun desain pintu masuk bus yang demikian cukup menyulitkan bagi pengguna kursi roda, setidaknya, kursi roda mesti diangkat untuk bisa masuk.

Fasilitas ketiga halte itu pun lebih lengkap. Kedua ujung pintu masuk menggunakan anak tangga, juga dilengkapi bidang miring yang ramah bagi pengguna kursi roda karena dibuat landai dan memutar dari belakang halte ke salah satu pintu masuk halte. Bahkan trotoar kawasan Malioboro yang sudah dilengkapi guiding block untuk difabel netra juga terintegrasi dengan arah pintu masuk ke halte.

Selain ada peta rute bus yang ditempel agak tinggi di dinding kaca di dalam halte, ada juga peta yang dipasang di pagar bidang miring. Pengguna kursi roda maupun manusia bertubuh mini (dwarfisme) bisa menjangkaunya. 

Ada juga papan informasi digital yang memuat jadwal kedatangan bus Trans Jogja secara real time yang disebut Public Transport Information System (PTIS) di ujung pintu masuk halte. Petugas halte pun ada dua orang, yang bertugas di bagian ticketing dan bagian pencatatan. Dan rata-rata bus Trans Jogja yang melewati Malioboro juga dilengkapi satu kru, baik pramugara atau pramugari.

Hanya saja, ruang tunggu halte yang sempit tak memuat semua calon penumpang, apalagi pengguna kursi roda. Mereka memilih untuk menunggu di luar halte. Apalagi di sepanjang Malioboro juga dilengkapi kursi-kursi panjang bagi pelancong yang sekadar ingin duduk usai jalan-jalan di sana.

Penampakan halte kosong tanpa petugas di jalan lingkar barat, Kabupaten Sleman, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Namun ‘kemewahan’ dan inklusivitas halte bus di kawasan Malioboro tak dirasakan di banyak halte Trans Jogja lain. Kisah Vivi dan Kuni banyak dijumpai di halte-halte ini. Jangankan ramah difabel, Konde.co banyak menjumpai halte tanpa dilengkapi petugas. Bahkan bangunan tersebut dibiarkan melompong. Hanya ada satu kursi panjang besi untuk menunggu dan peta rute bus yang ditempel. 

Ada juga halte tanpa dinding. Meskipun ada atap, namun calon penumpang yang menunggu saat hujan turun dipastikan tetap basah juga. 

Tak ketinggalan, halte tanpa dinding dan tanpa atap. Hanya semacam panggung berbentuk trapesium dengan anak-anak tangga di kedua ujungnya atau pun terdiri dari anak tangga dan bidang miring yang curam. Calon penumpang yang menunggu akan berdiri di atas halte atau pun duduk di atas anak-anak tangga. Peta rute bus ada yang masih tergantung pada besi pegangan. Pun tak sedikit yang raib. Inilah halte portable yang mobile, alias bisa digeser atau dipindah seperti yang dikisahkan Vivi.

Penampakan halte portabel tanpa atap di jalan lingkar barat, Kabupaten Sleman, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

Halte tanpa petugas atau pun portable jumlahnya lebih banyak. Hampir ada di sepanjang ruas jalan besar. Apalagi di jalur lingkar (ringroad). Pun tak inklusif bagi kelompok rentan. Dan halte-halte tersebut relatif sepi, jarang ada calon penumpang menunggu, bahkan kosong melompong.

Di sisi lain, masyarakat tak peduli dengan keberadaan halte portable itu. Tak jarang mereka memarkir mobil di depan halte, sekalipun telah dipasang rambu-rambu dilarang parkir. Seperti mobil yang diparkir di depan halte portable yang Konde.co jumpai di depan Stasiun Lempuyangan. 

Sisi kiri kanannya berderet mobil-mobil jemputan penumpang kereta api. Saat bus Trans Jogja tiba, terpaksa bus berhenti sekitar 1,5 meter dari halte. Sejumlah calon penumpang yang menunggu pun harus turun dari panggung halte dan berjalan menuju pintu bus. 

Kondisi tersebut juga merupakan dampak dari tak ada jalur khusus Trans Jogja sebagaimana di Jakarta. Mengingat jalanan di wilayah Yogyakarta tak lebar, hanya berkisar 3 meter hingga 7 meter, sehingga tak memungkinkan membuat jalur khusus itu. Trans Jogja yang membaur dengan kendaraan lainnya pun terjebak kemacetan. Kendaraan lain pun acap tak mau mengalah saat Trans Jogja mau menepi ke arah jalur halte.

Kepala Bidang Angkutan Umum Dinas Perhubungan DIY Wulan Sapto Nugroho mengakui ada keterbatasan dalam memberikan layanan fasilitas Trans Jogja kepada kelompok rentan. Terutama fasilitas halte yang belum semua ramah difabel.

“Kami terkendala lahan. Kalau ram dengan standar kemiringan kursi roda yang standar, kami butuh lahan cukup luas,” kata Sapto saat dihubungi Konde.co, Selasa, 11 Maret 2025.

Bahkan halte portable yang menjadi solusi dari keterbatasan lahan, juga mengalami kendala. Upaya memberikan layanan kepada masyarakat acapkali berbenturan dengan masyarakat itu sendiri.

“Yang ketempatan (halte portable) nggak mau, digeser-geser. Ini jadi dilema kami,” ungkap Sapto.

Jalan tengahnya, pihaknya memasang rambu-rambu bus stop di sejumlah titik sebagai pengganti halte. Mau tak mau, bus yang berhenti di titik-titik tersebut adalah yang didesain dengan pintu rendah (low entry).

Selain itu, dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada. Melalui PT Anindya Mitra Internasional (PT AMI) sebagai operator diminta untuk memberikan pelatihan khusus untuk melayani lansia dan difabel dengan mengundang komunitas dan pendampingnya.

“Kan tidak ada ram untuk naik, jadi dibantu dengan diangkat. Atau yang difabel netra didampingi. Jadi kami berikan pelatihan kepada kru agar tahu protapnya,” papar dia.

Di satu sisi, hubungan emosional para kru bus dengan sejumlah penumpang terjalin dengan baik. Para kru hafal di halte mana penumpang difabel ini berangkat dan turun, termasuk pukul berapa mereka berangkat.

Lantas bagaimana dengan bus-bus yang tidak ada pramugari atau pramugaranya?

“Oh itu yang BTS (Buy The Service). Itu angkutan subsidi dari Kementerian Perhubungan yang sudah selesai kontraknya (akhir 2024). Lainnya ada pramugari pramugaranya,” kata Sapto.

Terkait bus dengan high entry yang tidak bisa mepet pada halte, diakui Sapto karena keahlian tiap sopir berbeda. Solusinya, para kru bus mesti mendampingi para penumpang yang berpindah dari halte ke bus dan sebaliknya.

“Kami sampaikan kepada operator, kalau bisa bus mepet. Meskipun (penumpang) bukan lansia dan difabel, kalau mepet kan enak, biar nggak membahayakan. Nyaman juga. Jadi kami minta sopir lebih smooth (lembut),” tutur dia.

Sementara bentuk layanan lainnya, per 1 Februari 2025, Dishub DIY meluncurkan Kartu Trans Kogja Khusus Lansia dan Difabel. Fungsinya seperti Kartu Pelajar Trans Jogja, bahwa sekali mendaftar akan mendapat voucher Rp50 ribu dengan kartu seharga Rp50 ribu juga. Bedanya, pelajar naik Trans Jogja hanya bayar Rp60 yang merupakan premi asuransi, sedangkan lansia dan difabel bayar Rp2.000 dari tarif normal Rp3.500 untuk umum.

“Ini wujud kepedulian pemerintah. Juga memudahkan masyarakat pakai angkutan umum,” kata Sapto.

Meskipun syarat mendapatkan kartu dengan menunjukkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), bukan berarti lansia dan difabel luar Yogyakarta tidak bisa mendaftar. Hasil pembaruan data per 11 Maret 2025, jumlah difabel yang mengakses kartu tersebut sekitar 100-an orang dan lansia mencapai 500-an orang.

Lewat kartu khusus untuk lansia, difabel dan pelajar, menurut Sapto juga untuk menarik mereka sebagai sasaran pengguna layanan Trans Jogja. Lansia misalnya, karena angka harapan hidup di DIY tertinggi secara nasional.

“Mungkin sama anak-anaknya nggak lagi dibolehkan naik kendaraan sendiri demi keselamatan. Jadi naik Trans Jogja,” kata Sapto.

Begitu pun difabel. Sementara pelajar juga menjadi sasaran karena Yogyakarta merupakan kota pelajar. Terutama pelajar usia SD hingga SMP atau yang belum memenuhi syarat untuk mengendarai motor sendiri.

“Dan voucher 60 rupiah itu murah banget. Dipakai dari TK sampai SMP, belum habis,” ucap Sapto sambil tertawa kecil.

Jumlah angkutan umum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari segi jumlah, masih sangat minim. Untuk sekadar putar-putar Kota Yogyakarta hingga ke pinggiran Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, Pemerintah DIY memang telah menyediakan armada Trans Jogja sebanyak 128 unit dan 2 unit bus bertenaga listrik. Namun sayangnya, dengan jumlah armada yang terbatas, Trans Jogja belum bisa menjangkau kawasan lain di empat kabupaten, yakni Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunungkidul. Akhirnya, masyarakat lebih familiar mengandalkan kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, jumlah kendaraan bermotor per 2022 ada 3.274.030 unit. Jumlah tersebut dirajai sepeda motor 2.720.573 unit, disusul 415.368 unit kendaraan roda empat serta sisanya berupa bus dan truk. Dan jumlah itu terus meningkat saban tahun.

Ahli Bidang Permodelan Transportasi Universitas Janabadra Yogyakarta, Nindyo Cahyo Kresnanto merilis, pada 2024 terdapat 2,8 juta sepeda motor dan 433.000 kendaraan roda empat. Sementara jumlah penduduk DIY tahun 2023 mencapai 3,7 juta jiwa. Berarti, sekitar 75 persen penduduk DIY memiliki sepeda motor dan mobil 11,53 persen.

Tren di Yogyakarta, satu orang punya dua motor. Sedangkan pertumbuhan penduduk DIY 1,44 persen per tahun.

“Jangan heran, Yogyakarta macet pada 2030. Karena 1 orang (punya) 1 motor. Bayi pun punya motor, lansia 90 tahun punya motor. Itu akan terjadi,” kata Nindyo dalam Diskusi Refleksi Lima Tahun Transportasi DIY – Mobilitas Berkelanjutan Menuju Yogyakarta Istimewa pada 11 September 2024 dalam akun YouTube Dinas Perhubungan DIY.

Sebab, pertumbuhan kendaraan bermotor itu tak sebanding dengan pertumbuhan jaringan jalan yang hanya 0,2 persen. Artinya, dari supply nggak tumbuh, tapi demand tumbuh terus. Jalan yang sempit dan macet membuat orang lebih suka mengendarai sepeda motor ketimbangan transportasi umum di Yogyakarta.

“Jadinya unbalance. Nggak heran, pagi siang sore macet. Menikmati Tugu Jogja saja dengan asesoris kendaraan bermotor. Kalau mau lihat Tugu Jogja yang lengang, sepi, dramatis, spiritualis, ya jam satu malam,” ucap Nindyo setengah berseloroh.

Kemacetan juga disumbang kehadiran kendaraan bermotor yang ditumpangi wisatawan yang masuk ke Yogyakarta. Kunjungan wisatawan mencapai 7,4 juta setahun.

“Jadi pertumbuhan wisatawan lebih banyak ketimbang pertumbuhan penduduk di Yogyakarta,” ungkap Nindyo.

Kendaraan wisatawan beragam. Ada yang menggunakan kendaraan pribadi, ada juga rombongan bus-bus pariwisata yang mengangkut wisatawan yang berombongan pula. Untuk ke Malioboro, bus-bus itu diparkir di Taman Parkir Abu Bakar Ali di kawasan Malioboro sisi timur. Belum lagi yang menuju tempat-tempat wisata lain.

Menurut Tim Ahli Pusat Studi Transportasi (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Ikaputra, Pemda DIY mewacanakan larangan bus-bus wisata masuk Kota Yogyakarta untuk mengurangi kemacetan. Salah satunya dengan menempatkan bus-bus wisata tersebut di kawasan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.

Selepas dari sana, wisatawan menuju ke lokasi wisata yang dituju dengan mengendarai kereta api listrik atau pun dengan 6 unit bus listrik. Namun jumlah bus listrik yang telah dioperasikan dan diujicobakan secara gratis selama 2025 ini baru dua unit. Anggaran pengadaan dua bus warna ungu dan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKL) di kawasan Bandara Adisutjipto itu sebesar Rp7,4 miliar dengan trayek Bandara Adisutjipto-Malioboro dan sebaliknya dari pukul 08.00-16.00 WIB.

Salah satu armada bus listrik Trans Jogja yang tengah proses ujicoba selama setahun dan gratis saat tiba di salah satu halte di Jalan Margo Utomo, Kota Yogyakara, Selasa, 28 Januari 2025. Foto: Pito Agustin Rudiana/Konde.co.

“Harapannya kan, bus-bus listrik itu untuk mendukung transportasi hijau yang pro publik,” kata Ikaputra yang berharap ada penambahan jumlah bus listrik.

Masih sebatas dua bus Listrik yang dioperasikan, menurut Sapto, lantaran pihaknya tengah melakukan pendataan seberapa banyak animo masyarakat terhadap bus tersebut. Dalam uji coba setahun ini, meski masih non tarif, setiap penumpang tetap diminta untuk tapping kartu elektroniknya tanpa mengurangi nilai voucher.

“Itu buat mendata jumlah penumpang. Sampai sekarang sudah sekitar 1.500 orang,” ungkap Sapto.

Selain itu, operasional bus listrik harus memperhitungkan kapasitas baterai dan jarak tempuh. Bahwa dengan baterai berkapasitas 100 persen dapat digunakan enam kali pergi pulang Bandara Adi Sutjipto-Malioboro. Dan baterai harus segera diisi saat prosentasenya sudah mencapai 20 persen. Sekali pengisian hingga penuh berkisar 1-1,5 jam di SPKL di area parkir Bandara Adi Sutjipto.

“Jadi kami tengah memperhitungkan dalam sehari ada berapa kali PP, ngecasnya. Itu bahan evaluasi,” imbuh dia.

Mengingat konsep bus listrik bersubsidi tersebut adalah angkutan ramah lingkungan untuk melayani penumpang yang melewati sumbu filosofi Yogyakarta.

“Jadi mendukung penerapan low emmission zone untuk memenuhi ketetapan UNESCO terkait sumbu filosofis sebagai warisan dunia,” jelas dia.

Kelahiran Trans Jogja, yang semula disebut Bus Patas, dimulai dari ada Studi Kelayakan Angkutan Eksekutif pada 2004. Rencananya, pihak operator yang mengoperasikan bus tersebut tergabung dalam konsorsium dari anggota koperasi angkutan umum yang sebelumnya ada.

Mengingat kehadiran Bus Patas saat itu pelan-pelan akan ‘meniadakan’ angkutan-angkutan umum lama. Seperti Aspada, Kobutri, Damri, Kopata, dan sebagainya.

Rencana pengoperasian bus itu pada 2006 ditunda karena bencana gempa bumi pada 27 Mei 2026. Kemudian baru dioperasikan pada 2007 dengan nama “Trans Jogja”.

Pada 3 April 2027, ada penandatanganan MoU antara Pemerintah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta bernomor 6/KES.BER/GUB/2007 (04/NKB 2007) tentang Peningkatan Pelayanan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nota Kesepahaman itu didasari ada keinginan Pemkot Yogyakarta yang ingin ikut serta meningkatkan pelayanan angkutan umum di wilayah perkotaan Yogyakarta. Pihak pemkot pun mendapatkan bantuan 10 unit bus dari Ditjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan yang akan digabungkan dalam pengelolaan Bus Trans[1]Jogja.

Pemkot akan membangun infrastruktur berupa 34 unit halte bus di wilayah Kota Yogyakarta, sedangkan 42 unit lainnya akan dibangun Pemda DIY. Sedangkan operatornya adalah konsorsium yang telah melebur dalam PT Jogja Tugu Trans (JTT).

Semula ada 54 unit bus yang dioperasikan, termasuk 8 cadangan yang melewati 76 unit halte. Grand Launching Bus Trans-Jogja digelar pada 26 Agustus 2008 di Lapangan Parkir Bandara Adi Sutjipto oleh Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal dan Wakil Gubernur DIY Almarhum Sri Paku Alam IX.

Perkembangannya, Pemda DIY mengakhiri kontrak PT JTT pada 2015. Kemudian menunjuk PT Anindya Mitra International (AMI) yang merupakan BUMD DIY untuk menggantikannya.

Dikutip dari laman Dinas Perhubungan DIY, per 2025, jumlah bus Trans Jogja bertambah sebanyak 128 unit, meliputi 116 unit yang dioperasikan dan 12 unit cadangan. Bus Trans Jogja adalah angkutan umum jarak pendek dengan skema Bus Rapid Transit (BRT).

Pengoperasionalannya dengan anggaran subsidi Pemda DIY yang naik menjadi Rp 87 miliar tahun ini. Ratusan armada itu bergerak di 18 jalur dan melewati 267 halte yang tersebar di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dari pukul 05.30-20.30 WIB.

Sejauh ini, jumlah pengguna Trans Jogja masih fluktuatif. Sempat menurun saat pandemi Covid-19 pada 2020-2022. Dan meningkat kembali pada 2023.

Sapto berharap dengan perbaikan layanan Trans Jogja, masyarakat mau menggunakan angkutan umum, baik online maupun non online. Bagaimana pun, perkembangan zaman tak bisa dibendung denga membatasi diri dari kecanggihan teknologi.

“Yang penting bijak menggunakan angkutan umum. Kalau yang jelas disubsidi ya pakai Trans Jogja. Kalau mau online ya tetap hati-hati pakai ketentuannya,” ucap Sapto memungkasi. 

Transportasi Surabaya Masih Banyak PR dan Belum Merata
Suroboyo Bus. Foto: Ika Ariyani/Konde.co

Di Sabtu pagi, 29 Januari 2025, Konde.co untuk mengunjungi Pasar Blauran, tempat yang terkenal dengan kulinernya di Surabaya. 

Setelah memesan ojek online menuju halte terdekat, Konde.co melanjutkan perjalanan dengan Suroboyo Bus dengan duduk di tempat duduk khusus perempuan. Meskipun ketika di jam sibuk, tidak ada lagi pemisahan penumpang perempuan dan laki-laki.

Area perempuan berada di bagian depan bus. Foto: Ika Ariyani/Konde.co

Di dalam bus, seorang bapak paruh baya memakai ransel dengan tongkat di tangannya berusaha naik dengan hati-hati. Ia tersenyum ramah dan bercerita bahwa dirinya adalah pedagang batu cincin asal Mojokerto. 

Perjalanan panjang yang ia tempuh, dimulai dengan bus Trans Jatim dan disambung dengan bus ini, membuatnya bersyukur karena ongkosnya lebih terjangkau dibandingkan transportasi lain. Namun, ia juga mengungkapkan keluhannya, sering kali harus berdiri saat jam sibuk ketika bus penuh penumpang. Kondisi ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua, terutama pengelola transportasi, untuk menyediakan sistem yang lebih inklusif dan manusiawi bagi semua kalangan.

Keadaan di dalam Suroboyo bus saat tidak jam sibuk. Foto: Ika Ariyani/Konde.co

Surabaya telah mengembangkan berbagai moda transportasi umum untuk meningkatkan mobilitas warganya, termasuk Suroboyo Bus, Wira Wiri, dan Trans Semanggi. Suroboyo Bus, yang mulai beroperasi pada tahun 2018, menawarkan tarif terjangkau: Rp5.000 untuk umum, Rp2.500 bagi pelajar, serta gratis bagi lansia di atas 60 tahun, dan telah berhasil menarik sekitar 1,2 juta penumpang pada tahun 2024.

Wira Wiri, diluncurkan pada Maret 2023, berfungsi sebagai angkutan feeder yang menjangkau area yang tidak dilalui oleh Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Trans Semanggi, yang beroperasi sejak pertengahan 2022, melayani rute dengan jam operasional dari pukul 05.30 hingga 22.00 WIB. 

Meskipun berbagai moda transportasi ini telah beroperasi, masih terdapat sejumlah keluhan dari masyarakat. Beberapa penumpang mengeluhkan kondisi halte yang kurang layak dan integrasi antarmoda yang belum optimal. 

Selain itu, meskipun Suroboyo Bus dan Wira Wiri telah terintegrasi, penumpang yang ingin transit ke Trans Semanggi masih harus membayar tarif tambahan karena perbedaan pengelolaan antara Pemerintah Kota Surabaya dan Kementerian Perhubungan.

Sejarah angkutan umum di Surabaya dimulai pada tahun 1886 dengan berdirinya Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS), sebuah perusahaan trem uap yang melayani wilayah Ujung-Sepanjang, Mojokerto-Ngoro, dan Gemekan-Dinoyo. Pada 1923, OJS memperkenalkan trem listrik, dengan perombakan rute utama yang dialihkan melalui pusat kota. Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, semua jalur kereta api dan trem dinasionalisasi dan dikelola oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKA). Setelah penghentian trem, Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Perum DAMRI meluncurkan layanan bus kota reguler pada tahun 1975 dengan 20 bus produksi Robur, yang kemudian berkembang menjadi 168 bus melayani sembilan rute pada 1982. Untuk meningkatkan keamanan, pada 30 April 2012, Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Perum DAMRI mengoperasikan layanan bus kota khusus perempuan guna meminimalkan kasus pelecehan seksual.

Pada era 1950-an hingga 1970-an, oplet menjadi salah satu moda transportasi umum yang populer di Surabaya. Oplet adalah kendaraan yang menggunakan sasis mobil tua seperti Morris yang dimodifikasi dengan menambahkan bangku panjang di bagian belakang untuk penumpang. Kemudian peran oplet mulai tergantikan oleh moda transportasi lain seperti bus kota dan angkutan kota (angkot).

Dengan jumlah penduduk yang mencapai sekitar 3,02 juta jiwa pada tahun 2024, Surabaya menjadi salah satu kota terbesar di Indonesia. Namun, jika kita melihat ketersediaan transportasi umum, ada jurang besar antara kebutuhan masyarakat dan jumlah armada yang tersedia.

Suroboyo Bus, sebagai andalan transportasi publik di kota ini, hanya memiliki kurang lebih 40 armada yang beroperasi. Dengan jumlah penduduk sebesar ini, satu bus harus melayani lebih dari 75.500 penduduk. Ketika ditambahkan dengan armada Trans Jatim yang menghubungkan Surabaya dengan wilayah aglomerasi seperti Sidoarjo dan Gresik, total armada menjadi 62 unit. Namun, angka itu masih menyisakan tantangan besar, karena perbandingannya masih jauh dengan kebutuhan penduduk.

Bandingkan dengan Jakarta, yang memiliki berbagai moda transportasi umum mulai dari Trans Jakarta, MRT, hingga KRL. Dengan sistem yang lebih kompleks dan jaringan yang luas, transportasi umum di ibu kota mampu mendistribusikan penumpang lebih merata.

Kementerian Perhubungan telah memangkas alokasi dana subsidi angkutan massal bus perkotaan pada 2025 lebih dari 50 persen, dari Rp 437,9 miliar pada 2024 menjadi hanya Rp 177,5 miliar pada tahun ini. Pemerintah daerah diminta secara mandiri memenuhi biaya program angkutan massal bus di kota masing-masing. 

Di Surabaya, anggaran untuk transportasi umum pada tahun 2024 mencapai Rp108,3 miliar. Meskipun ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah ini masih jauh dari kebutuhan untuk menyediakan layanan transportasi umum yang memadai bagi 3,02 juta jiwa penduduk Surabaya.

Ratu Fitri selaku bagian dari komunitas Bersama di Jalan mengatakan bahwa kehadiran Suroboyo Bus pada awalnya memanglah tidak ditujukan sebagai transportasi massal. Hal ini karena keterbatasan rute dan tidak terintegrasi. Oleh karena itu pada awal kemunculannya, Suroboyo Bus tidak menarik biaya atau uang dari penumpang, hal ini ditujukan untuk merubah kebiasaan masyarakat agar mengenal bus sebagai transportasi. Karena itulah Suroboyo Bus pada masa itu masih berupa bus dengan plat merah yang artinya kendaraan pemerintah, alih-alih menggunakan plat kuning sebagai kendaraan umum.

Ratu juga menyoroti pentingnya pembangunan transportasi yang harusnya lebih inklusif. Ratu mengatakan sekitar 80 % penumpang adalah perempuan, namun tidak banyak rute yang menjangkau kebutuhan-kebutuhan perempuan seperti pasar ataupun Puskesmas. Rute angkutan publik di Surabaya lebih mementingkan jalan besar saja dan pusat perbelanjaan. Banyak pusat perbelanjaan yang menjadi titik turun dan naik penumpang namun tidak dengan pasar tradisional.

“80 persen penumpang itu perempuan. Tapi rute untuk kebutuhan perempuan kurang. Kalau untuk Mall bisa turun pas di depannya. Selain itu angkutan massal idealnya juga terjangkau untuk melayani pekerja malam. Menurutku harusnya minimal jam 23.00 baru kembali ke pool. SDM juga bisa ditingkatkan untuk menghadapi kelompok rentan. Misalnya hari disabilitas: kita ada acara naik Suroboyo Bus. Helper sama driver kagok tidak tau caranya membuka rem untuk kursi roda, tidak ada tempat duduk juga untuk kursi roda,” cerita Ratu.

Di era digital, lansia juga menghadapi tantangan baru dalam mobilitas sehari-hari, terutama dengan semakin berkurangnya moda transportasi konvensional seperti angkot dan taksi yang dulu mudah diakses. 

Perubahan ini menuntut lansia untuk beradaptasi agar tetap dapat bepergian dengan nyaman dan mandiri. Namun, tidak semua dari mereka memiliki kemudahan dalam memahami teknologi, sehingga seringkali membutuhkan bantuan keluarga atau orang terdekat untuk mengakses layanan transportasi yang kini berbasis digital.

Ibu Yayuk (65 tahun) bercerita bahwa ia berusaha keras untuk beradaptasi dengan transportasi umum yang kini bergantung pada akses digital. 

“Dulu banyak angkot, taksi Orenz, dan Bluebird yang lewat, tinggal naik saja. Atau ya saya telpon taksi dari rumah. Sekarang harus pesan ojek online atau naik Suroboyo Bus,” ujarnya. 

Ia mengakui butuh waktu lama untuk memahami cara menggunakan aplikasi transportasi umum dan harus dibantu oleh anaknya agar bisa menggunakannya dengan lancar.

Di Surabaya, cerita tentang halte yang terlalu jauh, rute yang tidak lengkap, dan bus yang penuh sesak di jam sibuk adalah gambaran sehari-hari yang dialami banyak warga. Kehadiran Suroboyo Bus, Trans Semanggi, Trans Jatim, dan Wira Wiri menjadi langkah maju yang patut diapresiasi. 

Namun, bagi pengguna seperti Teta, seorang warga asli Surabaya, perjalanan menggunakan transportasi umum di kota ini masih menyisakan berbagai tantangan yang sering kali membuat frustrasi.

Teta mengungkapkan kepada konde.co (25/1/25), aplikasi Gobis yang digunakan untuk memantau transportasi di Surabaya sering kali membingungkan. 

“Aku orang Surabaya aja bingung, apalagi pendatang. Peta jalurnya pakai warna dan titik-titik, bikin pusing. Kadang harus muter jauh untuk ke tempat yang sebenarnya dekat,” keluhnya, sembari membandingkan dengan pengalamannya menggunakan transportasi umum di Singapura. 

“Waktu ke Singapura, sebagai pendatang aku gampang akses aplikasi transportasi umum. Misalnya aku ingin ke mana, dan posisiku sekarang di mana, langsung muncul infonya jelas halte mana saja, naik apa saja dan estimasi waktunya berapa lama,” tambahnya. 

Masalah tak berhenti di situ. Jalur yang tidak terintegrasi dengan baik dan minimnya infrastruktur halte juga menjadi keluhan utama. 

“Kadang aku harus jalan jauh banget ke halte, padahal kalau jalurnya lebih lengkap, ini nggak perlu terjadi,” ujar Teta. 

Halte juga masih banyak yang belum layak, seperti tidak ada atap, tempat duduk, informasi, atau bahkan cuma sekedar plang bus stop saja.

Plang bus stop di SMAN 16 Surabaya. Foto: Ika Ariyani/Konde.co

Ketika Teta harus menyeberang dari halte di Jalan HR Muhammad menuju gedung seberangnya, ia menghadapi kesulitan. Tidak ada jembatan penyeberangan atau zebra cross yang memadai, memaksanya berjalan ratusan meter hanya untuk menemukan jalur yang tetap terasa berbahaya. “Kalau ada halte, mestinya akses penyebrangan juga dipikirkan,” katanya.

Beberapa area penting seperti lokasi perkantoran dan tempat wisata Surabaya masih kurang terlayani. Hanya beberapa tempat wisata dan mal-mal besar saja yang dilewati. Manajemen transportasi umum di Surabaya juga masih menunjukkan banyak kelemahan, terutama dalam hal komunikasi dan pengelolaan layanan. 

Contoh nyata terlihat saat bus listrik Trans Semanggi Koridor 3 berhenti beroperasi dari tanggal 1 hingga 17 Januari 2025. Pengumuman penting ini hanya disampaikan melalui media sosial Teman Bus dan Dinas Perhubungan Surabaya, tanpa ada informasi yang disediakan di halte atau melalui kanal komunikasi langsung kepada pengguna. Padahal menurut Teta, tidak semua penumpang menggunakan atau memantau media sosial secara rutin. Lebih buruk lagi, tidak ada alternatif layanan yang disediakan selama penghentian operasional ini, membuat masyarakat kesulitan mengatur mobilitas mereka. Banyak warga yang akhirnya harus mencari transportasi lain yang lebih mahal.

Jam operasional bus yang terbatas juga mempersulit pengguna. Menurutnya, transportasi umum seharusnya mempertimbangkan kebutuhan pekerja malam yang keluar hingga pukul 22.30, seperti di mal-mal. 

“Aku pikir jam 10 malam terakhir busnya jalan, ternyata itu jam berhenti, jam 9 malam udah nggak ada. Jadinya aku lama nunggu dan ternyata busnya nggak ada lagi” keluh Teta.

Teta juga memberikan masukan soal kebijakan larangan makan dan minum di dalam bus. Ia mencontohkan mertuanya yang berusia 60-an tahun dan memerlukan air mineral untuk kesehatan, terutama saat batuk. “Bolehkanlah setidaknya minum air putih, apalagi cuaca Surabaya siang hari panas sekali,” tambahnya.

Kisah ini semakin menggambarkan kesenjangan antara niat baik pemerintah kota dan kenyataan di lapangan. Keluhan dan saran dari Teta bukan hanya suara satu orang, melainkan gambaran harapan banyak warga Surabaya terhadap transportasi umum yang lebih baik. 

Akhirnya, meskipun Surabaya telah membuat langkah-langkah positif dalam pengembangan sistem transportasi umumnya, perjalanan menuju transportasi publik yang ideal masih panjang. 

Keberadaan Suroboyo Bus, Wira Wiri, dan Trans Semanggi merupakan awal yang baik, namun sejumlah permasalahan seperti kurangnya integrasi antar moda, keterbatasan fasilitas halte, dan keterbatasan jam operasional masih menjadi tantangan yang perlu segera diselesaikan. 

Surabaya memiliki potensi besar untuk menciptakan transportasi yang tidak hanya ramah bagi warganya, tetapi juga bagi para pendatang.

Tim Konde.co 

Koordinator: Nurul Nur Azizah

Reporter: Salsabila Pertiwi (Bandung), Pito Agustin (Yogyakarta), Ika Ariyani (Surabaya), Ifa Fachridini (Makassar), dan Anna Djukana (NTT) 

Grafis: Ardiles

Riset dan Data: Luthfi Maulana Adhari dan Laras Ciptaning Kinasih 

Editor: Luviana Ariyanti

*Catatan redaksi: Kami merevisi atribusi Odelia Humaira yang sebelumnya dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menjadi Odelia Humaira dari Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ).

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!