Sederet perempuan berbaris di panggung reality show ‘The Most Beautiful Girl in The World’. Mereka mengenakan gaun yang gemerlap dan kelap-kelip. Ada yang berwarna cerah menyala sampai monokrom.
Dari semuanya ada kesamaan: para perempuan itu ditampilkan memiliki postur tubuh jenjang, rambut panjang, langsing, hingga berkulit putih. Standar kecantikan yang secara sosial normatif seolah “diidam-idamkan” di tengah masyarakat. Tak ada representasi kecantikan lain yang dimunculkan dalam acara yang dikemas dengan sorotan sudut pandang laki-laki (male gaze) itu.
Mirip dengan program televisi di Indonesia ‘Take Me Out’, seorang sosok laki-laki akan memilih satu di antara para perempuan itu. Mereka akan bisa jadi ‘pasangan’ dan berhak mendapatkan hadiah.
Baca Juga: ‘Cool Girl’, Kebebasan atau Jebakan? Ketika ‘Perempuan Keren’ Lahir dari Stereotipe Patriarki
Begitulah, film ‘The Most Beautiful Girl in The World’ ini memberikan kesan awalnya bagi penonton. Sementara perempuannya distandarkan pada ‘kecantikan’ fisik, laki-lakinya dalam hal ini digambarkan dengan kuasa, uang dan kemewahan. Itu tampak pada scene saat Reuben Wiraatmadja (Reza Rahadian) mengendarai mobil dan berpenampilan serba mewah memasuki gedung kantornya.
Reuben tengah mendiskusikan acara ‘The Most Beautiful Girl in The World’ bersama ayahnya (Bucek Depp) yang diketahui publik, nyatanya setting-an. Dengan relasi kuasa yang dia punya, dia berupaya membalikkan masalah itu menjadi rating.
Bagi para pekerja industri kreatif dan media, tentu bisa mudah membayangkan. Bagaimana konten dijual ke target pasar untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya rating. Program akan dilanjutnya, bahkan jika perlu diberi ‘bumbu-bumbu’ seperti drama dan setting-an, agar terus mendatangkan sebanyak-banyaknya iklan.
Kritik Misoginisme yang Setengah Hati
Di media yang menayangkan acara ‘The Most Beautiful Girl in The World’ ada seorang pegawai perempuan yang mengkritik. Dia adalah Kiara (Sheila Dara), asisten produser, yang sedari awal menganggap acara itu tak lain adalah misoginisme. Istilah ini mengarah pada kebencian terhadap perempuan. Jika bisa dibilang juga, acara itu menjual sensasionalisme yang mengobjektifikasi standar kecantikan perempuan.
Babak baru dimulai saat ayah Reuben mengalami serangan jantung dan meninggal dunia. Dia meninggalkan wasiat untuk menyerahkan semua warisan ke Reuben. Tapi Reuben hanya akan mendapatkan warisan itu jika dia bisa segera menikah dalam 6 bulan dengan ‘Wanita Tercantik di Dunia’ (terjemahan tajuk acara tersebut yang digunakan dalam film).
Reuben sebagai karakter yang sebetulnya tidak sepakat soal mengejar rating pun, dilema. Dia ingin patuh menjalankan wasiat ayahnya. Namun, dia menolak menggunakan cara yang sama memandang acara ‘The Most Beautiful Girl in The World’ yang selama ini di bawah naungan bisnis ayahnya itu.
Ia pun memutar akal dan menemukan sebuah formula. Dialah yang akan menjadi sosok laki-laki yang memilih perempuan sebagai calon istri dari acara ‘The Most Beautiful Girl in The World’.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan
Beda dengan sebelumnya, acara itu berjalan natural dan tidak ada setting-an. Lalu Kiara, yang awalnya juga menentang acara itu, ditunjuk jadi produser. Kiara yang kemudian membantu konsep acara ‘The Most Beautiful Girl in The World’ agar berjalan natural. Tidak hanya berlandaskan pada standar cantik fisik, tapi mengedepankan pula kecerdasan, kepribadian, dan kecocokan.
Kenapa upaya melawan misoginisme dalam film ini masih terkesan setengah hati? Pasalnya, semua kandidat ‘Wanita Tercantik di Dunia’ yang muncul masih belum lepas dari standar kecantikan normatif. Para perempuan yang terpilih, masih dengan kriteria yang sama dengan sebelumnya: putih, hidung mancung, berperawakan tinggi, dan langsing.
Narasi melawan misoginisme dalam film ini pun tidak muncul dengan kuat. Ada satu adegan yang menunjukkan Reuben, yang awalnya digambarkan mendukung perlawanan terhadap misoginisme, justru melakukan stereotipe yang mengarah ke seksisme kepada Kiara. Dia mengatakan, “Sudah, gitu aja? Perempuan kalau ada apa-apa cuma bisa lari?”
Setengah hati lainnya, seperti pada drama-drama TV yang klise, alur cerita seorang bos (Reuben) yang jatuh cinta dengan stafnya (Kiara). Film ini pun masih terjebak dalam standar kecantikan normatif itu sendiri. Kaitannya dengan sosok Kiara, yang digambarkan juga sebagai perempuan yang memenuhi hegemoni standar kecantikan.
Jadi lagi-lagi, film ini tidak setia pada perjuangan narasi melawan standar kecantikan normatif.
Inferiority Complex Membayangi Perempuan
Dalam film ini, Kiara ditunjukkan sebagai perempuan dari kelas menengah yang merantau di ibu kota. Penggambaran kamera tentang penatnya kehidupan kelas pekerja Jakarta, di tengah terang lampu kota mendukung karakter itu.
Kiara tinggal di sebuah rumah susun yang padat penduduk. Jauh berbeda dengan Reuben yang tinggal di apartemen mewah.
Sebuah adegan dan dialog menunjukkan bahwa, bagaimana pun, Kiara tampak dominan dan melawan. Tapi, dia masih dibayangi oleh perasaan dan mental inferior (inferiority complex).
“Lo tau sendiri kan, gue nggak pernah mimpi, mentok paling tinggi soal (punya) apartemen. Sekalinya gue izinin diri gue mimpi setinggi langit, kayak langsung aja jatuh ke bumi,” ucap Kiara kepada sahabatnya, saat perasaannya kepada Reuben seolah tak mungkin berlanjut.
Sikap Kiara itu muncul, bisa jadi karena kelas sosialnya atau memang karena realitas struktural perempuan yang dibayangi mental inferior akibat sistem patriarki yang tak adil gender.
Baca Juga: Tren ‘The Nuruls’: Distigma Cewek Norak Kabupaten, Sebutan yang Misoginis dan Klasis!
Ini sejalan dengan pemikiran Simone de Beauvoir dalam buku berjudul The Second Sex. Dia menyoroti perempuan yang kerap dianggap makhluk ‘kelas kedua’. Perempuan acapkali diperlakukan secara inferior dan dinilai lebih rendah. Dengan kata lain, manusia yang terlahir dengan vagina (perempuan), akan mendapatkan lebih sedikit keuntungan dibandingkan yang terlahir berpenis (laki-laki).
Lalu, apakah film ini juga masih melanggengkan stereotipe perempuan yang pasif mengungkapkan perasaan? Perempuan masih harus selalu yang menunggu dipilih? Bahkan juga mesti yang harus mengalah atas dirinya?
Selain Reza Rahadian (Reuben) dan Sheila Dara (Kiara), film ini juga diperankan oleh Kevin Julio sebagai Jimmy, Indra Birowo sebagai Agung Santoso, Jihane Almira Chedid sebagai Helen Kusuma, Bucek Depp dan Indra Wibowo sebagai orang tua Reuben.
Saksikan selengkapnya film ‘The Most Beautiful Girl in The World’ ini hanya di Netflix.
Editor: Salsabila Putri Pertiwi
(sumber foto: IMDb)