Sebagai laki-laki, aku pernah mendapat ejekan karena dianggap tidak memenuhi standar ‘kejantanan’ banyak orang. Sempat kudengar kalimat seperti, “Cowok kok, kakinya kecil? Kayak perempuan aja.” Mendengarnya membuatku muak dan ingin mengumpat. Bukan hanya perundungan atas nama konstruksi gender dalam masyarakat patriarki. Ucapan itu juga menjadikan perempuan sebagai perbandingan yang lebih rendah dari laki-laki. Diledek ‘tidak laki’ karena ‘mirip perempuan’; kalian pernah bayangin nggak, sih, seburuk apa dampak dari ejekan seperti itu?
Pada taraf tertentu, jika perundungan akibat konsepsi norma gender digemakan secara berulang, bisa jadi ia tidak hanya membuat hati kian tersayat. Hal ini juga bisa menimbulkan korban jiwa. Di China, misalnya, ada seorang laki-laki yang dianggap kepribadiannya—mengutip pemberitaan media—’menyerupai banci’. Ejekan tersebut muncul karena lelaki tersebut tidak bandel, tidak berkelahi, dan tidak mengumpat. Mungkin tidak seperti karakter ‘laki-laki’ yang dibayangkan dalam konstruksi gender masyarakat. Pemuda tersebut lalu berakhir meninggal dunia karena siklus perundungan terus terjadi kepadanya. Tentu itu bukan kisah satu-satunya; hal serupa terjadi di banyak tempat lainnya, termasuk di Indonesia.
Aku pun sempat berada di tengah konsepsi kejantanan yang keliru tersebut. Merasa bahwa lelaki yang memiliki sifat yang lemah lembut, penuh kasih sayang, dan tidak tegas merupakan lelaki yang ‘tidak lengkap’. Namun, ternyata itu semua merupakan salah satu konsekuensi dari adanya tindakan maskulinitas toksik atau ilusi kejantanan yang telah melekat dalam pikiran. Tudingan semacam ini tentu akan bermuara pada perundungan dan pelecehan, baik secara verbal maupun fisik.
Baca Juga: Stop Bilang “Not All Men”: Korban Butuh Empati, Bukan Interupsi
Ilusi kejantanan memaksa lelaki untuk ‘mengenakan topeng’ agar dianggap ‘normal’ seperti yang lainnya. ‘Topeng’ tersebut dipakai untuk menutupi perasaan atau ekspresi yang sesungguhnya dimiliki oleh laki-laki. Betapa menakutkannya ketika hidup kita dihantui oleh rekayasa perasaan. Lelaki menjadi sulit untuk menunjukkan sisi emosional karena hal itu dianggap jauh dari koridor kejantanan dan konstruksi gender yang telah mapan.
Siapa sangka bahwa konstruksi gender telah melalui masa penegasan sejak ibu mengandung dan mengetahui jenis kelamin calon anaknya. Beban peran dan konstruksi gender yang diterima oleh sang anak makin berlapis tatkala orang tua sudah memiliki bayangan tumbuh kembangnya. Jika anaknya laki-laki, maka nilai maskulin cenderung akan lebih ditegakkan ketimbang feminin. Begitu pula sebaliknya.
Tidak terbayang kemelut anak sekecil itu berkelahi dengan konstruksi gender. Sang anak harus memenuhi tuntutan sesuai dengan jenis kelamin dan gender yang disematkan kepadanya. Tak sampai di situ saja, dampak dari pelekatan gender membuat kacamata anak dalam melihat sesuatu sudah sempit sejak dini. Anak akan tumbuh bersama pengetahuan yang ketat dan lekat dengan konsepsi gender yang dikonstruksi masyarakat patriarki.
Selain itu, konstruksi gender dalam tubuh keluarga juga dapat dilihat dari pemilihan mainan, warna, dan aktivitas anak pada usia dini. Anak laki-laki akan dilatih untuk menjadi sosok yang hebat dan kuat. Latihan untuk menjadi hebat tersebut dapat melalui olahraga yang melibatkan banyak kegiatan fisik seperti sepak bola. Sedangkan bagi anak perempuan, aktivitas yang dijalani tak jauh dari ranah domestik seperti mainan masak-masakan. Ini kelak menjadi sebuah tuntutan yang wajib dilaksanakan saat mereka tumbuh dewasa.
Baca Juga: Wacana Adu Tinju Mark Zuckerberg vs Elon Musk, Krisis Maskulinitas Ada di Sekitar Kita
‘Pemrograman’ maskulinitas toksik pada anak laki-laki juga dapat dilihat pada saat ia ingin mengekspresikan tangisan. Lelaki jarang diberi ruang untuk menangis oleh orang tua, bahkan pada saat ia mengalami kesulitan. Tak jarang, orang tua malah memberi instruksi pada anak laki-laki agar tidak menangis dan harus kuat.
Padahal, menangis merupakan reaksi alamiah manusia yang muncul agar dapat melakukan regulasi emosi. Menangis merupakan salah satu cara untuk melepaskan beban emosional yang dapat memberikan ketenangan. Hal ini disebabkan oleh pelepasan oksitosin dan opioid endogen, atau yang lebih dikenal sebagai endorfin, saat seseorang menangis. Zat-zat kimia ini berperan dalam meningkatkan suasana hati dan mengurangi rasa sakit, terutama yang bersifat emosional. Pembatasan munculnya tangisan dari lelaki bukan cuma pengekangan kebutuhan alamiah. Tetapi juga merupakan bentuk validasi bahwa lelaki tidak diwajarkan untuk meluapkan ekspresi.
Selain keluarga, lingkungan sekolah juga turut andil dalam melestarikan konstruksi kejantanan. Dari mana kita dapat melihat cara pandang tersebut? Dapat kita lihat dalam pelajaran olahraga, misalnya. Saat melaksanakan pelajaran olahraga, biasanya lelaki akan sering diunggulkan karena dianggap telah terbiasa dengan aktivitas fisik. Bagi laki-laki yang memiliki nilai rendah, atau performa tidak sesuai standar lelaki lainnya, tidak jarang ia akan mendapatkan perundungan. Dituduh lemah, ‘kalah’ dari perempuan, bahkan disebut ‘banci’.
Sementara itu, tugas guru di sekolah tidak hanya menjadi pengajar yang bertujuan untuk melakukan transfer pengetahuan. Tetapi juga memastikan bahwa banyak sifat yang melekat pada tiap jenis kelamin bukan sebuah ‘kodrat’. Hal itu lebih merupakan konstruksi dari masyarakat yang sebenarnya dapat menimbulkan ketidaksetaraan. Baik antara lelaki dengan perempuan, atau antarlelaki.
Maskulinitas Toksik di Tengah Masyarakat
Tak berhenti di sekolah, konstruksi kejantanan juga dapat terlihat tatkala kita melebur dalam dunia masyarakat. Aku sempat dituding ‘menyerupai perempuan’ karena melakukan smoothing atau perawatan rambut. Memangnya sejak kapan dan kenapa, sih, perawatan rambut itu dilekatkan dengan kehidupan perempuan saja? Padahal merawat rambut merupakan hal yang wajar bagi siapapun karena akan sangat mengganggu jika memiliki rambut yang sulit diatur dan rusak.
Pengalaman dalam konstruksi kejantanan mengantarkanku pada istilah maskulinitas toksik. Yakni suatu tekanan budaya patriarki bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang laki-laki. Misalnya, laki-laki harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
Maskulinitas toksik juga dapat merambah ke pelecehan organ genital. Aku sempat mendengar candaan seperti, “Eh, kamu kan gendut, jangan-jangan ‘punya’mu kecil, ya?” Aku pikir hal ini merupakan fenomena yang usianya belum cukup lama. Sehingga perbandingan antarlelaki perihal organ genital menjadi tampak wajar. Namun, asumsi terhadap fenomena tersebut langsung terpatahkan setelah bertemu dengan literatur yang membahas terkait ilusi kejantanan.
Diskriminasi atas organ genital lelaki ternyata sudah muncul berabad-abad sebelumnya. Saat masa kepemimpinan Raja Louis XIII pada abad ke-17, misalnya. Salah satu cara untuk menegaskan kejantanan adalah melalui penis yang besar dan testis yang kencang dan padat. Semakin ‘sehat’ testisnya, maka kejantanan dari seorang laki-laki juga semakin hebat. Tatkala lelaki pada masa monarki Perancis memiliki testis dan penis yang kecil, ia akan menjadi sumber penghinaan dan layak mendapat hukuman sosial dari masyarakat maupun gereja. Penghinaan ini akan memunculkan rasa malu yang cukup berdampak pada diri lelaki.
Baca Juga: Di Balik Viral Obrolan ‘Provider’ bareng Prilly Latuconsina, Ada Jebakan Maskulinitas Toksik
Sebenarnya, kebanggaan akan penis dan testis ini bukan muncul secara alamiah. Ini juga produk dari konstruksi sosial yang terdapat di masyarakat. Menjadi suatu hal yang dianggap ‘lumrah’ ketika banyak bermunculan obat untuk memperkuat durasi ereksi penis. Atau cara-cara tertentu yang ditempuh lelaki untuk memperbesar ukuran penis.
Penghinaan akan alat kelamin merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Semua itu seperti pusaran delusi yang terus muncul sebagai bagian dari konsekuensi. Diskriminasi organ genital dapat menihilkan kemampuan lain yang dimiliki oleh seseorang. Penilaian tiada henti oleh lelaki dan untuk lelaki lainnya mampu membuat obrolan dalam tongkrongan tak jauh dari pembahasan seksual yang tidak sehat. Menurut tokoh feminis Simone de Beauvoir, pengetahuan dan perilaku dari lingkungan mampu memengaruhi cara pandang seseorang. Hingga akhirnya terinternalisasi menjadi sebuah keharusan yang wajib dimiliki sebagai konsekuensi hidup bermasyarakat.
Perlombaan akan kejantanan sudah seharusnya dimusnahkan. Kejantanan merupakan nilai ideal normatif. Laki-laki jadi tidak akan dianggap sebagai lelaki jika ia tidak menggunakan atribut-atribut ‘jantan’ yang telah dilekatkan padanya. Dengan menanggalkan imaji kejantanan, setidaknya kita dapat meminimalisir diskriminasi oleh lelaki yg dianggap jantan dengan lelaki yang tidak atau kurang jantan (sous-hommes).
Sebaliknya, jika kita terus melestarikan ilusi kejantanan, siklus pelecehan akan terus bergentayangan. Salah satu hal yang dapat kita lakukan saat ini, yakni meredefinisi perihal maskulinitas yang telah mapan. Agar tidak ada lagi korban jiwa akibat perundungan atas nama maskulinitas toksik di lingkungan sekitar kita.
Akhir kata, aku adalah aku. Tak ada yang mampu memahami seluruh kepribadianku selain aku.