Dalam orasinya di May Day 2025, Presiden Prabowo Subianto melontarkan janji yang selama ini menjadi tuntutan buruh, yaitu mendukung Marsinah sebagai pahlawan nasional.
Marsinah adalah aktivis buruh yang dibunuh secara sadis usai demo menuntut kenaikan upah pokok, ia meninggal 8 Mei 1993.
Di depan ribuan buruh di Monumen Nasional (Monas), Prabowo menyebut janjinya untuk menjadikan Marsinah pahlawan sebagai “hadiah kepada kaum buruh”.
“Kalian berembuk usul dari kaum buruh bagaimana (misalnya) Marsinah? Asal pimpinan buruh sepakat, saya akan dukung Marsinah jadi Pahlawan Nasional,” ujar Prabowo yang disambut riuh para massa aksi buruh di Monas, Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.
Dalam kesempatan itu, tak hanya soal Marsinah, Prabowo juga memberikan janji-janji soal perubahan ketenagakerjaan kepada buruh. Seperti wacana membuat Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penghapusan outsourcing, percepatan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), dukungan UU Perampasan Aset, hingga pemberian pajak yang tidak memberatkan bagi buruh.
Baca Juga: Dari Sosok Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Merekonstruksi Citra Politiknya Untuk Raih Kekuasaan
Fadhila Isniana dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mengingatkan untuk hati-hati melihat janji-janji yang dilontarkan oleh Prabowo, bisa jadi sebatas retorika penguasa. Sebab menurutnya, sudah banyak janji dan klaim pemerintah atas nama kesejahteraan buruh, nyatanya malah jadi petaka.
Dia mencontohkan, penerapan UU Cipta Kerja–yang dilanjutkan Prabowo— yang digembar-gemborkan menciptakan lapangan kerja, justru menyengsarakan buruh dan memicu badai PHK. Ada lagi soal aturan tentang fleksibilitas kerja sampai pengaturan mogok kerja sebagai cara perlawanan buruh, yang justru menciptakan kebebasan pasar mendiskriminasi dan membatasi buruh.
“Janji-janji Prabowo itu kayak lebih ke retorika atau janji manis negara,” ujar Fadhila ketika dihubungi Konde.co, Selasa (6/1).
Retorika pembelaan terhadap buruh oleh penguasa, menurutnya tampak pada banyaknya kekerasan buruh di aksi May Day 2025 lalu. Negara seolah menormalisasi, jika tidak disebut memobilisasi, aparat untuk melakukan tindakan represif, brutal, dan sewenang-wenang serta melawan hukum kepada massa aksi.
“Kehadiran mereka merupakan intimidasi, membuat kita takut, membuat buruh-buruh jadi berkurang keberaniannya menyampaikan pendapat dan menuntut hak-hak mereka kepada negara dan pengusaha. Apalagi dengan adanya UU TNI dan katanya ada RUU Polri juga. Itu akan memperkuat militerisme dalam industri (perburuhan),” kata Fadhila.
Baca Juga: Kamus Feminis: Dari Ndasmu, Anjing Menggonggong Hingga Antek Asing, Label Sebagai Alat Pembungkaman
Menurut informasi yang dihimpun oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), sebanyak 14 orang peserta aksi telah ditangkap secara semena-mena. Tidak hanya itu, empat orang mengalami luka-luka—baik luka berat maupun ringan—akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Lebih parah lagi, terdapat dugaan tindakan kekerasan seksual (KS) terhadap seorang massa aksi perempuan saat proses penangkapan berlangsung.
“Kontrol negara terhadap buruh sangat mengakar sampai sekarang, dengan banyak cara (intimidasi). Itu bentuk kontrol untuk membungkam buruh,” imbuh Fadhila.
Jika Fadhila menyebut janji penguasa adalah retorika, Aliansi Perempuan Indonesia (API) menyebutnya sebagai solusi palsu. Sebab selama ini, masalah perburuhan masih dibayangi oleh PHK massal dan kemiskinan struktural. Sepanjang 2023–2025, jumlah buruh yang kehilangan pekerjaan melonjak tajam. Di awal 2025 saja, tercatat 40.000 buruh ter-PHK. Pemerintah gagal mencegah krisis ini meskipun sebelumnya menjanjikan langkah antisipatif.
Prabowo merespons dengan menerbitkan PP No. 6 Tahun 2025, yang memberikan kompensasi 60% dari gaji selama enam bulan bagi korban PHK. Namun, kebijakan ini dinilai hanya solusi jangka pendek dan tidak mengatasi akar persoalan PHK massal. Lebih jauh, program-program seperti Satgas PHK dan UU Cipta Kerja justru dianggap memperburuk kondisi ketenagakerjaan.
Baca Juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing
Di sisi lain, perempuan adalah kelompok paling terdampak. Setelah kehilangan pekerjaan, banyak dari mereka terpinggirkan ke sektor informal, kerja rumahan tanpa jaminan sosial, atau terpaksa bermigrasi ke luar negeri. Tanpa perlindungan sosial, buruh perempuan juga menanggung beban kerja domestik berlipat sebagai tulang punggung keluarga.
Menyoal wacana Marsinah yang akan dijadikan ‘pahlawan nasional’ oleh Prabowo, sebagaimana ajakan Fadhila dari LIPS untuk melihat sejarah dalam setiap retorika penguasa, maka, kita perlu juga melihat kembali ke sejarah tentang Marsinah. Bagaimana kasus pembunuhannya, tak lepas dari campur tangan militer (orde baru). Sementara saat ini, negara dipimpin oleh “kroni orde baru” yang militeristik.
Di satu sisi, kita perlu merenungkan: bagaimana menjadikan Marsinah sebagai simbol perlawanan “pahlawan nasional” tanpa mengusut tuntas kejahatan terhadapnya yang diduga kuat ada campur tangan militer di dalamnya?
Marsinah: Perlawanan Buruh dan Femisida dengan Campur Tangan Militer
Tiap tanggal 8 Mei, kita memperingati ‘Hari Marsinah’. Di hari itu, aktivis buruh perempuan itu dibunuh dan ditemukan sehari setelahnya, dengan kondisi tragis.
Dia diculik, disiksa, diperkosa, dibunuh, dan mayatnya dibuang di sebuah gubuk di tengah sawah di Nganjuk, Jawa Timur.
Kasus pembunuhan Marsinah yang merupakan femisida ini, berkaitan dengan rangkaian pemogokan dan unjuk rasa yang dilakukan buruh perusahaan. Femisida adalah pembunuhan karena gendernya (perempuan) yang sebelumnya disertai dengan kekerasan berbasis gender. Proses pengusutan pembunuhannya, selanjutnya semakin “menelanjangi” adanya campur tangan militer.
Dalam buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan, menjelaskan bagaimana kasus pembunuhan Marsinah yang diawali dengan demonstrasi buruh di PT CPS pada 3 Mei 1993, disusul PHK di Kodim 0816 Sidoarjo dua hari kemudian yang disertai pengakuan para buruh PHK. Buku ini juga menceritakan usaha penyelidikan babak pertama yang gagal karena pembebasan “kambing hitam” oleh Mahkamah Agung, beserta pengakuan para kambing hitam yang disiksa untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
Kasus pembunuhan Marsinah juga memperlihatkan adanya persoalan sistemik kongkalikong pengusaha dan militer. Militer yang jadi penguasa lokal melindungi perusahaan dengan cara menindas setiap usaha buruh dalam menuntut hak-haknya dalam unjuk rasa, sehingga alokasi dana yang seharusnya menjadi hak buruh bisa mengalir ke mereka, atau dikenal dengan “biaya siluman”.
Baca Juga: 6 Hari Penting Perempuan di Bulan Mei: Hari Marsinah sampai Hari Kanker Ovarium
Kasus pembunuhan aktivis buruh, Marsinah, yang membongkar permasalahan perburuhan dan menggugat kebijakan perburuhan, berawal dari sebuah pemogokan para buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya (CPS) di kawasan industri Sidoarjo pada Senin, 3 Mei 1993.
PT CPS didirikan 15 April 1980 dengan nama PT Empat Putra Watch Industry atau dikenal Empat Putra. Tahun 1991, pabrik mengajukan izin perubahan dan perluasan industrinya dan sejak saat itu namanya diubah menjadi PT Putra Catur Surya (CPS). Sejak saat itu, produksi PT CPS melonjak sampai 1,2 juta (sebelumnya 60 ribu) buah jam tangan per tahun dan 70% diantaranya diekspor dengan nilai tidak kurang dari USD 2 juta dollar.
Perkembangan usaha ini ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi sekitar 500 orang buruh PT CPS, yang 300 orang di antaranya perempuan. Produksi berjalan 24 jam penuh dengan 3 kali shift kerja. Masing-masing shift hanya istirahat selama 30 menit untuk makan. Pada shift ketiga mereka diwajibkan lembur 2 jam sehari, sedangkan pada shift satu dan dua diwajibkan lembur dua jam juga setiap hari Sabtu. Pada beberapa bagian, terutama buruh bulanan, mereka harus bekerja 9-12 jam per hari.
Pekerja yang baru masuk mengalami pelatihan selama 3 bulan. Selama itu mereka diupah Rp 1.700 per hari dengan tambahan tunjangan tidak tetap per hari sekitar Rp 550 sampai Rp 850. Peralatan kerja sebagian besar justru disubsidi oleh para buruh sendiri. Perusahaan hanya menyediakan masker dan sarung tangan seminggu sekali.
Baca Juga: Sudah 24 Tahun Reformasi: Negara Tak Juga Mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei Sebagai Pelanggaran HAM
Mesin produksi walau disediakan pihak perusahaan, para buruh harus menyewa Rp 1.424 per hari. Sarung tangan, kertas poles, kertas gosok, lancer dan langsol harus diangsur sendiri oleh para buruh dengan sistem potong target. Jika mereka kurang dari target, kekurangan itu dibebankan pada target hari berikutnya. Bila menghilangkan bahan produksi mereka didenda Rp 50.
Perusahaan tidak menyediakan poliklinik kesehatan. Hanya ada kotak P3K dengan obat seadanya. Tidak ada tunjangan kesehatan, sehingga buruh harus memikul sendiri biaya kesehatan mereka kalau sakit. Bahkan jika mereka tidak masuk kerja karena sakit, upah mereka dipotong. Tidak masuk kerja karena sakit di PT CPS disamakan dengan bolos kerja.
Kondisi kerja itu menghasilkan kekecewaan dan keresahan yang kian hari makin menumpuk. Tapi belum pernah ada tuntutan dari kalangan buruh dalam aksi demonstrasi atau pemogokan.
Bersamaan dengan itu, ada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 50/Men/1992 berlaku sejak 1 Maret 1993, ditetapkan upah pokok buruh minimal Rp 2.250. Sedangkan situasi di PT CPS upah perbulannya hanya Rp 1.700.
Pada tanggal 3-4 Mei itu lah, Marsinah bersama rekan serikat pekerjanya melakukan mogok kerja. Mereka juga menyampaikan 12 tuntutan. Beberapa di antaranya soal penyesuaian cuti haid dengan upah minimum, pembayaran cuti hamil pada waktunya, jaminan kesehatan buruh, kenaikan upah sesuai Keputusan Menaker, hingga setelah pemogokan ini pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan pemecatan.
Baca Juga: Marsinah dan Bapak Tua yang Kutemui
Namun tuntutan itu tak dijalankan perusahaan. Bahkan dengan campur tangan militer, mereka melakukan PHK sepihak terhadap buruh yang melakukan aksi pemogokan. Bahkan, mengintimidasi buruh yang dituduh “dalang” pemogokan. Puncaknya, beberapa hari setelahnya, Marsinah ditemukan sudah dibunuh.
Hingga kini otak di belakang penculikan ini belum tersentuh. Hal ini karena kasus Marsinah dikategorikan sebagai pidana biasa dan bukan pelanggaran HAM. Padahal temuan di lapangan menunjukkan, ada tindakan sistematis dalam penculikan, perkosaan dan pembunuhan terhadap Marsinah. Bukti-bukti ini menunjukkan kuatnya keterlibatan Militer dalam kekerasan ini. Ada indikasi kuat keterlibatan militer di balik kasus yang menimpa Marsinah. Namun hingga kini siapa dalang penculikan, perkosaan dan pembunuhan belum tersentuh hukum. Tanpa Pengadilan HAM, maka selamanya Marsinah tidak akan mendapat keadilan. Pengadilan yang pernah digelar kala itu hanyalah pengadilan rekayasa yang dirancang untuk mengaburkan tanggung jawab militer di balik pembunuhan ini.
Pengadilan ini dipersiapkan dengan penyekapan dan penyiksaan satpam serta pihak manajemen PT. CPS, pabrik tempat Marsinah bekerja, selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Mereka dipaksa mengakui telah merencanakan pembunuhan Marsinah.
Baca Juga: Di Umur 24 Tahun, Marsinah Mati Dibunuh
Marsinah dibunuh dengan cara-cara perkosaan. Menurut keterangan saksi ahli, dokter Abdul Mun’im Idries, kematian Marsinah bukan karena pendarahan melainkan tembakan senjata api ke labia minora atau bibir vagina sehingga menyebabkan adanya lubang kecil dengan kerusakan yang masif.
Pada 3 Mei 1995 Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa karena tidak terbukti melakukan perencanaan dan pembunuhan Marsinah. Semenjak itu kasus ditutup, dalang penculikan, perkosaan dan pembunuhan Marsinah belum terungkap.
Di dalam negeri, protes atas pembunuhan Marsinah muncul dalam bentuk yang sangat beragam dari kalangan aktivis mahasiswa, buruh, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Solidaritas Mahasiswa Jember dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jember mengadakan acara peringatan 40 hari kematian Marsinah. Bengkel Muda Surabaya mengadakan Malam Sarasehan dan Puisi untuk Marsinah. Yayasan Seni Rupa Komunitas Bekerja bersama Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan Dewan Kesenian Surabaya menggelar pameran seni rupa instalasi untuk Marsinah, yang dibubarkan pada saat pembukaannya.
Di luar negeri pada awal Juni 1993, kasus pembunuhan Marsinah ini dibahas dalam konferensi Hak Asasi Manusia PBB di Wina dan juga dalam Komisi HAM di Jenewa, Asia Watch, salah satu organisasi HAM bergengsi di Asia mengirimkan petisi pada United State Trade representative (USTR), lembaga yang berwenang dalam memberikan fasilitas ekspor ke AS.
Marsinah dan Represivitas Orde Baru, Bagaimana Situasi Sekarang?
Campur tangan militer dalam setiap perkara perselisihan perburuhan seolah jadi hal wajar di Indonesia. Termasuk saat masa Orde Baru yang lekat dengan militerisme, yang tampaknya masih relevan saat ini.
Berdalih sebagai penjaga stabilitas, militer Indonesia merasa “selalu perlu” terlibat dalam segala hal. Dalam perkara perburuhan dan dunia usaha, mereka memposisikan diri sebagai pihak yang menjaga agar semuanya berjalan lancar dan tenang. Artinya, segala sesuatu yang bisa menimbulkan gejolak harus berurusan dengan mereka.
Aktivis HAM, Munir Said Thalib, pernah menyoroti soal kasus pembunuhan Marsinah dikaitkan dengan orde baru yang represif. Dia mengatakan, paradigma orde baru bergerak dalam kerangka proteksi terhadap kapitalisme kroni, yang menolak secara tegas gagasan serikat buruh. Hal itu dibangun mulai dari upaya intervensi, okupasi, dan penghapusan.
“Perlawanan buruh, tercermin dari kerasnya perlawanan Marsinah, hidup dalam era politik perburuhan yang demikian represif dan eksploitatif. Boleh dikata pada masa puncak kekuatan orde baru sebagai rezim proteksionis atas modal,” kata Munir dalam epilog Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan.
Munir melanjutkan, pola pengaturan perburuhan yang demikian menemukan ekspresinya pada fase industrialisasi orientasi ekspor. Yakni, mendekati bentuk regimentasi yang ingin mengatur hubungan perburuhan lebih atas pertimbangan stabilitas politik. Fase ini juga sangat gencar dipromosikan buruh murah sebagai unggulan komparatif, guna menarik relokasi industri atau investasi asing.
Baca Juga: Bersahaja di Ruang Kecil, Belajar Menerangi Diri dari Keberanian Munir Said Thalib
Jika pada masa tahun 1960-an dan awal orde baru politik perburuhan sempat melakukan larangan pemogokan, Munir pada saat penulisan buku itu menyebut, larangan mogok dihilangkan, akan tetapi kemampuan buruh untuk berunding diminimalisir (dan perkecil/dilumpuhkan).
Minimalisasi itu dilakukan melalui beberapa kerangka sistem, yang sampai sekarang juga masih banyak dilakukan perusahaan, yaitu antara lain: Hak berorganisasi dikurangi melalui penunggalan organisasi buruh, pendekatan keamanan, hingga kemudahan PHK bagi buruh.
“Perlawanan buruh atas berbagai ketidakadilan dipandang sebagai suatu tantangan yang berbahaya bagi rezim kekuasaan dan modal. Represi merupakan ciri utama sistem yang dominan berkembang di dunia dalam memberi respons atas segala kepentingan dan gerakan buruh.” (Munir)
Lalu, bagaimana situasinya sekarang?
Di tengah krisis sosial dan ekonomi, kita tidak mungkin melupakan tentang kondisi demokrasi dan kebebasan sipil yang terjun bebas. Revisi UU TNI, pembahasan RUU POLRI, dan RUU KUHP dapat membuka jalan bagi kembalinya militerisme dan pembungkaman ruang gerak sipil. Termasuk mereka yang bersuara pada isu perburuhan. Ini ditunjukkan kasus kekerasan massa aksi buruh di May Day 2025.
Revisi UU TNI yang disahkan pada Maret 2025 berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI. Berdasarkan catatan Imparsial, ribuan personel TNI kini menempati posisi di kementerian dan lembaga sipil. Penempatan ini tidak hanya merusak sistem demokrasi, tapi juga menciptakan ketimpangan struktural, di mana militer aktif tidak tunduk pada hukum sipil.
Problem yang paling serius adalah penempatan TNI di proyek-proyek strategis nasional (PSN), termasuk di lahan sawit Kalimantan hingga pengamanan di Papua. YLBHI mencatat bahwa hingga Juli 2024, 2.887 prajurit dikerahkan ke Papua tanpa dasar hukum yang sah. Ini menghidupkan kembali mode Darurat Militer, hanya saja dibungkus dengan istilah baru seperti “KKB” atau “Kelompok Kriminal Bersenjata”.
“Tindakan ini tidak hanya ilegal, tapi membahayakan keselamatan sipil karena dilakukan di area pemukiman warga, bukan medan perang,” tulis API dalam pernyataan resminya.
Baca Juga: Suciwati: Bagi Saya Munir Itu Pemberani dan Memperjuangkan Perempuan
RUU KUHP juga menjadi ancaman karena menghidupkan kembali pasal-pasal karet seperti penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, serta mengkriminalisasi aksi unjuk rasa. Padahal, gelombang kriminalisasi terhadap aktivis gerakan sosial telah berulang kali terjadi. Menurut catatan SAFEnet (2024), terdapat 62% pengaduan kriminalisasi aktivis berasal dari kelompok rentan termasuk buruh perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
Sementara itu, RUU Polri yang memperluas kewenangan pengawasan digital dan intelijen siber juga dikritik karena berpotensi memata-matai dan membungkam aksi buruh, gerakan feminis, serta komunitas sosial lainnya. Menurut catatan KontraS (2023) pengawasan terhadap aktivis perempuan meningkat 47% pasca pengesahan UU ITE dan perluasan fungsi intelijen kepolisian.
“Hadirnya UU Polri besar kemungkinan bakal meningkatkan kriminalisasi buruh, perempuan dan rakyat,” pungkasnya.
(Editor: Luviana Ariyanti)
Sumber Gambar: perpustakaan19651966