Wawancara Prabowo dengan 6 pemimpin redaksi media. (sumber foto: Instagram @prabowo)

Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing

Presiden RI Prabowo Subianto mengundang 6 pemimpin redaksi media untuk mewawancarainya dalam tayangan ‘Presiden Prabowo Menjawab.’ Konde.co dalam laporan ini meminta pendapat 3 dosen dan ahli, Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Anastasya Andriarti, Dosen Bakrie University dan Ketua Perempuan AMAN, Devi Anggraini. Prabowo dinilai melakukan propaganda dan berada dalam bubble-nya sendiri.

Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera dan pakar hukum tata negara menyatakan klaim Prabowo tentang Program Makan Bergizi Garis (MBG) itu sukses, jelas tak berdasar, karena fakta menunjukkan program ini jelas tidak sukses.

Bivitri memandang MBG lebih merupakan sebuah proyek ketimbang program maupun policy. Sebab, ia tidak melihat ada tolok ukur keberhasilan dalam MBG yang digadang-gadang sebagai program kerja Prabowo-Gibran.

“Prabowo seperti berada di dalam bubble-nya dia sendiri.”

Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) Devi Anggraini mengkritik pernyataan Prabowo soal antek asing. Ini justru perlu dipertanyakan kembali siapa sebenarnya antek asing itu. Kalau mengacu pada proyek food estate dan banyak perusahaan yang dijalankan pemerintahan Prabowo yang memakai hutan dan lahan dan melibatkan asing, tuduhan Prabowo jelas tidak berdasar. 

Anastasya Andriarti, jurnalis dan dosen komunikasi Bakrie University mengajak kita agar tak terjebak dalam bubble Prabowo dan secara kritis melihat bagaimana Prabowo mengelola framing dan propagandanya dalam wawancara ini.

Makan Bergizi Gratis: Program atau Proyek?

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, menggelar wawancara eksklusif bersama enam pemimpin redaksi media nasional pada 6 April 2025 lalu.

Dalam sesi bertajuk ‘Presiden Prabowo Menjawab’ itu, Prabowo membahas berbagai isu strategis. Mulai dari arah kebijakan luar negeri, program prioritas pemerintah, hingga tantangan ekonomi dan keamanan nasional.

Ditayangkan dalam durasi hingga 3 jam lebih, wawancara tersebut menuai kritik dari sejumlah kalangan. Beberapa pengamat menilai wawancara terlalu bersifat seremonial dan kurang menggali isu-isu krusial yang tengah dihadapi masyarakat. Sorotan juga diarahkan pada pilihan media yang dianggap tidak merepresentasikan keberagaman pandangan publik, serta minimnya pertanyaan kritis terhadap kebijakan kontroversial pemerintah. Banyak yang berharap agar transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi prinsip utama dalam komunikasi antara pemimpin negara dan rakyat.

Selain itu, kritik juga diarahkan pada sejumlah pernyataan Prabowo soal klaim atas program-program kerjanya dan tanggapannya terhadap beberapa topik terkait pemerintahannya. Termasuk soal kebebasan berpendapat, demonstrasi, dan tudingan ‘kekuatan asing’ di balik protes masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat di awal masa jabatannya.

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran

Prabowo mengatakan, alih-alih visi dan misi monumental, dirinya lebih ingin fokus pada hal-hal fundamental. Yakni menjamin pemenuhan pangan, energi, dan air bagi rakyat.

“Saya merasakan dari kecil bahwa masalah pangan itu sangat fundamental,” ujar Prabowo. “Kalau kita lihat, pemerintah-pemerintah itu jatuh dan bangun, kuncinya itu adalah masalah pangan. Bisa nggak memberi, menjamin pangan untuk rakyatnya? Saya kira demikian, sebetulnya.”

Lanjutnya, “Dan saya setelah saya berkembang, saya jadi dewasa, saya mengalami—saya baca dan saya alami. Ternyata bahwa ideologi apapun yang kita anut, agama apapun yang kita anut, saya kira setiap warga… Setiap anggota satu masyarakat yang diberi peran sebagai pemimpin, apapun agamanya, apapun sukunya, apapun ideologinya. Yang pertama adalah kebaikan, keselamatan daripada rakyatnya. Itu harus fokus utama menurut saya. Itu keyakinan saya.”

Ini berkaitan juga dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicetuskannya sejak masa Pemilu Pilpres 2024. Prabowo mengklaim, meski banyak yang tidak mempercayai program tersebut, MBG yang resmi digelar sejak 6 Januari 2025 kini telah memiliki lebih dari 3 juta penerima manfaat. Ia juga mengatakan, mereka telah melatih para Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dengan IQ 110 untuk keberlangsungan program Makan Bergizi Gratis.

Baca Juga: Pendidikan Makin Dikomersilkan, Kelompok Miskin Kian Tertinggal  

“Sementara [ada orang] yang awal-awal waktu kita gagas, mengatakan ‘tidak perlu’, ‘tidak bisa’, ‘tidak akan berhasil’ dan sebagainya. Alhamdulillah, Januari tanggal 6 kita roll out, kita gelar. Berkembang terus. Sampai hari ini sudah lebih 3 juta penerima manfaat dan akan terus berjalan sampai Desember.” Imbuh Prabowo, “Saya perkirakan mungkin Oktober, November kita sudah bisa hampir mencapai 100% sasaran.”

Di sisi lain, ungkapnya, kritik terhadap program MBG sah-sah saja. “Apakah kerukunan itu berarti tidak boleh kritik, tidak boleh koreksi? Tidak, silahkan. Kritik boleh. Saya mau ada orang yang mengatakan makan bergizi tidak benar, ya monggo, diskusi: kenapa tidak benar?”

Namun, ia segera memberikan argumennya sendiri terkait pelaksanaan program MBG. Sebutnya, gagasan tersebut bukan hal baru; program serupa telah berlangsung di negara-negara lain. Prabowo menyebut India, Brazil, dan Amerika sebagai contoh.

“Negara India laksanakan, Brazil laksanakan. Dan terbukti, Brazil sudah melaksanakan 11 tahun. Kelihatan begitu; makan bergizi, angka kemiskinan menurun karena uang beredar di tempat miskin, di desa. Tiap hari, tiap anak harus makan satu telur. Berarti petani, ayam, ada pasar, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya.”

“Jadi, kita bukan melaksanakan hal yang baru. India melaksanakan, Brazil melaksanakan. Kalau Amerika sudah lama melaksanakan,” ujar Prabowo. “Yang saya tangkap adalah… Yang saya tangkap dari pengalaman mereka adalah memberi makan kepada anak-anak, itu adalah instrumen demokratisasi. Karena melakukan itu berarti pemerataan dan dapat mengurangi kemiskinan. So what is wrong?

Masalahnya, implementasi MBG di lapangan selama lebih dari 100 hari pertama pemerintahan Prabowo dan Gibran lebih banyak menunjukkan kejanggalan. Temuan di lapangan menunjukkan berkali-kali kasus makanan bergizi dibagikan kepada anak-anak sekolah dalam kondisi basi atau tidak layak santap. 

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Makan Bergizi Gratis Dimulai, Sayur Kecut dan Program Tuai Kritik

Kasus keracunan massal juga beberapa kali terjadi. Terbaru, diduga usai menyantap hidangan MBG, sekitar 78 siswa MAN 1 Cianjur, Jawa Barat, mengalami gejala keracunan pada Senin (21/4/2025) malam. Beberapa siswa mengalami keluhan, di antaranya mual, muntah, dan diare. Badan Gizi Nasional (BGN) diketahui sedang mengusut lebih lanjut kasus tersebut.

Tidak hanya itu, kasus keracunan MBG juga dialami 28 siswa SDN Alaswangi 2 Pandeglang, Banten, pada pertengahan Februari 2025. Lalu 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Timur, mengalami keracunan diduga setelah menyantap MBG pada Kamis (16/1/2025). Usut punya usut, menu ayam yang disajikan saat itu kurang matang.

Baca Juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki

Belum cukup, MBG juga rupanya merugikan sejumlah mitra dapur yang memfasilitasi program tersebut. Terbaru, mitra dapur MBG di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalibata, Jakarta Selatan, mengaku belum mendapatkan bayaran sepeser pun dari yayasan Makan Bergizi Nasional (MBN). Padahal, mereka telah beroperasi sejak Februari 2025. Bahkan, menurut kuasa hukum, Ira Mesra selaku kliennya dan pengelola mitra tersebut sampai menjual berbagai aset untuk modal menjadi mitra program MBG. Total kerugian mereka disebut mencapai Rp975.375.000,-, berdasarkan sekitar 65.025 porsi MBG yang telah disediakan oleh mitra itu dan dikerjakan dalam dua tahap.

Sementara itu, terkait pengerahan SPPI, Prabowo sebelumnya mengatakan bahwa mereka telah ‘dilatih’. ‘Pelatihan’ tersebut dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan agenda semacam pendidikan militer. SPPI sendiri menjadi bagian dari Komponen Cadangan (Komcad), yang berarti mereka memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas negara jika dibutuhkan.

Pelibatan tentara dalam pelaksanaan MBG, termasuk untuk mengawasi implementasi lapangan hingga melatih SPPI untuk program Makan Bergizi Gratis, menunjukkan kecenderungan militerisasi agenda sipil. Ini berpotensi mengaburkan batas antara pembangunan sosial dan pertahanan negara. Penggabungan SPPI ke dalam Komponen Cadangan (Komcad) juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan otoritas militer dalam sektor sipil. Serta mengaburkan peran sarjana sebagai agen perubahan sosial. Pendekatan ini patut dikritisi karena bisa menggerus prinsip demokrasi, transparansi, dan independensi sektor pendidikan serta pembangunan.

Baca Juga: Dari Sosok Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Merekonstruksi Citra Politiknya Untuk Raih Kekuasaan

Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera dan pakar hukum tata negara, turut menanggapi klaim Prabowo atas kesuksesan MBG serta berbagai polemiknya. 

“Dia [Prabowo] intinya mengaku bahwa MBG itu sukses. Saya kira tentu saja kalau mau dicek fakta jelas tidak sukses, tuh,” tukas Bivitri saat diwawancarai Konde.co, Selasa (22/4/2025). Tambahnya, yang harus dibongkar pertama-tama adalah indikator kesuksesan itu sendiri. 

“Kayaknya dia mengindikasikan kesuksesan itu ketika ada negara lain yang bertanya, bagaimana cara Anda mengelola MBG? Tapi kan, negara lain bertanya itu belum tentu berarti sukses. Mereka pengin tahu aja dulu. Karena di banyak negara lain juga sudah melakukan itu. Dan yang kedua, mungkin mereka pengin tahu Indonesia dengan segala tantangan finansialnya, bagaimana cara mengelolanya? Gitu.”

Imbuhnya, seharusnya Prabowo menunjukkan indikator kesuksesan MBG secara spesifik kepada publik. Misalnya, jumlah anak-anak miskin yang betul-betul terbantu karena adanya program MBG. Persoalannya, distribusi MBG kebanyakan melalui sekolah-sekolah, sedangkan banyak anak miskin yang bahkan tidak mampu bersekolah.

“Kan, itu nggak pernah sampai sekarang. Kita nggak tahu lho, datanya apa? Karena kan, yang dikasih makan bergizi itu dikasihnya lewat sekolah. Padahal banyak sekali anak-anak miskin yang bahkan juga ke sekolah saja tidak. Nah, mereka tuh gimana reach out-nya? Tapi data itu kita nggak pernah punya, gitu.”

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran

Sejauh ini, data mengenai evaluasi MBG justru dirilis oleh pihak di luar pemerintahan. Seperti CELIOS dan UNICEF. Sedangkan data resmi dari pemerintah soal jumlah anak penerima MBG, jumlah yang terbantu, dampak MBG terhadap stunting selama pelaksanaannya, dan sebagainya belum ada hingga saat ini.

Bivitri juga memandang MBG lebih merupakan sebuah proyek ketimbang program maupun policy. Sebab, ia tidak melihat ada tolok ukur keberhasilan dalam MBG yang digadang-gadang sebagai program kerja Prabowo-Gibran. Idealnya, sebuah policy memiliki proses monitoring dan evaluasi yang terbuka untuk publik. Selain itu, anggaran sudah ada dan dijabarkan dengan rinci. Serta bentuk-bentuk mitigasi yang disiapkan untuk mengantisipasi kasus makanan busuk, keracunan, dan sejenisnya.

“Prabowo seperti berada di dalam bubble-nya dia sendiri. Di mana dia hanya melihat apa yang dia mau lihat dan orang-orang di sekitarnya mau dia lihat,” tandas Bivitri. “Sementara yang jelek-jeleknya, ya, disembunyikan dari dia. Jadi dia seakan-akan baik-baik saja semuanya.”

“Padahal di lapangan kita tahu sendiri banyak sekali [makanan] yang ternyata tidak bergizi, kemudian malah ternyata bikin sakit. Dan kalau memang anak-anak miskin yang disasar, ya, anak miskin juga bahkan tidak ke sekolah. Padahal itu disalurkannya melalui sekolah. Jadi, analisis model penyalurannya saja menurut saya sudah bisa kita kritik.”

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Pemberedelan Sukatani dan Karya Seni Kritis, Alarm Bahaya dari Rezim Antikritik

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ‘pengawasan’ pemerintah sejauh ini justru cenderung mengintimidasi masyarakat. Contohnya ketika artis sekaligus Staf Khusus Menteri Pertahanan RI Deddy Corbuzier mengolok-olok anak-anak yang mengkritik MBG melalui media sosialnya.

“Buat anak-anak itu big deal, lho, di-bully di sosial media kayak begitu,” Bivitri mengatakan. “Jadi tentu saja mereka setelah itu langsung kapok, nggak akan ada lagi yang mengkritik. Jadi kalau dibilang ada bagusnya, tapi nggak ada yang ngeliput, ya karena yang jeleknya juga nggak berani ada yang ngomong.”

Swasembada Pangan dan Food Estate, Bagaimana Realita di Lapangan?

Dalam sesi wawancara bersama enam pemimpin redaksi media, Prabowo juga membahas soal pentingnya swasembada pangan, energi, dan air. Food, Energy, Water (FAW) menurutnya juga dipandang sebagai suatu masalah oleh PBB serta hampir semua perencana dan pemikir ekonomi di seluruh dunia.

“Saya berkeyakinan dengan itu. Di situlah tim saya mewujudkan,” ujar Prabowo. “Berarti apa? Kita harus swasembada pangan. Bagaimana kita swasembada pangan? Kita harus bikin efisien semua ladang, semua kawasan sawah, dan lahan-lahan pertanian yang ada.”

Prabowo melanjutkan, selama puluhan tahun ia memperhatikan bagaimana anak-anak petani banyak yang tidak mau jadi petani lagi. Mereka meninggalkan desa karena ingin memutus kesusahan dan kemiskinan yang mereka rasakan di desa. Sementara bagi Indonesia sebagai negara agraris, petani kerap harus melalui terlalu banyak perizinan dan broker untuk dapat mengakses pupuk hingga menerima pendapatan mereka. Maka ia menyimpulkan, masalah kunci di Indonesia salah satunya adalah soal pertanian.

“Dan saya belajar sejarah. Semua negara kuat dan semua negara besar dan semua negara sukses pertaniannya kuat, pertaniannya sukses. Dari situlah; begitu saya dilantik, keyakinan-keyakinan saya itu saya wujudkan.”

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: ‘Ndasmu!’ Retorika Maskulin Prabowo adalah Tanda Politik yang Tak Berevolusi

Demi mewujudkan swasembada pangan tersebut, pemerintahan Prabowo-Gibran mengebut proyek lumbung pangan (food estate). Terkait hal itu, Bivitri menanggapi, food estate sejauh ini justru menyengsarakan masyarakat lokal akibat alih fungsi lahan dan gagal panen.

“Dia harus lihat misalnya, kenyataan di beberapa tempat food estate gagal total,” Bivitri menegaskan. “Udah dibuktikan juga kan, filmnya udah banyak, datanya juga udah banyak. Soal yang food estate tanamnya singkong, segala macam itu kegagalannya. Padinya juga kacau—itu udah banyak, lah.”

Bivitri menambahkan, swasembada pangan sudah ada sejak zaman pemerintahan Soeharto. Namun, itu tidak bisa disamakan dengan food estate. Pun, dulu swasembada pangan dikritik karena pemaksaan pertumbuhan padi dengan varietas unggul demi mencapai Revolusi Hijau. Massifnya penggunaan pestisida untuk itu justru menghancurkan tanah di Indonesia.

“Tapi itu zaman Orde Baru. Nah, food estate itu beda lagi. Dia tujuannya sama karena kan, dia [Prabowo] punya ilusi lagi soal Indonesia merajai dunia. Tapi food estate itu, kalau kita lihat data independennya, ternyata gagal.”

Revisi UU TNI (Bukan Hanya) tentang Usia Pensiun

Pembahasan mengenai kontroversi Revisi UU TNI juga muncul dalam wawancara eksklusif Prabowo.

Kilas balik mengenai Revisi UU TNI ini membawa kita pada Sabtu (15/3/2025), ketika DPR-RI tiba-tiba membahas rencana pengesahan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi UU TNI memungkinkan tentara aktif menduduki jabatan di kementerian dan lembaga. Ini berpotensi memperburuk risiko militerisme yang sudah lama menindas rakyat, terutama perempuan.

Di satu sisi, edaran wacana Revisi UU TNI bukan barang baru; ia sudah tersebar sejak 2024. Namun, sebelum ini, DPR tidak menempatkan revisi tersebut dalam Prolegnas 2024-2029. Situasi berubah pada saat Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Melalui Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoeddin, ia mengusulkan agar UU TNI direvisi.

Salah satu poin revisi dalam UU TNI tersebut adalah membolehkan tentara berstatus aktif menjabat dalam 16 kementerian atau lembaga tertentu. Termasuk Kejaksaan Agung, Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dalam wawancara bersama para pemimpin redaksi media, Prabowo menyanggah kritik terhadap UU TNI dan revisinya. Ungkapnya, UU TNI tidak berkaitan dengan dwifungsi TNI seperti dikhawatirkan masyarakat dan pengamat.

“UU TNI hanya soal pensiun. Tidak ada dwifungsi,” ucap Prabowo. “Yang membawa TNI kembali ke barak itu TNI, termasuk saya. Saya yang pertama di TNI bicara soal civil supremacy.”

Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Persoalannya, sejak dibahas dalam rapat DPR hingga kini, naskah draf resmi Revisi UU TNI tidak dapat diakses oleh masyarakat melalui situs pemerintah. Namun, dari draf yang beredar, RUU tersebut membuka peluang lebih banyak bagi TNI untuk masuk ke jabatan sipil strategis. Bahkan sebelum RUU TNI disahkan, jabatan sipil strategis yang tidak diatur dalam UU diisi oleh TNI. Sementara sikap ambigu Prabowo terhadap supremasi sipil menunjukkan ketidakkonsistenan reformasi. Potensi militerisme selalu berdampak lebih besar pada warga sipil. Pada akhirnya, perempuan dan minoritas akan paling terdampak.

Bivitri Susanti juga mengomentari polemik UU TNI dan bagaimana Prabowo melihat seakan tidak ada yang salah dengan UU tersebut, dengan menekankan berkali-kali soal usia pensiun.

“Nah, dia gak paham bahwa ada pasal 47 itu sama pasal yang OMSP pasal 7. Buat dia itu nggak ada masalah gitu, karena buat dia itu nggak salah,” tegasnya. “Jadi kita juga harus membacanya, memang Undang-Undang TNI ini dalam suatu konteks di mana si Prabowo itu kan tentara. Memang ini maunya dia. Tentu saja dalam kepala dia, UU TNI ini memang nggak salah. Karena ini maunya dia.”

Seputar Demo: Tuduhan Dibayar Tak Berdasar, Demo Damai Negara Abai

Dalam wawancara eksklusif tersebut, Prabowo juga menyinggung perkara demonstrasi yang marak di awal masa jabatannya. Terbaru, sebelum masa libur panjang Lebaran Idulfitri, masyarakat berdemo menolak pengesahan Revisi UU TNI. Pasalnya, UU TNI dinilai akan membangkitkan kembali dwifungsi TNI, memperluas kooptasi militer atas ruang-ruang sipil, dan melanggengkan militerisme. Aksi demonstrasi dilakukan masyarakat sipil di berbagai kota di Indonesia sejak 20 Maret. Bahkan, protes masih berlangsung hingga saat ini melalui berbagai aksi seperti Piknik Melawan.

Prabowo mengakui adanya demonstrasi tersebut. Ia juga menegaskan, Indonesia menjunjung demokrasi dan menghargai kebebasan berekspresi lewat demonstrasi. Namun, ia mengindikasikan bahwa aksi-aksi massa itu ada kemungkinan ‘dibayar’.

“Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif, dong,” kata Prabowo.

Lebih lanjut, Prabowo mengungkit pendanaan lembaga USAID terhadap lembaga-lembaga internasional. Narasinya mengindikasikan bahwa mungkin ada lembaga asing seperti USAID yang mengerahkan massa untuk memprotes pemerintah. Sementara itu, operasional USAID sendiri kini telah diberhentikan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Baca Juga: Suara Ibu Indonesia: Batalkan UU TNI, Kami Tak Rela Aparat Lakukan Kekerasan Pada Anak Kami

Ia melanjutkan, kebebasan penyampaian aspirasi seperti demonstrasi harus dihormati. Namun, syaratnya, demo tersebut harus damai’.

“Kita hormati hak untuk berdemo asal demonya damai. Tidak menyulut kerusuhan. Nah kalau bakar-bakar ban, itu bukan damai,” sebutnya.

Pertanyaannya, apa landasan Prabowo mengarahkan narasi bahwa aksi demonstrasi tolak Revisi UU TNI ‘dibayar’? Hingga saat ini, tidak ada laporan kredibel bahwa demo masyarakat dibiayai LSM maupun pihak asing. Pernyataan ini mendeligitimasi suara rakyat, termasuk gerakan perempuan dan masyarakat sipil yang bersuara tentang keadilan sosial. Pola menyalahkan ‘asing’ justru melemahkan demokrasi partisipatif.

Di satu sisi, terkait keterlibatan USAID, mereka memang mendanai LSM internasional. Namun klaim bahwa hal itu untuk menggulingkan pemerintah toh tidak terbukti dan bersifat konspiratif. Ini retorika populis nasionalis yang sering digunakan untuk menstigma gerakan sipil.

Bivitri Susanti melihat pernyataan soal ‘demo bayaran’ itu sebagai cara Prabowo ‘melempar’ kata kunci untuk mengacaukan situasi. “Yang harus kita kritik adalah, dari wawancara tiga jam itu, dia seperti ngasih umpan-umpan untuk mengecilkan orang-orang yang melakukan demonstrasi. Dengan bilang ‘dibayar’ dan lain sebagainya.”

Imbuhnya, “Menurut saya, orang-orang kayak Prabowo ataupun elit lainnya selalu menuduh kita itu orang yang dibayar dan lain sebagainya karena mereka enggak terbiasa dengan cara bergerak yang volunteerism. Sebab cara mereka bekerja selama ini memang, kalau enggak dibayar, dikasih jabatan. Hanya dengan cara itulah mereka mau bekerja. Gitu, kan?”

Baca Juga: Okupasi Ruang Lewat Aksi Piknik Melawan, Demo Damai yang Tetap Bikin Pemerintah Gerah

“Jadi buat mereka, enggak masuk akal bahwa ada nih orang yang mau aja datang piknik, mau aja demonstrasi nggak dibayar. Buat mereka nggak masuk akal karena world view-nya, cara pandang mereka tentang dunia memang beda sama kita.”

Sayangnya, narasi itulah yang terus-menerus digaungkan Prabowo dan pemerintahannya. Salah satunya melalui wawancara ‘eksklusif’ berdurasi tiga jam bersama para pemimpin redaksi media tersebut. Narasi dominan seperti itu kemudian membuat banyak orang gagal menerima pesan bahwa ada kelompok-kelompok yang secara tulus dan murni sedang memperjuangkan demokrasi.

Bivitri juga mendaku keberatan dengan tudingan Prabowo bahwa aksi demonstrasi mahasiswa atau rakyat cenderung ‘rusuh’. “Yang harus dipahami itu kan, mahasiswa atau siapa saja yang melakukan demonstrasi dengan cara-cara seperti itu. Itu juga dipicu oleh situasi di mana kita kalau selama ini benar-benar nggak punya ruang, nggak punya civic space untuk didengar, suara kita itu. Kritik maupun masukan,” tukas Bivitri. “Akhir-akhir ini ya, terutama. Jadi akhirnya tentu saja semua pihak yang mau demonstrasi seakan-akan berlomba-lomba untuk mencari cara, supaya kita didengar. Kadang-kadang mungkin akhirnya pakai cara-cara yang se-ekstrim itu.

Imbuh Bivitri, sesungguhnya yang masyarakat butuhkan adalah ruang untuk berpendapat, didengar, dan dilibatkan dalam berbagai keputusan pemerintah. “Percayalah, kalau Prabowo ngomong langsung sama demonstran—kalau misalnya mereka enggak harus demonstrasi karena mereka didengar dengan baik ada ruang partisipasi, mereka juga enggak mau kok, demo gitu. Jadi jadi harus membacanya dalam situasi di mana selama ini ruang-ruang normal untuk berpartisipasi ditutup.”

Baca Juga: ‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan

Prabowo juga mengklaim bahwa kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran punya landasan sendiri. Akunya, ia sendiri pernah menjadi bagian dalam pasukan pengamanan demonstrasi, dan para aparat dilempari botol berisi air kencing hingga kotoran manusia. Aparat lalu melakukan ‘tindakan pencegahan’ saat aksi sudah tidak kondusif.

“Aparat kita tidak bersenjata,” sebut Prabowo. Lanjutnya, kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat tentu akan ditindak tegas oleh pemerintah jika terbukti dilakukan. Ia juga mengatakan, “Kalau ada abuse, berapa (kasus) dari ratusan demonstrasi?”

Bagaimana pun, bukti lapangan menyatakan sebaliknya. Dari aksi-aksi demonstrasi yang berlangsung sejak beberapa bulan terakhir saja, banyak laporan dan dokumentasi kekerasan aparat. Termasuk penggunaan senjata non-lethal yang disalahgunakan. Mulai dari pentungan, balok kayu, hingga semprotan water cannon dan gas air mata untuk membubarkan massa. Bahkan dalam rangkaian aksi #TolakRUUTNI yang berlangsung pada 15-28 Maret 2025, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat setidaknya 83 orang luka-luka, 161 ditangkap. 18 jurnalis juga jadi korban kekerasan.

Pernyataan Prabowo mengabaikan realitas kekerasan struktural. Masyarakat sipil jadi korban represif, namun narasi negara malah men-gaslight korban. Pernyataan tersebut juga merupakan relativisasi kekerasan. Tidak ada ‘hanya’ dalam kasus kekerasan; satu kasus pun tetap pelanggaran HAM. Normalisasi kekerasan negara membahayakan ruang sipil yang menyuarakan haknya di ruang publik.

Pun terkait pernyataan tentang sanksi tegas terhadap aparat pelaku kekerasan, justru realitanya sejak dulu, impunitas membuat banyak pelaku bebas dari sanksi. Termasuk Prabowo sendiri, yang merupakan bagian dari Tim Mawar Kopassus dan kemungkinan sangat besar terlibat dalam penculikan mahasiswa dan aktivis anti-pemerintah Orde Baru pada periode 1997-1998. Meski setelah itu Prabowo dicopot dari jabatannya, ia tetap bisa berkarier politik hingga menjadi Presiden RI saat ini.

“Jadi kita harus membacanya juga dengan sebuah kultur impunitas di negara ini. Yang menyebabkan kalau ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menangani demonstrasi atau apapun bentuk kritiknya, nggak pernah ada tanggapan serius dari negara,” tukas Bivitri.

Baca Juga: Kamisan dan Aksi Tolak Kekerasan Perempuan

“Mereka mungkin sedikit dimutasi 3 bulan, 4 bulan, habis itu bisa balik lagi. Sementara kalau misalnya kasusnya harusnya masuk wilayah pidana atau pengadilan HAM, nggak pernah dibawa. Contohnya Prabowo sendiri. Jadi saya kira itu yang dia nggak bisa pahami. Kenapa dia nggak bisa pahami? Karena dia punya ilusi sendiri. Sebab dia juga mendapat keuntungan dari sistem yang dengan penuh dengan impunitas seperti itu.”

Bivitri menyebutkan sejumlah kasus kekerasan aparat terhadap demonstran yang menimbulkan korban. Salah satunya saat demonstrasi Peringatan Darurat 22 Agustus 2024. Banyak mahasiswa dan masyarakat terluka, termasuk seorang mahasiswa yang kepalanya pecah akibat dipukul menggunakan batu.

“Jadi kayak dianggap hilang aja, nggak pernah ada datanya. Dianggapnya kejadian itu seakan-akan gak pernah ada.”

Menyambung pernyataan terkait sanksi hukum terhadap aparat pelaku kekerasan, sebut Bivitri, sebetulnya hal itu memang tercantum dalam Peraturan Kapolri (Perkap). Namun, pasal tindak kekerasan itu dianggap sebagai pelanggaran etik saja. Maka sanksinya tidak lebih dari mutasi sebentar, skorsing, penundaan kenaikan pangkat, dan semacamnya, tanpa menimbulkan efek jera yang signifikan.

“Harusnya kalau mau perlakuan yang sama di hadapan hukum, harusnya kalau orang menganiaya ya kenakan dong, pasal penganiayaan di KUHP. Kemudian disidang di pengadilan,” katanya. “Kalau ini kan, cuma etik aja. Kayak gitu tuh, digeser-geser, demotasi. Efek jeranya enggak ada. Dan bagi korban juga enggak terasa ada keadilan, karena biasanya diselesaikan secara internal aja.”

Baca Juga: Kontribusi Perempuan Muda Dalam Aksi HAM: Kampanye dan Penelitian

Sementara itu, menyanggah pernyataan Prabowo tentang demo yang ‘dibolehkan jika damai’, Bivitri mengatakan bahwa toh, demonstrasi damai juga tidak didengar oleh pemerintah. Bahkan, aksi damai seperti menggelar piknik di luar area Gedung DPR-RI saja tetap dibubarkan paksa oleh polisi aparat keamanan setempat.

“[Realitanya] nggak seperti itu dan juga jadi kayak nggak berdampak. Jadi mereka juga nggak menyadari makna dari demonstrasi sesungguhnya. Cuma bilang boleh, boleh, boleh. Tapi apa yang kalian lakukan untuk itu?”

Padahal, aksi unjuk rasa damai bukan cuma berlangsung 1-2 kali. Ada Aksi Kamisan, salah satu contoh aksi damai yang sudah berjalan sangat lama sejak tahun 2007, digelar untuk menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Sudah 18 tahun berjalan dan presiden berganti, nyaris tidak ada respon pemerintah untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM selain sekadar berjanji untuk mengusut tuntas di setiap ajang kampanye Pemilu. Malah, dari hari ke hari, korban terus bertambah lewat kasus-kasus pelanggaran HAM baru.

“Coba lihat Aksi Kamisan, kurang damai apa?” sergah Bivitri. Meski memang sebagian besar aksi damai seperti Aksi Kamisan tidak dibubarkan, tapi aksi-aksi tersebut juga diabaikan. “Yang Piknik Melawan juga semacam didiamkan gitu ya, akhir-akhir ini.”

Dia menekankan, esensi dari aksi warga menyatakan pendapat adalah partisipasi warga. Baik aksi demonstrasi damai maupun dengan cara yang lebih ‘keras’, sebetulnya keresahan utamanya adalah pengabaian terhadap partisipasi masyarakat sipil dalam keputusan pemerintah.

“Jadi disangkanya kita Kamisan atau kita Piknik Melawan itu ya, piknik aja, sekedar mengunjuk berpendapat. Tapi kan, orang yang berpendapat itu, kalau governance-nya baik, didengar, dipanggil, ditanya, kemudian dilaksanakan. Nah, ini kan juga enggak. Didiamin aja, dan kemudian malah diserang dengan narasi-narasi seperti itu. ‘Enggak ada gunanya’, segala macam lah. Jadi proses demokrasi itu juga sejak awal tidak diimplementasikan.”

‘Antek Asing’: Siapa Sebenarnya yang Dibantu Kekuatan Asing?

Dalam pertemuan dengan jurnalis dari enam media dan dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi TVRI, Presiden Prabowo Subianto kembali memakai narasi antek asing. Narasi ini keluar saat menanggapi pertanyaan seputar gerakan aksi demonstrasi yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

“Selalu dalam pengelolaan suatu negara, kita waspada, apakah ada kelompok-kelompok atau kekuatan asing yang ingin adu domba. Ini berlaku lazim,” kata Prabowo kepada jurnalis dari tujuh media di kediamannya di Hambalang, Minggu (6/4/25).

Ini bukan kali pertama Prabowo menuding pihak-pihak yang bersikap kritis terhadap kebijakannya sebagai ditunggangi kekuatan asing. Belum lama berselang dalam pidato di acara HUT Partai Gerindra (15/2/25) Prabowo juga menyebut soal kekuatan asing yang berupaya memecah belah bangsa lewat organisasi nonpemerintah (NGO) dan media massa.

“Kalau ada yang mau menghasut, waspada. Ini ulah kekuatan asing yang selalu ingin pecah belah Indonesia. Nanti terkuak LSM-LSM yang dibiayai oleh negara asing. Nanti terkuak media-media yang sebenarnya pemiliknya adalah orang asing,” katanya.  

Narasi antek asing juga digunakan Prabowo kepada para pengkritik kebijakan food estate yang dijalankan pemerintahan Jokowi saat ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

“Makanya kalau ada orang yang selalu menjelek-jelekan, tidak boleh food estate inilah itulah, saya khawatir ini antek-antek asing yang ingin Indonesia selalu lemah, selalu miskin,” ujarnya pada Selasa (30/1/24).

Baca Juga: Program ‘Food Estate’ Harmonis Dengan Lingkungan dan Masyarakat Adat: Mungkinkah?

Dari rekam jejak pernyataan Prabowo kita bisa melihat narasi antek asing ini bisa ditujukan pada pihak yang berbeda. Meski begitu ada kesamaan yakni pihak yang disasar adalah yang dianggap sebagai lawan atau pihak-pihak yang bersikap kritis.

Menanggapi tudingan Prabowo, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) Devi Anggraini mengatakan justru perlu dipertanyakan kembali siapa sebenarnya antek asing itu. Kalau mengacu pada proyek food estate yang dijalankan pemerintahan Prabowo yang memakai hutan dan lahan yang ada di kawasan wilayah adat, tuduhan terhadap pihak-pihak yang mengkritik dan menolak food estate sebagai antek asing menjadi tidak relevan. 

Masyarakat adat di Merauke misalnya menolak proyek food estate di Merauke. Selain itu tercatat sejumlah LSM juga mengkritik dan menolak food estate yang digagas pemerintah. Pasalnya proyek ini dinilai berpotensi merusak lingkungan, melanggar hak-hak masyarakat adat, dan gagal meningkatkan ketahanan pangan.

Devi menegaskan keberadaan food estate justru berusaha menghancurkan kedaulatan masyarakat adat termasuk perempuan adat atas kehidupannya dengan masuknya sektor privat (perusahaan/korporasi) sebagai pemain dalam proyek tersebut.

“Buat masyarakat adat pemenuhan kebutuhan pangan dan lain-lain itu ada di dalam tata kelola yang sudah mereka miliki. Nah kehadiran food estate membuka ruang yang sangat besar dan menyebabkan perubahan yang masif serta membawa masuk orang-orang dari luar,” urai Devi kepada Konde.co, Senin (14/4/25) di sela-sela Rakernas AMAN di Kalimantan Timur. 

Baca Juga: Habis Gelap Tak Kunjung Terang: di Bawah Rezim Militeristik, Deretan Kasus Kekerasan Seksual oleh Aparat Diabaikan

“Sementara proses pembicaraan dan pembahasan untuk melihat risiko food estate bersama-sama dengan masyarakat adat itu tidak ada. Jadi yang terjadi sebenarnya memang penghancuran masyarakat adat,” tegasnya.

Dalam proses ini perempuan adat menjadi pihak yang paling dirugikan karena ruang hidup yang selama ini menjadi wilayah kelola perempuan dialihkan ke perusahaan. Dalam masyarakat adat pengelolaan pemenuhan kebutuhan hidup dipegang oleh perempuan. Penghancuran kedaulatan masyarakat adat ini membuat mereka bergantung pada pangan dari luar.

“Jadi ini adalah bentuk kekerasan yang dilakukan negara kepada perempuan adat dan juga masyarakat adat,” tegasnya.

Devi menambahkan selama ini masyarakat adat termasuk perempuan adat adalah pihak yang konsisten menaruh identitas bangsa dalam kehidupan berbangsa. Hal ini terus diperjuangkan oleh masyarakat adat termasuk perempuan adat. itu sebabnya masyarakat adat memakai dirinya sebagai alat advokasi.

Misalnya lewat pakaian adat. Bagi masyarakat adat pakaian bukan sekadar penutup tubuh tapi ia memberikan identitas kepada pemakainya. Dalam selembar pakaian adat tersimpan pengetahuan yang muncul dalam motif, dan mengandung nilai filosofis serta kesejarahan. Semua ini menjadi dasar dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.  

Namun semenjak era Jokowi, negara melihat pakaian adat (dan masyarakat adat) sebatas seremoni. Negara tidak sungguh-sungguh memaknai masyarakat adat sebagai penyokong utama bangsa Indonesia.

“Maka yang menjadi antek asing sebenarnya siapa?” tandas Devi.

Baca Juga: Kamus Feminis: Dari Ndasmu, Anjing Menggonggong Hingga Antek Asing, Label Sebagai Alat Pembungkaman

Pertanyaan ini penting untuk diajukan mengingat pemerintahan Prabowo juga tidak steril dari kekuatan asing, salah satunya investasi asing. Setelah dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024, Prabowo tercatat melakukan lawatan ke sejumlah negara dan membuat kesepakatan di bidang ekonomi.

Dari kunjungan ke China misalnya, Prabowo menghasilkan dua kesepakatan cukup penting. Yakni investasi senilai US$ 10,07 miliar atau setara Rp157 triliun dan bantuan dana China untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Sementara dari lawatan ke AS, ada tiga kesepakatan cukup penting yang dihasilkan. Yakni komitmen AS untuk mendukung ketahanan pangan RI, percepatan transisi energi bersih melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP), dan pengembangan rantai pasok mineral.

Dari kunjungan ke Inggris, Prabowo berhasil membawa investasi senilai US$ 8,5 miliar atau sekitar Rp135,15 triliun. Sejumlah pemimpin perusahaan Inggris menyatakan berminat investasi di beberapa bidang, seperti transisi energi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Selain itu struktur organisasi Danantara, badan pengelola investasi strategis di Indonesia yang didirikan untuk mengonsolidasi dan mengoptimalkan investasi pemerintah, juga diisi oleh sejumlah tokoh asing. Empat dari lima anggota dewan penasihat Danantara adalah orang asing. 

Mereka adalah Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates. Jeffrey Sachs, ekonom dan Direktur Center for Sustainable Development di Columbia University. Thaksin Shinawatra, pengusaha sekaligus mantan Perdana Menteri Thailand. Serta F Chapman Taylor, Manajer Portofolio Ekuitas dan Direktur Riset Capital Group.

Mempertanyakan Framing ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemimpin Redaksi Media

Anastasya Andriarti, Dosen Bakrie University menyatakan bahwa pertemuan Prabowo bersama 6 Pemimpin Redaksi (Pemred) ini tak lepas dari bagaimana Prabowo mengelola framing dan propagandanya di media.

Pertama, Anastasya mempertanyakan mengapa  hanya ada 6 pemred media yang diundang, dan pertemuannya dilakukan di rumahnya di Hambalang, bukan di istana sebagaimana kapasitas Prabowo sebagai presiden. Karena harusnya sebagai kepala negara atau presiden, Prabowo terbuka pada semua media massa, ini merujuk pada UU Pers no 40/ 1999 dimana pers berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi yang tugasnya mengawal dan mengkritisi pemerintahan, jadi semua berhak atas kesempatan dan akses yang sama.

“Kalau ini dibatasi hanya 6 pemimpin redaksi saja, pers nasional dalam UU Pers pada pasal 7 menyatakan bahwa hak masyarakat untuk tahu, menegakkan nilai demokrasi terkait kepentingan umum—ini gak ada. Katanya akan digilir   pertemuannya, tapi kenapa ini tidak terjelaskan, apakah hanya anggota Forum Pemred atau media yang lain? Setidaknya dibuka kesempatannya yang mewakili dan tidak dikuasai oleh media tertentu dan bisa menunjukkan keberagaman media?,” kata Anastasya Andriarti pada Konde.co.

Yang kedua, Anastasya juga melihat bahwa wawancara ini memberikan ilusi seolah hasil wawancara merupakan produk jurnalistik, padahal ini sebenarnya hanya ilusi bahwa seolah Prabowo terbuka dan demokratis, tapi justru ini menggiring jurnalis pada ilusi yang dibuat Prabowo. Maka misi propaganda prabowo pun berhasil.

Baca Juga: Kabinet Mangkir, Isu Perempuan Tak Hadir: Riset 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

“Ini mayoritas propagandanya Prabowo berhasil. Seolah dia gagah berani menjawab, tapi sebenarnya dia tidak menjawab apa-apa. Judulnya saja wawancara khusus dengan Prabowo, tapi ternyata dia tidak menjawab, ini bisa dilihat dari pertanyaan jurnalis yang pendek, dan dijawab dengan panjang lebar. Ada peran moderator yang membatasi ketika ada pertanyaan, dan lihat saja peran jurnalis, mereka tidak punya waktu luang untuk mengkritisi karena semua dijawab dengan panjang lebar sehingga habis waktunya.”

Jika dilihat dengan durasi waktu, dalam durasi waktu kurang lebih 3,5 jam Prabowo punya waktu yang sangat panjang yaitu menjawab lebih dari 3 jam dan jurnalis hanya diberikan kesempatan beberapa menit, dan beberapa videonya diberi judul Prabowo menjawab, ini yang kemudian disebut framing. 

“Ini jelas bukan produk jurnalistik, karena ini hanya wawancara versi Prabowo karena sebagian besar tidak terjawab, misalnya soal UU TNI, jadi ada banyak klaim dari Prabowo dan tidak ada uraian, sementara di kesempatan lain dia memuji-muji pemerintah. Kuncinya itu, Prabowo sedang melakukan propaganda.” 

Prabowo dalam hal ini juga menjadikan jurnalis dan masyarakat sebagai objek. Pertemuan dengan 6 Pemred ini juga tidak bisa dipisahkan dengan pertemuan sebelumnya yang dilakukan Prabowo pada 23 Februari 2025 di Hambalang dengan dalih Prabowo sedang melakukan silaturahmi dengan pimpinan media.

“Pertemuan ini untuk bicara apa dan apa esensi pertemuannya? Kalau off the record, jika ini untuk kepentingan bangsa, ini untuk apa?” tanya Anastasya.

Di Tengah Narasi Dominan Otoritarian, Rakyat Harus Saling Menguatkan

Keseluruhan wawancara eksklusif Prabowo dengan para pemimpin redaksi media di kediamannya jadi kian mengkhawatirkan. Alih-alih kebebasan, justru yang tampak adalah bayang-bayang otoritarianisme dengan gaung narasi dominan pemerintah yang disebarkan menggunakan media massa.

Bivitri Susanti merasa rakyat sipil sudah tidak dalam posisi bisa mengharapkan apapun lagi pada negara. Menurutnya, 6 bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran telah membuktikan satu per satu kegagalan dan kemerosotan demokrasi di Indonesia. Sebagai kepala negara, Prabowo tidak terkoneksi dengan rakyatnya.

“Kalau misalnya ada orang yang punya asumsi–kayak zaman Jokowi juga–‘ah, itu sih, Prabowo-nya nggak salah tuh. Cuma orang-orang di sekitarnya yang salah’. Menurut saya itu salah, asumsi seperti itu. Karena kita juga harus berani untuk menunjuk hidung bahwa kesalahannya ada pada Prabowo.”

Baca Juga: Catatan 100 Hari Kerja Prabowo–Gibran Dari Perspektif Perempuan dan Keadilan Sosial: Kesetaraan Ditakluk, Populisme Menyunduk 

Bivitri mengingatkan, kita tidak boleh lupa bahwa Prabowo memiliki rekam jejak sebagai tentara dan pelaku pelanggaran HAM berat. Keterlibatan Prabowo dalam Tim Mawar juga sudah diakuinya sendiri. “Bahwa nggak ada pengadilan HAM-nya, itulah soal impunitas. Tapi dia sendiri sudah bilang memang terbuka: dia adalah kepalanya Tim Mawar. Jadi dengan rekam jejak seperti itu, menurut saya kita nggak usah mengagung-agungkan lagi seorang Prabowo dan hanya menyalah-nyalahkan orang-orang di sekitarnya.”

Dosen STH Jentera itu melihat pemerintahan Indonesia kini sedang menyongsong otoritarianisme. Atau, dalam bahasa akademis, competitive authoritarianism. “Sebenarnya sudah otoritarian, tapi kompetitifnya itu dalam arti cangkang-cangkang demokrasinya masih dijaga. DPR-nya masih ada. Tapi DPR-nya itu sebenarnya bukan wakil kita. Dari 8 fraksi, 7 itu sudah koalisinya Prabowo, kok.”

Oleh karena itu, menurut Bivitri, saat ini yang terpenting adalah menguatkan geakan sosial. Aksi dan aktivasi ruang seperti Piknik Melawan serta berbagai ajang berekspresi masyarakat adalah cara-cara yang bisa dilakukan dan harus terus dirawat. Tuturnya, ini merupakan upaya untuk membuat warga semakin sadar akan hak mereka dan memaparkan pendidikan politik yang luas.

“Warga tahu bagaimana mereka mempertahankan hak mereka. Dan bahwa sebenarnya mereka tidak boleh diusir dari tanahnya sendiri gara-gara PSN. Itu yang mesti kita kuatkan.”

Penulis: Salsabila Putri Pertiwi, Anita Dhewy, dan Luviana
Riset: Luthfi Maulana Adhari
Editor: Luviana

(sumber foto: Instagram @prabowo)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!