Tampak belakang Tia (32), seorang pengemudi ojol perempuan, sedang on bid di perjalanan. (foto: dok. Konde.co/Luthfi Maulana Adhari)

Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)

Kehidupan ojek online (ojol) perempuan dieksploitasi secara reproduktif, dan dirongrong kapitalisme platform yang mengekstraksi dalam sistem kemitraan semu. Hasil riset Konde.co terhadap pengemudi ojol perempuan di 9 kota di Indonesia memperlihatkan kondisi ini.

Di Hari Buruh Sedunia 2025 ini, Konde.co meluncurkan riset atau jurnalisme data tentang situasi dan kondisi ojol perempuan. Liputan ini ditayangkan pada 30 April- 1 Mei 2025, yang merupakan bagian dari series #MeiMelawan 2025.

Sudah satu dekade aplikasi ojek online (ojol) muncul di Indonesia. Seiring tahun, jumlah pengemudi ojek online terus meroket, tercatat lebih dari 4 juta orang pada akhir 2024​. 

Dari angka tersebut, sekitar 20% di antaranya adalah perempuan. Bagi sejumlah kelompok, ojol perempuan merupakan revolusi sosial yang membuktikan bahwa perempuan mampu mengambil peran di wilayah maskulin atau yang akrab dengan sebutan “women in male fields” pada penghidupan di era digital. Dalam feminisme, ini bisa jadi ruang untuk menunjukkan bahwa perempuan dapat dan ingin berada di posisi-posisi yang secara historis tertutup bagi mereka, tanpa merasa harus ‘menjadi laki-laki’ atau memenuhi ekspektasi gender yang ada.

Namun di balik cerita pemberdayaan ini, realitas sehari-hari yang dihadapi pengemudi ojol perempuan penuh dengan ketidakadilan struktural. Para ojol perempuan ini terus mengalami persoalan ketenagakerjaan, salah satunya eksploitasi reproduktif. Relasi kerja antara ojol dan perusahaan atas nama kemitraan juga dibangun secara semu.

Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma

Status “mitra” yang diagung-agungkan antara perusahaan dan ojol hanyalah ilusi. Dalam kenyataannya, para pengemudi ojol perempuan bekerja dalam kontrol penuh aplikator: diatur target performanya, dikenai penalti, namun tanpa hak perlindungan. Perusahaan aplikator memainkan teknologi untuk mendisiplinkan dan mengeksploitasi, mengaburkan realitas kerja keras dan membuat hak-hak dasar sulit dicapai

Melihat situasi ini, maka Konde.co kemudian melakukan riset terhadap 30 pengemudi ojol perempuan di 9 kota, antaralain di Sukabumi–Cianjur, Cilegon–Serang, dan wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek). Riset ini untuk melihat persoalan gender dan maskulinitas kerja yang dialami ojol perempuan.

Riset Konde.co: Situasi Ojol Perempuan

Dilakukan pada akhir April 2025, riset ini menunjukkan rentetan multidimensi persoalan yang saling silang berdasarkan gender, status keluarga, hingga kelas sosial yang dialami para ojol perempuan.

Dari segi demografi, mayoritas pengemudi ojek online perempuan adalah lulusan SMA/SMK (53,3%). Disusul lulusan SMP sebanyak 26,7% dan lulusan SD sebanyak 6,7%. Di samping itu, terdapat 13,3% yang menyandang gelar diploma atau sarjana. Hal ini memperlihatkan bahwa dengan pendidikan tinggi, seseorang tetap bisa terdorong masuk ke sektor informal akibat sempitnya peluang kerja yang adil. 

Kondisi tersebut diperkuat dengan temuan bahwa banyak perempuan menjadi ojol akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). 13,3% menyebut “karena diberhentikan dari pekerjaan lama” dan 23,3% dengan alasan “tidak ada pilihan kerja lain”.

Fadhila Isniana, peneliti dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS Sedane) menegaskan kenyataan bahwa menjadi ojol bak rantai penyambung dari maraknya pemutusan hubungan kerja dan minimnya lapangan pekerjaan.

“Sudah banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), orang-orang yang terkena PHK tersebut terserap ke dalam pekerjaan informal, termasuk menjadi pengemudi ojek daring (ojol),” terang Fadhila.​

Dihajar Beban Ganda, Setiap Waktu Adalah Jam Kerja Sampai Burnout

Sebagian besar pengemudi ojol perempuan yang mengikuti survei Konde.co berusia antara 35–44 tahun (46,7%) dan di atas 45 tahun (26,7%). Sementara hanya 3,3% berusia di bawah 25 tahun. Sekitar 40% responden berstatus menikah, 40% berstatus cerai, dan sisanya belum menikah. 

Mayoritas (66,7%) memiliki anak yang tinggal bersama, dan 6,7% memiliki anak yang tidak tinggal bersama. Dari 40% yang berstatus janda, kebanyakan di antaranya (83,3%) adalah perempuan kepala keluarga yang memiliki anak untuk dinafkahi, sehingga dapat dilihat kebanyakan perempuan ojol dalam data ini menanggung beban mengurus keluarga. 

Meski banyak anak yang menunggu cemas di rumah, para ibu yang berjuang di jalanan ini tidak terlindungi jaminan sosial. Hanya 23,3% responden yang memiliki jaminan sosial dan dari jumlah tersebut mayoritas (86,7%) bukan dari perusahaan aplikator. Artinya, perlindungan negara terhadap mereka sangat lemah.

Infografis karakteristik demografi responden ojol perempuan. (Sumber: riset Konde.co)
Infografis karakteristik demografi responden ojol perempuan. (Sumber: riset Konde.co)

Di luar jalanan, perempuan pengemudi menghadapi tuntutan domestik yang berat. Dari survei ditemukan hanya 2 responden yang melapor tidak punya beban rumah tangga. Sisanya membagi diri antara bekerja dan mengurus urusan lain: 20 orang (57,1%) harus urus anak sendirian, 10 orang (28,6%) urus rumah tangga/pekerjaan domestik, 3 orang (8,6%) merawat orang tua/lansia.

Infografis karakteristik pekerjaan perawatan responden ojol perempuan. (Sumber: riset Konde.co)
Baca Juga: BBM Hingga Tarif Ojol Naik: Beban Berat bagi Perempuan Pelaku Usaha Kecil dan Buruh

Artinya 94,3% perempuan ojol harus berhadapan dengan tugas domestik berat selain kerja. Di antara mereka, 40% menjawab “tidak ada yang membantu, semua dikerjakan sendiri”, 26,7% mendapat bantuan suami atau pasangan, dan 33,3% hanya dibantu oleh orang tua/keluarga besar.

Infografis bantuan mengurus pekerjaan rumah bagi responden ojol perempuan. (Sumber: riset Konde.co)

Data jam kerja harian dan penghasilan mempertegas kesenjangan. 53,3% perempuan bekerja 9–12 jam per hari dan 23,3% bahkan lebih dari 12 jam. Mayoritas ojol perempuan (60%) bekerja setiap hari tanpa libur (7 hari seminggu), sisanya sebagian besar bekerja 6 hari (26,7%).

chart visualization

Meskipun jam kerja sangat panjang, penghasilan harian bersih rata-rata mayoritas tetap rendah, 73,3% responden menerima penghasilan harian rata-rata di bawah Rp100.000 (13,3% di bawah Rp50.000 dan 60% Rp50–100 ribu). 

chart visualization

Lebih mencemaskan, tidak ada batang hidung responden yang merasa penghasilannya cukup untuk kebutuhan rumah tangga. 50% menganggap kurang dan 40% cukup pas-pasan. Hasil ini menggambarkan bahwa kata bijak “bekerja keras lah niscaya kaya raya” dari motivator kiat-kiat menjadi sukses tidak selamanya benar. Meski bekerja melebihi 10 bahkan 12 jam sehari, pendapatan mereka masih pas-pasan, apalagi harus membagi waktu untuk urusan rumah tangga.

chart visualization
chart visualization

Beban-beban inilah yang membuat mayoritas (53,3%) sering mengalami burnout atau kelelahan luar biasa karena kerja ganda, 43,3% lainnya sesekali mengalami kelelahan luar biasa dan hanya 3,3% yang tidak pernah burnout.

chart visualization

Dengan kata lain, 96,6% merasakan efek kelelahan akibat menumpuknya tanggung jawab domestik dan kerja platform. Kondisi ini adalah bentuk nyata dari eksploitasi reproduktif, terlihat dari usaha pengasuhan anak, perawatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan keluarga yang secara tradisional dibebankan kepada perempuan tak dihargai oleh sistem ekonomi dan malah dijadikan modal kerja tanpa kompensasi.

Baca Juga: Kisah PKL Malioboro: Digusur Dua Kali, Diimpikan ‘Naik Kelas’, Lapak Malah Sepi

Sebagai perempuan dan sering kali kepala keluarga, mereka menghadapi diskriminasi gender di ruang publik dan tekanan ekonomi. Penghasilan rendah, jam kerja panjang, dan tanggung jawab domestik yang saling terikat. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan negara yang menganggap mereka sebagai “mitra”. 

Pekerja perempuan ini mendapati diri mereka masuk dalam prekariat, berada di antara relasi kerja tidak jelas dan tanggung jawab domestik tak terbayarkan. Dengan demikian, kerentanan mereka bersifat struktural dan multidimensional.

“Mereka dieksploitasi habis-habisan tanpa kepastian kerja, tanpa kepastian pendapatan, tanpa perlindungan hukum, semuanya dibungkus dengan embel-embel “kemitraan”. Padahal kemitraan itu hanya gimmick aplikator juga negara untuk melepas tanggung jawab,” tegas Fadhila.

Diskriminasi Gender di Jalur Maskulin

Tantangan utama lain yang dirasakan ojol perempuan sangat terkait erat dengan diskriminasi gender dan ekspektasi tradisional. Sebanyak 26 responden (86,7% dari sampel) mengeluhkan sering dibatalkan order (cancel) hanya karena mereka perempuan. 

chart visualization

Hal ini konsisten dengan studi-studi sebelumnya yang menemukan tingkat pembatalan order 2,7% lebih tinggi pada pengemudi perempuan dibanding laki-laki​. Sering di-cancel bukan saja merugikan secara ekonomi karena keranjang penghasilan yang hilang, tetapi juga menegaskan stigma sosial bahwa perempuan “tidak pantas” bekerja di jalan.

Selain itu, 43,4% responden mengaku pernah mengalami pelecehan dari penumpang, 43,33% merasa berat menanggung beban ganda (bekerja sambil mengurus rumah dan anak), 36,67% merasa sulit bekerja saat menstruasi atau sakit, dan 10% merasakan kurangnya dukungan keluarga. 

Data ini memperlihatkan persilangan beban yang kuat. Beban reproduktif rumah tangga seperti anak, urusan domestik, bahkan merawat lansia acap kali dipikul sendirian oleh perempuan kelas menengah ke bawah, sehingga perempuan ojol seringkali keluar dengan kondisi letih atau sakit.

Belum lagi jika harus menghadapi lingkungan kerja yang kebanyakan maskulin dan tidak aman dari pelecehan. Akibatnya, banyak pengemudi perempuan memasuki ranah publik yang dikemas sebagai “fleksibel dan merdeka”, namun realitanya tetap di belenggu patriarki dan tekanan kelas.

Dilecehkan Penumpang dan Pelecehan Lainnya

Riset ini juga menggambarkan bahwa pengemudi perempuan kerap menghadapi pelecehan seksual atau kekerasan verbal. 

Dalam survei tercatat, 43,4% responden mengalami bentuk pelecehan (6,7% sering dilecehkan, 6,7% kadang-kadang, 30% pernah sekali-dua kali), sementara 56,6% menyatakan tidak pernah. 

Infografis pengalaman ojol perempuan atas pelecehan. (Sumber: riset Konde.co)
Infografis pengalaman ojol perempuan atas pelecehan. (Sumber: riset Konde.co)

Artinya, hampir separuh perempuan pengemudi pernah terkena pelecehan setidaknya sekali. Pelaku terbanyak adalah penumpang laki-laki. Perusahaan aplikator juga dipandang sebagai sumber ketidaknyamanan. 7 responden menyebut aplikator itu sendiri bersikap kurang menyenangkan, seperti suspensi sepihak atau kurikulum kurang sensitif gender. 

Rekan ojol laki-laki pun tidak luput memberikan rasa ketidaknyamanan, total 5 sebutan menyebut rekan sesama pengemudi pernah membuat situasi tidak nyaman. Di sisi lain, 9 pengemudi menyebut orang tidak dikenal sebagai pelaku pelecehan. 

Pola ini sejatinya bentuk kekerasan berbasis gender yang dilegitimasi oleh kultur patriarki. Komnas Perempuan pernah mencatat bahwa pekerja perempuan yang mengalami pelecehan kerap tidak berani melapor karena relasi kuasa yang timpang; perempuan takut kena blame culture dan dipecat​. 

Survei kami mengkonfirmasi hal itu. Hanya 43,3% pengemudi perempuan pernah melapor ke aplikator soal kejadian tidak menyenangkan, 56,7% tidak pernah melapor sama sekali. Ketakutan dan ketidakjelasan mekanisme pengaduan membuat kasus-kasus kekerasan gender di dunia kerja ojol banyak mengendap lalu lekas menghilang​.

Situasi Keselamatan Kerja

Ketika berhadapan dengan pelecehan, mayoritas (54,5%) pengemudi perempuan memilih bercerita ke teman atau komunitas sebagai cara meluapkan emosi dan mencari dukungan. Hanya 22,7% yang berani melapor resmi ke aplikator, sisanya 18,2% memilih diam saja atau tidak tahu harus ke mana, dan 4,5% melakukan tindakan spontan seperti melaju cepat lalu memberi bintang satu pada pelanggan nakal. 

Kondisi tersebut menunjukkan metode coping informal yang dominan, yakni solidaritas antar driver jadi pelampiasan utama. Sebab tidak berani melapor bukan tanpa alasan, selain ketakutan diputus kemitraan, mekanisme laporan di perusahaan platform juga tidak ada jaminan hasil. 

Dari 24 yang pernah coba melapor, hanya 4 kasus (16,7%) ditindaklanjuti dengan baik. Sebanyak 11 kasus (45,8%) tidak ada tindak lanjut sama sekali, 7 (29,2%) ada respons tapi jawaban aplikator tidak memuaskan, dan 2 orang (8,3%) malah mendapat sikap menuduh atau dihukum balik oleh aplikator. 

Infografis pengalaman ojol perempuan dalam melaporkan pelecehan. (Sumber: riset Konde.co)
Infografis pengalaman ojol perempuan dalam melaporkan pelecehan. (Sumber: riset Konde.co)

Artinya, hampir 70% laporan tidak mendapat kejelasan atau justru diperburuk. Hal ini mencerminkan kegagalan sistem kemitraan, pengemudi dianggap otonom, namun kenyataannya malah tidak punya mekanisme perlindungan layak seperti sebagaimana pekerja seharusnya.

Dampak pelecehan dan pencabutan order sering kali membuat perempuan ojol merasa terancam. Sebagian besar responden (66,7%) hanya merasa kadang aman kadang tidak saat bekerja, 13,3% sering merasa tidak aman, dan hanya 20% yang selalu merasa aman.  

Baca Juga: ‘Perempuan Dimiskinkan, Dibunuh, Dikriminalkan’: Refleksi Hari Perempuan Internasional 8 Maret

Data tersebut menunjukkan bahwa 80% perempuan ojol pernah khawatir akan keselamatannya di jalan. Data kualitatif memperkuat betapa rentan mereka: ada kisah pengemudi perempuan dibawa memutar berjam-jam atau diperlakukan tidak pantas oleh pelanggan, terminta menjemput “pihak ketiga” yang tidak jelas, atau anak dibonceng tanpa persetujuan. Beberapa kutipan pengemudi menggambarkan betapa fisik dan psikologis mereka dieksploitasi. 

table visualization

Contoh-contoh ini menunjukkan pelecehan seksual vulgar hingga manipulasi jarak dan waktu perjalanan–semua dikoordinasi oleh algoritma aplikasi, bukan oleh prinsip keadilan atau keamanan penumpang.

Ketidakjelasan dan Kebijakan Aplikator

Pelbagai data dari kuesioner riset ini menunjukkan paradigma kapitalisme platform yang menerapkan ‘mitra’ untuk buruh. Hanya 13,3% responden merasa aplikator sudah adil terhadap driver ojol perempuan, sementara 66,7% menilai tidak adil (sisanya tidak tahu). Hal ini mencerminkan persepsi bahwa perusahaan ojek online masih memperlakukan pekerja perempuan secara diskriminatif. 

Infografis persepsi ojol perempuan terhadap sistem perusahaan aplikator. (Sumber: riset Konde.co)
Infografis persepsi ojol perempuan terhadap sistem perusahaan aplikator. (Sumber: riset Konde.co)

Memang, sebagai “mitra” formal, pengemudi perempuan tidak diakui sebagai buruh dengan perlindungan penuh​.  Label mitra itu sendiri sengaja dikonstruksi untuk menyamarkan relasi kerja sesungguhnya, sebagaimana Fadhila menyatakan jargon kemitraan berfungsi membiaskan bahwa pengemudi bebas “wiraswasta” padahal ia tetap dikendalikan algoritma perusahaan​. 

“Mereka buruh, tapi perusahaan tidak mau memenuhi kewajiban terhadap hak-hak buruhnya. Jadi mitranya juga bukan mitra dalam arti yang setara. Ojol ini tidak punya pilihan. Notifikasi aplikasi ketika ada order itu sama saja dengan perintah kerja. Mereka tidak bisa bebas memilih mau kerja jam berapa. Katanya fleksibel, tapi kenyataannya tidak,” terang Fadhila.

Pemberian status tersebut membuat pengemudi tidak diakui berhak atas perlindungan seperti cuti, jam kerja yang manusiawi, atau jaminan sosial. Padahal, data survei menunjukkan 93,4% responden menyatakan hak-hak semacam cuti hamil, cuti haid, dan perlakuan layak sebagai “sangat perlu/perlu” (26,7% perlu, 66,7% sangat perlu). Hanya 6,7% yang tidak memahami urgensinya. 

Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Janji Manis Inklusivitas, Masih Bolong Sana-Sini (2)

Kondisi ini kontras dengan posisi mereka sekarang yang serba rawan, belum ada kebijakan aplikator untuk cuti sakit/haid, dan jaring pengaman non-ekonomi juga minim. Hanya 63,3% yang pernah mendapatkan semacam Bantuan Hari Raya (BHR), sisanya 36,7% tidak pernah).

pictogram visualization

Tingkat tunjangan yang didapat pun cenderung kecil. Dari pengemudi yang pernah menerima BHR (63,3%), mayoritas mendapat kurang dari Rp50.000 (57,9% di bawah Rp50 ribu), hanya 26,3% mendapat ≥50 ribu, dan 15,8% mendapat ≥100 ribu. 

chart visualization

Pemberian insentif yang minim ini menunjukkan bahwa meski pengemudi dihempas tuntutan ekonomi, perusahaan berusaha menekan biaya tenaga kerja. Sistem fleksibilitas kerja yang sering diiklankan sebagai keunggulan ekonomi gig nyatanya bersifat sangat terkontrol. 

Sebanyak 56,7% responden tidak merasa memiliki kontrol penuh atas fleksibilitasnya, hanya 43,3% yang merasa bebas. Kenyataan ini kontras dengan narasi aplikator, dan mengungkap ilusi fleksibilitas. 

Begitu pula soal keadilan dan transparansi tarif dan bonus, hanya 16,7% menganggap sistem tarif/insentif perusahaan jelas/adil; lebih dari separuh (53,3%) menyatakan tidak jelas, dan 30% ragu-ragu. Ketidakjelasan ini menyebabkan ketidakpastian pendapatan.

Sanksi Algoritma dan Reaksi Struktural

Di zaman kapitalisme platform, kontrol perusahaan bukan lewat pekerja atau polisi, tapi lewat algoritma. 

Data riset Konde.co ini menemukan 63,7% pengemudi perempuan pernah merasakan hukuman algoritmik, yaitu sebanyak 27,3% sering kena suspensi atau dibatasi fitur, 36,4% beberapa kali, dan 36,4% tidak pernah. 

chart visualization

Hukuman tersebut seringkali tanpa kejelasan karena algoritma dianggap netral. Selain itu, 90% responden berpendapat sistem kerja ojol hanya menguntungkan aplikator, sedangkan hanya 10% yang melihat keuntungan bagi kedua pihak.

Hasil tersebut semakin mempertegas bahwa platform memindahkan risiko ke pekerja, beban biaya operasional seperti bensin, sakit, mesin rusak ditanggung pengemudi, tapi keuntungan besar dikoleksi perusahaan.

Implikasi politiknya, sebagian besar pengemudi perempuan menuntut perubahan status hubungan kerja. Sekitar 43,3% ingin diakui pekerja tetap dengan hak selayaknya buruh (U-Permanen); 40,0% menginginkan tetap berstatus mitra tapi dengan jaminan perlindungan yang jelas. Hanya 16,7% yang ‘tidak keberatan’ selama pendapatan stabil. 

chart visualization

Artinya, 83,3% menolak status “mitra tanpa kepastian” yang saat ini diberlakukan. Pekerja perempuan ini sadar bahwa tanpa perlindungan formal, produktivitas dan kesejahteraan mereka sulit terjamin. 

Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Sopir Ngebut Tak Sesuai Trayek, Penumpang Takut Negur(3)

Secara keseluruhan, hasil riset memperlihatkan gambaran interseksional. Perempuan, khususnya yang kelas sosial dan statusnya rentan telah menghadapi penindasan berganda. Di satu sisi, mereka dieksploitasi secara reproduktif, di sisi lain, dirongrong kapitalisme platform yang mengekstraksi tenaga kerja dengan sistem kemitraan semu. 

Perusahaan aplikator memainkan teknologi untuk mendisiplinkan dan mengeksploitasi, mengaburkan realitas kerja keras dan membuat hak-hak dasar sulit dicapai​.

Namun, suara perempuan semakin lantang, seruan serikat dan komunitas ojek online seperti Serikat Demokrasi Pengemudi Indonesia (SDPI) dan komunitas ojol lain menuntut keadilan. Kasus diskriminasi, pelecehan, dan ancaman pemutusan kemitraan telah memancing protes. 

Mereka butuh perubahan struktural seperti pengakuan hak pekerja termasuk hak reproduksi dan keselamatan, transparansi algoritma, serta jaminan upah dan perlindungan sosial. Hanya dengan mengangkat keresahan kolektif ini, harapannya ojek online tidak lagi hanya menjadi ajang eksploitasi buruh perempuan, melainkan menjadi profesi yang adil bagi semua.

II. Bertaruh Pada Aspal dan Algoritma: Empat Perempuan, Tiga Belah Senja, Dua Napas Kota, Satu Nasib Karib

Riset ini mempertemukan tim Konde.co dengan Tia (32) yang baru saja mengambil rapor anaknya dan berhasil naik kelas dari tahun perdana sekolah menengah pertama di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. 

Tia langsung menyalakan aplikasi setelah kembali mendapati anaknya naik kelas. Satu pesanan masuk, pelanggan memintanya mengantar ke daerah Slipi, Jakarta Barat.

Selesai satu misi, Tia bergegas menuju Cikini, Jakarta Pusat, yang sepanjang jalannya adalah kantor bagi perempuan kepala rumah tangga dengan satu anak itu. Tia menunggu sekitar 45 menit, hingga akhirnya mendapatkan notifikasi pesanan antar makanan.

“Dapat! Di mana ini? Oh, sebelah (restonya),” katanya sambil tersenyum​.

Saat menunggu makanan siap, notifikasi kedua muncul. “Wih, double order! Lumayan deh searah,” ujarnya.

Di sore yang mendung, Tia mengambil kedua pesanan itu, satu untuk pemesan di daerah Salemba, satu lagi di Matraman. Jalanan padat, peta di aplikasinya penuh warna merah nan pekat. 

Tia (32), seorang driver ojol perempuan, sedang mengambil pesanan makanan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)
Tia (32), seorang driver ojol perempuan, sedang mengambil pesanan makanan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)

“Merah semua. Lewat gang, deh,” ucapnya pelan​.

Baca Juga: Kuliah Sambil Kerja, Uang Menipis, Gen Z Tak Bisa Liburan Dan Pulang Kampung

Sesampainya di rumah pelanggan pertama, Tia harus menunggu sekitar 10 menit, berulang kali mengetuk pintu sambil mengucap permisi. Ketika ditanya apakah menunggu 10 menit terasa lama, Tia menjawab enteng, “Biasa, sih, segitu. Saya pernah satu jam lebih, orangnya ketiduran” katanya​ sedikit terkekeh.

Selesai mengantar pesanan pertama, Tia tancap gas mengantar pesanan kedua. Sekitar 2 mil menuju titik pengantaran, hujan tiba-tiba deras mengguyur. Tia bergegas menepi ke halte bus, memakai jas hujan dan membungkus makanan yang ia bawa dengan plastik kering yang ia bawa sendiri, menjaga agar makanan tidak basah. Ia tahu betul jika makanan rusak, akunnya bisa terancam suspensi.

Ia kembali melanjutkan perjalanan menuju pelanggan kedua, sekitar 5 menit Tia melintasi gang-gang sempit di tengah hujan yang tiba-tiba bocor di tengah jalan itu. 

Baca Juga: Nasib Malang Pendidikan Penghayat Kepercayaan: Penyuluh Dilarang Mendidik, Murid Dipersekusi, Hingga Problematika RUU Sisdiknas

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Tia langsung mendapat orderan untuk mengantar makanan lagi, namun kali ini notifikasi itu terpaksa ia lewati sebab harus memutar jalan sekitar 4 kilometer ditambah hujan yang deras.

“Kalau nge-skip begini, ngaruh ke performa. Performanya sama aplikasi diturunin” katanya​.

Pernah suatu kali, saat lapar dan menunggu makanannya datang, ia harus meninggalkan nasi goreng yang baru saja diantar karena orderan mendesak masuk. 

“Pernah nasi goreng sudah di depan mata, karena mepet, sudah lebih dari satu sampai dua kali skip, ya sudah ambil. Padahal saya cuma on-bid buat makanan waktu itu, tapi dapat penumpang. Mau enggak mau ditinggal, balik lagi sudah dingin” ceritanya sambil tersenyum kecil​.

Keesokan harinya, di sisi sayap Waduk Pluit, Jakarta Utara, sore itu Bunda Ros (53) terlihat sedang mengobrol bersama kawan-kawannya dengan jaket Gayatri, komunitas ojol perempuan yang berulang tahun ke-empat di hari minggu itu.

Baca Juga: ‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia
Komunitas Gayatri yang mengundang kawan-kawan ojek online lain sedang berpesta merayakan ulang tahun komunitas khusus perempuan itu yang keempat tahun. (Foto: Fiona Wiputri/Konde.co)
Komunitas Gayatri yang mengundang kawan-kawan ojek online lain sedang berpesta merayakan ulang tahun komunitas khusus perempuan itu yang keempat tahun. (Foto: Fiona Wiputri/Konde.co)
Baca Juga: #WomenInMaleFields, Tren TikTok Perempuan Menertawakan Absurdnya Patriarki

Gayatri berdiri di atas keresahan. Di jalanan, perempuan-perempuan pengemudi ojek online rentan pada kekerasan, pelecehan, bahkan kriminalitas. Tidak ada perlindungan memadai dari aplikator, apalagi negara. Dari titik kosong itulah, Ros dan kawan-kawan perempuan memilih membangun kekuatan mereka sendiri.

“Jadi terbentuknya itu karena Bunda merasa kalau Bunda itu enggak bisa sendiri. Kita harus saling kerja sama, harus saling bantu-membantu, antar-koordinasi,” kata Ros.

Julia Susanti (48) akrab disapa Mpok Lia adalah salah satu anggota Gayatri. Lia di hari minggu itu absen untuk datang ke pesta ulang tahun komunitasnya karena sakit. Dirinya juga merasa Gayatri cukup membuatnya tidak merasa sendiri sebagai ojol perempuan di tengah asap yang maskulin.

“(Ikut) Gayatri, jadi banyak teman-teman di ojol,” katanya singkat.

Di belahan pulau Jawa lain, tepatnya di Sukabumi, Sumi (48) yang sudah sewindu menjadi ojek online berbagi nasib yang karib dengan Lia, Ros, dan Tia. 

Sebagai seorang perempuan yang juga mengemban tanggung jawab sebagai ibu, sama seperti tiga kolega lainnya yang mungkin tidak Sumi kenali, sehari-hari ia mesti bangun pagi, pulang malam, dan bangun pagi lagi sambil meyakinkan diri untuk menyalakan motornya. 

Sore hari yang kadang hangat kadang dingin sembari memandang foto sang anak di gawai lamat-lamat, lalu beranjak saat notifikasi muncul barangkali menjadi pengalaman sederhana yang menyatukan pengalaman mereka sebagai perempuan yang tidak dihadapkan banyak pilihan.

Tia yang Melawan Kantung Matanya Sendiri

Hidup Tia berputar di antara aplikasi, jalanan, dan bising suara klakson. Antara pesanan makanan yang harus dibungkus dengan plastik agar tidak basah, pesanan dan penumpang yang mesti diantar cepat lagi selamat, dengan target performa yang harus dijaga meski hujan mengguyur deras. Tidak ada waktu untuk bersyukur terlalu lama atas kenaikan kelas anaknya. Jalanan sudah menunggu. Sistem kadung menuntut.

Di sudut kota Jakarta yang sibuk dan penuh polusi, Tia mengerahkan seluruh tenaganya untuk tetap bertahan hidup. Mengenakan jaket yang ia jaga agar tidak lusuh bertuliskan logo aplikator ojek online, ia membelah jalanan dari fajar hingga tengah malam. Tidak ada waktu luang, tidak ada kemewahan untuk lelah.

PHK dan Iming-Iming Fleksibilisasi Kerja

Sebelum menjadi pengemudi ojek online, Tia bekerja pada bagian administrasi pajak penjualan di sebuah perusahaan sparepart mobil di bilangan Pecenongan, Jakarta Pusat. Pekerjaan yang stabil meski penghasilan dibawah upah minimum itu lenyap dalam sekejap. Kala itu pandemi COVID-19 dijadikan alasan untuk merumahkan para pekerja, tanpa pesangon, tanpa kompensasi.

“Kena pengurangan. Saya kan bagian ngurusin pajak penjualan. Dibanding mereka, saya paling baru, jadi saya yang kena pengurangan,” ungkapnya​.

Apa yang dialami Tia bukan semata kebetulan. Di tengah pandemi, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang justru menghapus banyak perlindungan dasar buruh. Perjanjian kerja fleksibel dan outsourcing dilegalkan lebih luas, membuat posisi tawar buruh semakin rapuh.

Dalam kerangka ini, PHK terhadap Tia bukan hanya keputusan bisnis, tapi juga politis. Ia adalah bagian dari proyek besar fleksibilisasi buruh yang memperlakukan pekerja manusia hanya sebagai angka produksi. Di mata hukum baru itu, perempuan pekerja seperti Tia hanyalah angka statistik yang dapat dikeluarkan dengan mudah tanpa konsekuensi.

Mencoba kembali ke pasar kerja formal, Tia dihadapkan pada diskriminasi usia dan status sosial.

“Oh, susah. Umurnya,” katanya, merujuk pada ketidakmungkinan mendapatkan pekerjaan di sektor formal dengan usia yang menginjak 32​.

Janji Palsu Gig Economy: Menjadi Buruh tanpa Perlindungan

Ketika dunia formal menolak, dunia informal menjadi satu-satunya tempat bertahan. 

Tia mendaftar sebagai pengemudi Grab dan Shopee, membeli motor dengan cicilan harian dari pinjaman online kerja sama JULO dan Grab.

“Habis di-PHK saya bikin SIM, awalnya ke Molis (motor listrik) buat punya akun doang, itu bayar juga ke Molis sistem sewa ke Grab begitu. Pas sudah punya akun selang tiga bulan, empat bulanan, kan kalau di Grab kan ada pinjaman JULO, Grab Modal (skema fitur pinjaman online). Jadi saya dapat JULO tuh enam juta cair langsung dapatin motor,”cerita Tia.

Foto diri Tia yang sedang bersiap berangkat untuk mengantar pesanan. (Foto: Luthfi Maulana Adhari).
Foto diri Tia yang sedang bersiap berangkat untuk mengantar pesanan. (Foto: Luthfi Maulana Adhari).

Penghasilannya tidak menyentuh 200 ribu sehari meski bekerja 16 jam setiap hari sejak sebelum pukul 7 pagi selepas mengantar anaknya ke sekolah hingga 11 malam. Besarnya potongan seringkali dikeluhkan Tia.

“Bensin tiga puluhan ribu per hari. Makan juga di luar, lima belas ribuan sekali makan. Cicilan motor harian dari JULO juga harus dibayar,” paparnya​.

Baca Juga: Upah Tak Cukup, 76 Persen Buruh Terjerat Hutang Rentenir Modern

Selain itu, aplikator mengambil potongan sekitar 20 persen dari setiap perjalanan. Program-program seperti GrabBike Hemat, Gaspol, Argo Goceng (Gojek) malah merugikan driver, mengunci mereka pada skema pendapatan yang dipotong lebih dalam jika tak ingin aplikasinya anyep.

Casing-nya doang mitra. Padahal mah di dalamnya harus ini lah, harus itu lah,” ucap Tia​.

Skema pembayaran sistem “Hemat” dari aplikasi Grab yang dibebankan ke mitra.

Status “mitra” yang diagung-agungkan hanyalah ilusi. Dalam kenyataan, para pengemudi perempuan bekerja dalam kontrol penuh aplikator: diatur target performanya, dikenai penalti, namun tanpa hak perlindungan buruh.

Negara tidak hadir untuk memperbaiki situasi. Pemerintah justru membiarkan aplikator menentukan syarat kerja sepihak tanpa regulasi ketat. Apa yang disebut sebagai “ekonomi digital” tidak lebih dari perluasan bentuk baru dari pekerja kontrak bebas perlindungan.

Tubuh yang Diperas dan Tak Pernah Dianggap

Setiap hari Tia bekerja dari pukul enam pagi hingga tengah malam. Ia mengantar anaknya ke sekolah, lalu mulai menarik penumpang, mengirim barang, sampai mengantar makanan. Ia hanya berhenti sebentar untuk menjemput anaknya pulang, sebelum kembali lagi ke jalanan.

“Saya antar anak saya jam setengah tujuh, langsung narik sampai jam dua belas malam,” ceritanya​.

Dalam masa menstruasi, tubuhnya kerap memberontak. Ia kadang harus menahan nyeri hebat di atas motor. Pernah beberapa kali dirinya hanya bisa bersender lemas di kursi halte yang kosong, nyaris pingsan, tetapi dalam kepalanya pulang ke rumah bukan pilihan.

“Kalau lagi haid parah, pernah lagi bawa penumpang di atas motor kan penumpang enggak tahu, ya, kalau saya sakit perut, saya tahan. Habis itu menepi kadang senderan saja di kursi atau di halte. Misal sudah mendingan baru aktifin lagi aplikasinya. Apalagi kalau siang, panas-panasan, badan bisa demam.”

“Pulang mah enggak, sudah di rumah malas lagi nanti keluarnya,” sambung Tia.

Tidak ada ruang untuk beristirahat. Tidak ada cuti sakit, tidak ada kompensasi bila tubuhnya roboh di jalan. Dalam lelahnya, Tia seringkali menangis di jalan. Lalu cepat-cepat membasuh air matanya ketika notifikasi aplikasi muncul. 

“Kalau lagi capek, keingat rumah, besok bayar motor, besok ada itu, kebutuhan ini. Di jalan suka nangis sendiri begitu. Tapi kalau sudah nyampe tempat kita ketemu yang lain, sudah (harus) biasa lagi,” ceritanya.

Di-Cancel Karena Perempuan dan Mendapat Pelecehan Seksual 

Bekerja di ruang publik membuat perempuan seperti Tia terpapar rasa tidak aman setiap hari. Di-cancel penumpang baginya adalah makanan sehari-hari yang mesti ditelan meski pahit. 

“Saya waktu itu habis belanja dari warung, di seberang jalan, tiba-tiba ada orderan masuk. Buru-buru mau jalan, eh, penumpangnya chat ‘Kak, maaf, saya nggak bisa kalau drivernya perempuan. Saya cancel, ya.’”

Tia membalas dengan tenang, menahan kekecewaan yang barangkali sudah akrab baginya.

“Ya sudah, Kak. Tidak apa-apa. Maaf ya.”

“Kalau kayak gitu mending maksudnya konfirmasi gitu jadi kita gak kesal sendiri. Kadang sudah masuk, sudah mau pakai helm, cancel enggak ada konfirmasi. Lihat profilnya, laki-laki ini biasanya” sambung Tia.

Dalam sistem yang serba cepat, konfirmasi seperti itu sudah menjadi bentuk respek kecil yang jarang ia temui. Bagi banyak perempuan driver, pembatalan sepihak tanpa alasan sering kali terasa seperti penolakan terhadap eksistensi mereka sendiri.

Namun pengalaman sering di-cancel itu bukan satu-satunya cerita getir.

Baca Juga: Diputus Kontrak, Dijanjikan Kerja Lagi Usai Lebaran: Akal-akalan Perusahaan Hindari THR Buruh 

Suatu sore, Tia mendapat orderan mengantar penumpang. Seorang laki-laki menaiki motornya. Sepanjang perjalanan, laki-laki itu meminta Tia melewati jalur sepi. Awalnya Tia hanya waspada. Tetapi saat melihat gerak-gerik si penumpang yang membawa tas plastik kecil dan kemudian menggerakkan tangannya mendekat ke tubuh Tia, rasa takut itu mengeras.

“Saya diam saja. Takut kalau saya teriak, malah makin bahaya. Dia kan di belakang saya, bisa ngapain saja.”

Pilihan Tia adalah bertahan dalam diam, berharap sampai di tujuan tanpa insiden.

Tia yang jadi satu-satunya perempuan di tempat pangkalan ojol Cikini Jumat itu. Ia sedang menunggu notifikasi dari aplikasi, ponsel rekan laki-lakinya sudah berbunyi lebih dahulu. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)
Tia yang jadi satu-satunya perempuan di tempat pangkalan ojol Cikini Jumat itu. Ia sedang menunggu notifikasi dari aplikasi, ponsel rekan laki-lakinya sudah berbunyi lebih dahulu. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)

Setelah turun, bukannya langsung masuk rumah, si penumpang malah berjalan sambil terus melirik ke arah Tia, menambah rasa was-was yang belum sempat reda.

Di ruang-ruang sunyi seperti itu, perempuan seperti Tia sering kali dipaksa memilih untuk mengabaikan naluri amannya atau menanggung risiko sendirian.

Cerita lain terjadi pada subuh hari, saat Tia “ngalong”—bahasa para pengemudi untuk narik malam. Ia masih ingat betul titik penjemputan saat itu dari McDonald’s Salemba menuju Holiday Inn Tegalan di sekitar Matraman, Jakarta Pusat. Tia mengantar seorang penumpang laki-laki turis asing yang menyenderkan tubuhnya ke tubuh Tia.

“Dia nyender-nyender ke arah saya, sampai posisi saya nyetir itu di ujung jok begitu. Saya pikir mabuk. Untungnya pas di lampu merah, ada driver lain yang menegur.”

Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Mister, lady!”

“Sudah, Mbak, saya ikutin saja dari belakang sampai titik,” kata Tia menirukan pengemudi ojol yang membantunya saat itu.

Ia kemudian bertahan, mengantar hingga tujuan, menahan rasa tidak nyaman yang jarang dianggap sebagai masalah besar oleh banyak orang.

Dalam sistem kerja yang menuntut pelayanan maksimal, ruang aman bagi perempuan seperti Tia sering kali tidak tersedia. Ia tidak pernah melapor atas pelecehan yang dialami. Bukan karena tidak berani, tetapi karena merasa sistem aplikator tidak berpihak pada driver.

“Kalau driver ribet aplikatornya, kecuali kalau sudah berat begitu yang sampai bisa diproses polisi mungkin, ya,” katanya​.

Hal itu kembali ia buktikan saat mengalami suspensi dari aplikator akibat menolak tiga orderan antar barang dari ITC Cempaka Mas pada tengah malam demi alasan keamanan pribadinya.

“Saya pernah kerja di sana, enggak cuma saya, semua orang juga tahu banget jam satu malam itu ITC sudah tutup. Tapi tetap, saya yang di-suspend, coba lapor dibalas sama robot enggak ada tanggapan” kesalnya.

Dari sesama driver laki-laki pun Tia sering mendapat komentar seksis. Tia sering digoda saat bekerja mengambil order makanan atau saat menjemput penumpang.

Baca Juga: Di Balik Bisnis Platform dan Gig Economy Anak Muda: Ada Potensi Bubble dan Eksploitasi

“Perempuan kok ngojol? Suaminya bolehin? Atau janda, ya? Diantar saya saja neng.”

“Suami bolehin.”

“Punya anak berapa?”

“Tiga.”

Tia selalu menjawab ketus sambil berbohong bahwa dia memiliki anak tiga dan memiliki suami yang membolehkannya bekerja. Semata-mata hal ini dia lakukan untuk mencegah perlakuan tidak menyenangkan yang lebih jauh.

Selain mendapati dirinya dilempari komentar atau lelucon seksis, Tia juga kerap mendengar godaan-godaan driver laki-laki ke perempuan pengguna. Seringkali Tia menegur sikap driver yang dinilainya tidak sopan itu.

“Bang, jangan begitu sama perempuan!” tegurnya keras.

Diskriminasi hingga pelecehan yang dialami Tia adalah bagian dari beban harian yang tak pernah dihitung dalam laporan keuangan perusahaan teknologi, tapi terus terhitung dalam beban di pundak Tia.

Bahu yang Memikul Luka KDRT dan Stigma Pada Ojol

Tia juga memanggul beban trauma lama. Ia pernah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), disiram air panas oleh mantan suaminya.

“Dulu sama mantan suami disiram air panas. Mama saya nggak tahu. Saya bilangnya kesiram kuah soto,” katanya​.

Sejak bercerai pada 2014, ia membesarkan anaknya sendiri tanpa dukungan finansial dari mantan suami. 

“Anak saya semenjak cerai nggak pernah ditengokin. Cuma sekali doang dikasih jajan” katanya​.

Beban ekonomi, emosi, dan sosial itu ia pikul sendirian, dalam keheningan yang dipaksakan.

Ketika mengambil pesanan di mal atau apartemen, Tia sering dipaksa melepas jaket ojolnya. Ia merasa dipandang seolah-olah lebih rendah dari pengunjung biasa, bahkan hewan peliharaan sekalipun.

“Rendah banget. Malah lebih rendah dari hewan. Anjing boleh masuk mal, kita yang kerja harus lepas jaket,” katanya​.

Tanda ojol dilarang masuk area Mall di Citywalk Mall, Jakarta Barat. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)

Stigma terhadap buruh informal menjadi penghinaan sehari-hari yang diterima Tia, tanpa pernah ada kompensasi atau penghormatan atas kerja kerasnya.

Meski kenyataan terus menamparnya, Tia masih memelihara harapan kecil. Ia terkadang merindukan sekaligus menginginkan kehidupan dengan pekerjaan kantoran, dengan jam kerja pasti, libur akhir pekan, dan gaji yang cukup untuk hidup layak.

“Pekerjaan kantoran itu layak. Jam kerjanya jelas, gajinya pasti. Bisa ketemu anak, bisa jalan-jalan ke mal, nggak cuma ngambil orderan,” katanya​.

Namun dalam dunia yang semakin fleksibel untuk modal, dan semakin keras untuk buruh, jalan ke sana terasa kian jauh.

Baca Juga: Kisah PRT 7 Kota: Tidur dengan Anjing, Tak Boleh Pakai Lift Majikan, Pakai Kacamata Dianggap Gaya

“Bunda pulang jam berapa? Jangan malam-malam,” pesan anaknya yang acapkali ia baca di tengah jalanan padat Jakarta.

Dalam setiap tarikan gas motornya, dalam setiap makanan yang ia antar, Tia menolak menyerah. Ia menunjukkan bahwa bertahan, bermimpi, mencintai anak, adalah bentuk paling dasar dari perlawanan.

Selama aplikator tetap menghisap darah buruh dengan kedok “kemitraan”, selama negara terus menerbitkan regulasi pro-modal seperti UU Ciptaker bahkan kini dianggap sebagai “pekerja di luar hubungan kerja” tanpa status yang jelas, maka perempuan-perempuan seperti Tia akan terus melaju di jalanan, membawa tubuh-tubuh yang lelah dengan hati yang tabah.

Gayatri, Perlawanan Komunitas Atas Sistem dan Iklim yang Patriarki

Nama Bunda Ros (53) sudah cukup dikenal bagi banyak pengemudi ojol, terutama di bilangan Jakarta Pusat. Empat tahun sudah sejak Ros, di tengah bising knalpot dan panas aspal kota melahirkan gerakan kecil yang perlahan menjamur yang ia beri nama Gayatri.

Gayatri sudah Ros anggap lebih dari sekadar komunitas. Baginya, Gayatri adalah simbol perlawanan, solidaritas, dan harapan bagi para lady ojol, begitu Ros menyebut perempuan ojol, di seluruh Nusantara.

Bunda Ros (53), berpose di tengah ramai pesta ulang tahun Gayatri di dekat Waduk Pluit. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)
Bunda Ros (53), berpose di tengah ramai pesta ulang tahun Gayatri di dekat Waduk Pluit. (Foto: Fiona Wiputri/Konde.co)

Bunda Ros, yang juga merupakan Kepala Divisi di tim Anti-Begal, mendirikan Gayatri dari keresahan akan kekerasan dan pelecehan yang kerap menimpa perempuan tanpa perlindungan memadai dari aplikator atau bahkan negara.

“Banyak banget yang minta tolong waktu di tim anti begal. Makanya terbentuk (Gayatri), karena Bunda sadar, kita enggak bisa sendiri. Harus kerja sama, bantu-membantu, dan saling koordinasi” ujar Bunda Ros lagi.

Kini, jaringan Gayatri sudah meluas hingga ke Semarang, Samarinda, Kalimantan, hingga Cirebon. Ros membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun lady ojol yang ingin bergabung.

Baca Juga: Misoginisme Polisi Dalam Penyelesaian Kasus Sate Sianida

“Pokoknya dari mana saja, yang mau koordinasi atau mau gabung, silakan saja” katanya bersemangat.

Dalam komunitas Gayatri, curahan hati mengalir deras, mulai dari pelecehan, ketakutan diputus mitra (PM) oleh aplikator, hingga pelanggan bermasalah.

“Ada yang ambil barang di mal, terus ribut sama customer. Ada juga penumpang yang kurang sopan. Mereka takut di-PM (putus mitra), takut akunnya diputus sepihak oleh Grab atau Gojek atau Shopee semuanya. Di sini Bunda bantu supaya mereka aman, supaya kita bisa saling bantu” jelas Bunda Ros.

Bunda Ros juga mengkritik keras aplikator yang menurutnya abai terhadap kesejahteraan driver.

“Seharusnya aplikasi itu memperhatikan kesejahteraan ojol. Misalnya BPJS, Satgas untuk menangani kejadian di jalan. Sekarang aplikator cuma kasih orderan, tapi nggak peduli kalau barang hilang, kecelakaan, atau driver kena masalah” katanya getir.

Cerita ketidakadilan juga terasa soal tarif. Ia merasa potongan yang diberikan aplikator seringkali dipermainkan.

“Saya tanya ke customer, ‘Bayar berapa, Kak?’ Jawabnya 18 ribu. Tapi driver cuma dapat 5 ribu. Lucu, ya? Tapi ya mungkin nasib kita ojol memang seperti itu” ucap Bunda Ros, tertawa pahit.

Meski demikian, bagi Bunda Ros, menjadi ojol adalah pilihan yang ia lakukan secara sadar. Namun ia mengingatkan, pelan tapi pasti aplikator terasa bertindak seperti majikan.

Baca Juga: Buka Usaha Makanan Hingga kurangi Jatah Makan, Yang Dilakukan PRT Saat Corona

“Makanya kita harus tegaskan, jangan, dong (membebankan mitra dengan proyek yang mengharuskan driver membayar lagi) situ (aplikator) jadi seperti majikan” tegasnya.

Spanduk berisi foto dan nama anggota komunitas Gayatri. (Foto: Fiona Wiputri/Konde.co)
Spanduk berisi foto dan nama anggota komunitas Gayatri. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)

Di antara banyak kisah lady ojol di Gayatri, Mpok Lia (Julia) adalah salah satu yang dapat merepresentasikan keresahan banyak perempuan ojol.

Di usia 48 tahun, Lia menghidupi lima anaknya meski mereka tidak lagi tinggal bersamanya akibat perpisahan dengan suami. Namun tanggung jawabnya tidak berkurang sedikit pun.

“Pekerjaan di rumah saya handle sendiri,” kata Lia. Ia memasak, beberes rumah, dan tetap mencari nafkah.

Tiap hari, Lia menyempatkan bertemu anak-anaknya di Jakarta Timur, untuk sekadar memberikan uang jajan sekolah.

“Anak memang tidak sama saya karena sudah pisah dengan papahnya anak-anak. Tapi tiap hari ketemu untuk kasih uang jajan,” ceritanya.

Sebagai driver ojol, Lia biasa menggunakan dua aplikasi: Shopee dan Grab. Namun akunnya di Grab sudah tiga bulan terkena suspensi.

Suspend karena tidak bisa verifikasi muka. Mungkin karena HP saya retak, kameranya kurang terang,” jelas Lia.

Pendapatannya sering kali di bawah Rp50.000 sehari saat orderan sedang “anyep”. Meski begitu, ia tidak menyerah. Dari jam 8 pagi hingga 11 malam, Lia terus mencari nafkah.

Baca Juga: Apakah Transportasi Publik Kita Sudah Berperspektif Gender dan Inklusi?: Zine Konde Fellas

“Karena banyak tanggungan. Anak sekolah swasta, butuh uang lebih. Kalau kerja dari pagi sampai sore saja, uangnya kurang. Saya targetkan sehari harus dapat Rp150.000. Kalau kurang, cari sampingan, misalnya opangan (ojek pangkalan).”

Di jalan, Lia pernah mengalami pelecehan. Pinggulnya dipeluk dari belakang. Ia lantas menegur namun imbauannya sama sekali tidak digubris.

Dengan was-was, Lia akhirnya jengah hingga memaksa penumpang tersebut turun dari motornya di tengah perjalanan.

“Waktu itu tangannya main, pegang pinggul saya, meluk begitu. Saya tegur masih begitu, saya turunin saja di tengah jalan, cekcok itu,” kenangnya dengan tegas.

Tak hanya dari penumpang, ia juga pernah mendapat komentar tidak menyenangkan bernada seksis dari tetangga.

“Pernah, karena sering pulang malam,” katanya singkat.

Jika bisa berbicara langsung ke pihak aplikator, Lia ingin aplikator benar-benar memberi perlindungan bagi perempuan. Sekurangnya ia merasa berhak merasa aman dari pelecehan, kekerasan, juga diskriminasi.

“Aplikasi harus benar-benar dengar suara perempuan untuk GoRide. Jangan ada lagi pelecehan atau tangan gerayangan pegang pinggul. Dan diperbaiki layanannya untuk driver. Sekarang benar-benar ngeluh, orderan sepi,” keluh Lia.

Mimpi untuk Persaudaraan dan Keadilan

Melalui Gayatri, Bunda Ros dan kawan-kawan ingin membangun dunia yang lebih adil untuk para lady ojol. Dunia di mana mereka tidak lagi merasa sendiri, tidak lagi takut menghadapi masalah, dan selalu memiliki saudara seperjuangan untuk saling membantu. Eksistensi perempuan juga menjadi misi besar.

“Kita ingin tahu sejauh mana rombongan persaudaraan perempuan ini. Supaya bahasa, komunikasi, curhatan mereka itu mengalir, mereka enggak canggung koordinasi,” jelas Bunda Ros.

Salah satu anggota Gayatri yang sedang ingin pamit dari acara hari itu. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)
Salah satu anggota Gayatri yang sedang ingin pamit dari acara hari itu. (Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co)

Logo Gayatri sendiri melambangkan perjuangan itu, sebuah tengkorak dan mawar, bai Ros menggambarkan ketangguhan dan keindahan.

“Tulang itu simbol kita, tulang punggung. Kebanyakan dari kita janda, single mom, yang menjadi tulang punggung keluarga,” kata Bunda Ros.

Gayatri juga aktif dalam aksi sosial, termasuk mendukung demonstrasi untuk menurunkan potongan aplikator dari 20% menjadi 10%.

Baca Juga: Apakah Transportasi Publik Kita Sudah Berperspektif Gender dan Inklusi?: Hasil Riset Konde.co (1)

“Kita bantu serikat ojol. Kalau aksi itu berguna, kita ikut,” jelas Bunda.

Di akhir semua perjuangannya, Bunda Ros hanya punya satu harapan, bahwa Gayatri dapat membukakan pintu bagi perempuan ojol lainnya untuk saling menguatkan dan membangun iklim suportif antar perempuan yang memiliki rasa senasib sepenanggungan mencapai kesejahteraan.

“Semoga Gayatri bisa menjadi contoh buat komunitas lady ojol di seluruh Nusantara. Bahwa lady-lady bisa kompak, bisa cari persaudaraan, bisa kondusif, bisa sejahtera,” tutupnya.

Sumi dan Aspal yang Meliuk di Sukabumi

Di pagi yang masih gelap, ketika sebagian besar rumah di gang-gang kecil Sukabumi masih menutup pintu dan jendela rapat, Sumi (40) sudah mengikatkan helm ke kepalanya dan memutar kunci motor. 

Suara mesin menderu pelan, seolah tahu akan tugas berat yang menanti hari itu. Bagi Sumi, seperti ribuan lady ojol lain di Indonesia, tidak ada yang lebih nyata daripada kebutuhan untuk terus bergerak demi anak, keluarga, dan kalau ada sisa untuk diri sendiri.

Sejak tahun 2018, Sumi telah bergelut dengan pekerjaan ini. Ojol yang menjadi sumber penghidupan berturut pilihan yang ia ambil demi menjalankan dua peran sekaligus, ibu rumah tangga dan pencari nafkah utama. 

Di saat suaminya yang lebih tua tak lagi bisa banyak bekerja, beban rumah tangga beralih penuh ke pundaknya. Setiap hari, ritmenya teratur, keras, dan kaya akan tuntutan.

“Kalau buat ngatur waktu, kita kan pagi-pagi beres-beres di rumah. Terus anak saya sekolah sambil pesantren. Tapi kadang-kadang dia anaknya kan suka pulang gitu, kan. Jadi sehariannya kalau lagi di rumah, sudah beres-beres rumah lanjut nganter anak sekolah paling setengah tujuh gitu.”

“Beres nganter, langsung nyalain aplikasi. On aplikasi sampai siang baru pulang ke rumah. Terus biasanya di jalan sambil mikirin di rumah ada apa, mau masak apa, mau beli apa karena masih ada suami dan anak juga sebentar lagi pulang.”

Baca Juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif

“Terus sambil bersih-bersih dan lain sebagainya. Habis Ashar baru lanjut nyalain aplikasi lagi sekitar jam 4 gitu. Lanjut sampai jam delapan atau setengah sembilan,” cerita Sumi.

Narasinya ia sampaikan dengan sederhana namun keras, ia bergulat dengan waktu, lelah, rasa khawatir, bahkan rasa bersalah karena tak selalu bisa hadir penuh untuk keluarganya. Baginya, kehidupannya kini adalah upaya menyatukan dua dunia yang saling bergesekan, dunia domestik dan dunia jalanan.

Harta yang Paling Berharga

Motivasi terbesar Sumi untuk bertahan terletak pada anaknya, yang masih sekolah dan mondok di pesantren. Di dunia yang semakin mahal ini, memastikan anak tetap belajar adalah bentuk cinta yang keras kepala.

“Ya motivasinya karena satu kan ada anak yang masih sekolah. Berarti kita harus kejar target kan. Karena saya ngirimin ke pesantren itu seminggu sekali. Kadang-kadang seminggu dua kali. Jadi gimana sayanya punya uang.”

“Kalau hari Minggu, oh kasihan anak tuh kemarin dikasih uangnya kecil gitu kan. Berarti nanti berapa hari lagi dia kan uangnya udah habis. Berarti kan kita sudah harus ngirimin lagi,” kata Sumi tegar.

Selain mengurus rumah dan mencari nafkah, Sumi juga bertugas menjadi bendahara keluarga yang mengurus pendapatan rumah tangga agar bisa cukup untuk semua. 

“Terus kan di rumah juga kan suami ibarat kata udah gak usaha gitu kan ya. Jadi saya ya harus gimana lagi. Berarti kan kita yang harus bisa memanage pendapatan sekeluarga,” imbuhnya..

Kalimat itu diucapkan Sumi dengan napas panjang, seolah setiap katanya mengandung beban ratusan kilometer perjalanan, puluhan liter bensin, dan ribuan kecemasan akan masa depan. Di hadapannya, ada keluarga yang bergantung pada penghasilan yang tak pernah pasti. Ia tahu bahwa anaknya berhak atas pendidikan yang lebih baik. 

Dan satu-satunya kemungkinan yang ia lihat adalah terus “narik” untuk dapat memberi sesuatu yang berharga bagi harta yang baginya paling berharga.

Dari Kilometer ke Kilometer: Perang dengan Ketidakpastian dan Pelecehan

Dalam kehidupan harian seorang perempuan ojol, pemasukan adalah teka-teki. Tidak ada gaji tetap. Setiap rupiah dihasilkan dengan peluh, keberuntungan, dan kecepatan jari menanggapi order.

Sama seperti pemasukan, bagi Sumi, pengeluaran juga teka-teki.

“Pengeluaran yang terbesar itu buat anak. Karena kan kebanyakan yang gak terduga gitu. Ada pengeluaran yang di luar perhitungan gitu. Kalau di sekolah kan buku-buku gitu kan. Kalau di pesantren biasanya uangnya kepake buat beli ini beli itu. ‘Mama ini ada susulan ini harus ngapalin ini, beli ini’.”

Tidak ada tabungan yang cukup, tidak ada dana darurat yang siap. Setiap tambahan biaya yang tak terduga bisa menjadi sumber stres baru. Sumi harus mengatur seolah-olah pendapatannya tak pernah bolong, padahal hujan deras, ban bocor, aplikasi ngadat, atau tubuh yang ambruk bisa saja terjadi kapan saja.

Jika menjadi ojol laki-laki adalah tentang bertahan dari kerasnya jalanan, maka menjadi ojol perempuan adalah bertahan dari kerasnya dunia yang menganggap tubuhmu sendiri sebagai risiko. Sumi sudah terbiasa dengan pengalaman diskriminasi berbasis gender.

“Kalau kebanyakan di-cancel itu kalau sama customer laki-laki ya. Bilangnya enggak nyaman saja katanya.”

Baca Juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

“Tapi ada juga yang gak dicancel cuma dia bilang “ibu boleh saya yang bawa gak?” biasanya saya lihat track dulu. Kalau track-nya ke tempat aman atau ramai, saya bolehin dia bawa. Tapi kalau ke tempat sepi, enggak saya bolehin takut malah saya dibawa kabur,” serunya khawatir.

Sikap waspada ini bukan sekadar paranoia. Bagi Sumi sebagai perempuan, tindakan ini dia lakukan sebagai insting bertahan hidup yang tumbuh dari pengalaman langsung.

Sumi bahkan pernah menghadapi situasi pelecehan langsung dari seorang customer yang mengaku juga sebagai ojol.

“Waktu itu ada customer yang katanya dia juga ojol. Ya kita mah percaya saja. Dia minta nyetirnya gantian, jadi saya yang dibonceng. Terus saya dibawa muter-muter enggak sesuai titik.

“’Nanti ke kosan dulu ya’, kan risih ya. Buat apa gitu ngomongin kosan?.”

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

Menghadapi itu, Sumi berusaha tenang, menghela napas panjang sambil mencoba memikirkan bagaimana dia dapat meminta bantuan. Hingga akhirnya Sumi memberanikan diri menurunkan pelanggannya di tengah perjalanan.

“Karena saya yang dibonceng, enaknya saya bisa ngomong ke komunitas gitu, di grup-grup komunitas. ‘Tolong dong pantau takut ada apa-apa karena orangnya sudah mulai rese’. Sampai saya turunin saja di jalan.”

“Sudah deh, Pak. Daripada ribet saya enggak tahu tujuan ini ke mana. Sudah di sini saja!” tegas Sumi.

Pengalaman itu sudah berlalu lama, tapi perasaan trauma itu menetap.

“Kalau narik penumpang laki-laki sudah takut duluan,” paparnya.

Dibungkam oleh Sistem, Ditinggalkan oleh Negara

Dalam perjalanan panjangnya sebagai ojol, Sumi merasakan bagaimana aplikator yang awalnya menjanjikan hubungan “kemitraan,” perlahan berubah menjadi struktur yang lebih menyerupai perusahaan konvensional yang kaku. 

Sistem bonus, yang semula dianggap penyemangat, justru kini berubah menjadi jebakan.

“Kalau yang di Grab itu bonusnya 100 ribu kalau enggak salah kemarin. Bonus 100 ribu itu di atas 300 orderan selama 26 hari 275 jam. 275 jam perbulannya. Kalau saya lebih ke kalau dapet alhamdulillah, gak saya kejar gitu karena kan harus ngurus rumah juga. Gak kayak temen-temen yang emang ngejar target,” cerita Sumi.

Bagi Sumi, pilihannya antara mengejar target atau menjaga keluarga. Ia memilih yang kedua, meski itu berarti harus rela melepas peluang bonus.

Lebih jauh, status “mitra” yang diklaim aplikator juga hanya terasa indah di awal. Seiring waktu, mitra hanya berarti tanggung jawab sepihak.

“Saya gak apa-apa sistem mitra tapi pake aturan lama. Disebut aturan lama itu kita semacam BPJS kan ditanggung. Maksudnya kalau kecelakaan gitu kan ya dibantu sama aplikasi. Kalau dulu gampang banget, kalau masuk rumah sakit tinggal lihat profilnya. Jadi enggak usah pas masuk IGD kita yang ngeluarin uang gitu.”

Baca Juga: Taksi Perempuan di Uganda: Atasi Kekerasan Perempuan di Transportasi Publik

Lebih parah, saat terjadi kekerasan atau pelecehan, pengalaman Sumi membeberkan bahwa dukungan dari aplikator hampir tidak ada. Kisah-kisah seperti itu menumpuk di komunitas kecil antar driver, namun jarang sekali sampai ke meja pengambil kebijakan.

Segala ketidakpastian itu yang membuat semangat Sumi membuncah untuk memperjuangkan haknya. Kini Sumi tergabung dalam Serikat Demokrasi Pengemudi Indonesia (SDPI) yang aktif mengadvokasi kesejahteraan ojol, khususnya ojol perempuan.

“Pernah teman saya katanya nurunin customer di jalan karena diraba-raba. Dulu tuh ada satgasnya, jadi ada penyuluhan gitu. Kalau sekarang gak ada, jadi lebih ke kita saja masing-masing.

“Gak ada khusus pelecehan atau keluhan buat perempuan. Adanya kontak darurat. Tapi itu juga repot karena harus ngantri buat dibalesnya segala macam, gak ada yang langsung. Pake kode-kode dulu. Gak ada khusus call center buat pelecehan.”

Kebijakan yang Tidak Bijak

Sumi mengenang masa-masa awal saat aplikator masih menyediakan dukungan khusus untuk driver perempuan.

“Kalau dulu awal-awal, ada grup khusus dari aplikator buat driver perempuan, namanya lady grab. Itu ada satgasnya. Enak tuh dulu, kalau ada apa-apa ditangani. Sejak 2020 sudah enggak ada. Enggak ada perlindungan khusus buat perempuan. Saya juga di Sukabumi sering komplain atau ngajuin kendala soal driver perempuan tapi lama banget gak ada penanganan apa-apa,” keluhnya.

Pergeseran kebijakan itu membuat banyak driver perempuan merasa ditinggalkan. Masalah-masalah khas yang dihadapi perempuan di jalanan seperti pelecehan, ancaman, ketidakamanan, tidak lagi memiliki jalur khusus untuk dilaporkan atau diselesaikan. Mereka dipaksa untuk bergantung pada inisiatif pribadi atau solidaritas sesama driver.

Tidak ada opsi cuti khusus untuk perempuan yang hamil, melahirkan, atau dalam kondisi kesehatan yang buruk. Tidak ada fleksibilitas yang sungguh memahami realitas kehidupan perempuan.

“Gak ada kebijakan apa-apa soal ini. Jadi kalau cuti atau apa itu enggak ada, ya enggak ada penghasilannya (kalau tidak narik). Sekarang mah lapor-lapor saja tapi cuek gak ditangani,” katanya sambil menghela napas.

Perempuan Ojol dari Kacamata Penumpang Perempuan

Di era gig economy, senyum driver perempuan kerap dianggap kehangatan personal, bukan bentuk kerja emosional yang juga melelahkan. Pelanggan kerap memuji kerapian dan keramahan mereka tanpa menyadari bahwa di balik semua itu, ada sistem yang menuntut mereka tampil sempurna, meski tak memberi perlindungan yang layak.

Aleea (bukan nama sebenarnya, 23 tahun) suatu hari di akhir 2024, mengalami sendiri paradoks ini. Ia memesan ojek online untuk menghadiri sebuah acara penting. Motor pribadinya sedang dipakai, dan pilihan transportasi di kotanya sangat terbatas.

Driver pertama yang muncul di aplikasinya adalah seorang laki-laki yang kemudian membatalkan setelah sempat beberapa waktu menunggu. Orderan dialihkan ke driver perempuan yang dalam waktu singkat, sudah ada di depan rumah. Dari sanalah interaksi hangat ini dimulai.

“’Selamat pagi kakak,’ kata dia seperti itu. I was like, what? The energy!,” kenang Aleea. Padahal ia dalam kondisi terburu-buru dan mood buruk. Tapi sambutan sang ibu, panggilan Aleea padanya karena ia lupa nama pengemudinya saat itu—membuyarkan kekesalan.

Ibu itu tak hanya ramah di wajah, ia juga bersikeras membawakan sebagian tas Aleea. “‘Saya bisa, saya bisa. Saya bisa,’ katanya begitu. Di semua hal,” ujar Aleea.

Baca Juga: Diskriminasi di Tengah Keberagaman: Nasib Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Aleea mulai menyadari bahwa ibu ini berbeda. Bersih, wangi, rapi, jaketnya tidak kusam, bahkan helmnya terlihat mengkilap.

“Sampai aku mikir, ini ibu kayaknya ojol sebagai hobi ya,” katanya, sebelum menyadari ada kesedihan yang mengendap di balik wajah tenang sang ibu.

Obrolan berlanjut. Aleea bertanya, “Hari ini sudah dapat berapa orderan?”

“Kamu yang kedua hari ini,” jawab sang ibu. Padahal sudah pukul 11 siang. Artinya, hanya dua order dalam dua jam lebih. Ia menjelaskan bahwa ia baru bisa mulai bekerja pukul 9, dan menduga orderannya dibatasi karena ia masih baru.

“Kalau masih baru itu cenderung dibatasi, Kak, orderan yang bisa masuk. Tapi yang namanya kita pejuang rupiah, jadi ya apa saja kita kerjakan,” lanjut ibu itu.

Ia mengekuh karena kerap menerima orderan hasil pembatalan.

“Saya seringdapat yang hasil cancelan orang,” katanya, lalu bertanya hati-hati: “Apakah customer tuh tidak puas, Kak, dengan perempuan ojol?”

Pertanyaan ibu itu tidak naif, sama halnya seperti Tia, Ros, Sumi, dan Lia, pertanyaan sang ibu adalah refleksi struktural atas bias gender di ruang kerja digital. Pengemudi perempuan dalam sistem ini bekerja di bawah tekanan ganda, melayani dengan standar tinggi, sambil menanggung stigma ketidakmampuan karena gendernya.

Baca Juga: 3 Ancaman Diskriminasi pada Perempuan dan Kelompok Rentan di Permenkes No 2 Tahun 2025

Padahal sepanjang perjalanan, ia melayani dengan cermat. Ia bahkan menyemprotkan parfum sebelum menarik penumpang.

“Karena kena angin, kalau ada wangi-wangi kada sedap tuh pada nyaman kayaknya. Nanti takutnya kalau dapat bintang di bawah tiga,” jelasnya.

Bintang dan rating bukan sekadar simbol kepuasan. Dalam ekonomi platform, rating adalah mekanisme kontrol. Buruh digiring untuk menampilkan versi terbaik dirinya, menjadi ramah, wangi, bersih, tanpa perlindungan kerja, jaminan pendapatan, atau akses ke komplain yang adil.

Sebelum turun, ibu itu berkata pelan, “Kakak nanti bisa kasih bintang yang bagus buat saya?” Lalu bertanya, “Saya ada kurangnya kah? Sayanya kurang rapi kah? Atau sayanya kurang sigap kah?”

Bahkan setelah memberi layanan maksimal, ia masih merasa perlu menakar dirinya di hadapan sistem.

Ketika Aleea memuji kerapian sang ibu, sang ibu menjawab, “Mbak suka gak? Rapi gak?” Lalu tertawa kecil. “Kalau ada karyawan ojol teladan, ibu pemenangnya deh,” kata Aleea.

“Iya, semoga dapet bonus akhir tahun juga. Sekarang susah dapet bonus akhir tahun, Mbak. Yang perempuan tuh juga jarang dapet,” jawabnya.

Ternyata motor yang ia gunakan pun bukan miliknya. Ia harus mengembalikannya ke kerabat pukul satu siang, baru bisa menarik lagi setelah pukul setengah empat sore hingga malam.

Baca Juga: Stereotipe Terhadap Orang Keturunan Cina Dua Dekade Setelah Reformasi: Sudah Hilang, Masih Tetap atau Berubah?

Sistem kerja bergilir ini bukan karena ia ingin fleksibilitas, tapi karena kondisi ekonomi yang memaksa.

Lebih dari itu, ia juga menyebut bahwa dirinya ditinggal suami dan kini menanggung empat anak seorang diri. “Saya sendiri, Kak,” ucapnya. “Suami sudah lama tidak menafkahi. Jadi harus saya yang kerja.”

Maka jelas, setiap parfum yang ia semprot, setiap kemeja rapi yang ia kenakan di balik jaket hijau itu, adalah bentuk perlawanan terhadap kemiskinan struktural yang menjerat banyak perempuan. Ia tampil bersih dan kuat bukan karena sistem mendukungnya, tapi karena ia dipaksa untuk melampaui standar hanya untuk bisa bertahan.

Pekerja Adalah Pekerja

Pada awal 2025, Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Permenaker No. 1 Tahun 2025 yang kembali menegaskan posisi mitra pada pengemudi ojol sebagai “pekerja di luar hubungan kerja.” Fadhila Isniana, peneliti dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), menyebut istilah ini tak ubahnya kata “mitra” sebagai kedok eksploitasi.

“Ini aneh. Apa itu pekerja di luar hubungan kerja? Artinya dia pekerja, tapi ditempatkan di luar hubungan kerja, sehingga hak-hak perburuannya tidak wajib dipenuhi perusahaan,” kata Fadhila.

Menurut Fadhila, tidak ada perubahan—kalau bukan memperburuk keadaan ojol. Sejauh ini,

Salah satu modus eksploitasi adalah gamifikasi, yakni penggunaan mekanisme permainan untuk mengontrol perilaku kerja. Aplikator menciptakan sistem poin, insentif harian, dan peringkat performa—semuanya tampak menyenangkan, padahal memperbudak.

Baca Juga: Pergub DKI Jakarta 2/2025: Benarkah Mengatur Poligami atau Justru Mendiskriminasi Perempuan?

“Ada istilah gamifikasi. Ini konsep dari teman-teman akademisi, di mana aplikasi membuat driver harus ngejar poin seperti main game. Mereka harus konsisten kerja di jam-jam tertentu untuk menjaga performa. Misalnya, hari ini ngojol jam 7 pagi, maka harus konsisten terus setiap hari jam 7,” kata Fadhila.

Dengan cara ini, aplikator menciptakan sistem kerja yang sangat terstruktur namun tanpa tanggung jawab, memperburuk beban kerja terutama bagi perempuan yang juga memikul kerja reproduktif di rumah.

Pandemi dan kemudahan PHK pasca-UU Cipta Kerja membuat banyak perempuan kehilangan pekerjaan formal. Banyak dari mereka masuk ke sektor yang diinformalkan seperti ojol bukan karena pilihan, tetapi karena keterpaksaan.

“Mayoritas pengemudi, terutama perempuan, menjadi ojol setelah di-PHK, apalagi saat pandemi COVID-19. Ditambah lagi, Undang-Undang Cipta Kerja mempermudah perusahaan melakukan PHK.”

Tak hanya abai, negara juga ikut melegitimasi praktik ini dengan memberi penghargaan kepada aplikator atas “kontribusi penciptaan lapangan kerja.”

“Pemerintah justru memberikan penghargaan kepada perusahaan aplikator, seolah-olah berterima kasih karena telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang terkena PHK. Padahal, seharusnya menciptakan lapangan kerja yang layak adalah tanggung jawab negara. Kini, banyak orang terseret ke pekerjaan rentan seperti menjadi pengemudi ojol, dan aplikator justru diberi penghargaan. Ini betul-betul keterlaluan dan culas,” tegasnya.

Solusi struktural yang diajukan LIPS Sedane tegas, yakni hapus sistem kemitraan, akui ojol sebagai buruh formal. Bahkan dalam kamusnya, sejatinya tidak ada buruh formal dan informal, yang ada hanyalah buruh selama ia merupakan kelas pekerja.

“Idealnya, sistem kemitraan itu dihapus. Pengemudi ojol harus diakui sebagai pekerja formal. Karena dalam praktiknya, meski kendaraan dan bensin berasal dari pengemudi sendiri, terdapat perintah kerja yang datang dari aplikasi. Setiap notifikasi yang masuk itu seperti perintah untuk segera bekerja. Mereka tidak bebas sepenuhnya menentukan kapan harus bekerja. Karena itu, hubungan kerja nyata sudah terjadi, dan hak-hak pekerja harus diakui,” tutupnya.

(foto: dok. Konde.co/Luthfi Maulana Adhari)

TIM KONDE.CO
Penulis: Luthfi Maulana Adhari
Riset: Luthfi Maulana Adhari, Laras Ciptaning Kinasih
Grafis: Fiona Wiputri
Editor: Luviana

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular