Jika Jadi Korban Pelecehan Seksual, Kamu Harus Bersuara, Karena Bersuara Itu Sangat Berharga

Setiap lewat di jalan itu, Dinar selalu dipanggil sejumlah laki-laki yang menggodanya. Dinar jadi takut setiap melewatinya. Ia tidak tahu kalau ini yang disebut pelecehan seksual.

Artikel dan zine ini untuk memperingati #Haripendidikannasional 2025 yang ditulis para siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergabung dalam Girl’s Project Konde.co. Tulisan ini merupakan bagian dari #Meimelawan 2025

Dinar masih ingat betul kejadian itu. Walaupun ia masih terlalu kecil untuk memahami banyak hal, tapi cukup besar untuk mengingat rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya. Beberapa tahun berlalu pun, rasa takut yang muncul di hari itu terkadang masih menghantuinya.

Namanya Dinara Ranupatma, biasa dipanggil Dinar. Kala itu usianya baru 10 tahun. Ia masih mengenakan seragam Sekolah Dasar (SD), dengan rambutnya yang selalu di gerai dan tas sekolah yang lebih besar dari tubuhnya. Ia gemar sekali bermain di luar rumahnya sepulang sekolah. Entah itu bermain sepeda, tempolong, taplak, petak umpet, dan masih banyak lagi. 

Sore itu, setelah pulang sekolah, Ibundanya meminta tolong kepadanya agar membelikan beberapa bahan masakan yang akan dimasak untuk makan malam hari ini. Awalnya ia ingin menolak, tetapi jika tidak ada bahan masakkan, ia makan apa? Jadi ia menerima permintaan tolong itu. Sebelum pergi, ia berpamitan dulu dengan Ibundanya. 

“Bunda! Aku jalan dulu ya!,” teriak Dina seraya keluar dari rumahnya dan masih mengenakan seragam SD miliknya yang belum sempat ia ganti. 

Baca juga: Dear Guru dan Lingkunganku, Remaja Perempuan Dibelenggu Aturan Berpakaian, Tugas Kalian Memperbaiki 

Jalanan kompleks perumahan lumayan sepi, hanya ada beberapa anak kecil yang bermain di sudut gang. Mungkin karena memang sudah sore dan waktunya untuk beristirahat.  

Jarak dari rumah ke warung bisa dibilang lumayan jauh. Dinar harus melewati dua belokkan dan satu pos ronda. Ada satu hal yang paling Dinar tidak sukai yaitu melewati pos ronda, karena biasanya ada remaja ataupun sekelompok laki-laki dewasa yang suka berkumpul di pos itu. Dan itu cukup mengganggu. Mereka sempat beberapa kali meneriaki nama Dinar.

“Dinar, main sama om yuk!.” 

“Dinar sendirian aja?.”

Ia ingin sekali menangis setiap mendengar itu, namun ia berusaha untuk menahannya. Mereka biasanya berteriak seperti itu saat Dinar pulang sekolah. Iya, Dinar pulang sekolah sendiri. Kecuali saat ia dijemput oleh Ibundanya, mereka tidak pernah melakukan hal itu. Sebenarnya, Dinar ingin sekali di jemput setiap hari oleh Ibundanya, agar tidak diganggu oleh orang-orang tidak jelas itu, tetapi apa boleh buat? Ibundanya sibuk, Ayahnya juga sibuk. Dan Dinar belum sempat memberi tahu orang tuanya tentang ini. Ia takut dan bingung, apakah hal ini wajar untuk dilakukan? Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak mengerti. Jadi yang Dinar lakukan hanyalah diam diselimuti rasa takut yang selalu menghantuinya.

Dinar berharap sekali semoga tidak ada sekelompok orang-orang itu saat ia pergi ke warung. Tapi nyatanya, mereka ada. Dinar semakin takut untuk lanjut melangkahkan kakinya. Ia bimbang, lebih baik pulang, atau tetap pergi ke warung? Tetapi, ia harus membelikan bahan masakan untuk Ibundanya. Akhirnya, ia memilih untuk tetap pergi ke warung. Dengan rasa takut, ia berjalan menunduk, berharap agar mereka tidak mengenalinya. 

“Eh ada Dinar, sendirian aja nih,” teriak mereka sambil tertawa geli, lalu salah satu dari mereka ada yang berteriak lagi, “Dinar kecil-kecil udah manis banget sih! Nanti gede sama abang ya!.” 

Baca juga: Saatnya Kita Bertanya Tentang Remaja Perempuan Yang Hidupnya Tidak Baik-Baik Saja

Dinar yang mendengar hal itu, terdiam mematung. Bulu kuduknya berdiri. Menjijikan. Ia takut, badan Dinar gemetar hebat. Ia ingin menangis, tetapi masih berusaha untuk menahannya. Lalu, dengan bodohnya, mereka meneriaki Dinar lagi, “Kok diem aja sih Dinar,” ucap mereka sambil tertawa. 

Dinar sudah tidak tahan lagi, ia menangis. Ia menangis sekencang-kencangnya. Ia terisak semakin keras, tubuhnya bergetar hebat seiring dengan nafas yang tersengal. Air mata mengalir deras tanpa bisa ia hentikan, seolah seluruh emosi yang selama ini tertahan akhirnya meledak begitu saja. Suaranya pecah, terisak dalam-dalam, mencerminkan perasaan yang tak lagi mampu ia bendung. Ia berlari, ia berlari kencang, pulang ke rumahnya. Ibundanya yang mendengar Dinar menangis, Ia panik dan langsung bergegas keluar rumah.

“Kamu kenapa nak!? Kenapa nangis? Ada apa?,” tanya Ibunya panik sambil mencoba melihat wajah anak perempuannya  itu. 

Dinar terisak sesenggukan, “A-aku takut Bun,” jawabnya. Ibundanya tidak mengerti apa yang Dinar maksud. Anak kesayangannya ini mengapa takut? Apa yang sudah dia alami sampai-sampai ia takut dan menangis? 

Ibunda pun memeluk Dinar dalam dekapannya, membelai halus rambut Dinar, “Kamu kenapa takut, nak? Ada apa?,” tanyanya sekali lagi. 

Baca juga: Anjani Kurang Cantik dan Tak Layak Dicintai? Stop, Bebaskan Ia Mencari Jalannya Sendiri

Dinar masih menangis, ia tidak menjawab. Menyadari bahwa sepertinya Dinar belum bisa menjawab, akhirnya Ibu pun membopong  masuk Dinar  ke dalam rumah.

30 Menit telah berlalu, Dinar sudah agak tenang. Tetapi, Dinar masih merasakan ketakutan yang ia rasakan tadi. Ia takut, takut sekali. Untungnya, sang Ibunda langsung memeluknya saat ia berlari pulang ke rumah. “Sudah tenang? Kamu kenapa nak? Cerita sama Ibu,” ucap Ibu.

“Aku belakangan ini, sering di-“ Dinar terhenti sejenak, ia tidak tau kata-kata apa yang cocok untuk mendeskripsikan situasinya. Tangannya menggenggam erat rok sekolahnya. Ibundanya, menatap Dinar cemas, “Sering diapain sayang?,” tanya Ibu pelan-pelan, mencoba memberi ruang agar Dinar bisa melanjutkan. 

Dinar menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Aku, belakangan ini sering di teriakin Bun. Kayak, Dinar sendirian aja nih, atau nggak, Dinar sama om yuk, Kayak gitu Bun,” ucap Dinar gemetar, “Aku takut Bun, itu hal yang wajar kah? Kenapa mereka ngelakuin itu?.”

Mendengar ucapan anaknya, Ibu merasakan dadanya sesak. Tangannya yang tadi menggenggam jemari Dinar kini semakin erat. Matanya terasa panas, tetapi ia mencoba untuk menahannya agar tidak menangis. 

“Dinar..” suara Ibu gemetar. Ia menatap anaknya dengan penuh kasih, tetapi juga dengan rasa marah yang bergejolak di dalam hatinya. Marah kepada mereka yang tega melakukan hal keji kepada anaknya. Marah kepada dunia mengapa membiarkan hal ini terjadi.

Ibu menarik napas dalam dalam, “Dinar, dengerin Ibu baik-baik,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan ketegasan. “Apa yang mereka lakuin itu salah, sangat salah. Kamu, ataupun semua orang di dunia ini tidak pantas menerima perilaku seperti itu, dan ibu tidak akan membiarkan mereka terus mengganggumu.” 

Baca juga: Stop Beauty Standard, Jangan Menilai dari Penampilan, Tetapi Juga Kebaikan dan Selera Humor

Dinar mengangkat wajahnya, menatap Ibundanya dengan mata yang masih dipenuhi ketakutan. “Tapi Bun.. Aku harus gimana? Aku selalu takut kalau harus lewatin pos.” 

Ibu menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Besok kita samperin mereka, Ibu hada— nggak, ibu sama ayah yang bakal hadapin mereka. Ibu bilangin biar nggak ganggu kamu terus.”

Dinar menggigit bibirnya, ia masih takut, tetapi juga sedikit lega karena mendengar kata Ibundanya. 

“Tapi kalau mereka marah, gimana Bun? Kalau mereka berniat jahat lagi, aku harus gimana?.”

Ibu menatap Dinar dengan penuh keyakinan.

“Dinar, dengerin Ibu. Kalau mereka masih ganggu kamu, teriakin nama kamu gajelas, kamu lawan aja mereka, hadapin, jangan nangis. Ibu tau kamu pasti takut, tapi sebisa mungkin coba untuk melawan. Atau nggak, kala bisa kamu teriak aja sekenceng-kencengnya sampai orang-orang di komplek denger teriakan kamu. Atau kalau mau terlihat lebih berani, katain mereka aja.” 

Dinar sedikit tertawa mendengar ucapan Ibundanya, “Emangnya boleh katain mereka bun? Bukannya nggak sopan katain orang yang lebih tua?,” tanya Dinar penasaran. 

“Untuk orang kayak mereka, katain aja. Orang-orang seperti itu nggak pantas untuk dihormati. Mereka aja nggak menghormati kamu sebagai perempuan. Ngerti ya?.” Dinar mengangguk mengerti.

Keesokan harinya, ibu dan ayah menemani Dinar untuk ke pos tempat para lelaki yang sering mengganggunya berkumpul. Saat mereka sampai, beberapa lelaki itu tertawa, seakan tidak ada yang salah dengan mereka.

“Saya ingin bicara,” kata Ibu tegas. “Jangan mengganggu anak saya lagi, tidak ada alasan yang tepat untuk berkata tidak pantas pada anak perempuan.”

Salah satu laki-laki terkekeh. “Cuma gitu doang Bu, baper amat.” 

Baca juga: Melihat Relasi Orang Tua, Ini Seperti Melukis dengan Air Mata

Mendengar ucapan itu, ayah menatap mereka tajam, “Kalau kalian masih berani untuk melakukannya, saya nggak akan segan untuk melaporkan kalian. Mengganggu anak dibawah umur bukan hal sepele.”

Suasana mendadak kaku. Dinar yang tadinya hanya diam saja, mengumpulkan keberanian dan membuka suara lantang, “Aku selalu takut lewat sini gara gara kalian. Tapi sekarang, aku gak akan diam. Jangan pikir karena aku anak kecil dan perempuan aku akan diam terus.”

Beberapa dari mereka mulai gelisah. Ayah pun menambahkan, “Jangan sampai kami mengambil langkah lebih lanjut.” Tanpa menunggu jawaban, mereka pergi meninggalkan para laki-laki itu. 

Meski masih sedikit takut, kini Dinar merasa lebih berani. Ia merasa lega karena sudah mengutarakan isi hatinya. Dinar tersenyum kepada Ibundanya, “Terima kasih, bunda.” 

Ibu membalas senyumannya. “Kamu nggak sendirian. Ada ibu, ayah dan abang yang bakal jagain kamu. Jangan takut untuk melawan yang salah.”

Sejak saat itu, Dinar tidak hanya belajar untuk membela diri, tetapi juga memahami bahwa suaranya berharga—dan ia tidak akan membiarkan siapapun merampas haknya untuk merasa aman.

Tim Girl’s Project: Chaeilla Khaerani, Ellen Oktavia, Khansa Nayla Khairani, Laksita Mahesvari Hanindyajati, Ratu Sophia Ardhani, Savana Candid Nusantara

Tim fasilitator dan mentor: Sophie Trinita, Luviana Ariyanti, Terra Istinara

Ratu Sophia Ardhani

Seorang siswi kelas 1 SMA, ia mempunyai hobi menggambar dan mendengarkan musik.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!