Presiden RI Prabowo Subianto mendatangi salah satu sekolah di Bogor, Jawa Barat, untuk mengawasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). (sumber foto: Instagram @prabowo)

‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis beberapa temuan kunci terkait implementasi proyek Makan Bergizi Gratis (MBG). Berbagai carut marutnya mendesakkan perhatian serius pemerintah, dan penting pula menjamin adanya aksesibilitas dan inklusivitas.

Sekitar tiga bulan, proyek MBG yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan. Namun sejak dimulai pada 6 Januari 2025 ini, kebijakan yang diklaim untuk mengatasi “gizi buruk” dan “pencegahan stunting” ini justru menuai sederet persoalan. 

Riset pemantauan ICW terbaru, menemukan setidaknya empat poin soal proyek MBG pada lingkup sekolah. Mulai dari teknis dan operasional distribusi, kualitas dan standarisasi layanan, dampak terhadap ekosistem sekolah, hingga aksesibilitas dan inklusivitas. Sedangkan, pada lingkup Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), lembaga yang bertugas mendistribusikan makanan ke sekolah-sekolah, temuan juga berupa kurang transparansi dalam proses seleksi mitra dan perbedaan dalam distribusi pembayaran. 

Pemantauan langsung ICW dari 12 Maret hingga 24 April 2025 yang dilakukan di Jakarta. Adapun, sekolah dan SPPG dipilih secara acak, dengan mempertimbangkan lokasi yang mudah dijangkau dan informasi dari unggahan media sosial. 

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Makan Bergizi Gratis Dimulai, Sayur Kecut dan Program Tuai Kritik

Selain pendekatan pemantauan lapangan Observasi Langsung, juga dilakukan wawancara mendalam. Yaitu dengan pihak pelaksana dan penerima manfaat guna menggali informasi yang tidak tertangkap melalui observasi. 

“Ini dilakukan karena tidak tersedia daftar resmi sekolah pelaksana MBG. Di Jakarta, belum semua sekolah mengimplementasikan program ini,” ujar Eva Nurcahyani, Staf Divisi Riset ICW dalam paparannya di Jakarta Selatan yang dihadiri Konde.co, Selasa (29/5). 

Total dari tempat yang dipantau ICW ada sekitar 36 tempat. Di antaranya, 14 Sekolah Dasar Negeri (SDN), 1 Madrasah Aliyah (MA), 1 Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN), 2 Taman Kanak-kanak (TK), 5 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 7 Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/K), 6 Satuan Pelayanan Pemulihan Gizi (SPPG). 

Minim Informasi, Terlambat Pengiriman, dan Militerisasi

Eva menerangkan, ada empat hal menyoal temuan dan analisis di lingkup sekolah soal MBG. Pertama soal aspek masalah teknis dan operasional distribusi yang implementasinya tidak jelas prosesnya. 

Alasan ketidakjelasan implementasi itu di antaranya karena Badan Gizi Nasional (BGN) tidak menyediakan informasi resmi tentang daftar sekolah penerima atau mekanisme pemilihan sekolah. Lalu, publik dan sekolah tidak mengetahui dasar pemilihan sekolah penerima MBG. Ada pula dugaan di lapangan sekolah dengan fasilitas logistik lebih lengkap diutamakan

“Hasil pemantauan menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola proyek MBG. Ketiadaan informasi resmi, ketidakjelasan pemilihan sekolah, dan ketidakmerataan distribusi menjadi indikasi lemahnya perencanaan dan pengawasan,” kata Eva.  

Buruknya tata kelola ini, menurutnya, berisiko menimbulkan ketidakadilan. Proyek MBG justru berpotensi memperlebar ketimpangan antar sekolah, terutama bagi sekolah yang fasilitasnya terbatas. 

“Dalam prinsip good governance, pelayanan publik harus transparan, akuntabel, partisipatif, efektif, dan adil. Tanpa mekanisme terbuka, pengawasan publik melemah, dan meningkatkan risiko kegagalan proyek.”

Eva juga menyoroti soal temuan ICW soal teknis dan operasional MBG berupa keterlambatan pengiriman makanan. Pemantauan menemukan keterlambatan pengiriman makanan dari SPPG ke sekolah, mengganggu jam belajar siswa. 

Baca Juga: Kabinet Mangkir, Isu Perempuan Tak Hadir: Riset 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Dia melanjutkan, akibatnya “Siswa terpaksa menunggu lama, beberapa tidak makan, dan kepulangan pun harus ditunda. Keterlambatan ini menunjukkan lemahnya manajemen distribusi dan perencanaan teknis proyek MBG, sehingga justru mengganggu tujuan meningkatkan kesehatan dan konsentrasi siswa.”

Tak hanya itu, aspek teknis juga ditemukan adanya Penjagaan ketat dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pemantauan ICW menemukan keterlibatan TNI/ Babinsa dalam pengawalan distribusi makanan MBG di beberapa sekolah. Meskipun diklaim untuk menjaga ketertiban, kehadiran aparat berseragam di sekolah itu tidak sesuai dengan tugas pokok TNI berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004. 

Lingkungan sekolah seharusnya menjadi ruang aman dan ramah anak, bukan tempat kontrol militer. Kehadiran TNI di sekolah berisiko menciptakan tekanan psikologis bagi siswa, bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan UU HAM No 39 Tahun 1999. 

“Fenomena ini memperlihatkan tren militerisasi ruang sipil yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan profesionalisme dalam pelayanan publik,” tegasnya.  

Persoalan Kualitas Makanan, Dampak Ekosistem Sekolah, Minim Inklusivitas 

Eva juga menjelaskan soal temuan ICW terhadap MBG kaitannya dengan kualitas dan standarisasi layanan yang buruk. Dalam pemantauan di berbagai sekolah, ditemukan masalah serius pada kualitas makanan, seperti telur busuk dan rasa yang hambar. 

Pemantauan ICW pada proyek MBG juga menemukan perbedaan penggunaan alat makan: ada yang berbahan plastik, ada yang stainless steel. Penggunaan plastik, terutama yang tidak memenuhi standar, menimbulkan risiko kesehatan karena bisa melepaskan zat kimia berbahaya. 

Ketidakseragaman ini berpotensi melanggar Peraturan BPOM No. 20/ 2019 tentang keamanan pangan, dan dapat dianggap sebagai kelalaian dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah. 

Lebih lanjut, Eva menyebut, banyaknya makanan terbuang menunjukkan pemborosan sumber daya publik, bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara dan visi pemerintahan Prabowo tentang belanja negara yang produktif. Pemborosan ini juga berisiko menimbulkan kerugian negara. 

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran

“Keluhan siswa dan masukan kepala sekolah sering diabaikan, bahkan ada guru yang ditegur. Ini menunjukkan rendahnya keterbukaan terhadap evaluasi yang penting untuk perbaikan layanan,” katanya.  

Menyoal dampak pada ekosistem sekolah, Eva menjelaskan soal adanya beban tambahan bagi guru. Guru dibebani tugas tambahan seperti mencatat alergi siswa, mengelola alat makan, membujuk siswa makan, hingga menangani makanan yang ditolak. 

Menurut Eva, tugas-tugas di luar jam mengajar tersebut, berisiko mengganggu kualitas pembelajaran. “Beban tambahan tanpa insentif bisa menurunkan kesejahteraan guru dan berdampak negatif pada mutu pendidikan. Proyek MBG harus memperhatikan kesejahteraan guru dengan kompensasi dan dukungan yang layak.” 

Selain itu, juga ada penurunan omzet kantin, yang banyak di antaranya penjaganya adalah para perempuan. Selama proyek MBG, pengelola kantin mengalami penurunan omzet karena siswa diwajibkan makan dari proyek dan dilarang jajan di kantin. Sebagian kantin beradaptasi dengan menjual barang non-makanan. 

“Setelah dua bulan, larangan mulai dilonggarkan karena siswa bosan dengan menu MBG,” imbuhnya.  

Baca Juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing

Proyek MBG ini ditemukan ICW juga menyasar pada Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN). Namun sayangnya, masih minim inklusivitas. Di SLBN, menu MBG sama seperti di sekolah umum, tanpa penyesuaian untuk kebutuhan khusus anak-anak dengan disabilitas. Padahal, mereka membutuhkan pola makan khusus sesuai kondisi medis masing-masing.

“Kurangnya pendataan dan penyesuaian menu membuat proyek MBG berisiko tidak efektif dan menciptakan ketidaksetaraan. Penyelenggara perlu merancang kebijakan yang lebih inklusif dan memperhatikan kebutuhan gizi spesifik anak-anak di SLB,” ujar dia.  

Sederet Persoalan di Pihak SPPG pada Proyek MBG

Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau (SPPG) merupakan dapur umum yang memproduksi makanan bergizi dalam proyek MBG. ICW juga menemukan persoalan di antaranya soal kurangnya transparansi dalam proses seleksi mitra hingga lekat dengan militerisme. 

Proses seleksi mitra MBG tidak transparan, tanpa kriteria yang jelas dan evaluasi mendalam. Beberapa SPPG juga didominasi unsur TNI, menimbulkan keraguan atas netralitas pengelolaan anggaran publik,” kata Eva.  

Beberapa temuan ICW, dapur umum dikelola oleh pihak yang terafiliasi dengan Prabowo atau tim sukses politik lainnya, membuka potensi konflik kepentingan serius. Praktik ini berisiko melanggar UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih, khususnya Pasal 1 angka 5 tentang larangan nepotisme. 

“Tanpa seleksi mitra berbasis kompetensi, proyek rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik dan menurunkan kepercayaan publik,” tegas Eva.  

Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Di sisi lain, ada pula persoalan soal perbedaan dalam distribusi pembayaran. Ditemukan kasus yang mencolok di wilayah SPPG Kalibata misalnya. Secara prosedural, seharusnya BGN membayarkan biaya operasional kepada yayasan mitra yang telah terdaftar resmi dan menjalankan operasional dapur umum. Namun, di Kalibata terjadi perbedaan mekanisme. 

Di Kalibata, dapur umum dijalankan oleh pihak ketiga, tetapi pembayaran tetap diberikan kepada yayasan resmi yang tidak mengoperasikan dapur. Pihak pelaksana tidak menerima pembayaran semestinya, menimbulkan dugaan konflik kepentingan dan ketidakrapihan administratif. 

“Kasus ini memperlihatkan lemahnya kontrol, koordinasi, dan pengawasan dalam proyek MBG, ketidaktertiban pembayaran berisiko menurunkan kualitas layanan makanan siswa dan melanggar prinsip akuntabilitas keuangan publik,” kata Eva. 

Hentikan, Konsep dan Rencanakan Ulang, Libatkan Publik

Martin Hadiwinata dari FIAN Indonesia, sebuah organisasi masyarakat sipil yang mendorong hak atas pangan dan gizi sebagai pemenuhan HAM, mengungkapkan sikap skeptis terhadap MBG, bahkan sejak Juli 2024. Setidaknya ada 4 alasan program MBG yang menurutnya cacat sejak awal dan berpotensi gagal.

Pertama, proses perencanaan program ini tidak transparan, tanpa keterlibatan dan partisipasi aktif dan bermakna publik. Kedua, konsep “money follow program” tidak menjadi prinsip. Ketiga, program ini berpotensi menjadi jerat korporasi. Keempat, program MBG tidak terintegrasi dengan kurikulum pendidikan. 

“Hentikan, konsep dan rencanakan ulang serta libatkan publik,” kata Marthin di kesempatan yang sama. 

Marthin melanjutkan, MBG sedari awal menurutnya tidak mempunyai konsep yang kuat dan perencanaannya yang tidak matang. Sehingga, tak mengherankan jika pelaksanaannya amburadul. Hal itu tampak pada beberapa hal seperti pada tata pengelolaan pangannya yang kurang baik hingga ditemukan makanan basi dan keracunan. Ada pula konflik kepentingan dengan adanya intervensi militer, angka kecukupan gizi dalam MBG yang belum ideal karena adanya pangan yang tidak sehat/ ultra proses sampai keamanan pangan yang tidak memadai. 

Baca Juga: Pendidikan Makin Dikomersilkan, Kelompok Miskin Kian Tertinggal  

Dengan menggunakan implementasi Hak Atas Pangan dan Gizi, Marthin mendesak pemerintah seharusnya tidak serampangan memaksakan implementasi program MBG di seluruh wilayah Indonesia. 

Prinsip Hak atas pangan dan gizi (HaPG) ini sebagai hak untuk bebas dari kelaparan dengan berdaulat atas pangan yang mampu memberi makan diri sendiri secara bermartabat dan berdaulat. Kemampuan mendapatkan dan memproduksi makanan harus cukup secara kualitas dan kuantitas, sehat dan sesuai budaya, secara individu maupun kelompok masyarakat dan berkelanjutan. 

Kaitannya itu, kewajiban negara mestinya menghormati, melindungi, memenuhi. Yaitu mesti bisa memenuhi dimensi normatif meliputi kelayakan, ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Di sisi lain, kerangka pelaksanaannya juga menerapkan pelaksanaan non-diskriminasi, larangan langkah regresif, hingga memaksimalkan sumber daya yang tersedia. 

“Pemerintah sebaiknya melakukan identifikasi wilayah yang menjadi kawasan yang mengalami rawan pangan sebagai perwujudan bertahan (progressive realization) pemenuhan hak atas pangan dan gizi,” lanjutnya. 

Baca Juga: Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Aktivis Tuntut Pengadilan Publik untuk Jokowi

Dia menambahkan, pelaksanaan pemenuhan HaPG tidak harus menggunakan seluruh sumber daya keuangan bahkan hingga utang luar negeri yang mendisrupsi anggaran nasional lainnya. 

“Prioritas produksi nasional dengan memaksimalkan pertanian keluarga (family farming) dengan pendekatan agroekologi/ pertanian selaras dengan alam.”

“Kontradiksi pemerintahan Presiden Prabowo untuk konteks pangan: swasembada pangan tetapi membebaskan kuota impor,” pungkasnya.  

(sumber foto: Instagram @prabowo)

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!