“Kami Meliput Fakta, Tapi Malah Dapat Ancaman,” TNI Masuk Kampus dan Intimidasi Pers Mahasiswa

Anggota pers mahasiswa UNSIQ Wonosobo dan UIN Walisongo Semarang mendapat intimidasi dari TNI setelah beritakan TNI masuk kampus. Kapendam IV Diponegoro membantah pernyataan awak pers mahasiswa. Akademisi serukan pentingnya menengok sejarah.

Senin (21/4/25) pagi, Ade (bukan nama sebenarnya), anggota Lembaga Pers Mahasiswa Shoutul Quran (LPM SQ) Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo, Jawa Tengah sedang berberes. Pagi itu ia tak ada jadwal kuliah. Tiba-tiba sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.

“Assalamualaikum mbak, bisa koordinasi mbak,” bunyi pesan itu.

Saat Ade sedang mengecek pesan tersebut, si pemilik nomor menghubungi Ade. Merasa tak kenal dengan si pemilik nomor, Ade tak menjawab. Namun nomor itu kembali menghubunginya. Ade lalu mengontak Arman (bukan nama sebenarnya), rekannya di LPM SQ.  

“Man, ini kira-kira siapa ya?” tanyanya.

“Wah ini kayaknya dari Kodim,” balas Arman.

Untuk memastikan dugaan mereka, Ade lalu membalas pesan tersebut.

“Waalaikumsalam, mohon maaf ini siapa dan koordinasi apa ya?” tanyanya via pesan pendek.

“Mohon maaf mbak mengganggu, saya (sebut nama) dari Kodim, mau koordinasi,” jawabnya.

Setelah itu pemilik nomor kembali meneleponnya, tetapi Ade bergeming. Ia lalu bertanya pada Arman, tindakan yang mesti ia ambil. Arman menyarankan Ade untuk menonaktifkan ponsel beberapa saat. Ade lantas berkomunikasi dengan Arman memakai ponsel lain. Mereka sepakat untuk bertemu pada siang harinya.

Saat bertemu dengan Arman, Ade menyalakan kembali ponselnya. Sepanjang pertemuan itu nomor tak dikenal tersebut tidak menghubunginya. Dari riwayat panggilan diketahui nomor tersebut menghubunginya hingga 10 kali selama ponselnya tidak menyala.

Sehari sebelum menghubungi Ade, pada Minggu (20/4/25) pagi, nomor tak dikenal tersebut juga menghubungi salah satu anggota LPM Shoutul Quran yang namanya tercantum di akun Instagram LPM SQ sebagai penanggung jawab jaringan kerja sama. Dua kali panggilan masuk tetapi tak dijawab.

Sementara itu pada Sabtu (19/4/25), Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNSIQ, FS menghubungi Ade. Ia menginformasikan bahwa dirinya dihubungi oleh seseorang yang mengaku dari Kodim dan memerintahkan mereka buat datang ke markas.

“Kita disuruh ke markas buat koordinasi soal itu (editorial/surat terbuka LPM SQ),” kata Ketua BEM seperti disampaikan Ade.

Baca juga: Suara Ibu Indonesia: Batalkan UU TNI, Kami Tak Rela Aparat Lakukan Kekerasan Pada Anak Kami

Soal yang dimaksud adalah editorial atau surat terbuka yang ditulis LPM SQ yang memprotes tindak kekerasan yang dilakukan aparat Kodim 07/07 Wonosobo terhadap kru redaksi LPM SQ ketika sedang meliput. Kejadian ini bermula saat enam orang kru redaksi LPM SQ meliput aksi tolak UU TNI pada 24 Maret 2025.

Ketika terjadi kericuhan antara massa aksi dengan aparat TNI saat aksi berlangsung di depan Kodim, seorang personel TNI merebut dari arah belakang ponsel kru LPM SQ yang sedang melakukan siaran langsung atas aksi tersebut. Ia lalu membanting ponsel tersebut hingga layarnya pecah. Sayangnya kru LPM SQ tidak sempat mengidentifikasi personel TNI tersebut dan mengetahui wajah serta namanya karena situasi yang kaos. 

Tak cukup merampas alat perekam kru LPM SQ, personel Kodim juga menuduh mereka membawa senjata tajam. Saat Arman, kru LPM SQ yang ponselnya direbut hendak mengambil kembali ponselnya, ia justru dipiting oleh personel Kodim. Bagi LPM SQ tuduhan ini tidak berdasar apalagi saat kejadian enam reporter LPM SQ memakai seragam dan identitas kartu pers. Karena itu LPM SQ menyampaikan kekecewaan dan kegeraman lewat surat terbuka. Mereka juga menuntut Kodim 07/07 Wonosobo memberikan penjelasan atas tindakan represi yang dilakukan personelnya terhadap kru redaksi LPM SQ.

Karena itu ketika bertemu dengan Arman, Ade menyampaikan mereka perlu konfirmasi ke Ketua BEM UNSIQ. Ia ingin memastikan apakah orang yang menghubungi Ketua BEM tersebut adalah orang yang sama dengan yang menghubungi dirinya.

Sore hari Ade dan Arman menemui Ketua BEM UNSIQ. Di situ FS menjelaskan kalau dirinya mendapat telepon beberapa kali. Saat diangkat orang yang menelepon tersebut mengatakan dirinya dari Kodim dan minta agar editorial LPM SQ di take down dari postingan akun Instagram. Sementara terkait gawai yang rusak akibat tindakan represif personel Kodim, ganti rugi akan diberikan asal mereka datang ke Kodim.

Baca juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Dari pertemuan itu Ade baru mengetahui bahwa yang memberikan nomornya kepada personel Kodim adalah Ketua BEM, meski tanpa persetujuannya. Dari situ personel Kodim tersebut menghubungi Ade dan seorang kru LPM SQ berkali-kali. Ketua BEM UNSIQ kemudian minta maaf pada Ade karena sudah memberikan nomornya tanpa sepengetahuannya.

Saat itu Ketua BEM mengatakan pihaknya akan mengurus persoalan tersebut sehingga Ade tidak perlu menanggapi kalau personel Kodim kembali menghubunginya. Setelah pertemuan itu, malam harinya Ade kembali ditelepon. Namun panggilan itu dibiarkan.

Pada Selasa (22/4/25) personel Kodim tersebut tidak menghubungi sama sekali. Ade kembali mendapat telepon dari personel Kodim tersebut pada Rabu (23/4/25) pagi. Disusul dengan sebuah pesan pendek.

“Assalamualaikum Wr. Wb. mbak saya mau koordinasi, kapan klarifikasi ke Kodim? Mohon kerja samanya mbak,” bunyi pesan tersebut.

Setelah itu panggilan kembali masuk, tetapi Ade tak menjawabnya. Siang harinya kru LPM SQ berkumpul untuk menyikapi telepon tersebut karena dirasa sudah mengganggu. Amalia (bukan nama sebenarnya), anggota LPM SQ menjelaskan kepada Konde.co pada Selasa (29/4/25).

“Karena telepon itu terus-menerus dan sudah mengganggu Ade, kita ambil tindakan buat kumpul. Biar kita bisa musyawarah apa sih tindakan yang bisa diambil selanjutnya,” kata Amalia.

Dari proses diskusi, mereka merasa terlalu riskan buat mereka untuk datang ke markas Kodim. Sebaliknya mereka juga tidak yakin aparat Kodim bersedia datang ke kampus. Untuk itu mereka mengambil jalan tengah, pertemuan mesti diadakan di luar lingkungan kampus dan di luar markas Kodim. Mereka juga merasa pertemuan itu hendaknya juga dihadiri oleh BEM UNSIQ sebagai pihak ketiga sekaligus saksi.

“Setelah melalui pertimbangan teman-teman, takutnya makin memperluas dan memperkeruh keadaan, mau nggak mau kami harus mengalah untuk bertemu,” papar Amalia.

Baca juga: ‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG

Setelah itu mereka menghubungi nomor personel Kodim tersebut. Namun ternyata mereka justru diarahkan untuk menghubungi aparat lain. Personel tersebut hanya menginformasikan bahwa mereka harus klarifikasi ke Kodim. Ia kemudian memberikan nomor komandan intel dan membagikan nomor Ade kepada komandannya.

Saat sedang menelepon dengan personel Kodim tersebut, nomor milik komandan intel masuk. Akhirnya mereka telepon balik setelah menutup percakapan dengan personel Kodim. Mereka bicara dengan komandan intel tersebut baiknya bagaimana, kalau memang mau bertemu baiknya lokasinya di tengah-tengah saja.

“Kami ingin (pertemuan) sesegera mungkin karena sudah cukup meresahkan. Tapi komandan intelnya bilang, pak Dandim sedang ada tugas di luar kota. Jadi kami harus mengikuti jadwalnya,” jelasnya.

Percakapan via telepon tersebut akhirnya diakhiri. Setelah itu hingga berita ini diturunkan tidak ada lagi telepon dari Kodim yang menghubungi Ade. Selain dari personel Kodim, pada Senin (21/4/2025) pagi sebuah nomor tak dikenal juga mengirim pesan kepada Ade. Isinya singkat saja.

“Mbak Ade.”

Pesan itu dikirim tak sampai 5 menit setelah pesan dan telepon dari personel Kodim masuk ke ponsel Ade. Ade dan teman-temannya kemudian mengecek kedua nomor tersebut di sebuah aplikasi pelacak nomor. Mereka mendapati nomor pertama milik seseorang dengan nama sesuai yang ia sebutkan dalam chat. Diduga ia adalah personel Kodim 07/07 Wonosobo. Sementara nama pemilik nomor kedua adalah salah satu Kepala Program Studi (Kaprodi) di UNSIQ Wonosobo. Temuan bahwa salah satu pemilik nomor tak dikenal adalah milik pejabat kampus membuat mereka tak habis pikir.

Menanggapi permintaan personel TNI agar LPM SQ menghapus editorial yang mereka unggah di media sosial, Ade menyayangkan sikap TNI yang cenderung mengambil jalan pintas. Alih-alih menggunakan prosedur yang diatur Undang-Undang Pers.

Baca juga: Jika Ditolak Oleh TNI Dan Perusahaan, Lalu Kemana LGBT Harus Bekerja?

“Sebenarnya dari awal kita nulis editorial itukan substansinya kita minta penjelasan terkait represi terhadap awak media LPM SQ. Pelakunya siapa, bagaimana dan lain sebagainya. Tapi tantara mungkin milih cara yang cepat, jadi langsung menghubungi BEM dan minta take-down artikelnya. Padahal yang kami minta ya sebatas hak jawab,” kata Ade kepada Konde.co pada Selasa (29/4/25).

Di kesempatan yang sama Amalia menambahkan kerja-kerja yang dilakukan pers mahasiswa dalam meliput dan menulis berita dilindungi undang-undang. Hak-hak mereka dijamin.

“Kami hanya meliput fakta yang ada, tapi kami malah yang pertama kena kekerasan, baik mental, fisik, dan juga ada intimidasi. Itu sangat merugikan kami, ibaratnya menimbulkan trauma. Kami sangat menyayangkan aparat yang memaki-maki dan melakukan kekerasan. Padahal kami hanya merekam,” ungkap Amalia.

Sejumlah LPM Diintimidasi Akibat Beritakan TNI Masuk Kampus

Selain LPM Shoutul Quran UNSIQ Wonosobo, intimidasi dari tentara juga dialami sejumlah LPM di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang. Sebuah nomor tak dikenal menghubungi sejumlah kru pers mahasiswa UIN Walisongo dan meminta mereka menghapus berita yang diterbitkan.

Intimidasi terjadi setelah SKM Amanat, LPM Reference dan LPM Justisia menerbitkan berita tentang acara diskusi yang diadakan kelompok studi mahasiswa di kampus dan didatangi TNI.

Moehammad Alfarizy, awak redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat pada Senin (14/4) mendapat informasi soal diskusi yang didatangi TNI tersebut. Ia segera menghubungi Ketua KSMW, penyelenggara diskusi untuk konfirmasi dan wawancara hari itu juga. Berita yang ditulis Alfarizy kemudian terbit pada Selasa (15/4).

Esok harinya pada Rabu (16/4) siang sekitar jam 12.00, sebuah pesan masuk ke ponsel Alfarizy diikuti dengan telepon beberapa kali. Dalam pesan singkatnya, pemilik nomor membagikan link berita yang ditulis Alfarizy dan perrmintaan untuk menghapus (take down) artikel tersebut.

Alfarizy sempat menanyakan identitas orang yang meneleponnya tersebut. Ia memperkenalkan diri dan mengatakan dirinya adalah Babinsa Koramil Ngaliyan. Orang tersebut lalu meminta berita beserta foto berjudul “Diskusi KSMW UIN Walisongo Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal” untuk di-takedown. Ia beralasan privasinya terganggu lantaran foto dirinya yang ada dalam pemberitaan tersebut jadi tersebar.

Alfarizy menanggapi permintaan tersebut dengan menjelaskan bahwa berita dan foto yang diterbitkan SKM Amanat sudah memenuhi kaidah jurnalistik.

“Isi berita dan juga foto itu sudah sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Karena dari segi isi (berita) kami tidak ada maksud untuk menggiring opini dan lain sebagainya, itu (berdasarkan) hasil wawancara. Fotonya juga kami sudah melakukan blur atau menyamarkan wajah di foto, termasuk wajah babinsanya,” papar Alfarizy kepada Konde.co, Selasa (29/4/25).

Baca juga: Kasus Dugaan Perkosaan Terjadi di TNI: Awalnya Perkosaan, Lalu Dibilang Suka Sama Suka

Namun personel Babinsa tersebut tetap bersikukuh agar SKM Amanat menghapus artikel tersebut. Ia juga mengatakan jurnalis kadang suka merasa benar sendiri. Personel Babinsa itu juga menegaskan dirinya tahu lokasi kantor SKM Amanat dan posisi dirinya sebagai Babinsa yang mengatur wilayah di kecamatan Ngaliyan.

Personel Babinsa tersebut baru mengakhiri teleponnya setelah Alfarizy mengatakan dirinya akan membicarakan hal tersebut dengan pemimpin redaksinya.

Selain menghubungi awak redaksi, informasi dari mahasiswa menyebutkan mereka melihat orang berpakaian TNI duduk di depan Gedung PKM pada Rabu (16/4/35) sekitar pukul 9 pagi. Kantor SKM Amanat berada di gedung PKM.

“Mungkin karena saat itu kantor Amanat lagi nggak ada orang, akhirnya dia menghubungi saya di jam 12 itu,” kata Alfarizy.

Hingga kini Alfarizy tidak mengetahui dari mana personel Babinsa Koramil Ngaliyan itu mendapatkan nomor teleponnya. Ia lalu menghubungi pemimpin redaksi dan pemimpin umum Amanat terkait permintaan menghapus artikel dari personel Babinsa tersebut. Redaksi Amanat sepakat untuk tidak mengabulkan permintaan itu.

“Permintaan untuk take down artikel karena masalah foto tidak dikabulkan, karena memang sudah terbit dan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik,” jelasnya.

Setelah telepon tersebut anggota SKM Amanat mengambil langkah antisipasi dengan mengosongkan ruangan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah situasi cukup kondusif, aktivitas redaksi kembali berjalan.

Sementara itu Alfarizy mengungkapkan dirinya belum ada rencana untuk komunikasi dengan pihak kampus. Ia percaya kampus seharusnya bisa melindungi mahasiswanya sendiri. Upaya mitigasi dilakukan SKM Amanat dengan melakukan komunikasi dengan organisasi jurnalis.

Baca juga: Selamat Lebaran, Semua Dimaafkan, Kecuali Penguasa yang Zalim

Alfarisy mengungkapkan kondisi yang dialami dirinya dan sejumlah anggota pers mahasiswa lainnya bisa jadi baru di tataran awal. Tidak menutup kemungkinan intimidasi serupa bisa kembali terjadi pada anggota pers mahasiswa atau aktivis lainnya. Terlebih dengan disahkannya UU TNI pada 20 Maret 2025 lalu.

“Intimidasi ini mungkin langkah awal untuk intervensi lebih jauh. Karena pers adalah salah satu pilar demokrasi, ketika ada intimidasi atau intervensi terhadap pers, maka ini jadi ancaman bagi demokrasi. Apalagi dengan disahkannya UU TNI di masa kepemimpinan Prabowo,” pungkasnya.

Tak hanya SKM Amanat, personel Babinsa juga menghubungi LPM Reference yang juga menerbitkan artikel tentang kedatangan Babinsa ke acara diskusi mahasiswa di kampus UIN Walisongo. Zaenal Arifin, Pemimpin Umum LPM Reference mengungkapkan LPM Reference menerbitkan artikel pada Senin (14/4/25) beberapa waktu setelah diskusi yang digelar KSMW didatangi TNI.

Besoknya pada Selasa (15/4/25) sebuah nomor tak dikenal menelepon Zaenal. Merasa tak mengenal nomor tersebut, Zaenal membiarkan saja panggilan dari nomor tak dikenal itu. Malamnya Zaenal mengirim pesan ke nomor tersebut setelah nomor tak dikenal itu menghubungi beberapa kali.

“Ada perlu apa?” tulisnya dalam pesan singkat.

“Bisa bicara sebentar?” balas pemilik nomor tak dikenal itu.

Zaenal tak menanggapinya. Keesokan harinya pada Rabu (16/4/25) nomor tersebut menghubunginya lagi dan memperkenalkan dirinya sebagai Babinsa serta kembali meneleponnya. Zaenal tetap mengabaikan panggilan dari nomor yang mengaku sebagai babinsa tersebut.

Zaenal mengungkapkan nomor telepon yang ia pakai tercantum di akun media sosial LPM Reference sebagai nara hubung. Jadi kemungkinan personel Babinsa tersebut mendapatkan nomornya dari situ.

Ia mengakui panggilan bertubi-tubi dari seseorang yang mengaku sebagai babinsa tersebut membuatnya resah. Apalagi ia juga mendengar kabar anggota LPM lain juga ditelepon dan diminta untuk menghapus artikel yang diterbitkan termasuk didatangi kantornya.

Baca juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing

“Kami tidak memberitakan hal bohong. Kami memberitakan fakta, dan betul-betul apa yang terjadi di lapangan. Nah, ketika tiba-tiba kami mendapatkan telepon-telepon, seperti teror begitu, ya kami resah,” ucapnya.

Meski merasa agak resah dengan adanya telepon dari orang yang tidak dikenal, Zaenal tidak menceritakannya kepada anggota LPM Reference. Ia tidak ingin melibatkan anggotanya lebih dalam karena khawatir akan menimbulkan ketakutan dan membuat mereka enggan berproses di LPM Reference.

Meski begitu ia tidak tinggal diam. Zaenal mengambil tangkapan layar atas telepon-telepon yang masuk dari babinsa tersebut. Ia lalu mengunggahnya ke story WA.

“Supaya teman-teman aktivis, teman-teman BEM, teman-teman dari LPM-LPM lain itu tahu tanpa aku harus bilang. Nah, itu mitigasiku,” papar Zaenal kepada Konde.co, Selasa (29/4/25).

Setelah itu Zaenal menginformasikan hal yang dialaminya kepada Wakil Dekan III FISIP UIN Walisongo via pesan pendek. Namun pesan yang ia kirim hanya dibaca dan tidak ada tanggapan apapun. Upaya advokasi justru diberikan oleh LBH Semarang dan AJI Kota Semarang.

Zaenal menilai tindakan personel Babinsa menghubungi dan mendatangi pers mahasiswa yang terlihat seperti teror menunjukkan keresahan babinsa atas pemberitaan mereka. Namun itu merupakan akibat dari kesalahannya sendiri yang datang ke kampus dan mengintervensi acara diskusi yang digelar kelompok studi mahasiswa.

Ia menambahkan mestinya personel Babinsa bisa menyampaikan surat keberatan atau memberikan hak jawab kalau merasa dirugikan atas pemberitaan pers mehasiswa. Upaya lain bisa menempuh cara-cara damai, misalnya lewat birokrasi kampus.

AJI Kota Semarang Kutuk Tindakan TNI

Menanggapi tindakan yang dilakukan TNI atas intimidasi yang dilakukan terhadap sejumlah awak lembaga pers mahasiswa di UIN Walisongo Semarang dan UNSIQ Wonosobo, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengutuk keras tindakan aparat TNI.

“Kami mengutuk tindakan-tindakan seperti itu karena jelas ini mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat,” tegas Aris Mulyawan, Ketua AJI Kota Semarang kepada Konde.co, Rabu (30/4/25).

“Padahal kebebasan berpendapat, berekspresi dan berserikat sudah dijamin oleh konstitusi di negara ini. Tapi kok masih ada upaya menghalang-halangi. Itukan berarti ada pelanggaran terhadap konstitusi,” tambahnya.

Untuk itu AJI Kota Semarang lewat Divisi Advokasi melakukan pendampingan dan advokasi terhadap anggota pers mahasiswa yang mengalami intimidasi.

“Sudah dilakukan advokasi, ditangani sama divisi advokasi. Jadi setelah kejadian mereka kemudian kita ajak rapat untuk menyusun langkah-langkah yang akan diperlukan,” kata Aris.

Langkah ini terutama dilakukan pada anggota persma dari UIN Walisongo. Sementara untuk anggota persma dari UNSIQ Wonosobo dari segi geografis lebih dekat dengan Purwokerto dan di sana ada AJI Purwokerto. Meski begitu tetap ditindaklanjuti diantaranya dari pembicaraan internal divisi advokasi diminta untuk menghubungi korban.

Baca juga: Kekerasan Saat Aksi, Respon Pemerintah Nirempati: Dear Penguasa, Kami Dipukuli Polisi, Kalian Malah ‘Party’

Aris melihat situasi yang dialami oleh persma hari ini tidak terlepas dari pengesahan UU TNI. Hal yang perlu dicermati adalah meski baru disahkan beberapa waktu tetapi dampaknya sudah bisa dirasakan. Kondisi ini mengancam ruang-ruang kebebasan akademik yang kalau dibiarkan di masa depan bisa menjadi ancaman bagi demokrasi.

Hal lain yang penting terkait lembaga pers mahasiswa menurut Aris adalah soal perlindungan. Pada pers umum ada Dewan Pers, lembaga independen yang bertugas mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers nasional. Lembaga ini juga bisa berfungsi sebagai mediator dalam penyelesaian pengaduan terkait pemberitaan.

Aris mengungkapkan sejauh ini sudah ada perjanjian kerja sama antara Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Dewan Pers tentang penguatan dan perlindungan aktivitas jusnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Perjanjian kerja sama ini ditandatangani pada 2024 lalu. Namun belum ada MoU serupa di lingkungan perguruan tinggi di bawah koordinasi Kementerian Agama.

Ia menekankan perlindungan ini menjadi penting karena pertama kebebasan akademik mulai terancam. Kedua regulasi yang mengatur keberadaan persma juga perlu penguatan.

Kapendam IV Diponegoro Bantah Pengakuan Awak Pers Mahasiswa

Sementara itu Kepala Penerangan Daerah Militer IV Diponegoro Letnan Kolonel Infanteri Andy Soelistyo mengatakan pihaknya sudah mengecek baik ke Sertu Rokiman (yang datang ke acara diskusi dan menghubungi beberapa anggota LPM) maupun ke anggota-anggota intel. Ia menyimpulkan hal yang disampaikan kawan-kawan pers mahasiswa tidak benar.

Andy mengatakan sampai hari ini ia belum menerima laporan, surat terbuka atau apapun dari kawan-kawan LPM. Jika ada permintaan take-down artikel, intimidasi dan hal-hal lain yang dilakukan oleh anggotanya, ia mempersilakan pers mahasiswa untuk melapor.

“Sampai hari ini kami belum menerima apa yang disampaikan oleh kawan-kawan dari LPM, surat terbuka atau apapun. Kami berikan kesempatan ke kawan-kawan tersebut, untuk apabila memang mereka meyakini itu memang dari kami, maka kami sampaikan, silakan membuat laporan kepada pihak yang berwenang. Bisa kepada kepolisian kalau memang tidak mau berkaitan dengan polisi militer, silakan,” kata Andy kepada Konde.co, Jumat (2/5/25).

Ia menyarankan laporan hendaknya dibuat dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Apalagi saat ini semua bisa di-tracking, mulai dari nomor HP, lokasi, hingga sumbernya. Lewat proses hukum ia yakin akan bisa didapat kepastian.

“Anggota kami juga menyampaikan, apabila memang terbukti yang bersangkutan itu melakukan hal tersebut, maka siap mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sampai dengan hari ini, sudah sekitar satu minggu lebih, kami belum pernah menerima aduan ataupun menerima penjelasan atau surat terbuka dari pihak LPM,” tambahnya.

Baca juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki

Ia juga mempertanyakan keyakinan sejumlah awak LPM bahwa nomor yang menghubungi mereka dari intel TNI, bahkan ada yang menyebut dari Sertu Rokiman. Karena itu menurutnya sebaiknya dibuktikan lewat jalur hukum sehingga masing-masing punya dasar yang kuat. Jika anggotanya terbukti bersalah, pihaknya akan memberikan tindakan hukum, Namun jika yang disampaikan awak pers mahasiswa merupakan tuduhan sepihak, ia tidak akan tinggal diam.

“Kawan-kawan dari LPM meyakini itu Sertu Rokiman, buktinya dari apa? Bahkan ada yang kemarin menyampaikan, kami sudah tracking itu Sertu Rokiman. Tapi kan tidak bisa kami menangkapnya hanya dari penyampaian seperti itu. Makanya saya arahkan kalau memang mau dibuktikan secara hukum, silakan saja sehingga masing-masing nanti punya dasar yang kuat,” urai Andy.

“Kalau memang anggota kami bersalah, kami berikan tindakan hukuman. Ini juga berlaku pada Sertu Rokiman. Tetapi apabila itu hanya tuduhan sepihak, kami mungkin tidak akan tinggal diam. Karena ini juga berkaitan dengan citra Kodim IV Diponegora juga anggota kami Sertu Rokiman,” pungkasnya.

Militerisme Bukan Gerbong Tunggal, Penting Belajar dari Sejarah

Bagi Diah Kusumaningrum, Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mendengar berita soal TNI masuk kampus dan intimidasi TNI kepada pers mahasiswa, di tingkat yang sangat personal mengingatkannya pada masa ketika menjadi mahasiswa dulu.

“Cerita-cerita kayak, di dalam seminar ini ada intel nggak ya? Ada yang catat nama kita nggak ya? Itu adalah ketakutan yang real di masa lalu sehingga orang menyensor diri. Tidak bertanya, tidak berkomentar. Ingatan saya ke-trigger ke situ,” ujar Diah kepada Konde.co, Selasa (29/4/25).

Diah mengingatkan hal penting yang jarang dibicarakan ketika membahas militerisme adalah sebagai sistem opresi, militerisme tidak berdiri sendiri.

“Militerisme adalah satu hal. Tetapi sebagai sebuah sistem opresi, ia tidak berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan patriarki, dengan kapitalisme, dengan kolonialisme, dan lain-lain. Jadi saya kira analisisnya bisa diperkaya,” urai Diah.

Menurutnya hal ini penting mengingat dampak dari militerisme masuk kampus akan berbeda-beda pada masing-masing orang. Terlebih karena militerisme erat kaitannya dengan patriarki, maka kita bisa mengantisipasi teman-teman perempuan dan teman-teman LGBTQ+ yang akan paling terdampak.

“Dampak pertamanya adalah self-censorship. Kalau orang sudah melakukan self-censorship, peer-nya bahkan nggak terasa kalau ada bahaya, sehingga susah bagi kita untuk gerak kolektif,” paparnya.

Karena itu penting untuk saling mengecek dan saling jaga, mengidentifikasi siapa yang lebih rentan dan fokus ke sana supaya yang paling rentan tidak melakukan self-censorship.

Baca juga: Aktivis: Pernyataan Wantannas Bahwa LGBTQ Merupakan Ancaman Negara, Tanpa Dasar Logika

Hal lain menurut Diah yang penting dilakukan adalah belajar dari sejarah. Kita sekarang sudah ada di era yang jauh lebih otoriter dibanding 5 atau 10 tahun sebelumnya. Karena itu kita melihat ada pimpinan kampus yang membuka pintu bagi militer walaupun di bawah mahasiswanya menggelar protes. Bisa jadi pimpinan kampus merasa tidak punya banyak opsi selain membuka pintu.

Namun Diah mengingatkan agar kita menengok kembali pada sejarah di masa lalu. Dengan begitu kita bisa melihat harga mahal yang harus dibayar ketika kita membiarkan militerisme masuk ke institusi kampus.

“Harusnya ingat lagi kejadian-kejadian tahun 60-an. Ketika itu salah satu institusi yang paling cepat dibersihkan adalah institusi kampus. Dosen-dosen, mahasiswa diambil dan banyak yang tidak kembali. Rektor diganti oleh mereka yang dari tantara. Saya kira kalau kita ingat lagi sejarah itu, harga kepatuhan yang berlaku saat ini jadi lebih terbayang,” paparnya.

Ada harga yang harus dibayar mahal ketika logika hierarki, logika kepatuhan kita iyakan. Karena itu Diah mengajak agar kita tidak kembali lagi ke masa itu.

*Keterangan: Nama semua anggota LPM SQ dalam artikel ini disamarkan demi keamanan.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!