Pertengahan Desember 2024, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengeluarkan pernyataan soal rencana pemerintah merevisi sejarah Indonesia. Pernyataan ini disampaikan usai bertemu dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) di Bandung.
“Catatan sejarah Indonesia akan diperbaharui berdasarkan hasil kajian para ahli sejarah. Kami akan segera menulis updated version atau revisi penambahan di buku sejarah kita dalam rangka 80 Tahun Indonesia Merdeka,” kata Fadli dikutip dari Tempo.
Sekitar 5 bulan setelahnya, pada awal Mei 2025, Fadli Zon kembali mengeluarkan pernyataan soal target pemerintah menyelesaikan penulisan ulang sejarah Indonesia pada Agustus 2025. Target ini dirancang bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025.
Dalam perkembangannya proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini mengundang kritik dari sejumlah kalangan termasuk para sejarawan. Pasalnya draf revisi sejarah tersebut tidak memasukkan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang sudah diakui negara dalam hal ini Jokowi pada Januari 2023. Selain itu draf tersebut juga tidak membahas soal gerakan perempuan yang berkontribusi terhadap sejarah bangsa.
Selain aspek substansi, kritik juga disuarakan terkait proses penyusunan yang tidak partisipatif. Proses penulisan ulang sejarah ini sendiri sebagaimana dikatakan Fadli Zon melibatkan sejumlah sejarawan dari berbagai perguruan tinggi. Pernyataan ini disampaikan Fadli Zon kepada awak media di Kompleks Istana Kepresidenan pada senin (5/5/25) seperti dikutip dari Tempo.
Baca juga: Hari Pahlawan 10 November: Jumlah Pahlawan Perempuan Hanya 8 Persen, Tunjukkan Pengabaian Sejarah Perempuan
“Kami akan update dan menambah beberapa jilid, tentu mendasarkan kepada buku-buku yang sudah ada. Kami melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari banyak perguruan tinggi, yang memang ahli di bidangnya dan punya kompetensi menulis serta menyunting isi buku itu,” katanya.
Buku-buku yang dimaksud sebagai rujukan adalah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terbit pada dekade 1970-an, dan Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada 2012.
Sejarawan feminis, Ita Fatia Nadia, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) dan I Gusti Agung Ayu Ratih, Direktur Institute Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) mengkritik bahkan menolak penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut. Keduanya menyoroti baik proses penyusunan maupun substansi yang bermasalah.
Proses Penyusunan Tidak Libatkan Publik dan Langgar HAM
Proyek penulisan sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan dalam pandangan Ita merupakan proyek ambisius yang dibuat tanpa proses konsultasi. Tiba-tiba pada Desember 2024 Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengumumkan rencana revisi sejarah Indonesia. Namun proses ini berjalan tanpa ada konsultasi publik, tanpa ada konferensi atau semacamnya. Lalu tiba-tiba dikatakan akan di-launching pada Agustus 2025 nanti. Artinya proses penyusunannya hanya berlangsung dalam hitungan bulan.
Ita melihat ada proses yang keliru baik terkait mekanisme penyusunan maupun pemaknaan atas sejarah itu sendiri.
“Sebagai seorang sejarawan feminis, saya melihat sejarah itu bukan milik penguasa. Sejarah adalah sebuah memori kolektif dari perjalanan sebuah bangsa. Di situ ada laki-laki, ada perempuan, ada bermacam-macam entitas warga negara,” papar Ita.
“Jadi, ketika sejarah itu direvisi atau ditulis ulang, harus ada satu seri rentetan konsultasi publik dengan semua pihak. Baik laki-laki, perempuan, akademisi, aktivis, orang biasa, dan terutama adalah suara korban,” tambahnya.
Proyek ini Ita menegaskan seharusnya dari awal dibuka, ada konsultasi dan diskusi dengan publik. Setiap jilid harus didiskusikan satu-satu, bukan setelah selesai ditulis baru didiskusikan. Proses ini menurut Ita menjadi penting dilakukan karena Indonesia memiliki satu pengalaman panjang tentang pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Untuk itu harus ada penulisan tentang pelanggaran HAM berat masa lalu. Karena itu merupakan bagian dari sejarah yang tidak boleh kita lupakan,” tegasnya.
Pada era pemerintahan Jokowi, negara sudah mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM berat tersebut meliputi peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumah Geudong, Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisaksi dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Baca juga: 27 Tahun Berlalu, Kami Masih Menuntut Keadilan Perkosaan Mei 1998
Pengakuan atas adanya pelanggaran HAM berat oleh negara ini merupakan tonggak penting. Meskipun Ita mengakui masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM lain yang belum diakui. Tetapi 12 pelanggaran HAM berat ini harus menjadi bagian penting dari seluruh revisi sejarah.
Namun dalam perkembangannya draf revisi sejarah Indonesia tidak memasukkan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ita melihat langkah ini sebagai bentuk pengabaian terhadap suara korban dan tidak mengakui adanya pelanggaran HAM berat. Artinya sejarah yang sedang ditulis justru membungkam dialektika antara masa lalu dan sekarang, menghilangkan nalar kritis dan mengkhianati kekayaan perspektif yang menjadi identitas peradaban bangsa. Menurut Ita ini merupakan bentuk pelanggaran HAM.
“Oleh sebab itu kita wajib menolak rencana penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan. Karena tidak ada yang namanya sejarah versi resmi dan tunggal. Sejarah itu sangat variatif, plural dan berangkat dari perspektif setiap orang. Perspektif perempuan, perspektif dari Papua, perspektif dari Aceh, Kalimantan, Jawa. Itu semua harus diakui karena mereka mempunyai konteks sejarah yang berbeda-beda,” bebernya.
Sejarah, masih menurut Ita, sebetulnya merupakan tempat berbagai narasi berinteraksi, saling menguji, saling memperkaya tentang masa lalu. Sejarah sekaligus merupakan window of opportunity, memberikan ide-ide kekayaan terhadap imajinasi bangsa masa depan. Tetapi yang terjadi, Kementerian Kebudayaan menggagas dan menyusun versi sejarah resmi yang menjadi sebuah tafsir tunggal.
Tafsir tunggal ini menurut Ita mengingkari pluralisme pengalaman manusia Indonesia. Ingatan kolektif bangsa yang beragam direduksi bahkan dihilangkan dan dianggap berbahaya. Jadi tafsir tunggal merupakan tindakan totaliter yang fasis dan militeristik.
Selain itu penggunaan istilah ‘sejarah resmi’ dalam pandangan Ita merupakan suatu anakronisme yang menandai kemunduran intelektual. Karena pada dasarnya sejarah itu plural dan boleh ditulis oleh siapapun. Pembatasan seperti yang dilakukan Kementerian Kebudayaan jelas bertentangan dengan semangat demokrasi. Upaya yang dilakukan Kementerian Kebudayaan juga merupakan bentuk monopoli oleh negara.
Baca juga: Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Memorialisasi Penghilangan Paksa Aktivis 1998
“Sejarah adalah milik publik, milik setiap warga negara, laki-laki dan perempuan boleh menafsirkannya, boleh memaknainya secara merdeka. Tetapi itu menjadi tidak diakui. Jadi sejarah resmi yang ditulis Kementerian Kebudayaan akan melahirkan dogmatisme dan menutup pintu interpretasi yang beragam, plural, dinamis, dan demokratis. Sehingga yang muncul sejarah tunggal yang dogmatis dan fasis, serta menegasikan sejarah rakyat, sejarah keluarga, dan sejarah perempuan,” bebernya.
Ita mengungkapkan dirinya dan tim yang terdiri dari sejarawan, ahli hukum, arkeolog, dll sudah melakukan kajian. Mereka menemukan sejarah yang sedang ditulis Kementerian Kebudayaan punya tendensi pengultusan dan glorifikasi terhadap kekuasaan. Selain itu juga mengagung-agungkan masa lalu secara berlebihan tanpa kritik dan menghapus banyak dokumen-dokumen sejarah. Karena itu, Ita menegaskan penulisan ulang sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan harus ditolak.
Sementara Agung Ayu Ratih melihat tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Pemerintah sudah dua kali menulis sejarah resmi, yang pertama berjudul Sejarah Nasional Indonesia yang terbit pertama kali pada 1975 lalu terbit ulang pada 1977 dan 1981. Sedang yang kedua Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), hasil Konferensi Nasional Sejarah ke-6 tahun 2001. Buku tersebut dikerjakan hampir 10 tahun dan diluncurkan tahun 2012. Karena itu Ayu menengarai penulisan ulang sejarah Indonesia adalah semata proyek kepentingan pemerintah.
“Jadi sudah dua kali, buat apa lagi bikin buku sejarah baru? Enggak ada pentingnya. Saya rasa itu lebih pada kepentingan propaganda karena pelajaran sejarah di sekolah masih mengacu pada buku yang dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Ayu.
Dalam perkembangannya, Ayu menambahkan, sekarang sudah banyak orang yang menulis sejarah sendiri-sendiri. Dan menurut Ayu sejarah tidak harus diluruskan atau diresmikan tetapi tugas kita adalah mendemokratiskan sejarah setelah pengalaman selama 32 tahun diajarkan bahwa sejarah hanya ada satu versi. Setelah reformasi, maka penulisan sejarah harusnya dibuka.
Baca juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali
“Tidak ada satu sejarah yang benar atau salah. Kalau ada satu versi yang dianggap tidak benar, selalu ada tulisan-tulisan lain yang akan mengoreksi atau mengugat,” ujarnya.
Seperti halnya hasil karya ilmiah, ketika orang membuat satu argumen, akan ada kontra argumen. Dan setiap kali selalu ada proses intelektual yang berlangsung untuk menggugat argumen-argumen yang salah. Ini merupakan prinsip belajar dan berpikir kritis di negara demokratis. Jadi penting untuk mempertanyakan kenapa pemerintah mau mengeluarkan lagi satu versi sejarah resmi.
Kalau mengacu pada klaim Kementerian Kebudayaan, bahwa ada tantangan baru, dunia digital, dst, Ayu masih belum melihat ada alasan kuat. Pasalnya akan selalu ada zaman baru. Apakah kemudian setiap ada perubahan teknologi negara perlu membuat sejarah baru? Lalu apa yang menjadi ukuran?
Ayu juga menyoroti soal rencana penulisan revisi juga menghilangkan beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah diakui pemerintah. Dari 12 pelanggaran HAM berat tersebut hanya peristiwa Talangsari, Lampung yang masuk dalam revisi sejarah.
Selain itu Ayu menjelaskan Menteri Kebudayaan juga sudah menegaskan bahwa narasi tentang peristiwa yang dia sebut G30S PKI dan peristiwa Madiun tidak akan berubah. Dan tidak ada narasi tentang kekerasan yang terjadi selama kedua peristiwa tersebut. Padahal Jokowi sudah mengakui bahwa ada pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa termasuk peristiwa 1965. Bisa dibilang ada upaya menegasi pengakuan pemerintah.
“Kalau revisi logikanya mengikuti pengakuan negara atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, bukan justru menghilangkan. Nah disitu menurut saya menjadi masalah karena apa gunanya Presiden mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat kalau kemudian dinegasi bahkan tidak dianggap oleh buku yang dikeluarkan negara?” paparnya.
Baca juga: ‘Namaku Alam’, Kisah Tahanan Politik dalam Sejarah 1965
Pengakuan atas adanya pelanggaran HAM berat penting untuk dimasukkan dalam penulisan ulang sejarah karena menurut Ayu pengakuan diperlukan untuk mencegah keberulangan. Artinya kita membuat semacam kesepakatan baru atau melahikan suatu kebenaran sosial baru. Karena begitu negara mengakui ada pelanggaran HAM berat, ada warga negara yang teraniaya maka ada semacam pernyataan bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi.
Dengan begitu negara menetapkan suatu standar moral bahwa kekerasan-kekerasan seperti 12 pelanggaran HAM berat itu tidak boleh terjadi lagi. Bahwa itu salah, bahwa pejabat publik atau masyarakat tidak boleh lagi melihat itu sebagai sebuah peristiwa yang dibenarkan. Tetapi ketika kejahatan itu dihilangkan atau dipunggungi maka standar moral itu hilang. Mayarakat tidak lagi punya acuan dan akan menimbulkan kebingungan.
Penghapusan Sejarah Gerakan Perempuan
Proses revisi yang banyak menghilangkan sejarah perempuan dan keterlibatan gerakan perempuan dalam sejarah juga mendapat sorotan Ita Nadia. Dari draf yang ada ia menemukan tokoh-tokoh perempuan hanya disebutkan namanya, tetapi kiprah dan kontribusinya tidak dibahas. Seperti Putri Safiatuddin, yang memerintah Kesultanan Aceh pada abad ke-17 dan melawan kolonial. Begitu juga dengan Malahayati, feminis Aceh yang memimpin pergerakan para janda bernama Inong Balee dan melawan kolonial pada abad ke-16.
Ita juga menemukan Kongres Perempuan 1928 tidak ditulis. Begitu juga dengan kiprah gerakan perempuan pada tahun 1930, 1940, 1950, juga 1965 ketika gerakan perempuan menjadi ujung tombak di dalam gerakan internasional dan gerakan solidaritas internasional. Termasuk kiprah Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
“Saya di RUAS sedang menulis kronik sejarah gerakan perempuan dari abad Ke-16. Itu hampir semua (tokoh perempuan) tidak ditulis, hanya (disebut) nama-namanya saja,” kata Ita.
Selain itu Konferensi Asia Afrika juga tidak ditulis, padahal menurut Ita dalam era tersebut ada gerakan perempuan yang turut berperan. Pada tahun 1945, 1947, 1948, 1958, dan 1961 perempuan berkeliling dunia hadir di pertemuan internasional dan menyuarakan penolakan terhadap kolonialisme, menentang penggunaan senjata nuklir, dsb. Ita menengarai ini lantaran gerakan perempuan tersebut merupakan gerakan kiri.
Absennya Kongres Perempuan 1928 dan gerakan perempuan dalam penulisan ulang sejarah menurut Ita tak terlepas dari fakta bahwa perempuan punya posisi sangat penting dalam melawan totalitarianisme dan menjadi ujung tombak demokrasi. Fakta ini dianggap sebagai ancaman bagi rezim fasis, karena itu kebebasan suara perempuan dibatasi.
“Dari pengamatan kami, sifat resmi dari rezim yang fasis adalah menempatkan perempuan bukan sebagai narasi utama. Tetapi perempuan diposisikan hanya sebagai pelengkap dari narasi sejarah dominan laki-laki,” jelasnya.
Baca juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia
Ini bisa dilihat misalnya ketika Hitler berkuasa di Jerman, atau Fujimori menjadi presiden Peru. Serta beberapa negara fasis lain yang tidak pernah menempatkan perempuan di dalam narasi sejarah resminya.
Visibilitas peran sejarah perempuan akan dikecilkan. Dengan begitu orang akan sulit mengakses sejarah perempuan. Selain itu perempuan yang melawan ideologi rezim yang berkuasa, apalagi yang berperspektif kiri, radikal, dan feminis akan dihilangkan atau tidak ditulis dalam sejarah. Karena dalam pandangan rezim fasis, hal ini akan menjadi acuan bagi para perempuan masa depan.
Kongres Perempuan 1928 merupakan konsolidasi politik perempuan. Ketika perempuan berpolitik dan melakukan konsolidasi, rezim fasis akan melihatnya sebagai hal yang berbahaya. Karena itu peristiwa sejarah tersebut dihilangkan dari catatan sejarah.
Jadi sejarah resmi yang ditulis oleh rezim otoriter dan militeristik ini akan melanggengkan struktur patriarki yang ada di masyarakat. Bahwasanya pengalaman laki-laki dianggap lebih penting dan relevan dibanding perempuan. Selain itu sejarah resmi ini juga akan menguatkan stereotipe gender tradisional, bahwa perempuan ada di ranah domestik sedang laki-laki ada di ruang publik, untuk membenarkan peran-peran yang tidak setara bagi laki-laki dan perempuan.
Narasi sejarah resmi yang ditulis oleh pemerintah akan menggambarkan perempuan dalam peran-peran domestik. Perempuan menjadi perawat, mengelola dapur umum dan memasak, serta posisi domestik dan sekunder lainnya. Kontribusi perempuan di ranah publik dan politik diabaikan. Hal ini menurut Ita harus dilawan. Karena ia khawatir setelah sejarah resmi ini di-launching, ada potensi munculnya kebijakan domestikasi perempuan, seperti Dharma Wanita pada era Soeharto. Namun untuk sekarang ia belum tahu bentuknya akan seperti apa.
Baca juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan
Senada dengan Ita, Ayu juga menyoroti tidak adanya catatan tentang peran perempuan dalam draf revisi, termasuk tidak adanya perspektif gender. Mulai dari ratu-ratu Aceh yang memerintah pada abad ke-17, Kartini hingga Kongres Perempuan 1928. Begitu juga dengan pembahasan di bagian Reformasi 1998, tidak ada catatan tentang kerusuhan Mei, penembakan di Trisakti dan Semanggi, dan perkosaan Mei.
Hal ini memunculkan pertanyaan apa yang dimaksud dengan revisi oleh Kementerian Kebudayaan? Apa yang salah dari buku sejarah sebelumnya sehingga harus direvisi?
Apalagi kalau mengacu pada konsepsi yang dibuat Kementerian Kebudayaan yang menyebutnya sebagai penyesuaian dengan abad ke-21 justru terlihat adanya kontradiksi. Kalau memang benar mau menyesuaikan dengan perkembangan abad ke-21, Ayu menegaskan mestinya Kementerian Kebudayaan memasukkan perspektif feminis, isu LGBTQ+, isu toleransi agama, dst.
Kalau dikatakan sebagai revisi, maka seharusnya lebih maju dari abad sebelumnya. Ayu mengungkapkan di abad ke-20 perempuan sudah menyelenggarakan kongres dan sebagainya tetapi dalam penulisan ulang justru peran perempuan tersebut dihilangkan. Upaya penghormatan HAM juga makin meluas, artinya revisi juga harus mencerminkan animo global tersebut. tetapi yang terjadi upaya penulisan ulang sejarah justru memunggungi semua itu.
“Menurut saya ini agak fatal, jadi ini harus dipertanyakan. Kenapa disebut revisi, menyambut abad ke-21, tetapi justru memunggungi seluruh perkembangan baik dari sisi nasional, dari sisi reformasi, pengakuan terhadap pelanggaran HAM berikut penyelidikan yang pernah dilakukan? Jadi saya nggak lihat signifikansinya sebagai satu karya yang akan menyambut 80 tahun Indonesia. Jadi apa kemajuannya dari 80 tahun lalu, saya nggak lihat,” gugat Ayu.
Tidak masuknya pelanggaran HAM berat dan pergerakan perempuan dalam penulisan ulang sejarah menurut Ayu karena tidak dianggap penting. Ini mengingat sejarah berperspektif feminis masih jarang diterapkan di Indonesia termasuk di kalangan sejarawan sendiri belum dianggap hal yang penting. Interseksionalitas (ras, kelas, gender, agama) dalam penulisan sejarah di Indonesia masih sangat terbatas.
Baca juga: Perkosaan Mei 1998 Tidak Terungkap Dan Banyak Dilupakan
“Aku menduga mungkin sekadar pengabaian karena ketidaktahuan, ketidakpedulian dan bukan sesuatu yang intensional atau memang disengaja. Aku pikir mereka lebih pada tidak peduli karena tidak punya kemampuan untuk mencerna,” tuturnya.
Jadi adanya gap antara niat Kementerian Kebudayaan untuk menyongsong abad ke-21 dengan kemampuan mereka memahami perkembangan abad ke-21 menurut Ayu karena mereka tidak punya kapasitas. Untuk itu Ayu pun mempertanyakan apa motif sebenarnya.
“Kalau motifnya bukan intelektual, bukan akademik, apa sebetulnya kepentingan penulisan revisi ini? Beberapa teman melihatnya sekadar untuk melayani kebutuhan rezim. Karena terutama peristiwa-peristiwa yang menyangkut transisi dari masa Soeharto ke Reformasi penuh dengan kekerasan dan Prabowo diduga bertanggung jawab,” papar Ayu.
Dari rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta, poin pertama adalah meminta klarifikasi Prabowo yang saat itu menjadi Pangkostrad. Tetapi tidak pernah dilakukan investigasi terhadap peran Prabowo dalam masa transisi sebagai Pangkostrad. Peradilan terhadap Tim Mawar memang dilakukan tetapi peran Prabowo dalam seluruh proses transisi sebagai Pangkostrad tidak pernah diinvestigasi.
Jadi kemungkinan upaya yang dilakukan Menteri Kebudayaan yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekadar melayani kepentingan ketua partai. Dangan kata lain untuk kepentingan pemutihan dan propaganda. Padahal menurut Ayu sejarah dengan banyak versi bukanlah sebuah persoalan.
Penulisan Sejarah Mesti Dibuka
Alih-alih menyusun sejarah resmi, Ita berpendapat penulisan sejarah hendaknya dibuka, setiap entitas berhak menuliskan sejarahnya. Karena sejarah bukan monopoli satu kekuasaan sebaliknya ia sangat demokratis dan merupakan interpretasi dari sebuah zaman.
“Jadi dibuka saja (proses penulisannya) karena setiap entitas berhak menuliskan sejarahnya. Korban berhak menuliskan, LGBTQ+ berhak menuliskan, disabilitas berhak menuliskan. Jadi negara tidak punya hak untuk mengatakan bahwa ini sejarah resmi. Karena seluruh entitas punya narasi-narasinya.”
Begitu juga dengan Papua, harus menuliskan sendiri sejarahnya, bukan ditulis oleh sejarawan negara. Pun demikian Aceh, misalnya.
Hal lain yang perlu disoroti adalah rencana pemerintah menjadikan sejarah resmi sebagai acuan untuk buku pelajaran sejarah. Dengan kata lain buku pelajaran sejarah dari mulai SD sampai SMA akan diubah berdasarkan rujukan sejarah resmi menurut penguasa. Artinya Ita melihat pelajaran sejarah menjadi ujung tombak untuk menghegemoni cara berpikir anak-anak tentang sejarah bangsa.
Padahal, Ita menyampaikan saat ini sudah ada buku sejarah yakni Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS). Meskipun isinya belum mencakup semua, tetapi bisa dipakai. Apalagi terkait peristiwa 1965 misalnya, di versi IDAS PKI sudah dihilangkan jadi cuma peristiwa Gerakan 30 September. Sementara pada sejarah resmi yang sedang disusun Kementerian Kebudayaan, PKI dimasukkan kembali dan disebut sebagai pemberontak tetapi tidak ada penjelasannya.
Ita menambahkan buku sejarah seharusnya memberi ruang bagi anak-anak untuk mengetahui sejarah yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Untuk itu penting menuliskan suara-suara korban.
Penulisan sejarah resmi akan menutup informasi yang sebenar-benarnya. Selain itu juga akan memandulkan nalar kritis anak-anak karena sejarah resmi ditulis satu arah dan tanpa dialog.
Baca juga: Fransisca Fanggidae, Pahlawan Perempuan yang Dihilangkan Dalam Sejarah
“Jadi pendidikan mengarah menuju fasisme melalui sejarah resmi yang sedang ditulis oleh Kementerian Kebudayaan,” katanya.
Karena itu Ita bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek penulisan sejarah resmi Indonesia. Ita menegaskan pihaknya tidak hendak memberikan masukan, melainkan mengajak berbagai elemen bangsa baik aktivis maupun sejarawan independen untuk menulis sejarahnya berdasarkan perspektif dan konteks di mana dia hidup.
Ita juga mendorong para perempuan untuk terus menuliskan pengalaman-pengalaman perempuan sehingga pengalaman tersebut menjadi sumber rujukan sejarah bagi anak muda untuk menuliskan kembali sejarahnya. Jadi sejarah tidak dikuasai oleh satu narasi tunggal, narasi resmi negara yang sedang ditulis oleh Kementerian Kebudayaan. Sebaliknya setiap orang boleh menuliskan sejarahnya.
Sementara Ayu melihat agar proses penulisan sejarah tidak mengabaikan suara-suara korban, hal pertama dan paling sederhana yang harus dilakukan pemerintah adalah kembali ke keputusan yang sudah dibuat oleh negara. Setelah kembali ke pengakuan atas pelanggaran HAM berat, kemudian peristiwa-peristiwa tersebut diintegrasikan ke dalam proses penulisan.
Untuk peristiwa 1965 misalnya, Ayu mengungkapkan sudah banyak buku dan artikel yang ditulis, jadi tinggal mengacu ke riset-riset tersebut. Sementara untuk peristiwa-peristiwa yang lain, kalau tidak ada studi-studi yang mumpuni, bisa menghubungi masyarakat-masyarakat korban yang ada. Jadi bisa melalui sejarah lisan. Bisa juga mengacu pada laporan-laporan pelanggaran HAM yang dipakai sebagai acuan untuk menentukan bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah pelanggaran HAM berat.
“Jadi waktu Presiden Jokowi menentukan ke-11 peristiwa pelanggaran HAM berat itukan ada tim nonjudisial yang membantu. Nah itukan berdasarkan laporan-laporan Komnas HAM, Komnas Perempuan, kelompok-kelompok korban, Itu semua menjadi dasar keputusan Presiden. Jadi ya kembali saja ke sana, itu yang menurut aku cara paling mudah,” pungkasnya.
Keterangan Foto: Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR di Jakarta pada Senin (19/5/25). Sumber foto: amnesty.id.