Konsep consent dan koersi seksual

‘Setuju Berciuman Bukan Berarti Setuju Berhubungan’: Saatnya Bicara Consent dan Koersi Seksual

Konsep ‘consent’ bukan sekadar tentang persetujuan mutlak. Consent untuk melakukan satu hal bukan berarti setuju untuk yang lainnya. Hal ini juga berlaku dalam hubungan seksual dan harus dipahami, terutama dalam ruang gerakan aktivisme.

Seluruh ruang seharusnya menjadi tempat yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Termasuk dalam gerakan kolektif dan aktivisme. Jika hal tersebut masih dalam proses untuk dicapai, setidaknya komunitas aktivis bisa menjadi wadah yang aman. Namun, ruang aktivisme ternyata tidak kebal dari kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual.

Banyak kasus kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual terjadi bahkan di dalam lingkar aktivisme, yang selama ini lantang menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan dan penindasan. Tuntutan melawan kekuasaan justru melempem ketika superioritas ambil alih di dalam kelompok. Lagi-lagi, perempuan dan kelompok ragam gender menjadi korbannya. Lalu, ketika korban membagikan kisahnya, ia justru dianggap ‘mengganggu kerja-kerja gerakan’.

Kekerasan seksual dalam ruang aktivisme sering kali tidak dibicarakan karena norma atau asumsi tertentu. Ruang gerakan yang seharusnya aman sering gagal melindungi karena ketakutan untuk ‘merusak’ solidaritas kelompok. Hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang darurat segera diselesaikan oleh gerakan.

Baca Juga: Anak Punya Hak Atas Tubuhnya, Yuk Hormati dan Ajari Mereka!

Ketika korban berbicara mengenai pengalamannya di sosial media, narasi victim blaming (menyalahkan korban) juga masih sarat dalam kolom komentar. Penyebabnya adalah struktur patriarki yang tertanam di masyarakat. Masyarakat dengan mudah menilai bahwa kejadian kekerasan seksual adalah salah korban karena tidak berusaha menghindarinya atau menolaknya.

Sudah tidak berpihak pada korban, masyarakat gagal pula memahami konsep consent (persetujuan) dalam hubungan pribadi/seksual. Consent yang digaung-gaungkan belum betul-betul dipahami oleh banyak pihak, terutama pelaku kekerasan seksual. Padahal banyak metode yang dikenalkan untuk memudahkan memahami consent, salah satunya adalah metode FRIES.

Consent Tidak Datang dari Situasi Tertekan, Bingung, atau Serba Salah

Dalam konteks hubungan, terutama hubungan romantis atau seksual, consent (persetujuan) adalah hal yang sangat penting untuk memastikan semua pihak merasa aman, dihargai, dan tidak dipaksa.

Salah satu cara mudah untuk memahami prinsip consent yang sehat adalah melalui akronim FRIES. Metode ini dikembangkan oleh Planned Parenthood. FRIES mencakup lima elemen utama: Freely given, Reversible, Informed, Enthusiastic, dan Specific.

Pertama, consent harus diberikan secara sukarela (freely given). Berarti tanpa adanya tekanan, paksaan, atau manipulasi emosional. Kedua, consent bersifat dapat dibatalkan kapan saja (reversible). Artinya seseorang berhak menarik kembali persetujuan mereka kapan pun, meskipun sebelumnya telah menyetujuinya.

Ketiga, consent harus diberikan berdasarkan informasi yang jujur dan lengkap (informed). Sehingga jika ada kebohongan atau informasi yang disembunyikan, persetujuan tersebut menjadi tidak sah. Keempat, consent harus bersifat antusias (enthusiastic). Berarti, diberikan dengan keinginan yang tulus, bukan karena merasa terpaksa atau tidak enak hati. 

Baca Juga: Stop Merekam Tanpa Izin, Penghormatan Hak Privasi Itu Isu Feminis

Terakhir, consent harus spesifik (specific). Artinya persetujuan untuk satu hal bukan berarti menyetujui hal lainnya. Dengan memahami dan menerapkan prinsip FRIES, hubungan dapat dibangun di atas dasar saling hormat, kejujuran, dan komunikasi yang sehat.

Tidak hanya metode FRIES yang bisa kita gunakan untuk memahami makna consent atau persetujuan. Beberapa lainnya yang bisa dipelajari, seperti CRISP, SAFER Approach, tea analogy, dan sebagainya.

Meski berbeda nama atau konteks, semua metode consent mengajarkan prinsip yang sama, yakni bahwa persetujuan harus sadar, jelas, sukarela, dan berkelanjutan. Tujuannya adalah menciptakan interaksi yang aman, sehat, dan menghormati otonomi setiap individu.

Setiap Aktivitas Harus Ditanyakan Terlebih Dulu Kepada Sang Pemilik Tubuh, Tanpa Tekanan

Persetujuan harus diberikan secara sukarela tanpa tekanan. Persetujuan itu juga dapat ditarik kapan saja, didasarkan pada informasi yang jelas, dilakukan dengan antusiasme, dan terbatas pada tindakan tertentu yang disepakati. Namun, realitas sering kali jauh dari ideal ini, seperti yang terjadi dalam banyak kasus koersi seksual.

Koersi seksual merupakan kondisi ketika seseorang dipaksa atau dimanipulasi untuk menyetujui aktivitas seksual. Bahkan meskipun tidak menginginkannya. Misalnya, tekanan berulang seperti pertanyaan, “Please, kamu pasti mau kan? Iya kan?” yang terus-menerus hingga korban merasa tidak punya pilihan lain. Ini jelas melanggar prinsip freely given dan enthusiastic.

Ketika seorang korban mengalami situasi tertekan sehingga terpaksa untuk memberikan persetujuan, maka itu bukanlah makna consent sesungguhnya. Pun jika seseorang memberikan persetujuan yang awalnya tanpa paksaan, ia dapat menarik kembali persetujuannya. Misalnya, “Awalnya aku mau, tapi sekarang aku nggak nyaman.” Maka hormatilah keputusan itu dengan segera berhenti. 

Baca Juga: Pentingnya Konsen dalam Relasi, Kamu Harus Pahami Etika Ini

Selain itu, ketika korban memberikan syarat, seluruh syarat harus dipenuhi. Jika tidak, maka pelaku tidak menghormati batasan yang telah dibuat dan melanggar prinsip specific. Maka, persetujuan hanya berlaku untuk hal yang disetujui secara spesifik. Menyetujui satu hal, bukan berarti menyetujui semuanya.

Contohnya, ketika seseorang menyetujui untuk berciuman, bukan berarti setuju untuk hubungan seksual. Begitu pula dengan setuju melakukan sesuatu kemarin, bukan berarti setuju lagi hari ini.

Perlu diingat bahwa consent menekankan perlunya pertanyaan yang jelas. Pertanyaan yang jelas ini merujuk kepada perlakukan lebih lanjut lainnya dan kondisi bertanya tidak boleh dalam situasi serba salah atau dengan tekanan.

Hal ini memastikan bahwa jawaban yang diberikan adalah betul-betul keinginan dan persetujuan yang sadar. Jika masih bingung dengan kondisi yang tidak jelas, maka segala aktivitas harus dihentikan sebab consent tidak pernah membingungkan.

Berhenti Menyalahkan Korban dan Mulai Bersolidaritas Feminis

Pendampingan dan sistem dukungan bagi korban kekerasan seksual penting dan tidak dapat diabaikan dalam upaya melawan dampak traumatis yang mereka alami. Banyak korban menghadapi rasa takut dan malu setelah mengalami kekerasan seksual. Ditambah lagi, ada perasaan isolasi yang mendalam karena diperparah oleh kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. 

Selain psikologis, pendampingan hukum yang ditawarkan oleh lembaga bantuan hukum (LBH) dapat membantu korban. Perannya untuk menavigasi proses pelaporan dan mencari keadilan, yang sering kali terasa menakutkan karena sistem hukum yang kompleks dan penuh stigma. Dukungan dari lingkaran terdekat, teman, keluarga, atau komunitas juga memainkan peran penting dalam membangun kembali kepercayaan diri korban. 

Seorang korban yang didengarkan dan dipercaya oleh komunitasnya akan lebih mungkin untuk speak up. Setelah itu, ia dapat memulai proses penyembuhan. Hal ini lebih sulit bagi mereka yang merasa terisolasi atau disalahkan.

Baca Juga: Bicara Soal Consent: Niatnya Flexing Foto, Ujungnya Jadi Pelaku KBGO

Namun, realita budaya menyalahkan korban (victim blaming) sering kali menjadi penghalang utama bagi korban untuk mencari bantuan. Dalam banyak kasus, korban kekerasan seksual dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan. Seperti, “Kenapa kamu tidak melawan?” atau, “Bodoh sekali! Tinggal melawan apa susahnya?” Pernyataan itu secara eksplisit menempatkan tanggung jawab pada korban, bukan pelaku.

Budaya tersebut berakar pada sistem patriarki. Tidak hanya memperdalam trauma korban, tetapi juga memperkuat kekuasaan pelaku. Ia menciptakan lingkungan di mana korban merasa bersalah atas apa yang mereka alami. Reaksi negatif dari masyarakat dapat memperburuk dampak kekerasan seksual pada kesehatan mental. Juga membuat korban merasa terisolasi dan enggan melapor.

Sebagai contoh, seorang perempuan yang mengalami pelecehan mungkin memilih bungkam karena takut dihakimi. Terutama jika lingkungannya menormalisasi perilaku pelaku dengan alasan, “Dia kan, sudah bertanya.” Atau, “Kamu yang memberi sinyal salah.” Budaya victim blaming ini menciptakan lingkaran setan di mana korban terus terdiam. Sementara pelaku bebas dari akuntabilitas, memperpetuasi siklus kekerasan berbasis gender.

Baca Juga: Laki-Laki Tak Kenal Consent; Wajib Diajak Untuk Stop Kekerasan Seksual

Dari perspektif feminis, melawan kekerasan seksual berarti melawan struktur patriarki yang memungkinkan victim blaming dan normalisasi kekerasan. Langkah konkret yang dapat dilakukan seperti edukasi tentang consent dan batasan yang sehat, membangun mekanisme perlindungan di komunitas, serta mendukung inisiatif yang memberdayakan korban dan penyintas kekerasan seksual.

Oleh karena itu, solidaritas feminis menjadi kunci untuk mengubah narasi dan menciptakan dunia yang lebih aman bagi perempuan dan penyintas. Solidaritas ini dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mempercayai cerita korban tanpa menghakimi, mendampingi mereka dalam mencari bantuan, dan memperjuangkan keadilan melalui advokasi.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Gloria Sarah Saragih

Mahasiswi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!