Bagaimana remaja perempuan menavigasi identitas dan seksualitas mereka? Ketika lanskap budaya kontemporer didominasi oleh media sosial dan norma gender yang kontradiktif, bagaimana mereka menyikapinya? Apakah pengalaman yang mereka hadapi makin kompleks? Pertanyaan-pertanyaan dan kekhawatiran ini dikupas Orenstein dalam bukunya yang berjudul Girls & Sex: Navigating the Complicated New Landscape.
Buku ini mengeksplorasi pengalaman seksual remaja perempuan di Amerika, dengan berfokus pada kontradiksi, tekanan, dan dinamika budaya yang membentuk kehidupan seksual mereka. Orenstein menggunakan pendekatan yang menggabungkan wawancara, analisis budaya, dan penelitian akademik. Ia mengungkap kontradiksi yang dihadapi perempuan muda dalam menavigasi kehidupan seksual mereka di tengah budaya yang didominasi media sosial, pornografi, dan standar ganda.
Girls & Sex terdiri dari tujuh bab yang masing-masing mengeksplorasi aspek berbeda dari seksualitas remaja perempuan. Dalam pendahuluannya, Orenstein mengungkapkan kekhawatirannya sebagai ibu dan jurnalis tentang dampak budaya populer terhadap putrinya yang sedang menuju masa remaja. Ia memperkenalkan konsep intimate justice milik Sara McClelland, yang menekankan pentingnya kesetaraan gender, otonomi tubuh, dan hak atas kenikmatan seksual.
Dari wawancaranya terhadap 70 remaja perempuan usia 15-20 tahun, Orenstein menyoroti satu kontradiksi dalam budaya dan norma modern. Bahwa meski perempuan memiliki kesempatan akademik dan berada di lingkungan profesional, tetapi tetap menghadapi tekanan seksualisasi, objektifikasi, dan standar ganda.
Buku ini dibuka dengan menyoroti ketegangan antara objektifikasi terhadap perempuan yang dilakukan budaya patriarki dan ekspresi seksual yang perempuan lakukan secara sadar sebagai bentuk ekspresi diri.
Orenstein menggunakan pendekatan naratif yang kaya dengan pengalaman-pengalaman pribadi dari remaja perempuan yang ia wawancarai untuk mengilustrasikan bahwa budaya menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit. Yakni mereka harus menyeimbangkan antara diterima secara sosial atau mempertahankan otonomi tubuhnya. Salah satunya adalah aturan berpakaian di sekolah, yang dianggapnya sering kali memperkuat narasi victim blaming.
Baca juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas
Orenstein menceritakan kisah Camila Ortiz, seorang siswi SMA yang menentang pernyataan seksis kepala sekolahnya. Bahwasanya aturan berpakaian diperlukan untuk “melindungi” perempuan dan mencegah “pelecehan” yang dilakukan oleh siswa laki-laki.
Meskipun narasi tersebut tampak netral, Camila mempertanyakan mengapa tubuh perempuan selalu dianggap sebagai satu-satunya masalah? Alih-alih menyoroti perilaku laki-laki yang tidak tahu batasan dan tidak tahu cara menghormati orang lain. Narasi ini menyoroti bahwa institusi pendidikan, secara tidak langsung, mempromosikan budaya yang menganggap tubuh perempuan sebagai objek yang harus dikontrol.
Camila menegaskan bahwa tubuh perempuan tidak seharusnya disalahkan atas lemahnya pengendalian diri laki-laki terhadap syahwatnya. Narasi kepala sekolah di atas seolah menyiratkan bahwa tubuh perempuan secara inheren “provokatif” dan harus dikontrol untuk melindungi lingkungan Pendidikan. Sementara laki-laki dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk menghormati orang lain dan tidak melanggar batasan yang membuat seseorang kehilangan otonomi tubuhnya.
Orenstein mengungkapkan aturan berpakaian tidak hanya membatasi kebebasan berekspresi perempuan, tetapi juga mengajarkan bahwa tubuh mereka adalah sumber masalah. Ia mengutip pengalaman beberapa remaja perempuan yang merasa dihakimi atau dihukum karena pakaian mereka. Meskipun pakaian mereka sering kali telah sesuai dengan tren mode yang dipromosikan oleh budaya populer.
Misalnya, rok pendek atau atasan ketat, yang dianggap “tidak pantas” di sekolah, acap kali mencerminkan gaya trendi yang diiklankan oleh merek pakaian atau selebriti tertentu. Kontradiksi ini menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit. Mereka didorong untuk selalu tampil modis dan menarik, tetapi dihukum jika dianggap “terlalu seksi”.
Orenstein menghubungkan aturan berpakaian dengan budaya victim blaming yang mengajarkan perempuan untuk bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka terima. Menurutnya narasi ini tidak hanya merugikan perempuan dengan membatasi otonomi tubuh mereka. Melainkan merupakan bukti bahwa budaya populer telah gagal mendidik laki-laki tentang pentingnya persetujuan dan sikap saling menghormati. Dengan demikian, aturan berpakaian menjadi mekanisme yang mempertahankan dinamika kekuasaan patriarkal dalam lingkungan pendidikan.
Meminjam Analisis Foucault
Pandangan Orenstein tersebut sejalan dengan pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish terutama konsepnya tentang kekuasaan, disiplin, dan pengawasan.
Foucault menulis bahwa kekuasaan modern tidak hanya berjalan melalui penindasan langsung, tetapi juga melalui mekanisme disiplin yang halus. Seperti pengawasan (surveillance) dan normalisasi, yang membentuk perilaku individu agar sesuai dengan norma sosial yang disepakati.
Dalam konteks aturan berpakaian yang telah Orenstein singgung sebelumnya, Foucault akan melihat kasus tersebut sebagai bentuk “disiplin tubuh”. Tujuannya untuk mengendalikan tubuh perempuan melalui pengawasan konstan dan penegakan norma.
Untuk memperkuat argumen tersebut, Foucault memperkenalkan konsep panopticon. Sebuah model penjara imajiner yang membuat tahanan selalu merasa diawasi, sehingga mereka mengatur perilakunya untuk menghindari hukuman. Dalam lingkungan sekolah, aturan berpakaian pada dasarnya berfungsi sebagai mekanisme panoptik. Guru, staf sekolah, dan bahkan teman sebaya bertindak sebagai agen pengawasan yang memantau pakaian perempuan untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan.
Seperti digambarkan Orenstein melalui kisah Camila, perempuan terus-menerus dinilai berdasarkan penampilan mereka. Rok yang “terlalu pendek” atau atasan yang “terlalu ketat” dapat mengakibatkan teguran, hukuman, atau bahkan pengusiran dari kelas. Akibatnya, perempuan menginternalisasi pengawasan ini dan belajar untuk memeriksa diri mereka sendiri sebelum meninggalkan rumah. Memastikan pakaian mereka tidak akan dianggap “tidak sopan”.
Proses ini menurut Foucault adalah bentuk self-discipline. Individu menjadi agen pengendalian diri mereka sendiri, memperkuat norma budaya tanpa perlu intervensi langsung.
Foucault juga berargumen bahwa kekuasaan modern bekerja melalui “normalisasi” yaitu proses ketika norma sosial tertentu diterima sebagai standar yang “benar” atau “alami”. Dalam kasus aturan berpakaian, narasi bahwa tubuh perempuan harus dikontrol untuk mencegah “pelecehan” dinormalisasi melalui kebijakan sekolah dan wacana pendidikan.
Baca juga: Mitos: Belajar Seksualitas Membuat Siswa Ingin Mencoba Hal Tabu
Orenstein menyoroti bahwasanya pernyataan kepala sekolah Camila—yang menyiratkan bahwa tubuh perempuan secara inheren mengganggu—mencerminkan norma patriarkal yang menganggap seksualitas perempuan sebagai ancaman yang harus diatur. Mengacu pada Foucault, ini adalah contoh biopower, yakni institusi mengendalikan tubuh individu untuk menjaga ketertiban sosial.
Dengan menyalahkan tubuh perempuan, sekolah tidak hanya mendisiplinkan perempuan, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa laki-laki “tidak dapat” dan “tidak perlu” mengendalikan hasrat mereka. Karena pada akhirnya kesalahan ada pada perempuan, ini jelas sebuah asumsi yang mempertahankan hierarki gender.
Meskipun Foucault menekankan bahwasanya kekuasaan membentuk subjek, ia juga mengakui bahwa kekuasaan tidak pernah total. Sebaliknya akan selalu ada ruang untuk perlawanan. Dalam kerangka pemikiran Foucault, perlawanan muncul ketika individu menantang diskursus atau praktik disiplin yang membentuk mereka.
Kisah Camila Ortiz adalah contoh nyata dari perlawanan ini. Dengan mempertanyakan pernyataan kepala sekolahnya, Camila menolak narasi victim blaming yang menempatkan tubuh perempuan sebagai sumber masalah. Ia menuntut agar sekolah mengalihkan fokus dari pengendalian tubuh perempuan ke pendidikan tentang tanggung jawab bagi laki-laki.
Dalam perspektif Foucault, perlawanan Camila merupakan upaya untuk menciptakan counter-discourse, yaitu narasi alternatif yang menantang norma dominan. Dalam hal ini, counter-discourse Camila menegaskan bahwa tubuh perempuan bukanlah objek yang harus diatur, melainkan ekspresi identitas individu yang memiliki hak atas otonomi tubuhnya.
Orenstein memperkuat poin ini dengan menyoroti bahwasanya tindakan Camila menginspirasi perubahan kecil di sekolahnya. Seperti diskusi tentang reformasi aturan berpakaian di sekolah, yang menjadi bukti bahwa perlawanan individu memiliki dampak yang lumayan. Namun menurut Orenstein perlawanan Camila sering kali dibatasi oleh struktur kekuasaan yang lebih besar, seperti budaya populer dan ekspektasi institusional.
Baca juga: Mitos, Perempuan dengan Baju Terbuka Adalah Perempuan yang Merangsang Pelecehan Seksual
Orenstein menyoroti bahwa budaya populer mempromosikan narasi-narasi yang mengobjektifikasi perempuan; menganggap tubuh mereka sebagai sumber godaan yang harus dikontrol. Norma budaya semacam ini hadir di mana-mana (omnipresent). Seperti iklan yang menggambarkan perempuan sebagai simbol seksual. Atau wacana sehari-hari yang menormalisasi pelecehan seperti catcalling, yang memperkuat gagasan bahwa tubuh perempuan adalah milik publik, bukan milik perempuan itu sendiri.
Dalam kasus Camila, meskipun ia menentang aturan berpakaian sekolah, aturan tersebut akan tetap hidup dalam budaya yang terus-menerus menilai perempuan berdasarkan penampilannya. Kontradiksi ini menciptakan lingkungan dengan perlawanan individu, seperti tindakan Camila, sulit mengubah norma budaya yang mendasarinya.
Perlunya Perubahan Sistemik
Orenstein juga menyebutkan bahwa sekolah, sebagai institusi, memiliki kekuatan yang besar untuk mempertahankan status quo patriarkal. Aturan berpakaian sekolah, yang tampaknya netral, sebenarnya dirancang untuk mengatur tubuh perempuan demi menjaga “ketertiban” lingkungan belajar. Pernyataan kepala sekolah Camila mencerminkan ekspektasi institusional bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas potensi pelecehan seksual yang terjadi.
Karena itu, meski Camila berhasil memicu diskusi kritis di sekolahnya, Orenstein menekankan bahwa perubahan sistemik akan menemui tantangan lebih besar. Terutama terhadap struktur kekuasaan yang lebih luas, seperti kurikulum pendidikan, guru, dan kebijakan administratif. Perubahan sistemik ini misalnya mereformasi aturan berpakaian atau mendorong terciptanya pendidikan gender yang inklusif di sekolah.
Tanpa perubahan dalam struktur kuasa tersebut, perlawanan individu tetap terbatas, karena institusi cenderung melindungi norma yang sudah mapan. Maka dari itu, bagi Orenstein perlawanan orang-orang seperti Camila, meskipun berani, sering kali hanya menghasilkan perubahan kecil dan sementara. Karena struktur budaya dan institusional yang mendukung objektifikasi perempuan jauh lebih kuat dan sulit diubah.
(Editor: Anita Dhewy)