Sedari pagi pada 21 Juni 2025, orang-orang sudah memadati depan kediaman Joko Widodo (Jokowi) di Jalan Kutai Utara, Banjarsari, Solo.
Mereka adalah warga dan relawan yang hendak merayakan ulang tahun Jokowi yang ke-64 tahun. Berbagai karangan bunga ucapan ulang tahun pun berderet di depan rumah presiden RI ke-7 itu.
Sejumlah media menyebut, saat Jokowi didampingi Iriana keluar rumah pada sekitar pukul 11.20 WIB, mereka yang hadir riuh menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”. Doa-doa atas kesembuhan Jokowi pun dirapal. Jokowi terekam kamera tampak tengah sakit. Kulit wajah dan badannya seperti ada bercak kehitaman. Pernyataan pihak Jokowi bilang kalau dia sakit alergi yang menyebabkan peradangan. Namun, muncul pula dugaan itu penyakit autoimun.
Sedekade kepemimpinan Jokowi telah menimbulkan luka yang menganga bagi demokrasi di Indonesia. Para aktivis mencatat, ada lebih dari satu juta orang yang kehilangan nyawanya akibat pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya (EKOSOB) di masa pemerintahan Jokowi, data ini terungkap hasil riset The Institute for Ecosoc Rights dalam diskusi “Mati Sunyi Satu Dekade” pada Februari 2025.
Riset menyebut, satu dekade Joko Widodo menjabat presiden, sebanyak 1.014.382 orang kehilangan nyawa akibat pelanggaran hak Ekosob. Sebanyak 262.491 orang mengalami kematian di periode pertama dan angka itu bertambah hampir 3 kali lipat di periode kedua, yaitu 751.891 nyawa.
Baca Juga: Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Aktivis Tuntut Pengadilan Publik untuk Jokow
Riset The Institute for Ecosoc Rights menemukan, berbagai penyebab kematian yang terjadi. Di antaranya, karena wabah atau infeksi penyakit menular, kecelakaan kerja, kualitas layanan kesehatan yang buruk, perusakan lingkungan dan bencana, kemiskinan, kelaparan, tekanan ekonomi, perdagangan orang, kelelahan akibat menjadi petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) saat pemilihan umum, hingga proyek pembangunan infrastruktur.
Narasi pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan selama dua periode Jokowi justru berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di lapangan. Alih-alih menjadi alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemegahan proyek-proyek, seperti pembangunan jalan tol dan perluasan kawasan industri hanya menjadi kemegahan semu yang menyembunyikan kasus pelanggaran hak EKOSOB.
Dalam praktik di lapangan, pembangunan ini dilakukan dengan skala yang masif dan agresif, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat di kawasan sekitar.
“Kebijakan Jokowi ini menempatkan nilai uang jauh lebih tinggi daripada nilai kehidupan. Ini dampak kematian salah satunya karena itu. Targetnya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerintahan Jokowi tetap gagal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang dicapai juga tidak inklusif,” papar peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi dalam diskusi yang diikuti Konde.co pada Februari 2025 lalu.
Proyek infrastruktur yang dilaksanakan dengan skema Proyek Strategi Nasional (PSN) dan hilirisasi pertambangan tak mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata. Pelaksanaannya hanya memperburuk kondisi sosial di banyak daerah karena tak cukup inklusif dalam merangkul semua tatanan kelas ekonomi, kelompok miskin dirugikan lagi dengan menyingkirkan mereka dari peluang ekonomi.
Ragam temuan terkait kebijakan ekonomi yang serampangan pun diperkuat oleh pendapat Bivitri Susanti, Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara, yang turut hadir menjadi pembicara pada diskusi tersebut. Menurutnya, kematian masif akibat pelanggaran hak EKOSOB ini dilakukan secara sengaja oleh pemerintah.
Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran
Orientasi pemerintah terhadap pembangunan ekonomi tidak berada dalam konotasi yang positif. Pembangunan yang dilakukan hanya dilihat secara linear—satu arah—yang hanya melihat naiknya angka pertumbuhan ekonomi dengan mengesampingkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi.
Padahal model pertumbuhan ekonomi seperti itu sudah banyak dikritik sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, menurut Bivitri pada era pemerintahan Jokowi masih terus menggunakan model tersebut karena dinilai lebih mudah untuk mendapatkan modal dan kekuasaan sebagai timbal baliknya bagi para pemodal besar.
“Misal (pemerintah) mau bangun jembatan, bangun Rempang Ecocity, gusur saja orang dari situ. Yang penting dalam catatan statistik, pertumbuhan ekonominya naik. Tapi di (negara) kita masih dipakai terus karena itu nyaman bagi pemerintah untuk mengejar keuntungan ekonomi. Ini sengaja (dilakukan), intentional, karena akan menguntungkan secara ekonomi politik bagi kelompok yang berkuasa,” tutur Bivitri.
Kebijakan sosial dalam bentuk program bantuan sosial (bansos) dan hibah desa pun tak memadai untuk mengentaskan kemiskinan. Program bansos hanya menjadi solusi sementara yang tak menyentuh akar permasalahan. Bantuan yang bersifat sementara berbanding terbalik dengan dampak buruk yang bersifat permanen: kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan hilangnya mata pencaharian.
Pembangunan ekonomi yang ugal-ugalan memang pada akhirnya hanya akan menciptakan lingkaran baru kemiskinan. Di samping itu, pemerintahan Jokowi dalam satu dekade terakhir malah mengklaim bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun. Akan tetapi angka yang menurun itu tak sejalan dengan realitas yang terjadi di masyarakat.
Baca Juga: Putusan MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?
Pemerintah menggunakan metode dengan indikator pengukuran yang terlalu rendah. Hal itu tidak sejalan dengan status Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah. Akibatnya, banyak masyarakat yang sebenarnya berada di kelompok ekonomi kelas bawah tidak masuk ke dalam kategori miskin.
“Kita berulang kali mendengar bahwa angka kemiskinan turun, angka pengangguran turun, tapi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran itu nggak ada maknanya karena angka kemiskinan dan pengangguran diukur dengan indikator yang paling rendah. Tidak sesuai dengan status indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah,” tukas Sri Palupi.
The Institute for Ecosoc Right melaporkan bahwa adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terhadap kasus satu juta kematian pelanggaran hak EKOSOB di satu dekade Jokowi. Munculnya indikasi tersebut mengacu pada kerangka kerja HAM yang telah ditetapkan oleh para ahli HAM sesuai yurisdiksi internasional maupun regional. Terdapat lima komponen yang menjadi persyaratan untuk disebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Pertama, komponen kualitatif, yaitu mengukur pelanggaran yang terjadi pada hak hidup—yang tak bisa ditangguhkan dalam kondisi apapun. Komponen ini menitikberatkan pada tingkat keseriusan dan kekejaman yang terjadi akibat negara lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan menyelamatkan nyawa warganya.
“Kurang kejam apa seorang bapak yang tidak mampu beli beras dan mengalami tekanan ekonomi, (sehingga) tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup primer keluarganya, dia mengiris perutnya sendiri dan memotong ususnya karena kelaparan. Membiarkan orang mati karena kelaparan. Bayangkan penderitaan macam apa yang mereka alami,” jelas Sri Palupi.
Kedua, komponen kuantitatif, mengukur pelanggaran hak hidup terhadap masifnya kasus yang terjadi pada banyak hak, yaitu semua hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta beberapa hak sipil-politik, seperti hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak untuk bebas dari perbudakan.
Baca Juga: Selamat tinggal Jokowi, Selamat datang Mulyono di Masa Oligarki dan Dinasti
Ketiga, komponen waktu yang melihat bagaimana pelanggaran hak EKOSOB ini mengalami peningkatan di periode kedua Jokowi. Negara gagal untuk menghentikan hilangnya nyawa-nyawa itu, yang ada justru bertambah hampir tiga kali lipat dari periode pertama.
Keempat, komponen perencanaan dengan melihat bahwa kasus kematian yang terjadi bukan suatu kebetulan, melainkan suatu pelanggaran yang terjadi secara sistematis. Ini dapat dilihat bagaimana banyak lembaga negara secara aktif mendukung atau tidak mengambil sikap atas kebijakan-kebijakan yang ada.
“Kita menilai bahwa pelanggaran itu dilakukan secara terencana. Membuat kebijakan kan harus direncanakan, nggak tiba-tiba besoknya langsung disahkan. Contohnya dalam undang-undang cipta kerja. Itu sangat sengaja kok menghabisi hak-hak dasar warga demi investasi. Jadi unsur perencanaan itu ada. Pelanggaran hak hidup terjadi secara sistematis dan itu terbukti dimana segenap lembaga negara terlibat atau dilibatkan,” ungkap Sri Palupi.
Komponen terakhir melihat bagaimana negara gagal mengadili pelaku pelanggaran HAM berat dan mencegah agar hal itu tidak terjadi lagi. Dalam sebuah negara yang ideal, seharusnya peran negara sebagai pengadil para pelaku pelanggaran HAM.
Hanya saja, dalam kasus kematian masif di era 10 tahun Jokowi ini, negara lah yang justru menjadi pelakunya dengan Jokowi sebagai tokoh utama. Negara tak memiliki keinginan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM karena lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengadili kasus kejahatan HAM, sudah dikooptasi dan berada di bawah kuasa Jokowi.
“Berbeda dengan hak sipil-politik, pelanggaran hak EKOSOB itu menyangkut kebijakan, maka di sini pelakunya ada negara, tetapi dalam hal ini Jokowi adalah tokoh sentralnya. Jadi pelaku pelanggaran HAM berat ini (adalah) negara dan Jokowi dalam hal ini kontribusinya paling besar, maka dia adalah pelaku sentralnya,” katanya.
Pemerintahan Prabowo dengan Bayang-Bayang Jokowi
“Kita berharap pelanggaran HAM berat ini akan dihentikan oleh pemerintahan yang baru, tetapi harapan itu pupus setelah kita menilai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan yang baru”.
Kalimat itu dituturkan oleh Sri Palupi saat memasuki bahasan soal pemerintahan Prabowo. Melalui prinsip keberlanjutan yang dianut, muncul kekhawatiran bahwa Prabowo hanya akan melanjutkan ke-ugal-ugalan Jokowi dalam membuat kebijakan yang berorientasi pada ekonomi dengan mengabaikan hak-hak warganya.
Sejak hari pertama menjabat, beberapa langkah yang diambil Prabowo mengundang banyak kemarahan. Salah satunya pembentukan kabinet yang gemuk. Pemerintahan Prabowo membuat program yang berkaitan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran yang besar.
Ironisnya, di saat yang bersamaan, Prabowo malah membentuk kabinet gemuk yang membawa konsekuensi pada inefisiensi dan kebutuhan anggaran besar untuk belanja pegawai, biaya operasional, dan pembangunan kantor bagi belasan kementerian dan badan baru.
“Tapi di saat yang sama ia membentuk kabinet (yang) jumbo. Jadi, bagaimana program-program Jokowi (re: kebijakan pembangunan ekonomi) akan dihentikan gitu?” ucap Sri Palupi.
Baca Juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma
Dalam 100 hari jabatannya pun pemerintahan Prabowo sudah banyak mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, khususnya soal efisiensi anggaran. Kebijakan ini menimbulkan banyak polemik karena efisiensi yang terjadi justru memangkas anggaran dari kementerian-kementerian yang berkaitan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Sedangkan, anggaran Kementerian Pertahanan dan DPR tak mengalami pemangkasan dengan alasan stabilitas pemerintahan.
“Tapi, DPR dan (Kementerian) Pertahanan, itu tidak dipangkas. Sementara, kementerian yang terkait langsung dengan pemenuhan kebutuhan hak dasar rakyat, itu dipangkas. Contoh, Kementerian Pendidikan, yang menyangkut urusan pendidikan dasar. Padahal di situ ada kewajiban negara untuk menjalankan program Wajib Belajar Sembilan Tahun,” tukas Sri Palupi.
Belum lagi, Prabowo menarget pertumbuhan ekonomi di angka delapan persen. Angka ini melebihi target yang dibuat oleh Jokowi, yaitu tujuh persen. The Institute for Ecosoc Rights dalam laporannya menyatakan kekhawatiran bahwa hak-hak dasar warga akan akan terus dikorbankan dan semakin terabaikan demi capaian ekonomi.
“Jokowi tujuh persen kayak gitu, ini delapan persen. Bagaimana nilai kehidupan ini tidak dikalahkan oleh upaya untuk mengejar delapan persen. Dengan cara apa delapan persen itu dikejar?” tuturnya.
Perbincangan soal angka kematian akibat pelanggaran hak EKOSOB tak sepopuler saat membicarakan kematian akibat pelanggaran hak sipil-politik, bahkan menurut Bivitri kerap kali kematian akibat pelanggaran hak EKOSOB dianggap sebagai “takdir” yang tak etis untuk dipertanyakan. Akibat minimnya sorotan, kajian yang secara khusus membahas kematian korban pun belum ada.
Bivitri Susanti menilai bahwa minimnya sorotan terhadap upaya pemenuhan hak EKOSOB ini, salah satunya terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terkait hak-hak mereka sendiri. Bivitri menilai bahwa masyarakat Indonesia kerap kali tidak menyadari peran dari sebuah negara.
Banyak masyarakat yang justru bangga karena bisa bertahan di kehidupan yang susah dan malah melihat ini sebagai ajang bertahan hidup. Padahal, penting untuk memahami bahwa penyelenggara negara memiliki tugas utama untuk melindungi dan menghormati hak-hak kita.
Terbatasnya pemahaman masyarakat soal peran negara sebenarnya merupakan buah dari ajaran pendidikan kewarganegaraan yang tak menanamkan konsep-konsep soal hak asasi. Pendidikan kewarganegaraan yang didapat sejak menduduki bangku sekolah dasar hanya mengajarkan soal patriotisme dan nasionalisme sempit. Tanpa melihat bahwa pemenuhan hak warga menjadi relasi antara warga dengan negaranya.
“Civic education (pendidikan kewarganegaraan) basisnya hak. Sistem pendidikan di negara kita nggak terbiasa ngomongin bahwa warga itu punya hak. Relasi antara warga dengan negara ada pada hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negara,” ujar Bivitri.
Baca juga: Pencinta Kucing sampai Joget Gemoy, Gimik Gaet Gen Z ini Ampuh Menangkan Prabowo- Gibran
Paparan dan diskusi dari riset The Institute for Ecosoc Rights menjadi fakta bahwa kebijakan, program, dan proyek pembangunan yang dijalankan pemerintahan Jokowi sarat akan pelanggaran HAM yang membuat masyarakat miskin semakin terpinggirkan. Hak untuk hidup yang seharusnya menjadi hak minimum seolah jauh dari genggaman.
Minimnya pemberitaan media dan sorotan warga pun menjadi teguran bagi masyarakat untuk lebih peduli dan mengawal kebijakan pemerintah dari sisi pemenuhan hak EKOSOB.
Nyawa manusia tidak seharusnya menjadi harga yang harus dibayar hanya untuk mengenyangkan perut oligarki. Namun, selama pemerintah terus mengesampingkan hak hidup masyarakat demi pembangunan ekonomi, maka kematian akibat pelanggan hak EKOSOB akan terus terjadi.
(Editor: Nurul Nur Azizah)
(Sumber Gambar: FIN News)