Otina dan Nanga-Nanga: Catatan Harian Rukiah Dan Sejarah yang Tak Diajarkan di Sekolah

Aktivis perempuan, Magdalena Sitorus, kembali menuliskan cerita tentang perempuan penyintas 1965. Kali ini, dia mengangkat cerita tentang sebuah kampung di Sulawesi Selatan yang dicap sebagai ‘Kampung PKI’ bernama Nanga-nanga. Di sana, ada sosok bernama Rukiah yang kala itu aktif sebagai sekretaris Gerwani.

Jika kita mencari penulis perempuan yang setia menggali tentang ‘sejarah tersembunyi’ perempuan penyintas 1965, jawabannya Magdalena Sitorus. 

Buku yang ditulis Magdalene Sitorus adalah buku yang tak diajarkan dalam sejarah di sekolah. Maka kehadiran buku ini menjadi penting untuk dibaca.

Magdalena Sitorus adalah aktivis perempuan yang kemudian banyak menulis tentang kisah perempuan penyintas peristiwa 1965. Sederet bukunya mulai dari Onak dan Tari di Bukit Duri, Jiwa-jiwa Bermartabat, Lima Puan dalam Pusaran Kelana, Damai di Penghujung Senja, hingga terbaru berjudul Otina dan Nanga-Nanga. 

Semua buku itu menceritakan tentang perempuan penyintas 1965 di akar rumput. Mereka banyak yang jarang, bahkan tidak pernah muncul di narasi penulisan sejarah. Magdalena menyebut ini sebagai menggali sejarah dari ‘bawah’. 

Buku “Otina dan Nanga-Nanga Catatan Harian Tentang Rukiah” adalah buku yang menceritakan tentang Rukiah, seorang perempuan yang menjadi korban peristiwa politik di Indonesia pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Buku ini mengungkap sisi kelam dari kampung Nanga-Nanga yang menjadi tempat pembuangan. Menyoroti pengalaman Rukiah sebagai seorang perempuan penyintas, serta perjalanan hidupnya dalam sejarah gerakan kiri perempuan di Indonesia serta bagaimana pengasingan seorang perempuan yang berakibat bagi nasibnya sebagai individu dan keluarganya.

Sumber: pojokcerpengrup.com

“Saya coba memfokuskan perempuan yang tidak pernah diangkat di permukaan. Tapi itu juga bagian sejarah. Saya ingat lagi Pak John Roosa, salah satu yang memberikan endorsement soal menggali sejarah dari bawah. Itu yang memberi semangat saya,” ujar Magdalena Sitorus dalam diskusi bukunya Otina dan Nanga-nanga yang diselenggarakan oleh LETSS Talk, 14 Juni 2025.

Baca juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965

John Roosa merupakan penulis buku ‘Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Dia juga adalah seorang sejarawan University of British Columbia, Kanada. Dengan semangat itulah, Magdalena sampai kini terus menulis tentang perempuan penyintas 65. Terlebih, di tengah rezim yang ingin menuliskan sejarah secara tunggal dan “menghapuskan” sejarah perempuan ini. 

“Saya ingat, Fadli Zon bicara ‘kita harus mengangkat yang positif, tidak boleh memecah belah, sementara sejarah itu kan faktual. Bahwa itu menyakitkan atau tidak menyakitkan, faktanya harus dibuat. Mungkin ini bagian dari sejarah alternatif, saya menuliskan, tuturan langsung dari penyintas itu sendiri.” 

Otina dan Nanga-Nanga: Catatan Harian tentang Rukiah, jadi buku barunya yang terbit di tahun 2025 ini. Perjumpaan Magdalena dengan Rukiah tidak terjadi serta-merta, namun dari proses panjang. Saat itu, Magdalena tengah menggarap bukunya tentang para perempuan eksil di beberapa negara. Di Perancis, narasumbernya menyebutkan nama Nanga-Nanga yang dicap sebagai Kampung PKI. 

Berawal dari informasi itu, Magdalena kemudian menyisir informasi. Seperti halnya gerakan sosial, informasi dari para penyintas 1965 itu akhirnya jalin-menjalin. Hingga, dia bisa menjumpai sosok perempuan bernama Rukiah. 

Rukiah adalah Sekretaris Gerwani paling muda di Sulawesi Tenggara. Ia memperjuangkan perempuan untuk merebut haknya. Sebelum akhirnya Ia “diasingkan” di sebuah kampung di Kendari yang dulunya bernama Nanga-Nanga. 

Saat itu, sekitar tahun 1979 saat semua tahanan politik dibebaskan, termasuk di Plantungan. Magdalena mengungkap, ada telegram dari Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) yang mengklaim sudah menyiapkan 1.000 hektare di Kendari, Sulteng, yang bernama Nanga-Nanga. Selain tanah yang saat itu masih berupa hutan belantara, mereka juga dijanjikan rumah.

Baca juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir

“Jadi, sudah dibayangkan 500 tahanan, satu orang dapat 2 hektare. Tapi pada prosesnya ternyata hanya 42 orang yang tinggal di sana. Alam memang memberikan kebutuhan pangan di sana, masih ada ikan. Tetapi, kampung itu kemudian dicap ‘Kampung PKI’. Kalau orang dulu tinggal di Nanga-Nanga, pada alergi,” terangnya. 

Seiring modernisasi, kawasan kampung yang dikelilingi hutan bernama Nanga-Nanga itu, kini telah menjadi kawasan komersial. Terlebih, saat Joko Widodo jadi presiden dan menyulap jalannya menjadi aspal diiringi pembangunan masif tol. Nama Nanga-Nanga pun, juga tak ada dalam peta. Sebab kini telah berubah menjadi Jalan KS Tubun. 

“Sekarang yang diperjuangkan, apakah memungkinkan dibuat memorialisasi bahwa Nanga-Nanga pernah ada menjadi ‘Kampung PKI’.”  

Dari proses sejarah yang menimpanya, di awal pertemuannya, Rukiah tak langsung setuju jika kisahnya dituliskan dalam buku. Masih ada ketakutan-ketakutan, jika hal buruk dimungkinkan terjadi. 

“Awalnya nggak (mau). Saya bukannya orang yang memaksa, saya hormati apapun keputusannya. Apa yang dikatakan adalah pemerintah sekarang mereka belum merasa nyaman dan masih melihat kalau dituliskan kekhawatirannya bisa menyebabkan hal yang buruk: jangan-jangan aku ditangkap lagi,” terang Magdalena. 

Beberapa tahun lalu, saat Joko Widodo yang kala itu jadi presiden mengeluarkan Keppres 17 Tahun 2022, mereka pun tak langsung percaya dan mempertanyakan. Meski tujuan Keppres itu untuk mendata para penyintas supaya bisa mendapatkan ‘dukungan’ seperti jaminan kesehatan. Sehingga, mereka tidak mau mendaftarkan anak-anaknya, karena khawatir ada kebijakan politik yang berubah dan imbasnya ke keluarganya.

Baca juga: Memeluk Perdamaian, Menerima dan Membuka Identitas, Mengakui Dosa Bangsa: Pengalaman Beragama Perempuan Penyintas Tragedi 1965

“Ketakutan-ketakutan itu masih melekat, berarti kan, pengalaman masa lalu begitu beratnya. Sampai sekarang tidak bisa dihapus,” katanya. 

Untuk memperoleh kepercayaan Rukiah, Magdalena pun menyatakan bahwa proses pembuatan buku ini tidak ada sokongan atau afiliasi dana dari manapun. Sehingga potensi ada intervensi siapapun akan minimal. Di samping, dia juga berjanji akan memberikan draf tulisan untuk Ia bisa koreksi.

“Itu yang membuat waktunya cukup lama. Sampai mereka setuju dan membuat statement bahwa setuju untuk diterbitkan,” imbuhnya. 

Penulisan ‘Otina dan Nanga-Nanga’ tak hanya mengajak Magdalena menjumpai sosok Rukiah dan cerita ‘Kampung PKI’. Namun, Ia juga bertemu dengan para generasi penerus Rukiah yang mengalami diskriminasi berlapis karena dikaitkan PKI. Mereka bukan hanya dikucilkan secara sosial, namun sulit mengakses pendidikan hingga pekerjaan yang layak akibat stigma buruk itu. 

Magdalena juga bertemu dengan generasi kedua dari Rukiah, yang pada saat kecilnya pernah tinggal di Nanga-Nanga. Mereka kini berusia sekitar 40 hingga 50 tahun. Akibat stigma PKI yang dilekatkan, mereka banyak yang tersisih dalam mendapatkan pekerjaan formal, sehingga bekerja informal seperti tukang. 

Mereka berharap, pemerintah ambil peran konkret dalam penghapusan berbagai diskriminasi yang mereka alami, termasuk pembatasan pendidikan dan ekonomi, dengan dalih adanya cap sebagai PKI. 

Deretan Seri Perempuan Penyintas 1965

Sebelum ini, buku pertama Magdalena Sitorus yang membahas kisah penyintas 1965 berjudul “Onak dan Tari di Bukit Duri”. Buku ini menceritakan tentang Utati, seorang perempuan penyintas 1965. 

Utati adalah anggota Pemuda Rakyat yang 11 tahun ditahan di Rutan Bukit Duri. Utati juga anggota Paduan Suara Dialita.

“Dia ditahan walaupun tidak bersalah. Dia memang anggota Pemuda Rakyat dan tidak berpolitik. Kegiatannya sebagai anak muda hanya menari, menyanyi. Namun karena dianggap underbow PKI, akhirnya dia disasar,” jelas Magdalena dalam tulisan ‘Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965’ yang tayang di Konde.co.

Bagi Magdalena, penangkapan-penangkapan yang dilakukan waktu itu tanpa landasan. Para penyintas pun juga tidak diberi kesempatan untuk membela diri sebelum diadili.

“Sedangkan anggota PKI saja nggak layak diperlakukan seperti itu. Penangkapan-penangkapan itu tidak ada landasan. Mereka tidak pernah diadili, tidak pernah membela diri. Yang waktu itu diadili 2 atau 4 orang saja dari Gerwani. Selebihnya tidak ada pengadilan sama sekali,” ungkapnya.

Foto: Cover buku Onak dan Tari di Bukit Duri/iflegma.com

Rumah tahanan Bukit Duri adalah satu dari beberapa rumah tahanan perempuan untuk menampung tahanan politik 1965. Rutan ini sendiri kini sudah hilang jejaknya tak berbekas, berganti menjadi bangunan mall.

“Tidak ada memorialisasi Bukit Duri pernah menjadi rumah tahanan politik (Tapol). Banyak sekali tempat bersejarah yang dihilangkan. Memorialisasi menjadi satu hal yang diperjuangkan. Seperti rumah tahanan di Kamboja yang tidak dihilangkan, malah dipugar” jelas Magdalena.

Banyak tempat-tempat yang dulunya ditempati penyintas yang kini hilang. Magdalena menceritakan tentang kamp Plantungan di Kendal yang kini telah menjadi tempat wisata. Magdalena juga meminta Utati untuk mengingat dan menggambarkan dengan tangan peta rumah tahanan Bukit Duri di Jakarta.

Baca juga: Uchikowati: Perjuangan Ayahku Tak Diakui karena Dia Bersimpati pada PKI

“Ibu Utati mencoba menggambarkan seluk beluk Bukit Duri, ia mencoba mengingat dimana kamar mandi, aula, tembok luar. Jadi gambaran yang ada di buku itu adalah gambaran tangan yang coba diingat-ingat. Yang mereka perjuangkan adalah memorialisasi bahwa dulu pernah menjadi daerah PKI,” tegas Magdalena.

Buku kedua Magdalena adalah ‘Taburan Kebaikan di Antara Kejahatan’. Buku ini menceritakan Uchikowati, seorang anak mantan bupati Cilacap yang kedua orang tuanya juga ditahan karena dituduh sebagai bagian dari PKI. Uchikowati diasuh eyang putrinya selama kedua orang tuanya ditahan.

Terpisahnya Uchikowati dengan orang tuanya membuat dirinya kesulitan untuk bersekolah karena dianggap anak PKI. Uci baru bisa bersekolah setelah menikah. Saat kedua orang tuanya keluar penjara bukan berarti masalah selesai, karena memulai hidup baru setelah lama terpisah dan mendapat stigma bukanlah hal yang mudah.

Berawal lahir dan besar dari keluarga berkecukupan, masa depan anak-anak yang orangtuanya dicap PKI hancur. Seperti yang terjadi di Nanga-Nanga Kendari, ketika muncul stigma bahwa anak PKI tidak boleh sekolah dan bekerja, membuat anak-anak ini hanya bisa bekerja menjadi tukang bangunan.

“Ketika bapak ibu dilepaskan dan bertemu kembali. Bukan berarti masalah selesai, mereka dicap PKI, tidak bisa bekerja dll. Padahal orang tuanya dulu pegawai PU contohnya. Anak-anak tidak sekolah karena anak PKI. Harus ada surat keterangan berkelakuan baik kalau mau sekolah. Itu hanya gambaran sekilas, tapi masih banyak yang tercerai berai dengan keluarga,” jelas Magdalena.

Demikian juga bagi para eksil (orang-orang yang diasingkan saat peristiwa 65). Saat Magdalena ke Amsterdam menemui mereka, terungkap bahwa hidup mereka juga tak kalah sulitnya.

“Ada anak bekas Dubes Romania dan Vietnam. Karena dia temannya Soekarno, dan dia protes kenapa ada peristiwa ini. Akhirnya lari ke Tiongkok. Mereka diterima tapi tidak boleh bekerja, lalu mencari suaka ke Belanda.”

Mereka mengaku tidak tahu akan tinggal di mana ketika ingin pulang ke Indonesia. Penyintas Perempuan Mengalami Kekerasan Berlapis. 

Baca juga: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965

Buku ketiga Magdalena adalah tentang Sri Moehajati yang merupakan seorang mahasiswi kedokteran. Ayahnya adalah seorang pengusaha dan sering membantu masyarakat. Ketika peristiwa 1965 meletus, ayahnya ditangkap lalu dihilangkan, kemudian menyusul ibunya dan Moehajati ditangkap lagi.

Moehayati pun bersikeras mencari tahu makam ayahnya. Ketika sudah menemukan dan akan dimakamkan lagi ke suatu tempat, mereka mendapat protes masyarakat yang berkata: “PKI tidak boleh di sini”.

Menjadi perempuan penyintas 65, artinya adalah mengalami kekerasan berlapis. Magdalena menceritakan kehidupan perempuan penyintas ini sejak masa anak-anak.

“Yang sekolah ya anak laki-laki. Dari masa kecil sudah kelihatan bias gender. Saya tidak menampik tekanan penyintas laki laki juga berat. Namun perempuan lebih rentan.”

Mengalami pemerkosaan, martabat direnggut, hingga sulit mencari pasangan dialami oleh perempuan penyintas yang diwawancarai oleh Magdalena.

“Satu ibu yang bersaksi di IPT 65 di Den Haag dan sudah wafat, harus menghisap kemaluan laki-laki. Martabatnya direnggut. Dia sampai berkata: Kalau sampai keperawanan saya diambil, saya akan bunuh diri.”

Demikian juga saat cari pasangan, masyarakat menjuluki mereka sebagai ‘kelompok mambu (bau)’. “Mereka lebih baik mencari pasangan yang sama-sama penyintas. Kalau sama-sama penyintas tidak tanya-tanya lagi lah begitu bagi mereka” ujar Magdalena.

“Ada juga suaminya tidak bisa ditangkap, istri yang disandera. Hal ini menempatkan perempuan sebagai sandera” tambahnya.

Buku-buku Magdalena Sitorus tentang perempuan penyintas 65 (doc.pribadi Magdalena Sitorus)
Hentikan Stigma dan Luruskan Sejarah

Magdalena Sitorus memulai perjalanannya menemui dan menulis buku tentang penyintas 65 ini sejak tahun 2019. 

Dengan biaya sendiri dan tanpa tujuan mencari keuntungan, ia giat menelusuri korban-korban yang bersedia untuk dituliskan kisahnya.

Peristiwa tragis dalam politik Orde Baru di tahun 1965 yang menyisakan luka bagi para perempuan penyintas membuatnya mengabadikan pengalaman mereka dalam buku-buku yang mengungkapkan kekerasan, trauma, dan stigma yang dihadapi perempuan 65.

Magdalena dulunya adalah komisioner Komnas Perempuan. Di banyak perjumpaan dengan para perempuan 65 itulah yang kemudian membuatnya dekat dengan perempuan penyintas 1965. Pertalian hubungan Magdalena dengan para penyintas dimulai dengan Dialita (Di atas lima puluh tahun), sebuah paduan suara untuk perempuan penyintas 65. Dirinya yang kerap hadir sebagai representasi Komnas Perempuan mulai mengenal dan tertarik untuk menggali lebih dalam.

“Saya jadi berpikir ada nggak sih tentang mereka yang dituliskan. Jadi sasaran saya tentang perempuan yang bukan terkenal, yang belum pernah diangkat. Bukan hal mudah walaupun saya komisioner Komnas Perempuan. Butuh waktu lama juga” demikian ungkap Magdalena kepada Konde.co (20/9/2023).

Magdalena melakukan pendekatan melalui ketua Dialita untuk dikenalkan dengan para penyintas. Magdalena mengakui bukan hal yang mudah untuk mendapat kepercayaan dari penyintas.

Baca juga: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Banyak Perempuan Yang Dihilangkan Dan Tak Mendapat Keadilan

“Benar-benar saya melakukan ini sendiri, dana juga sendiri, bukan untuk saya juga, tapi berupa dukungan. Saya yakin kalau saya berniat baik akan dimudahkan semuanya. Buku saya yang sebelumnya ‘Semua Ada Waktunya’ dan 5 buku catatan harian disumbangkan untuk Pundi Perempuan. Buku seri penyintas kedua didukung Komnas Perempuan dan hasilnya untuk mendukung buku yang lain. Keuangannya bukan dipegang saya tetapi salah seorang penyintas. Karena tujuan saya buat buku itu memang bukan buat profit. Saya di Jogja dan ke Kendari ditemenin bu Uci, beliau kenal banyak penyintas karena dia sendiri juga penyintas. Banyak yang membantu, ada saja yang mau bergerak.”

Harapannya adalah untuk generasi muda, agar banyak yang mengerti peristiwa sebenarnya dari tragedi 1965.

“Saya pikir sudah waktunya dibuka. Harapan saya untuk anak muda karena mereka nanti yang pegang jabatan publik. Dengan keluarnya Keppres 17 Tahun 2022, saya berharap semua program itu terlaksana. Contohnya stigma, ini sifatnya abstrak tapi dampaknya besar. Kadang pemerintahan ganti, kebijakan ganti. Banyak yang masih berstigma, komunis dibilang atheis, padahal banyak orang komunis ini yang beragamanya taat sekali. Jadi harus dibedakan agama dan ideologi. Saya berharap pendidikan politik dan sejarah itu diluruskan. Stigma itu juga harus ditegakkan karena dampaknya turun menurun,” tutupnya.

Foto: Instagram Magdalena Sitorus

(Editor: Luviana Ariyanti)

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!