Memeluk Perdamaian, Menerima dan Membuka Identitas, Mengakui Dosa Bangsa: Pengalaman Beragama Perempuan Penyintas Tragedi 1965

Stigma ‘ateis’ dilekatkan pada para penyintas, eks-tapol, dan keluarga korban Tragedi 1965 dan tahun-tahun setelahnya; dianggap tidak bertuhan dan tidak taat beragama. Namun, Uchikowati dan Nani Nurani membuktikan bahwa mereka tetap beragama meski dilabeli ‘eks-tapol’ atau ‘keluarga eks-tapol’. Sebab siapalah manusia kecuali ciptaan Tuhan yang Maha Mengetahui?

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 bereskalasi menjadi tragedi yang lebih besar dan tercatat sebagai bagian dari sejarah kelam Indonesia. Ada generasi yang hilang; ribuan nyawa yang melayang; kepingan sejarah yang dibuang. Kata-kata seperti ‘komunisme’, ‘PKI’, dan ‘Gerwani’ menjelma label yang seakan menghalalkan berbagai tindakan terhadap orang yang disematkan kepadanya. Mereka dicap ateis, tidak bertuhan, tidak beradab, dan sebagainya.

Hal-hal yang terjadi setelah itu membentuk trauma kolektif; trauma yang diturunkan antar-generasi. Banyak orang dihukum, bahkan dibunuh—dibantai—tanpa diadili, semata-mata karena dituduh sebagai komunis atau terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukan hanya para korban, penyintas, dan eks-tahanan politik (eks-tapol) 1965 generasi pertama yang dihantui trauma. Keluarga dan orang-orang terdekat mereka, bahkan hingga 2-3 generasi setelahnya, mewarisi trauma dan stigma tersebut. Stigma juga sedikit-banyak berpengaruh terhadap proses mereka beragama.

Ini pengalaman Uchikowati Fauzia, anak eks-tapol serta Nani Nurani, eks-tapol, dalam menghayati agama sebagai perempuan yang lekat dengan sejarah 1965.

1. Uchikowati, 40 Tahun Menutupi Identitas Karena Dihantui Stigma

Uchikowati Fauzia, akrab disapa Uchi, adalah generasi kedua dari penyintas Tragedi 1965. Ia adalah putri bupati Cilacap periode 1958-1965, Djauhar Arifin Santosa yang ditahan pihak militer karena dituduh terlibat aksi Gerakan 30 September (G30S). Ayah Uchi bukan satu-satunya anggota keluarga besar Uchi yang distigma sebagai anggota PKI. Setidaknya ada 15 orang paman dan bibi Uchi dari sisi ayah yang, oleh rezim Orde Baru, dituduh terlibat gerakan itu. Uchi tidak ditahan, tapi stigma dan trauma diwarisinya dari generasi ayahnya. Trauma kolektif itu membayanginya selama berpuluh-puluh tahun.

Uchi beragama Kristen. Agama ini dianutnya sejak lahir, bukan setelah peristiwa 1965. Uchi menekankan fakta itu karena di tahun-tahun tersebut, para tahanan politik yang dituding bagian atau terafiliasi dengan PKI, Gerwani, dan sebagainya, harus memilih salah satu agama untuk dianut. Sebab, komunisme begitu diidentikkan dengan ateisme atau ‘tidak bertuhan’. 

“Karena mereka dianggap waktu itu, walaupun Islam, Islam ‘Abangan’, gitu,” kata Uchi saat dihubungi Konde.co, Rabu (12/6/2024). “Hanya satu-dua, lah, yang benar-benar menguasai (agama).”

Uchi mencontohkan, orang yang mengaku Islam saat itu wajib membuktikan dengan melakukan shalat. Sedangkan mbah Uchi di Cilacap menganut Kejawen. Suatu hari, ia mengatakan hendak menaruh padasan atau gentong air di sumur rumahnya. Itu untuk menandakan bahwa dirinya shalat sebagai Muslim.

BACA JUGA: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965

“Tapi kan, Mbah Kejawen, enggak pernah shalat.” Jelas Uchi, adiknya yang masih kecil saat itu berkata, “Ya udah, Mbah diam aja. Kalau kami bertiga kan, Kristen, jadi kami ke gereja. Mbah enggak usah takut.” Tetangga mbah Uchi pun tahu bahwa dirinya menganut Kejawen dan sudah sepuh. Jadi tidak ada yang mengusiknya atas kepercayaannya.

Sementara itu, aku Uchi, saat itu ibunya memegang urusan agama Kristen para tapol di penjara Bulu, Semarang. Penjara ini menjadi salah satu lokasi ‘transit’ penahanan tapol perempuan sebelum dipindahkan ke Kamp Plantungan. Di tahun 1975-1976, para tapol perempuan menjalani tes kadar ideologi. Beberapa digolongkan sebagai ‘die hard’ atau ‘K’, berarti dianggap masih memegang paham komunisme dan ideologi kiri yang kuat. Mereka pun dikirim kembali ke penjara Bulu untuk menjalani ‘edukasi’ lagi.

Uchi sendiri tidak mengalami langsung penangkapan dan penahanan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965; usianya saat itu masih remaja. Namun sepengetahuannya, proses pembaptisan para tahanan politik pada saat itu berbeda dengan pembaptisan yang biasa dilakukan di gerejanya.

“Membaptis tahanan politik itu… Kalau di gerejaku itu, kan, (biasanya) pakai baptis percik yang ditetesin di kepalanya sampai tiga kali,” terang Uchi. “Itu saking banyaknya yang mau dibaptis, sampai pakai selang. Karena tidak mungkin pendeta membaptiskan satu-satu. Karena itu sudah ratusan.”

“Jadi, kalau satu-satu kan lama banget, bisa sehari,” kata Uchi. “Terus akhirnya diambil jalan keluar itu. Ada yang ngucurin air, terus pendetanya ya, langsung membaptiskan secara massal. Dan itu hanya dilakukan ketika membaptis para tahanan politik 1965.”

Stigma Tertoreh Pada Surat Baptis

Tante Uchi, Soekarti, juga menjadi salah satu tahanan politik yang ditempatkan di Kamp Plantungan. Adik ayah Uchi itu adalah anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang terkait dengan PKI. Soekarti ditahan di Magelang, lalu dipindahkan ke Yogyakarta, Bulu, dan akhirnya Plantungan.

Berbeda dengan Uchi dan orangtuanya, sang tante tidak beragama Kristen sampai ditahan. Ia dibaptiskan Katolik saat berada di dalam penjara, dengan surat atas nama gereja yang membaptis. Sedangkan lokasi pembaptisan yang tertulis pada surat baptis adalah Lapas tempat penahanan. Ketika Soekarti bebas, seharusnya ia menjadi anggota paroki gereja Katolik, tapi menolak.

“Saya tanya, ‘kenapa Tante tidak mau menjadi salah satu anggota paroki?’ Karena di paroki itu, kalau mau beribadah di situ dan menjadi anggota, kan harus menyerahkan KK, KTP, dan surat baptis,” Uchi melanjutkan. “Ternyata alasan Tante, dia tidak mau menyerahkan surat baptis karena tempat pembaptisannya tertulis di LP Bulu, Semarang.”

Secara administratif, menulis nama Lapas sebagai lokasi pembaptisan memang sesuai. Namun, menurut Uchi, para rohaniwan tidak pernah memikirkan akibat yang ditimbulkan dari penulisan tempat itu. Ketika tapol bebas, stigma buruk akan senantiasa melekat pada dirinya seiring dengan nama Lapas yang tercantum pada surat baptisnya.

“Pihak gereja itu enggak paham bagaimana menghadapi para tahanan politik yang terintimidasi terstigma,” ucap Uchi. “Dan efek dari tulisan yang—benar, gitu, tulisan itu benar, enggak bohong—tapi efeknya nantinya seperti apa? Nah, itu kan, sudah jelas efek itu tergambar di tante saya.”

BACA JUGA: ‘Namaku Alam’, Kisah Tahanan Politik dalam Sejarah 1965

Uchi serta ayah dan ibunya telah memeluk agama Kristen dan menjadi anggota gereja sejak sebelum peristiwa 1965 terjadi. Maka soal penerimaan jemaat terhadap diri mereka yang dilabeli ‘eks-tapol’ dan ‘keluarga eks-tapol’, tidak begitu menjadi beban. Hal itu justru dipikul oleh orang-orang yang baru menganut agama setelah penahanan, seperti Soekarti. Stigma yang ditorehkan lewat surat baptisnya, memunculkan rasa tidak percaya kepada gereja. Tantenya sangsi bahwa gereja akan melindunginya sebagai mantan tahanan politik.

Di masa senja, Soekarti tinggal di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi di Kramat, Jakarta Pusat. Panti jompo ini didirikan oleh Taufiq Kiemas dan diresmikan oleh mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 8 Februari 2004, untuk para tahanan politik di era Orde Baru. Sejak pindah ke Jakarta hingga tinggal di panti, tante Uchi itu tetap menjalankan ibadah meski tidak menjadi anggota gereja.

Soekarti belakangan divonis kanker. Ada satu kekhawatirannya: bagaimana nanti kalau ia meninggal? Berhubung sang tante tidak punya anak, sebagai keponakan, Uchi berjanji akan mengurus segala kebutuhan tantenya.

“Kubilang, ‘nanti tante kalau meninggal, pasti aku urus, aku akan memakamkan tante menjadi satu liang lahat sama om.’ Terus kemudian, yang kedua, ‘tante akan aku semayamkan di rumah duka Carolus. Di sana akan dilayani oleh para pastor. Tante harus percaya sama aku,’” Uchi menirukan percakapannya dengan tantenya.

Uchi juga menceritakan persoalannya kepada Angel, temannya dari Persatuan Wartawan Katolik Indonesia. Kawannya pun turut membantu menyampaikan kondisi Soekarti kepada romo dan suster di Kramat. Soekarti akhirnya dilayani setiap minggu oleh romo dan suster tersebut di panti jompo. Bahkan kemudian, para eks-tapol beragama Katolik juga turut hadir dan melakukan komuni di panti. Hal itu membuat Uchi percaya: ketika seorang manusia menghadapi kesulitan dan memerlukan Tuhan, maka datanglah Tuhan kepadanya—tanpa memandang status orang itu.

Titik Balik

Meski Uchi tidak mengalami penahanan politik, statusnya sebagai keluarga eks-tapol tetap membuatnya dihantui stigma. Kenyataan bahwa keluarganya pernah menjadi tahanan politik membuatnya waswas, termasuk dalam beragama. Saat menjalankan ibadah agama, misalnya, Uchi kerap merasa diawasi. Tinggal di Cilacap yang merupakan kota kecil, cukup mudah menemukan orang mencurigakan, mungkin dari kepolisian, yang tiba-tiba hadir di gereja meski bukan Kristen.

Uchi pun baru berani menyatakan identitas dirinya pada tahun 2005—40 tahun sejak 1965. Meski sudah lama menjadi anggota gereja, pengurus di komisi, hingga aktivis, tak sepatah kata pun ia berani mengungkap identitasnya sebagai anak eks-tapol. 

“Kalau ada yang tahu aku, udah deg-degan gitu. Rasanya kayak, wah, udah enggak nyaman, lah. Padahal mereka cuma ngomong, ‘ah, aku tahu lho, siapa kamu. Aku kan, orang Cilacap.’ Kayak gitu itu aku udah deg-degan.”

Uchi tak punya cukup kepercayaan kepada para pemuka agama untuk menguak statusnya. Padahal, mestinya gereja menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi umatnya.

Titik baliknya di tahun 2005 berawal dari ajakan kawan-kawan Sastra Pembebasan untuk menulis buku antologi puisi dan cerpen. Mereka mendorong Uchi untuk turut menulis, sekaligus menandai 40 tahun sejak salah satu sejarah Indonesia paling kelam itu. Akhirnya, Uchi menulis tiga cerpen untuk buku yang kemudian diluncurkan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat itu.

BACA JUGA: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965

Rupanya proses menulis juga menjadi cara pemulihan trauma bagi Uchi. Banyak ingatan yang puluhan tahun terpendam, muncul begitu saja ketika ia menulis. Ia sampai menangis selama proses tersebut. “Ibaratnya luka kayak tersayat lagi,” ungkap Uchi.

Di sisi lain, menulis cerpen dalam buku yang diterbitkan untuk publik berarti juga membuka diri pada para pembaca. Uchi berusaha bersiap menghadapi hal itu. Dugaannya tepat: suatu hari, salah satu temannya dari gereja, yang bersuamikan pendeta, tiba-tiba datang ke rumahnya. Ia berkata kepada Uchi bahwa temannya dari Cilacap kenal dengan Uchi, serta bercerita tentang Nusakambangan. Uchi langsung menangkap maksudnya—kata ‘Nusakambangan’ menjadi titik berat karena ayahnya pernah ditahan di sana akibat tuduhan sebagai PKI.

Ia pun menyadari, jika temannya itu sudah mendengar tentang dirinya dan Nusakambangan, artinya kabar itu juga sudah menyebar di gereja. Akhirnya Uchi mendatangi seorang pendeta di gerejanya dan mengakui identitas yang selama 40 tahun ia sembunyikan, juga stigma dan trauma yang dirasakannya. Ternyata pendeta tersebut tidak keberatan, meski mungkin juga kaget akan pernyataan Uchi. Malah, pendeta itu meminta izin untuk menggunakan cerita-cerita Uchi menjadi salah satu khotbahnya, dengan mencontohkan dari isi Alkitab. 

Pengalaman Uchi lainnya adalah ketika ia berkawan akrab dengan salah satu anggota gereja. Pertemanan mereka amat karib dan sudah berlangsung selama 20 tahun, sampai Uchi memutuskan untuk mengungkap identitasnya di tahun 2005. Usut punya usut, suami sahabat Uchi pernah tinggal di suatu daerah di Medan, Sumatera Utara. Lingkungan yang sama dengan lokasi syuting film karya Joshua Oppenheimer, ‘Jagal’, yang menguak kisah para algojo saat membantai orang-orang tertuduh PKI dalam Tragedi 1965.

BACA JUGA: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali

Lelaki ini memang tidak seperti Anwar Congo, misalnya, yang terlibat langsung dalam pembunuhan. Namun ia aktif berdemo menuntut penghancuran PKI pada masa itu, sebelum pindah ke Jakarta dan menikah dengan sahabat Uchi. Maka keputusan Uchi untuk menceritakan identitas aslinya kepada sang sahabat juga akan berdampak pada suami sahabatnya.

Setelah berpisah gereja dan tidak mengobrol selama beberapa waktu, Uchi dan sahabatnya bertemu lagi. Kali ini, Uchi merasa tak bisa lagi menutupi soal dirinya dari sang sahabat. Setelah bercerita, sahabatnya toh tidak masalah; ia memang merasa ada sesuatu yang Uchi tutupi selama ini. Bahkan, kini sahabatnya mendukung aktivitas Uchi bersama Dialita Choir. Ia pun menyuruh suaminya meminta maaf kepada Tuhan, Uchi, dan korban Tragedi 1965 atas aksi-aksi yang dilakukannya pada masa itu. 

Dalam tragedi 1965 yang terjadi di beberapa daerah seperti Medan, Manado, dan Nusa Tenggara Timur, banyak orang Kristen melakukan intimidasi dan penyiksaan. “Jadi ya, bagaimana ketika kita sama-sama ibadah, coba? Ketika kita tahu, ‘wah, dia yang merusak rumahku’, ‘wah, dia yang menangkap ayahku’, misalnya kayak gitu. Itu kan cukup mengganggu,” tukas Uchi.

BACA JUGA: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Banyak Perempuan Yang Dihilangkan Dan Tak Mendapat Keadilan

Penghakiman dari lingkungannya di Cilacap, membuat Uchi merasa harus sangat membentengi diri saat memutuskan pindah ke Jakarta. Ia ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang label ‘keluarga eks-tapol 1965’. Namun hal ini juga membuatnya merasa tidak bebas. Ditambah lagi, setiap tanggal 30 September, selalu muncul narasi keganasan PKI yang dicap ‘tidak bertuhan’. Ucapan-ucapan ini juga muncul dari para pendeta di gereja. Saat itu Uchi berpikir, “Mereka itu ngomong kayak gitu, sadar enggak, bahwa di jemaatnya itu juga ada orang-orang (yang) mungkin keluarga tahanan politik?”

Setelah membuka identitasnya, Uchi justru akhirnya tahu bahwa di lingkungannya, banyak yang sebenarnya merupakan mantan tahanan politik dan keluarga eks-tapol seperti dirinya. Ia pun mendengar banyak cerita; mulai dari seseorang yang batal jadi pilot karena orangtuanya eks-tapol, hingga teman dekat di gereja yang ayahnya ternyata eksil.

“Karena begitu terluka, kita harus menghadapi banyak hal. Sampai kita menjaga diri, menutup diri kita rapat-rapat seperti ini,” sahut Uchi. “Kalau nggak ada Reformasi… Masih tertutup, pasti aku enggak akan berani juga mengungkap gitu. Karena kan, memang, Orde Baru itu benar-benar bikin trauma orang.”

2. Nani Nurani, Khatam Al-Quran 7 Kali dengan Mertua Aidit
Nani Nurani berfoto di depan gedung Lembaga Kebudayaan Cianjur. Gedung ini pernah menjadi tempat penahanan Nani saat ditangkap karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-1965. (Foto: dok. pribadi Nani Nurani)

Berbeda dengan Uchi, Nani Nurani—salah satu generasi pertama yang mengalami sendiri jadi tahanan politik 1965—justru mengaku tidak mengalami tantangan berat dalam beragama. Memang, sempat ada orang-orang yang meragukan keislamannya. Namun asumsi tersebut dipatahkan Nani dengan kemampuan mengaji yang baik.

Nani pernah ditawari untuk mengikuti kelompok pengajian di RT tempatnya tinggal. “(Saya) ikutan, tapi dengan dua syarat,” jelas Nani saat diwawancarai oleh Konde.co, Rabu (12/6/2024). “Satu, enggak ada cerita politik. Kedua, enggak mau baju seragam-seragam. Karena, ya, kan, untuk beli baju seragam (butuh) duit. Eyang mana sanggup harus ganti-ganti seragam?” Selorohnya.

Grup pengajian menyetujui persyaratan itu sembari balik memberikan syarat kepada Nani: ia harus ikut mengaji. Mungkin dengan anggapan bahwa Nani, sebagai eks-tahanan politik yang dikaitkan dengan PKI, tidak dapat beragama dengan baik.

“Mereka surprised,” kata Nani, mendeskripsikan reaksi orang-orang setelah mendengarnya mengaji. “Bayangan mereka kan, kita eks-tapol, agamanya itu, ya… Ternyata ngajinya bagus banget aslinya.” Nani pun segera memperjelas, “Tajwid-nya, ya, bukan ‘lagu’nya. Semua pada bilang, ‘Eh, Bu Nani tajwid-nya bagus banget.’ Sampai orang-orang… Banyak yang udah pada pakai hijab gitu, kan. Ternyata Al-Fatihah aja enggak benar.”

BACA JUGA: Tak Pernah Takut, Harus Dilawan: Intimidasi Terhadap Perempuan Korban 1965

Setelah itu, warga di lingkungannya jadi menghargai Nani. Ia gembira punya banyak teman. Namun, Nani tidak melanjutkan aktivitasnya di kelompok pengajian tersebut sejak huru-hara Pemilihan Kepala DKI Jakarta pada tahun 2017. Pasalnya, para pemuka agama mulai ramai melontarkan sebutan ‘kafir’ pada orang atau kelompok yang tidak seiman.

“‘Saya kan udah bilang, saya enggak mau ada politik’,” Nani mengulangi pernyataannya saat warga mempertanyakan keputusannya berhenti dari kelompok pengajian tersebut. “Dan saya sudah diajar dari kecil sama bapak saya. Tidak boleh mengatakan orang lain kafir, karena yang mengakui kita Islam atau kafir itu Allah, bukan manusia. Itu semua pengakuan dari Allah, bukan kita, manusia. Jadi saya enggak mau ikut lagi; enggak ikut lagi sampai sekarang, udah berhenti.”

Beruntung, hal itu tidak menjadi masalah besar. Warga setempat memahami persoalan Nani dan tidak menghakiminya. Toh, bagi Nani, beragama adalah soal urusannya dengan Tuhan, bukan semata-mata dengan sesama manusia.

Beribadah di Penjara

Nani lahir dan besar di Cianjur, Jawa Barat. Orang tua Nani, terutama ayahnya, membesarkan Nani dengan ajaran Islam yang kuat. Namun, di saat bersamaan, sang ayah begitu ‘saklek’ memastikan bahwa ajaran agama anak-anak dan keluarganya tidak berkelindan dengan politik.

Misalnya, ketika Nani menempuh Sekolah Dasar (SD) di sebuah madrasah. Begitu madrasah tersebut digunakan oleh partai Masyumi pada saat itu, sang ayah langsung memberhentikan Nani dari sekolah itu. Bagi ayah Nani, yang penting anaknya taat beragama dan bisa mengaji, tanpa harus terlibat dalam urusan politik.

Sebagai anak yang tumbuh dalam lingkungan islami yang kuat, Nani sudah khatam Al-Qur’an sejak kecil. Namun ia tetap mengkhatamkan Al-Quran pada setiap kesempatan. Termasuk saat Nani menjadi tahanan politik akibat peristiwa 1965.

Nani Nurani sebelumnya adalah seorang penyanyi istana di zaman Presiden Soekarno. Hanya sekali diundang untuk menyanyi di ulang tahun Partai Komunis Indonesia pada 1965 di Cianjur, Jawa Barat, Nani kemudian ditangkap. Ia kemudian dipenjara karena dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, ia juga dituduh menyanyikan lagu-lagunya di Lubang Buaya pada peristiwa September 1965.

BACA JUGA: IPT Tragedi 1965: Menuntut Negara Minta Maaf pada Korban

Beruntung, Nani memang bukan anggota organisasi mana pun. Hanya nasib kurang mujur, ia harus masuk penjara karena menyanyi di acara ulang tahun PKI, saat organisasi itu masih sah diakui negara.

Selama berada dalam penjara, Nani tetap beribadah sebagai seorang Muslim. Termasuk mengaji dan khatam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. “Yang ke-7 itu khatam dengan gurunya Mbah Mudigdio (mertua D. N. Aidit),” terang Nani. Pertemuannya dengan Mudigdio lantaran mereka pernah ditempatkan sekamar. Nani juga pernah tinggal sekamar dengan Go Chi Nio, Maasye Siwi, dan Tan Lip Nio.

Ia juga menjelaskan kondisi beribadah di penjara. “Ada kegiatan bintal (pembinaan mental, red.). Rabu Islam, Jumat Katolik, Minggu Protestan,” jelas Nani. Lanjutnya, bintal Katolik dibimbing oleh Romo, sedangkan Protestan oleh Ibu Frans atau Bapak/Ibu Marantika.

Namun, tuturnya, bintal para tapol beragama Islam justru tidak dilakukan dengan pemuka agama seperti ustad / ustadzah, melainkan oleh militer. Lantas, seperti apa bintal tapol Muslim oleh militer? Jawab Nani sambil tertawa, “Kegiatan bintal Islam itu kebanyakan dimaki. Lain dengan yang Kristen, betul-betul agama.”

Lingkungan yang Baik Adalah Berkah

Beruntung, Nani punya hubungan baik dengan orang-orang di Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Sejak pindah ke Tanjung Priok pada 1977, ia menjalani wajib lapor ke Bakorstanas sebagai eks-tapol. Mereka pula yang membantu Nani saat menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar.

Suatu hari, misalnya, Nani didatangi oleh Babinsa dan disebut sebagai ‘pelarian Gerwani’. Di hari lain, menjelang Peristiwa Tanjung Priok, Nani dipanggil ke Kodim dan diminta menjadi mata-mata, tapi ia menolak. Nani juga pernah diumpat sebagai ‘Gerwani’ oleh istri ketua RT karena menolak meminjamkan uang sebagai bendahara. Semua itu ia laporkan ke Bakorstanas, yang melakukan tindak lanjut atas laporan tersebut.

“Saat itu Eyang masih muda. Mereka pikir enggak berdaya; kan, bekas tapol, ya.” Imbuhnya, “Kita harus pintar-pintar ngehadapinnya. Kita harus—bukan menolak, tapi pintar menghadapinya.”

Tetangganya juga begitu perhatian kepada Nani. Dengan kondisi Nani yang tinggal sendirian, banyak tetangga dan orang-orang di sekitarnya yang membantu Nani menjalani hidup. Di masa sulit selama pandemi Covid-19 pun, Nani banyak terbantu oleh mereka.

Alhamdulillah, Subhanallah. Sebagai eks-tapol, ternyata digaji Allah,” syukur Nani. “Enggak punya gaji, Allah benar-benar… Itu tuh, benar-benar langsung deh, dari Allah. Tiba-tiba aja.”

Yang Dibutuhkan Adalah Pengakuan

Nani menjalani masa penahanan di sejumlah tempat. Antara lain di Cianjur, CPM Bogor, CPM Guntur, Salemba, dan Bukit Duri.

Alhamdulillah, perjalanan Cianjur, Bogor, Guntur didampingi almarhumah ibu dan baru berpisah di penjara Salemba sebelum dibawa ke Bukit Duri,” ujarnya. Baru saat Nani dipindahkan ke Bukit Duri, ibunya pulang ke rumah.

Tragedi 1965 dan penangkapan Nani di Cianjur membuatnya trauma. “Luka saya dari Cianjur itu belum sembuh dan kayaknya enggak akan sembuh,” ucap Nani getir. “Bukan dendam, tapi luka. Jadi saya kalau tidur di daerah Cianjur itu, tiba-tiba terbayang, kalau malam itu… Yang gedorin pintu, segala macam. Jadi memang enggak mungkin kalau tinggal. Ada traumanya, ada luka, ada rasa tidak tentram kalau ke Cianjur.”

Nani pernah bekerja di Dinas Kebudayaan Cianjur. Saat ditangkap, Nani dibawa dan ditahan di sebuah gedung di Cianjur. Puluhan tahun kemudian, ada anak muda yang hendak membuat film dokumenter tentang Nani; mereka pun mengunjungi Cianjur untuk proses syuting. Lalu Nani baru sadar: gedung tempatnya pernah ditahan, kini menjadi Kantor Dinas Kebudayaan.

Usai kunjungannya, seorang staf Dinas Kebudayaan mengiriminya pesan. Selain berterimakasih atas kedatangan Nani, ia juga meminta maaf atas kezaliman bangsa Indonesia terhadap para penyintas Tragedi 1965. Aku Nani, ia kontan menangis kala membaca pesan itu.

BACA JUGA: Komnas Perempuan: 122 Perempuan Menjadi Korban Tragedi 1965

“Nangis, ya. Nangisnya apa? Ada seorang anak bangsa yang mau mengucapkan itu walaupun dia bukan seorang pejabat,” Nani berujar.

“Pengakuan,” lanjutnya, “Pengakuan itu sebuah arti yang sangat dalam untuk Eyang, yang… Sementara orang pada memaki, dia malah dengan jujur menyatakan bangsa ini telah ‘zalim kepada ibu’.”

Hal ini juga yang sempat membuatnya bahagia ketika presiden meneken Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Presiden Joko Widodo juga menyatakan penyesalannya ‘atas nama negara’ untuk berbagai kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Peristiwa 1965.

“Saya sih, enggak butuh permintaan maaf,” kata Nani. “Saya bilang, karena saya bukan PKI, enggak butuh minta maaf. Tapi saya ini sudah kenyang dibohongin sama pemerintah.”

Beragama Adalah Jalan Menyusuri Perdamaian

Perdamaian sebagai sesama menjadi sangat penting. Beragama apa pun, ingat ajaran untuk saling mengasihi tanpa pembedaan. Bagi Uchi, juga berlaku dalam agama Kristen.

“Kasihilah musuhmu. Sedangkan musuh aja suruh dikasihi, apa lagi yang bukan,” Uchi berkata. “Nah, kalau ini dalam aspek Kristen. Kalau misalnya PKI atau mantan tahanan politik, mantan anggota PKI itu dianggap musuh, ya, itu harus dikasihi. Bukan disisihkan, apa lagi didiskriminasi. Itu satu untuk hubungan antar jemaat. Kalau kita (hanya) mengasihi Tuhan, tidak mengasihi sesama manusia, itu omong kosong.”

Uchi juga menekankan pentingnya peran gereja dan pemuka agama dalam persoalan pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat. Gereja justru harus menjadi pendukung atau punya peran penting dalam rekonsiliasi untuk menyelesaikan persoalan kasus pelanggaran HAM. Serta berperan dalam memulihkan trauma yang diderita jemaatnya atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut.

Sementara Nani berujar, tentu agama itu penting dan wajib menjadi rem dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ia tidak membenarkan fanatisme penampilan beragama tanpa mengamalkan nilai-nilai kebaikan dalam agama itu sendiri.

“Belajarlah membuka mata, membuka hati. Jangan melihat sesuatu (hanya berdasarkan) kata orang.”

Nani menyebut sesuatu yang dipelajarinya dari LBH: hukum itu hitam putih, yang abu-abu adalah manusianya. “Jadi kalau kita tidak melihat dengan mata kepala sendiri, jangan menghakimi. Dan jangan membiarkan berita yang belum jelas, sudah disampaikan ke mana-mana. Karena itu berbahaya dan menyedihkan.”

Menutup percakapan, Nani juga mengatakan, “Enggak mudah memang, menjadi orang baik. Nak, berjuanglah jadi orang yang baik yang sebenarnya; yang kata Tuhan. Jangan kata manusia. Soal agama (yang dianut), terserah. Tidak ada yang mengajarkan kejahatan. Agama apa pun, tidak ada yang mengajarkan kejahatan.”

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID))

Foto: Muni Moon & dokumen pribadi Nani Nurani

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!