Esti Wijayanti dan Mercy Chriesty Barends, dua perempuan anggota DPR RI, menangis saat Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menyatakan tidak ada fakta hukum yang menunjukkan telah terjadi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Esti Wijayanti memprotes sambil terisak.
“Kenapa semakin pak Fadli Zon ini berbicara, kenapa saya semakin sakit (mendengarnya) ya pak?. Soal pemerkosaan, sebaiknya tidak di forum ini pak. Waktu itu (terjadi) saya sedang di Jakarta dan tak bisa pulang. Tapi pernyataan pak Fadli Zon ini semakin menunjukkan bahwa pak Fadli Zon tidak menunjukkan yang dihadapi korban perkosaan. Jadi pernyataan bapak soal teori dan sebagai aktivis 98, malah menunjukkan luka dalam, seolah bapak tidak mengakui ada perkosaan” kata Esti Wijayanti.
Tangis Esti Wijayanti pecah setelah mendengar Fadli Zon menyatakan bahwa ada perkosaan Mei, tapi tak ada bukti soal perkosaan massal.
Baca Juga: 27 Tahun Berlalu, Kami Masih Menuntut Keadilan Perkosaan Mei 1998
Pernyataan Fadli Zon dalam acara rapat kerja DPR RI 2 Juli 2025 ini merupakan pernyataannya yang kedua setelah pernyataannya yang pertama ia ungkap dalam wawancara di Youtube IDN Times, Juni 2025 lalu.

Fadli Zon mencoba memaparkan dengan menunjukkan isi Majalah Tempo tentang perkosaan Mei, tentang data dan faktanya.
“Saya baca di Majalah Tempo, katanya memang tidak ada, jadi jangan-jangan masuk ke kekuatan asing yang sudah mem-frame. Jadi sebelum pemerkosaan, ada tulisan yang menyerukan Allahuakbar dan rambut cepak, ini khan militer. Ini bisa framing.”
Fadli Zon tetap bersikukuh mengakui ada perkosaan Mei, tapi tidak mengakui ada perkosaan massal karena fakta hukumnya tidak ada.
“Jadi jelas ada perkosaan dan terus terjadi, tapi sulit untuk mendapatkan fakta hukumnya. Peristiwa Trisakti ada fakta hukumnya, kalau ini (perkosaan Mei) mesti dibuktikan. Ada tulisan soal perkosaan, tapi foto-fotonya di Hongkong dan foto yang diambil di luar negeri, tidak di Indonesia. Dan memang buku sejarah ini tidak membahas Mei 98, ini hanya snapshot saja” kata Fadli Zon.
Baca Juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan
Maka kata Fadli Zon, yang harus dibuktikan adalah fakta hukumnya.
“Kita perlu ketelitian, akurasi yang lebih mendalam untuk membuktikan fakta hukumnya.”
Pernyataan Fadli Zon yang misoginis ini langsung dijawab oleh anggota DPR yang lain, Mercy Chriesty Barends.

Mercy menyatakan bahwa pernyataan tersebut terlalu menyakitkan bagi perempuan. Dan Fadli Zon mestinya malu karena Jepang mengakui ada perkosaan yang dilakukan militer Jepang terhadap para perempuan jugun ianfu di Indonesia, namun pemerintah Indonesia justru tak mau mengakui adanya perkosaan massal 1998 di negaranya sendiri.
”Dulu ada perkosaan jugun ianfu, perempuan yang diperkosa pada saat penjajahan Jepang. Pada saat dibawa ke tribunal court, ada kasus tapi tidak semua, pemerintahan Jepang menerima dan menunduk. Ini ada perkosaan di Indonesia, kita tidak mau mengakui, saya ikut mendata, ikut mencatat testimoni, ini menyakitkan pak, kita bawa testimoni dalam desingan peluru, dan bukan cuma kasus 98 dan bapak merasa ini bukan massal, ini satu etnis pak. Banyak cerita soal ini, testimoni dari Maluku dan Aceh… dan kita mendengar kasus-kasus ini, kita tidak tidur, tidak makan, karena terlalu kejam.”
Baca Juga: Dear Fadli Zon, Perkosaan Massal Mei 1998 Itu Nyata, Kami Perempuan Muda Tolak Sejarah yang Misoginis
Fadli zon menjawab dengan mengatakan bahwa ia mengutuk kekerasan terhadap perempuan, kalau ada perbedaan diksi soal perkosaan massal, ini merupakan pendapat pribadi.
Mendengar pernyataan ini, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas membentangkan spanduk protes bertuliskan “Tuntaskan Kasus Pelanggaran Berat HAM” dan membawa poster berisi daftar 17 kasus pelanggaran HAM berat serta poster seruan seperti “Lawan Pemutihan Dosa Orde Baru” dan “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto” di balkon DPR RI.
Aksi ini disertai seruan yang menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
“Tolak penghentian penulisan ulang sejarah yang menutupi kejahatan masa lalu. Tolak pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto.”
Koalisi mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 sebagai rumor, karena dianggap mencederai proses pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban.
Salah satu perwakilan koalisi melalui pernyataannya menyatakan bahwa mereka menuntut Fadli Zon untuk menarik ucapannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, dan meminta maaf kepada para korban dan penyintas, khususnya perempuan korban kekerasan seksual termasuk pada seluruh perempuan Indonesia yang telah membersamai korban.
“Selain itu, sebagai Ketua Dewan GTK, Fadli Zon diminta tidak menggunakan posisinya untuk merevisi sejarah demi kepentingan politik Orde Baru termasuk memuluskan pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.”
Baca Juga: Rujak Pare Sambal Kecombrang, Upaya Melawan Lupa Tragedi Kekerasan Seksual Mei 1998
Koalisi juga menegaskan pentingnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dengan mendesak Jaksa Agung segera membentuk Tim Penyidik ad hoc. Sebagaimana amanat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, guna menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Sebelumnya, Komnas Perempuan juga mengecam pernyataan Fadli Zon.
Sebagai lembaga yang dibentuk oleh mantan Presiden RI B. J. Habibie sebagai bentuk pengakuan terhadap fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan mengingatkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menunjukkan adanya peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.
“Salah satu rekomendasi TGPF telah ditindaklanjuti. Yaitu pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM untuk dugaan pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998,” tulis Komnas Perempuan dalam siaran pers yang diterima Konde.co. “Yang telah menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.”
Baca Juga: Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Memorialisasi Penghilangan Paksa Aktivis 1998
Sondang Friskha Simanjuntak, Komisioner Komnas Perempuan, telah menyerukan kekhawatiran penulisan ulang sejarah sebelum Fadli Zon melontarkan pernyataan tersebut. Kepada Konde.co, Friskha mengatakan bahwa keadilan bagi tragedi perkosaan Mei 1998 mesti ditegakkan. Salah satunya, konsisten melakukan narasi tanding di tengah penyangkalan dan segala upaya pengaburan fakta sejarah Mei 1998.
“Kita sangat concern dengan hal itu. Kita mencoba men-counter narasi yang berupaya menihilkan atau denial (perkosaan) Mei 1998. Sejak 1998 setelah peristiwa itu, denial (penyangkalan) sudah ada. Bahkan laporan Komnas Perempuan yang pertama itu ‘In Denial’ atau penyangkalan,” ujar Friskha kepada Konde.co, Kamis (15/5).
Aliansi Perempuan Indonesia (API) juga merespon pernyataan Fadli Zon dengan kecaman. Dalam konferensi pers pada Sabtu (14/6/2025), para perempuan muda menyuarakan kemarahan dan keresahan atas kata ‘rumor’ yang diucapkan Fadli Zon saat merujuk pada perkosaan massal Mei 1998.
Karena ada kisah tentang Ita Martadinata. Ita adalah perempuan muda Tionghoa yang masih berusia 18 tahun. Ita juga penyintas perkosaan sekaligus orang yang berusaha menyingkap kasus perkosaan dan pembunuhan saat kerusuhan Mei 1998. Bersama ibunya dan empat penyintas lain, Ita berencana memberikan kesaksian pada Kongres AS. Namun ia dibunuh dengan kejam pada 9 Oktober 1998.
Kematian Ita dianggap sebagai ‘kejahatan biasa’ oleh polisi pada saat itu. Tapi bagi orang lain, kejadian itu adalah teror terhadap orang-orang yang hendak menguak perkosaan massal Mei 1998.
(Sumber Gambar: Instagram Fadli Zon)