Belakangan ini Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios) resah. Pasalnya hampir setiap hari kasus keracunan akibat mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) jadi pemberitaan media massa.
Hal serupa juga dirasakan Dzatmiati Sari, juru kampanye Transparency International Indonesia (TII). Sebagai perempuan sekaligus ibu yang mempunyai anak, perasaan risau kerap datang tiap melihat anak sekolah keracunan MBG.
“Saya punya anak, ibu-ibu lain di luar sana juga, kalau melihat anak-anak yang keracunan MBG miris rasanya,” tuturnya.
Apalagi menurut Dzatmiati sudah banyak sebenarnya kajian terkait MBG yang dibuat sejumlah organisasi masyarakat sipil yang diterbitkan sebelum maupun setelah MBG berjalan. Seperti kajian yang dibuat TII yang mengupas risiko korupsi dari program MBG.
Begitu juga dengan 3 buah kajian yang dibuat Celios. Salah satunya membahas tentang tawaran gagasan lain dengan berorientasi pada target yang spesifik. Dengan menyalurkan MBG hanya untuk yang membutuhkan (balita, ibu hamil, anak yang mengalami malnutrisi dan dari keluarga rentan), akan ada penghematan anggaran.

Di sisi lain, Media menambahkan ketika program MBG tidak tepat sasaran, maka akan mengorbankan sektor-sektor lain. Seperti sektor pendidikan karena anggaran MBG sebagian diambil dari anggaran pendidikan. Implikasinya beberapa kampus sudah mengalami pengurangan alokasi beasiswa untuk mahasiswa.
Baca juga: MBG Harus Dihentikan: Skandal Keracunan, Makanan Basi, Bias Gender, Hingga Bayang-Bayang Militer
“Jadi terjadi trade-off program-program pelindungan sosial yang bahkan mencapai hingga 50 persen pengurangan beasiswa di kampus-kampus. Masih ditambah ada problem inefisiensi dari penyaluran, dan rentan dikorupsi. Kami juga selalu mengatakan bahwa MBG ini harusnya dikelola oleh komunitas, oleh sekolah, atau oleh entitas terkecil yang ada di masyarakat, karena mereka yang paling tahu kesehatan siswa,” papar Media.
Namun tawaran-tawaran solusi dari masyarakat sipil tersebut tak ditanggapi pemerintah.
“Sampai kadang tuh kita di titik yang, ya ampun gini amat jadi warga negara +62 ya. Kayak kita kerja udah capek gitu, terus lihat media sosial ada kejadian (keracunan) lagi, kejadian lagi,” ujar Dzatmiati.
Berangkat dari keprihatinan yang sama itulah Celios bersama TII, Lapor Sehat, LBH Jakarta, Unitrendt dan Bareng Warga sepakat untuk membuat platform pengawasan MBG. Platform bernama MBG Watch tersebut dimaksudkan sebagai gerakan warga untuk mengawasi dan melaporkan MBG sebagai basis data evaluasi yang substansial dan bermakna.
Meski begitu, Media mengaku perasaan pesimis masih terus muncul di benaknya. Pasalnya data-data siswa yang kacunan sudah banyak, kurang apa lagi? Pertanyaan reflektif itu terus ia tanyakan kepada timnya.
“Apakah dengan menganalisis data ini, kami ada di jalan yang tepat? Jangan-jangan ini enggak akan mengubah apapun,” ujar Media.
Media dan timnya mengumpulkan data kasus keracunan MBG dari media massa. Data itu kemudian diolah dan dianalisis setiap hari. Hingga 7 Oktober 2025, Celios mencatat ada 9.413 korban keracunan MBG. Data yang ada menunjukkan adanya anomali pada Juli 2025. Pada bulan tersebut SPPG dipaksa beroperasi meskipun belum siap untuk menyalurkan MBG.
Bahkan data bulan Oktober meski baru tanggal 7 tetapi jumlah korban sudah mencapai setengah dari bulan September.
“Kalau ini enggak dihentikan, mungkin akan eksponensial terus terjadi ke depan. Saya kira pertanyaan besar untuk kita semua, apa yang bisa kita lakukan? Nah pertanyaan ini yang kami terus mencari jawabannya di lembaga-lembaga masyarakat sipil,” beber Media.
Baca juga: ‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG
Media mengaku rasa pesimis yang ia rasakan perlahan hilang seiring dengan semangat yang terus dikobarkan oleh kawan-kawan gerakan.
“Sampai kemudian kami disemangati oleh banyak kawan-kawan gerakan. Kita saatnya bagi-bagi tugas. Ada yang bergerak di bawah, mengadvokasi di tapak. Ada yang berdemonstrasi di jalan-jalan. Dan ada yang dengan pengetahuan tentang kesehatan dan data statistik juga melakukan upaya yang sama,” ujarnya.
“Akhirnya kita ketemu, kita ngobrol, dan dalam waktu singkat sekitar tiga minggu kami bisa menyelesaikan MBG Watch ini. Jadi ini kerja sama dengan teman-teman IT, teman-teman ekonom, statistik, ahli korupsi, ahli kesehatan,” paparnya.
Irma Hidayana dari Lapor Sehat menjelaskan belajar dari platform Lapor Covid, yang ia dirikan dan jalankan, bahwa orang melapor harus punya jaminan laporannya akan ditindaklanjuti. Jadi ada manfaat yang didapat dari melapor.
Pada platform MBG Watch, laporan-laporan dari masyarakat yang masuk akan ditindaklanjuti dengan menyampaikannya ke instansi terkait dan menagih penyelesaiannya.
“Kami sudah berdiskusi panjang dengan teman-teman inisiator dan yang bisa kami lakukan. ketika laporan-laporan itu sudah masuk, Kami harus menyampaikan laporan tersebut kepada pihak yang terkait. Nanti kami cari otoritasnya sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan,” paparnya.
Irma tak menampik bahwa sejauh ini media sudah banyak memberitakan dan masyarakat sudah berisik di media sosial soal MBG. Tetapi menurutnya keberadaan platform pengawasan seperti MBG Watch tetap diperlukan.
Baca juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing
“Kita sudah seberisik itu saja tidak ada perubahan. Jadi saya rasa jangan capek, mari kita makin ramai, makin gaduh, melalui media apa saja. Bisa melalui media sosial atau teman-teman media massa, silakan meliput sesering mungkin, dan sesuai dengan kejadian yang ada di lapangan, seburuk apapun situasinya,” jelasnya.
“Karena dari kacamata epidemiologi penyebaran penyakit, kalau kita tidak mendapatkan data yang sebenarnya di lapangan, maka yang disebut dengan data-driven policy, atau evidence-based policy, justru tidak akan menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, Irma menjelaskan data yang dimiliki pemerintah, biasanya adalah data yang sudah disortir. Artinya data yang memang ingin mereka sajikan.
Padahal data-driven atau evidence-based policy, data-datanya harus mencerminkan situasi lapangan. Karena berdasarkan data itu, epidemiolog dan biostatistifian bisa mendapatkan angka yang mendekati kenyataan, sehingga bisa memformulasikannya dan bermanfaat untuk mengubah atau memperbaiki angka kesakitan karena diare keracunan. Dan bisa juga ujungnya adalah terminasi atau evaluasi serta perbaikan MBG.
“Angka-angka ini perlu kita gali dari tangan pertama atau data primer. Tetapi tidak bisa sendirian juga, makanya kita butuh teman-teman tetap berisik,” tutur Irma.
Dari sisi kesehatan masyarakat, Irma menegaskan data-data primer yang kita gali sendiri, nilainya sangat bermanfaat sekali sebagai basis menyampaikan situasi yang ada di lapangan untuk mengubah kebijakan publik.
Masyarakat Sipil Tolak MBG
Kasus-kasus keracunan MBG yang meluas mendorong masyarakat sipil mengorganisasi diri dan menggelar aksi untuk menuntut penghentian program MBG. Seperti yang terjadi di Jakarta pada 1 Oktober 2025 lalu.
Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Warga Tolak MBG menyatakan sikap menolak MBG. Program yang diklaim pemerintah sebagai solusi stunting justru berubah menjadi sumber masalah serius. Ribuan anak mengalami keracunan massal sepanjang Januari hingga September 2025.
Koalisi menilai program MBG terbukti gagal memenuhi hak anak atas pangan bergizi, sehat dan aman. Alih-alih menjadi jawaban atas problem gizi, MBG justru dikelola dengan pola sentralistik dan militeristik, minim transparansi, serta rawan praktik rente. Karena itu, Koalisi mendesak agar pemerintah menghentikan proyek ini dan segera mengembalikan pemenuhan gizi anak kepada komunitas dan daerah.
Aksi serupa digelar perempuan-perempuan yang tergabung dalam Suara Ibu Indonesia Yogyakarta lewat aksi keprihatinan mendesak pemerintah menghentikan MBG. Aksi digelar di Bunderan UGM Yogyakarta pada Jumat (26/9/25).
Suara ibu Indonesia menyatakan program MBG telah memakan korban keracunan 7.119 jiwa per 25 September 2025. Ibu-ibu dan perempuan membunyikan panci dengan cara memukulnya sebagai penanda keprihatinan dan alarm bahaya atas program yang dinilai amburadul dan terkesan dipaksakan, bahkan militeristik.
Untuk itu mereka menuntut penghentian program MBG dan pemerintah harus melakukan evaluasi program tersebut. Seorang peserta aksi yang merupakan ibu hamil juga berorasi. selain itu aksi juga diisi penampilan seniman yang bersuara lewat seni pertunjukan.
Desakan agar MBG dihentikan juga disuarakan Aliansi Perempuan Indonesia (API) pada Selasa (7/10/25). API beranggotakan lebih dari 30 organisasi yang terdiri dari perempuan, pekerja, disabilitas, mahasiswa, LGBTIQ+, jurnalis, pembela HAM dan aktivis prodemokrasi.
Baca juga: Korban Keracunan MBG Bertambah, Bisakah Ajukan Gugatan Class Action dan Citizen Lawsuit Ke Pemerintah?
API menilai program yang seharusnya menjamin hak anak atas gizi, kesehatan, dan kesejahteraan, justru menimbulkan bahaya serius. Ini lantaran lemahnya perencanaan, pengawasan, dan standar pelaksanaan di lapangan.
“Meski Presiden Prabowo sudah memanggil sejumlah menteri dan pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Percepatan Penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi untuk SPPG pada Program MBG, namun kami berposisi bahwa Program MBG ini harus dihentikan, bukan disempurnakan,” tegas Dian Septi dalam rilis yang diterima Konde.co.
API juga menilai, kebijakan MBG terlalu dipaksakan dan terkesan terburu-buru dijalankan tanpa kesiapan infrastruktur, tenaga pendukung, dan sistem pengawasan mutu yang memadai.
“Akibatnya, anak-anak yang seharusnya dilindungi, malah menjadi korban kebijakan yang ceroboh. Anak-anak juga menjadi direnggut haknya untuk belajar dengan aman dan nyaman seperti biasanya,” tambah Dian.
API menyoroti menu MBG yang jauh dari standar makanan bergizi. Alih-alih menyediakan pangan lokal bergizi, MBG justru menyediakan menu olahan seperti burger dan spaghetti yang jauh dari kategori sehat dan bergizi. Ditambah lagi paket MBG juga berisi makanan rendah gizi dan sarat gula seperti makanan kering, diantaranya biskuit.
Persoalan lain yang juga disoroti API adalah ketiadaan koordinasi antara pelaksana MBG dengan perangkat pemerintah daerah setempat. Akibatnya, ketika keracunan melanda, pemerintah daerah mengaku kesulitan menangani dengan sigap.
Selain itu, mekanisme penyelenggaraan MBG dinilai tidak transparan dan tertutup sehingga Pemerintah Daerah kesulitan berkoordinasi. Mekanisme yang tidak akuntabel ini memperparah kondisi darurat keracunan MBG di berbagai tempat. API juga menyoroti dominannya peran militer dalam program MBG dan tingginya potensi korupsi.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran
Untuk itu Aliansi Perempuan Indonesia mendesak 4 tuntutan. Pertama hentikan program MBG secara nasional sampai ada evaluasi menyeluruh atas sistem, mekanisme distribusi, dan standar mutu gizi serta keamanan pangan.
Kedua, bentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus-kasus jatuhnya korban anak, serta tindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab. Ketiga, libatkan organisasi masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan komunitas perempuan dalam penyusunan ulang kebijakan agar program gizi untuk anak benar-benar aman, bermutu, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Keempat, alihkan sementara anggaran MBG untuk memperkuat fasilitas sekolah, layanan kesehatan anak, dan dukungan gizi berbasis keluarga serta komunitas.
“Kami menegaskan bahwa hak atas gizi dan kesehatan tidak boleh dijadikan eksperimen politik. Anak-anak Indonesia bukan objek coba-coba kebijakan, melainkan generasi penerus bangsa yang wajib dijamin hak hidup, tumbuh, dan berkembangnya,” pungkasnya.






