Kasus Kematian Anak yang Dipekerjakan di Delta Spa, Ada Indikasi TPPO

Kematian RTA, seorang anak yang dipekerjakan sebagai terapis di Delta Spa, menyingkap fakta bahwa kasus tindak pidana perdagangan orang masih terus terjadi. Bahkan korbannya menyasar anak-anak.
Tanya:

Apakah betul kasus kematian seorang anak yang dipekerjakan sebagai terapis di Delta Spa Jakarta Selatan termasuk kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)? Apa upaya hukum yang dapat dilakukan keluarga korban dan aparat penegak hukum terhadap penyelesaian kasus kematian yang tidak wajar ini? (Ola, Sukabumi).

Jawab:

Menurut pemberitaan salah satu media online (Detiknews), tanggal 14 Oktober 2025, kepolisian mengungkapkan seorang terapis spa berinisial RTA (14 tahun) yang ditemukan tewas di lahan kosong merupakan karyawan Delta Spa. Polisi menjelaskan hal ini setelah melakukan konfirmasi kepada manajemen Delta Spa.

Kasus kematian RTA membuka kembali kenyataan tentang kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia yang masih terus terjadi.

Sejumlah media melaporkan bahwa korban masih anak di bawah umur (14 tahun). Karena itu kematian RTA mengarah kepada kasus eksploitasi anak/eksploitasi seksual. Semua dugaan ini sedang didalami kepolisian selaku penyidik.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), TPPO didefinisikan sebagai serangkaian tindakan (perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan) dilakukan dengan cara ancaman, penipuan, penyalahgunaan posisi rentan, penjeratan utang, pemberian manfaat yang semuanya bertujuan untuk melakukan eksploitasi. Jika terbukti, maka pelaku TPPO dikenai sanksi pidana berat sesuai dengan ketentuan UU Pemberantasan TPPO.

Baca Juga: Influencer Ditangkap dengan Tuduhan Penghasutan, Bagaimana Strategi Perempuan di Ruang Digital?

Karena RTA masih tergolong anak-anak (14 tahun), maka untuk proses penanganan hukumnya dapat juga menggunakan ketentuan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UU Perlindungan Anak melarang adanya tindakan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. UU Perlindungan Anak ini juga mengatur sanksi atas eksploitasi dan kewajiban perlindungan dari pihak negara terhadap anak (khususnya anak korban).

Kematian RTA sebagai anak yang dipekerjakan menjadi terapis di Delta Spa jelas menunjukkan adanya tindakan penyalahgunaan identitas (KTP) lantaran RTA baru berusia 14 tahun. Kepolisian menyebutkan pada saat melamar pekerjaan, korban menggunakan KTP orang lain. Mengenai hal ini sangat penting untuk dibuktikan apakah telah terjadi tindakan penipuan atas identitas.

Petunjuk lain dari keluarga korban adalah adanya keharusan karyawan untuk “membayar denda” sebesar 50 juta rupiah kalau mau keluar dari tempat kerja atau ingin berhenti bekerja. Tindakan ini menandai adanya penjeratan utang/utang paksa yang menjadi salah satu modus TPPO. Untuk memproses hal ini perlu bukti kontrak kerja/perjanjian kerja, termasuk slip gaji karyawan.

Indikasi lainnya adalah adanya kerja paksa/eksploitasi seksual yang dialami RTA. Untuk memastikan apakah tindakan-tindakan ini benar-benar terjadi, maka harus disertakan bukti medis/forensik berupa autopsi/sampel organ. Selain itu perlu ada kesaksian korban lain, rekaman/komunikasi (bisa komunikasi digital: chat, DM, tawaran kerja di TikTok/Medsos, termasuk juga bukti transfer), catatan transaksi/bukti finansial.

Baca juga: Kasus CEO Astronomer: Menguak Perselingkuhan di Tempat Kerja

Bukti finansial ini untuk menunjukkan motif keuntungan ekonomi dan juga aliran uang antara korban dengan agen/spa. Lalu, mengenai keterangan saksi/saksi kunci (bisa dari pihak Manajemen Delta Spa atau dari agen).

Hal penting lainnya adalah melihat apakah kematian RTA melibatkan pihak ketiga/agen/perekrut online, atau jaringan yang merekrut dan menempatkan korban di tempat kerjanya tersebut. Hal ini menjadi penting untuk membuktikan adanya unsur “perdagangan manusia/orang” dari kasus kematian RTA ini.

Sementara upaya hukum yang bisa dilakukan yakni didasarkan pada beberapa ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:

1.   Ketentuan hukum dari UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dimana tuntutan TPPO terhadap pelaku yang melakukan perekrutan, penampungan, atau pemindahan korban dengan cara penipuan/penyekapan/penjeratan utang untuk tujuan eksploitasi. Atas tindakan ini dapat dikenakan sanksi pidana yang cukup berat.

2.   Ketentuan hukum dari UU No. 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak.  Aturan hukum ini bisa dipakai untuk membuktikan bahwa RTA benar seorang anak karena terbukti masih berusia 14 tahun. Dengan begitu bisa diterapkan pasal khusus terkait tindakan eksploitasi anak.

Baca juga: Seksisme Pada Frasa “Kembang Desa” Dalam Pidato Gubernur Ridwan Kamil

3.   Upaya hukum lainnya berupa pertanggungjawaban pidana korporasi terkait dengan pihak manajemen dari tempat kerja korban RTA (Delta Spa). Yaitu apabila Delta Spa berperan sebagai sarana terjadinya tindakan kekerasan/eksploitasi bagi korban.

Perkembangan terakhir kasus ini menunjukkan keluarga korban mencabut laporan polisi di Polres Metro Jakarta Selatan pada 13 Oktober 2025. Kapolres Metro Jaksel Komisaris Besar Nicolas Ary Lilipaly, seperti diberitakan Tempo, mengatakan kakak korban mencabut laporan karena sudah ada perdamaian antara korban dengan terlapor (Delta Spa).

Meskipun laporan dicabut, tetapi proses penyelidikan atas kasus ini tetap bisa dilanjutkan. Ini dikarenakan kasus RTA termasuk kasus kematian yang mengarah kepada tindakan TPPO dan eksploitasi di tempat kerja/seksual. Dengan begitu kasus ini termasuk delik biasa, dan bukan delik aduan.

Saat ini penyidik Polres Metro Jakarta Selatan masih melakukan penyelidikan dan proses penanganan kasusnya masih berjalan. Untuk itu terdapat beberapa rekomendasi penting bagi aparat penegak hukum atau lembaga perlindungan anak maupun advokat korban, sebagai berikut:

1.   Pastikan investigasi forensik lengkap dan transparan, khususnya untuk laporan autopsi, serta pemeriksaan laboratorium forensik.

Baca juga: Maia-Mulan Jadi Objek Dikotomi Patriarki: Ahmad Dhani Jadi “Pemenang”

2.   Penting untuk melakukan verifikasi administrasi & jejak digital (khususnya dari Disdukcapil untuk KTP korban, data perekrutan via medsos, dan bukti transfer) untuk membongkar modus perekrutan.

3.   Perlindungan saksi dan korban lain, yaitu adanya jaminan perlindungan psikososial, tidak dikriminalisasi, dan mendapatkan bantuan hukum (khususnya bantuan hukum secara cuma-cuma).

4.   Perlu melakukan koordinasi antarlembaga, seperti: Polri, KemenPPPA, Dinas Sosial, Disdukcapil, dan Kejaksaan untuk penanganan terpadu atas kasus TPPO ini. Termasuk juga melakukan upaya perlindungan anak.

5.   Melakukan audit regulasi dan penegakan terhadap tempat usaha. Yaitu perlu untuk melihat izin operasi, kepatuhan ketenagakerjaan, pengawasan pekerja anak oleh instansi terkait.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email ke Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

(Editor: Anita Dhewy)

Danielle Johanna

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!