“Tolak pemberian gelar [pahlawan pada] Soeharto!”
Peserta Aksi Kamisan menyahut, “Tolak!”
“Tolak Soeharto!”
Lagi-lagi, “Tolak!”
Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2024, Aksi Kamisan ke-839 (7/11/2024) ditutup dengan seruan menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Wacana pemberian gelar tersebut dilontarkan oleh Partai Golkar dan ketua MPR RI periode 2019-2024 Bambang Soesatyo pada 28 September 2024 silam.
Namun, aktivis dan masyarakat menolak keras gagasan penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Pasalnya, rekam jejak Soeharto lekat dengan kasus korupsi hingga pelanggaran HAM berat sepanjang Orde Baru.
Baca Juga: Diskusi Diintimidasi, Aksi Direpresi: Apakah Kita Kembali ke Era Orde Baru?

Kepada Konde.co, penggagas Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, mengingatkan bahwa lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan karena habis masa jabatan. Melainkan atas tuntutan dari gerakan mahasiswa dan masyarakat.
“Kalau tolak Soeharto itu kan, kejahatan Pak Harto itu banyak sekali,” ujar Sumarsih usai Aksi Kamisan ke-839, Kamis (7/11/2024). “Yang perlu diingat bahwa Pak Harto itu mundur dari jabatan presiden bukan periode yang menentukan. Tapi karena gerakan massa yang menuntut turunkan Soeharto.”
Tutur Sumarsih, rakyat menuntut Soeharto mundur dari jabatan sebagai presiden saat itu karena sistem pemerintahannya yang otoriter, militeristik, dan korup.
“Melaksanakan KKN; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itu kan bisa ditelusuri,” kata ibu dari Bernadinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya yang jadi korban tewas Peristiwa Semanggi I 1998 itu.
Baca Juga: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965
“Apa pun, ketika kejahatannya Pak Harto itu banyak sekali dan belum dipertanggungjawabkan di meja pengadilan. Ya, seharusnya Pak Harto jangan diberi gelar pahlawan nasional,” Sumarsih menjelaskan.
“Kecuali kalau memang dibuktikan di pengadilan, Pak Harto itu adalah orang baik. Ya, nggak masalah. Jadi, jadikan hukum ini benar-benar menjadi panglima keadilan dan kemanusiaan.”
Surat Terbuka Tolak Soeharto Jadi Pahlawan

Masyarakat menunjukkan penolakan lewat berbagai cara. Salah satunya pada Senin (4/11/2024), Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mendatangi gedung MPR RI. Gerakan yang terdiri dari KontraS, YPKP ‘65, dan sejumlah organisasi lainnya menyerahkan surat terbuka menolak pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto kepada ketua MPR periode 2024-2029, Ahmad Muzani.
Melansir siaran pers KontraS, mereka menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang dilakukan Soeharto. Ditambah lagi, MPR telah mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Sebagai individu yang tidak dikecualikan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ditemui di kompleks parlemen Senayan, Dimas Bagus Arya dari KontraS menjelaskan, “Kami melihat bahwa pencabutan nama Soeharto itu bisa dipakai untuk melegitimasi beberapa manuver dari negara. Untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, tanpa kemudian melihat kejahatan-kejahatan dan juga praktik-praktik yang merugikan negara.”
“Selama era pemerintahan Soeharto 32 tahun, dari mulai tahun ‘66 sampai ‘98. Yang kami lihat itu harusnya bisa dijadikan pertimbangan paling pertama oleh MPR, sebelum kemudian memberikan keputusan begitu.”
Penjahat HAM Jadi Pahlawan? Ini Menghilangkan Sejarah, Melecehkan Gerakan Rakyat dan Perempuan
Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan, mereka juga menolak wacana gelar pahlawan bagi Soeharto. Menurutnya, pemberian gelar tersebut adalah bentuk penghilangan sejarah.
“Kita bicara soal pelanggaran HAM. Kita bicara juga soal perendahan martabat akibat korupsi, kolusi, nepotisme yang memang saat itu sangat terbuka,” jelas Mike kepada Konde.co, Kamis (7/11/2024). Baginya, berbagai penyimpangan di masa pemerintahan Soeharto sangat jelas terjadi dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
“Dan kalau dia diberi gelar pahlawan ini, justru yang harus kita pertanyakan, apa yang terjadi dengan logika pemerintah kita saat ini? Logika para penyusun kebijakan?” kata Mike. “Dan saya yakin, hampir seluruhnya mereka bukan orang yang ahistoris. Mereka tahu betul bagaimana 32 tahun Soeharto memerintah.”
Mike melanjutkan, “Menurut kami, ketika Soeharto diberi penghargaan sebagai pahlawan. Itu adalah penghinaan bagi seluruh perjuangan yang dilakukan oleh gerakan perempuan. Gerakan perempuan itu juga bicara soal bagaimana pelanggaran HAM masa lalu yang itu dikaitkan dengan kekerasan terhadap perempuan.”
Baca Juga: Moetiah, Gerwani yang Dibunuh Atas Nama Politik Orde Baru
Kekerasan terhadap perempuan terjadi secara massif dan sistematis di masa Orde Baru. Mulai dari berbagai kebijakan yang mengekang perempuan, hingga kejahatan keji seperti yang terjadi pada para perempuan Tionghoa di tengah peristiwa Mei 1998. Belum pula kekerasan yang dialami perempuan dalam operasi militer di rezim Soeharto.
“Sejarah itu kuat dan masih membekas,” sahut Mike.
Memang, bukan hanya KKN. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat pun terjadi di bawah pemerintahan Soeharto selama Orde Baru. Sebut Sumarsih, sebetulnya kasus pelanggaran HAM berat di era Soeharto pada 1998 sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Bahkan, mantan presiden RI Joko Widodo mengakui kasus-kasus itu terjadi. Hal itu memperkuat pernyataan bahwa Soeharto adalah salah satu dalang berbagai kasus pelanggaran HAM berat di era Orde Baru. Seperti pembunuhan massal 1965, peristiwa Talangsari, tragedi Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti, tragedi Mei 1998, dan sebagainya.
Salah satu pelanggaran HAM berat yang menjadi pertanggungjawaban Soeharto adalah genosida terhadap masyarakat tertuduh simpatisan PKI pasca-Gerakan 30 September (G30S) 1965. Menurut Bedjo Untung, penyintas sekaligus bagian dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP ‘65), korban tragedi pasca-1965 mencapai 3 juta jiwa. Baik Bedjo Untung maupun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, angka itu berdasarkan keterangan Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo.
Tragedi tersebut juga menjadi salah satu kasus femisida terbesar dalam sejarah Indonesia. Sebab, kebanyakan korbannya adalah perempuan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang merupakan organisasi ‘sayap’ PKI, maupun tertuduh komunis.
Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran

Terkait hal itu, Bedjo Untung menyatakan sangat marah dan kecewa jika pemerintah mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Bagi saya, bagi teman-teman ‘65, Soeharto adalah penjahat hak asasi manusia yang sangat tidak layak,” kata Bedjo Untung kepada Konde.co di depan gedung MPR. Ia bersama KontraS dan aliansi lembaga lainnya menyerahkan surat terbuka tolak Soeharto jadi pahlawan ke MPR, Senin (4/11/2024).
“Bagaimana teman saya yang dibunuh, diculik, dan teman-teman perempuan diperkosa. Itu sampai tidak ada reaksi apa-apa. Dan kami dipekerjakan secara paksa sampai ke Tangerang, Pulau Buru, Nusakambangan.”
“Sampai hari ini teman-teman kami yang diculik, yang dibunuh [saat Peristiwa 1965-1966]. Jumlahnya paling sedikit dua juta jiwa di seluruh Indonesia,” tegas Bedjo.
Baca Juga: Penulis dan Feminis Julia Suryakusuma Dapatkan penghargaan “Order The Crown” Dari Belgia
Tragedi 1965-1966 memakan banyak korban, dari ujung barat ke timur Indonesia. Rekam jejak pembantaian, penyiksaan, dan penghilangan paksa tercatat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, dan sebagainya. Bahkan, menurut Bedjo, kali ini YPKP ‘65 menemukan bukti baru adanya banyak kuburan massal korban pembantaian 1965.
“Itu menunjukkan bahwa Soeharto ikut terlibat langsung dalam merekayasa pembunuhan massal Tragedi ‘65,” katanya.
Dampak peristiwa 1965-1966 tidak berhenti di generasi pertama yang mengalami langsung kejadian itu. Stigma terhadap korban dan para penyintas masih dilekatkan hingga saat ini. Padahal, mereka sudah dinyatakan tidak terlibat dalam G30S.
Adili Soeharto!
Bedjo juga mengatakan bahwa persoalan peristiwa 1965-1966 sampai saat ini belum diselesaikan oleh pemerintah. Nyatanya, penyelesaian yang disebut non-yudisial pun semu.
Yang dibutuhkan oleh para korban dan penyintas adalah pengadilan HAM ad hoc atas Soeharto dan berbagai kasusnya. Ini agar tidak ada lagi dalih sosok Soeharto sebagai orang yang paling berjasa di Indonesia.
Bedjo memastikan negara harus tetap membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili Soeharto. Kenyataan bahwa Soeharto sudah wafat tidak lantas ‘memutihkan’ kasus-kasus yang didalanginya. Pengadilan pun masih bisa digelar secara in absentia.
“Jadi kalau memang MPR tidak mau mendengarkan tuntutan kami, para korban, itu perlu diketahui bahwa korban ini jumlahnya besar,” Bedjo menegaskan. “Bukan hanya korban ‘65. Tapi juga Trisakti, Semanggi, Aceh, Timor Leste, Papua.”
Baca Juga: Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Memorialisasi Penghilangan Paksa Aktivis 1998
Senada dengan itu, Sumarsih menyebut bahwa agenda Reformasi yang pertama saat penggulingan Soeharto menuntut, “Adili Soeharto dan kroni-kroninya.”
Kendati sudah ada pengadilan bagi Soeharto di masa itu, sidang tak kunjung terwujud. Sebab, Soeharto saat itu sedang sakit. Dan menggelar pengadilan bagi orang yang sakit permanen dianggap melanggar HAM.
Jika Soeharto Jadi Pahlawan, Rakyat Akan Melawan

Lantas, bagaimana jika Soeharto benar-benar dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah?
Mike Verawati menyatakan, KPI mendukung berbagai usaha rakyat untuk menolak pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.
“Menurut saya ini harus dihentikan,” kata Mike. “Demi penghormatan terhadap segala bentuk perjuangan atau pahlawan-pahlawan kita yang sudah gugur untuk memperjuangkan situasi-situasi yang sangat buruk pada saat Soeharto memimpin.”
Tambahnya, parlemen MPR juga seharusnya mulai betul-betul menggunakan kewarasan dan logikanya. “Dalam hal ini, kalau kita tidak ingin dianggap sebagai negara yang hipokrit dan juga melupakan sejarah.”
Dimas Bagus Arya menyebut, KontraS dan koalisi masyarakat sipil akan mengambil langkah hukum jika itu terjadi. Sebelumnya, mereka juga pernah mengajukan gugatan atas pemberian Gelar Tanda Kehormatan (GTK) kepada Eurico Guterres, sosok yang dianggap terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ketika aneksasi pemerintahan Indonesia di Timor Timur. Mereka mendorong lewat sidang gugatan reformasi. Belum lama ini, mereka pun menggugat pemberian gelar kehormatan bintang 4 kepada Prabowo Subianto, di PTUN Jakarta. Kendati demikian, gugatan tersebut ditolak.
Baca Juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali
“Itu juga merupakan salah satu langkah,” ujar Dimas. “Kalau pun nanti ternyata MPR tidak mendengarkan masukan dari masyarakat, kita akan coba bawa ini dalam upaya-upaya atau strategi hukum.”
Sementara itu, Bedjo Untung membayangkan bahwa tindakan MPR mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menjungkirbalikkan perjuangan mahasiswa pada tahun 1998.
“Dan itu sama saja dengan mengembalikan rezim Orde Baru. Maka saya bilang, saya bisa mengkhawatirkan ada suatu pembangkangan umum, sikap apatis daripada rakyat.”
Lanjut Bedjo, jika pemerintah mengabaikan penolakan rakyat, maka negara tidak legitimate baginya. Artinya, ia dan segenap rakyat Indonesia tidak mengakui legitimasi negara Indonesia.
“Karena kami juga suara korban; suara rakyat,” tukasnya. “Dan kalau itu tidak didengar, sekali lagi, saya bisa melakukan apa yang disebut pembangkangan umum. Dan kami tidak mematuhi apa yang dilakukan oleh negara.”
Baca Juga: ‘Namaku Alam’, Kisah Tahanan Politik dalam Sejarah 1965
Sedangkan Sumarsih merespon, Aksi Kamisan akan tetap ada untuk mengkritisi berbagai kebijakan. Termasuk jika Soeharto benar-benar mendapatkan gelar pahlawan nasional.
“Makna dari Aksi Kamisan untuk menyuarakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak betul,” kata Sumarsih. “Untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.”
Aksi Kamisan terus berlanjut untuk memantau dan mengkritisi kekuasaan. Siapa pun yang menjadi presiden. Apa pun keputusan DPR atas sebuah kebijakan. Terutama jika pemerintah mengabaikan rakyat dan menobatkan Soeharto sebagai pahlawan, alih-alih mengadilinya.
“Tentunya supaya masyarakat hidup adil, makmur, dan sejahtera,” ungkap Sumarsih. “Seperti di puisinya Wawan dan yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.”
Pun, sebagaimana diucapkan oleh Bedjo Untung, jika Indonesia betul-betul mengangkat Soeharto sebagai pahlawan:
“Saya akan mengatakan bahwa itu malapetaka. Malapetaka dan kehancuran dari Indonesia. Bahkan ini awal dari keruntuhan Indonesia.”
(sumber foto: IST)
Artikel ini termasuk dalam serial liputan #OkeGasAwasiRezimBaru dalam rangka mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama kerjanya.