Men Marry Down Memperlihatkan Reproduksi Patriarki di Ruang Paling Intim

Ada pola massal tentang laki-laki yang menikahi perempuan yang status sosialnya lebih rendah. Apa yang terjadi?

Beberapa waktu lalu, ruang media sosial riuh oleh perdebatan mengenai fenomena “men marry down”. Sebuah pola di mana laki-laki memilih pasangan hidup dari kalangan perempuan yang tingkat pendidikan atau status sosial ekonominya lebih rendah. 

Reaksi pun bermunculan, terutama dari kalangan laki-laki kenapa pilihan mereka dipersoalkan? Banyak laki-laki yang kesal karena ini. 

“Ini kan preferensi pribadi, kok dipermasalahkan?” “Masa mau nikah sama siapa aja harus diatur?” Bahkan ada yang balik bertanya, “Kalau perempuan boleh cari yang lebih mapan, kenapa laki-laki nggak boleh pilih yang lebih rendah?”

Di satu sisi, laki-laki merasa hak privasinya diserang ketika pilihan jodohnya dikritik. Tapi di sisi lain, ketika perempuan berharap menikah dengan pasangan yang lebih mapan atau women marry up, dengan mudahnya dicap materialistis, sombong, atau dianggap ingin “naik kelas”.

Ketika pola pernikahan mereka diteliti, laki-laki merasa terusik. Tapi bagi feminisme, ini bukan hanya persoalan selera pribadi, ini adalah mekanisme sistematis yang melestarikan patriarki di ruang paling intim, yaitu rumah tangga.

Apakah kita akan melarang orang untuk jatuh cinta? Tentu tidak. Tujuan dari mengkritik pola ini adalah untuk membuka kesadaran kolektif. Dari mana preferensi saya berasal? Apakah ia lahir dari keinginan saya yang paling otentik, atau dari bentukan norma yang sudah mengakar?

Cinta bisa tumbuh di mana saja, lintas kelas, lintas pendidikan, lintas apapun. Feminisme tidak sedang melarang siapapun menikah dengan siapa. Tapi masalahnya bukan di sana. Masalahnya adalah ketika ini menjadi pola massal. Pola ini bukan kebetulan. Ini bukan hasil dari jutaan “keputusan cinta” yang kebetulan mengarah ke arah yang sama. Sistem yang terbentuk memastikan laki-laki tetap berada di posisi superior dalam relasi paling intim mereka.

Baca juga: Dear Anak Muda, Gak Usah FOMO dengan Pernikahan Anak ala Tiktoker Gus Zizan

Perlu dipahami, marry up atau kecenderungan perempuan menikah ke atas pada mulanya adalah strategi bertahan hidup. Di tengah masyarakat yang membatasi akses perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan harta warisan, pernikahan menjadi satu-satunya jalur menuju keamanan finansial. Marry up, dengan demikian, adalah gejala sekaligus korban dari sistem patriarki yang membuat perempuan tergantung.

Sebaliknya, marry down atau kecenderungan laki-laki menikah ke bawah, justru dilakukan dari posisi kuasa. Ini adalah pilihan yang dibuat ketika sebenarnya ada opsi lain. Pola ini bukan sekadar gejala, melainkan sebuah bentuk pemeliharaan sistem yang ada. Ia memastikan bahwa dalam unit terkecil masyarakat yaitu rumah tangga, struktur dominasi laki-laki tetap terjaga.

Sebagian laki-laki merasa terancam oleh perempuan yang lebih sukses, sementara sebagian lain memilih pasangan yang sederhana, dengan alasan merasa lebih nyaman, lebih tenang, atau lebih bisa jadi pemimpin.

Untuk memahami mengapa pola ini problematik, kita perlu memahami bagaimana patriarki beroperasi di era modern. Sosiolog feminis Sylvia Walby, dalam bukunya Theorizing Patriarchy (1989), membedakan dua bentuk patriarki: patriarki publik dan patriarki privat. Patriarki publik adalah diskriminasi sistematis terhadap perempuan di ruang publik seperti tempat kerja, politik, pendidikan. Patriarki privat adalah dominasi laki-laki di ruang domestik yaitu rumah tangga.

Di banyak negara maju, patriarki publik telah banyak terkikis. Perempuan kini bisa sekolah tinggi, bekerja, memilih, bahkan menjadi pemimpin. Ini adalah kemenangan feminis yang nyata dan patut dirayakan. Tapi Walby memperingatkan “patriarki tidak mati, ia hanya berpindah rumah.”

Baca juga: Anak Saya Dipaksa Menikah Tanpa Seizin Saya, Apakah Pernikahannya Bisa Dibatalkan?

Ketika perempuan mulai menanjak di ruang publik, patriarki mengkonsolidasikan kekuasaannya di ruang privat. Pola men marry down adalah instrumen utama dari strategi ini. Ketika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan status lebih rendah, ia menciptakan sengaja atau tidak kondisi struktural untuk patriarki privat. Istrinya mungkin diizinkan bekerja, tapi posisinya dalam rumah tangga tetap subordinat. Dia mungkin punya penghasilan, tapi tidak punya kendali penuh atas keuangan keluarga. Dia mungkin boleh berpendapat, tapi keputusan akhir tetap di tangan suami. Dan yang paling penting, istri menjadi ketergantungan ekonomi, sehingga keluar dari relasi yang toxic menjadi sangat sulit.

Tidak ada rapat rahasia kaum laki-laki yang memutuskan, “Ayo kita semua nikahi perempuan yang lebih rendah supaya kita tetap berkuasa.” Tidak. Sistem ini bekerja melalui sosialisasi, normalisasi, dan naturalisasi hingga laki-laki sendiri tidak sadar bahwa preferensi mereka adalah produk dari sistem patriarki.

Lalu mengapa laki-laki secara kolektif memilih perempuan di bawahnya? Mengapa mereka tidak nyaman dengan perempuan yang setara atau lebih tinggi? Jawabannya ada pada konsep hegemonic masculinity dari R.W. Connell. Dalam bukunya Masculinities (2005), Connell menjelaskan bahwa ada hierarki maskulinitas di masyarakat. Hegemonic masculinity bentuk maskulinitas yang paling dihargai secara kultural didefinisikan oleh beberapa elemen kunci: kekuasaan, dominan, pemberi nafkah, dan yang paling penting berada “di atas” perempuan.

Menjadi laki-laki sejati dalam konstruksi hegemonik ini berarti memiliki kontrol, memiliki power, menjadi pemimpin. Dan bagaimana cara paling mudah untuk membuktikan itu? Dengan memilih pasangan yang posisinya di bawah.

Sebaliknya, menikahi perempuan yang lebih tinggi statusnya adalah ancaman terhadap identitas maskulin. Ia takut dilihat sebagai lemah, tidak mampu, tersaingi. Khawatir akan dijudge oleh laki-laki lain sebagai tidak jantan. Dan ia sendiri tidak nyaman dengan posisi tidak dominan.

Ini mengungkapkan identitas maskulin laki-laki bergantung pada posisi relatif mereka terhadap perempuan. Mereka tidak bisa merasa sukses jika pasangan mereka lebih sukses karena maskulinitas mereka didefinisikan melalui superioritas.

Baca juga: ‘Ribetnya’ Pernikahan Beda Agama, Bukti Negara Campuri Urusan Privat

Salah satu ironi terbesar dari pola men marry down adalah bahwa sistem ini tidak hanya ditegakkan oleh laki-laki ia juga ditegakkan oleh perempuan, termasuk keluarga perempuan sendiri. Di banyak budaya, termasuk Indonesia, ada ekspektasi kuat dari keluarga perempuan bahwa calon suami harus “lebih tinggi” dari anak perempuan mereka. Orang tua perempuan akan menolak laki-laki yang dianggap tidak setara atau tidak layak. Dan layak sering didefinisikan secara ekonomi dan status sosial.

Orang tua perempuan tahu cara terbaik untuk memastikan anak perempuan mereka “aman” adalah dengan menikahkannya ke “atas.” Mereka tidak percaya sistem akan melindungi anak perempuan mereka, maka mereka memasrahkan perlindungan itu kepada laki-laki yang “mampu.” Tapi apa konsekuensinya? Perempuan yang sukses menjadi terlalu tinggi untuk dinikahi, dan keluarga mereka sendiri mungkin menekan mereka untuk menurunkan standar.

Keluarga laki-laki juga sering memiliki ekspektasi bahwa laki-laki harus menikahi perempuan yang tidak akan menyaingi anak laki-lakinya dengan terlalu ambisius. Di Indonesia, konsep kepala keluarga masih sangat dominan. Laki-laki diharapkan memimpin dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga. Akan jadi cibiran jika istri terlihat lebih dominan dan memberi arahan kepada suami di depan umum, walaupun secara ilmu dan pengalaman, istri lebih tahu.

Salah satu aspek paling problematis dari pola men marry down adalah bahwa ia mengubah pernikahan dari partnership menjadi transaksi sosial ekonomi. Perempuan menukar pekerjaan domestik, emotional labor untuk akses ke sumber ekonomi dan status sosial melalui laki-laki. Ia tidak sedang diberi nafkah, ia sedang dibayar untuk kerjanya, tapi dalam bentuk yang membuat ia terlihat ketergantungan.

Feminis Carole Pateman dalam The Sexual Contract (1988) mengajukan argumen bahwa pernikahan modern, meski tampak konsensual dan egalitarian, sebenarnya masih beroperasi di bawah kontrak seksual. Kontrak implisit dimana perempuan menyerahkan kontrol atas tubuh, seksualitas, dan kerja domestik mereka kepada laki-laki sebagai ganti perlindungan dan kecukupan ekonomi.

Baca juga: Hancur Lebur, Mental Kena: Begini Rasanya Bertahan Dalam Pernikahan Toksik!

Penelitian Marianne Bertrand dan rekan-rekannya Gender Identity and Relative Income within Households (2015) menemukan fakta mengejutkan. Ketika istri mulai menghasilkan lebih banyak dari suami, ia justru mengompensasi dengan melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Ini bukan karena ia tiba-tiba lebih suka bersih-bersih, ini adalah strategi untuk menjaga ego suami, untuk mempertahankan stabilitas pernikahan. Perempuan membeli keamanan dan stabilitas dengan menerima subordinasi.

Perempuan yang sukses, berpendidikan tinggi, mandiri secara ekonomi mengalami kesulitan mendapatkan pasangan. Di China, mereka disebut “sheng nu” (leftover women), perempuan yang tersisa karena terlalu sukses untuk menarik laki-laki. Ini adalah semacam bentuk hukuman untuk perempuan yang berani mengejar kesetaraan. Pesannya “Kamu boleh sukses, tapi jangan terlalu sukses, nanti nggak laku.”

Akhirnya, kita sampai pada poin paling krusial, mengapa feminisme peduli dengan pola marry down? Bukan karena feminisme ingin mengatur hidup orang. Feminisme peduli karena patriarki bereproduksi paling efektif di rumah tangga.

Anak-anak belajar dari mengamati orang tua mereka. Ketika mereka melihat ayah yang selalu membuat keputusan, mereka belajar laki-laki adalah pemimpin. Ketika mereka melihat ibu yang selalu mengalah, mereka belajar perempuan harus nurut. Dan ketika mereka melihat ayah yang tidak pernah cuci piring, mereka belajar pekerjaan domestik tanggungjawab perempuan.

Sylvia Walby menulis, “Rumah tangga adalah tempat di mana ketertundukan perempuan dilahirkan”. Setiap hari, dalam ribuan interaksi kecil, anak-anak menyerap pelajaran tentang siapa punya power, siapa yang harus nurut, siapa yang suaranya lebih penting, ayah atau ibu?

Jika memang sebuah hubungan sehat dan setara, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah kesadaran bahwa pilihan personal punya konsekuensi struktural. Jika kita serius menginginkan kesetaraan gender, kita harus mulai dari rumah. Dari mempertanyakan preferensi kita sendiri.

Baca juga: Jika Korban KDRT di Pernikahan Siri Menggugat, Bisakah Pelaku Dijerat Hukuman?

Polemik men marry down di media sosial adalah sebuah gejala sehat. Ia menunjukkan bahwa kita mulai mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap “wajar” dan “normal”. Debat ini bukan tentang menyulitkan laki-laki mencari jodoh, atau tentang perempuan yang takut tidak laku.

Ketika seorang perempuan berpikir dua kali untuk menerima promosi kerja karena khawatir mengancam dinamika rumah tangganya, kita semua kehilangan. Ketika seorang laki-laki merasa tidak bisa menangis atau lemah karena harus menjaga image “atasan” dalam keluarganya, kita semua kehilangan. Membongkar pola men marry down adalah membongkar satu mata rantai penting dari jerat patriarki yang panjang.

Bukan berarti setiap hubungan lintas kelas pasti timpang. Banyak pasangan berhasil menyeimbangkan kekuasaan lewat empati, komunikasi, dan kesadaran sosial. Tapi untuk sampai ke titik itu, dibutuhkan refleksi jujur, apakah kita benar-benar mencintai orangnya, atau posisi kita di hadapannya?

(Editor: Luviana Ariyanti)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!