Mak Echi

Cerita Mak Echi, Tak Gentar Perjuangkan KTP untuk Transpuan

Seorang transpuan bernama Mak Echi mengisahkan perjuangan hidupnya termasuk pengurusan KTP. Dia juga membantu teman-teman transpuan lainnya agar bisa dapat KTP. Supaya punya kehidupan layak dan terjamin atas hak-haknya sebagai WNI. Simak ceritanya!

“KTP itu penting!” kata Mak Echi, transpuan asal Palembang yang belakangan aktif berkiprah di Yayasan Srikandi Sejati (YSS).

YSS merupakan lembaga yang salah satu kegiatannya untuk mendukung kampanye pentingnya transpuan punya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ini sebagai identitas warga yang menempati suatu wilayah yang didata oleh Pemerintah.

Menurut Mak Echi, sebagian besar transpuan saat ini masih mengalami kesulitan saat mengurus KTP di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Provinsi DKI Jakarta. Ini terjadi karena mereka sudah menanggalkan nama asli dan mengubah penampilannya. 

Terlebih urusan menggunakan nama baru tidak semudah ‘membalikkan telapak tangan’. Untuk itu, harus melewati proses panjang dengan penetapan pengadilan, selanjutnya dilaporkan ke Dukcapil. 

Tetapi bukan Mak Echi namanya jika mudah gentar. Ia pun maju terus, pantang mundur!

“Saya punya prinsip, jangan sampai teman-teman mengalami seperti saya dulu yang tidak punya KTP sehingga tidak bisa punya tabungan di bank, tidak bisa mengakses bansos, fasilitas kesehatan, dan lain-lain,” katanya.

Pada tahun 2015, proses Mak Echi membuat KTP. Bukannya tanpa kendala dan hambatan. Namun, dia nekat saja. Dia terobos. Dia memulainya dengan pendekatan kepada ketua RT sampai akhirnya pengajuan pengurusan KTP-nya ditindaklanjuti. 

Sejak itu, Mak Echi aktif mendorong teman-teman transpuan untuk membuat KTP. Bahkan ia tak segan menawarkan diri sebagai pendamping bagi mereka di Dukcapil. Sesi pendampingan itu diperlukan untuk menghindarkan terjadinya aksi perundungan oleh oknum terhadap mereka yang dipandang “berbeda.”

Kisah Hidup dan Penerimaan Diri

Terlahir sebagai anak piatu dengan nama asli Sukoco Anggi Saputra, Mak Echi menghabiskan masa kecil di Kampung Lahat, Palembang, Sumatera Selatan. Ibunya menghembuskan napas terakhir saat melahirkannya ke dunia. Bungsu dari 8 bersaudara ini pun diasuh oleh kakak dari ayahnya.

“Sejak kecil, saya dipelihara oleh abang ayah saya, diberikan mainan anak perempuan kayak boneka,” Mak Echi memulai cerita. 

“Dari situ saya bingung diri saya ini siapa. Saya laki-laki, tapi jiwa saya perempuan. Akhirnya, dengan berjalannya waktu, saya baru menyadari diri saya ini seorang transgender, transpuan,” lanjutnya. 

Semasa kecil, Mak Echi mengaku akrab dengan sepupu perempuan—anak ketiga dari bersaudara dari ayah angkat—yang sebaya. Usia keduanya hanya terpaut beberapa tahun saja. Ia lebih tua dibandingkan sepupu perempuannya. 

Bersama si sepupu dan teman-teman perempuan, Mak Echi mengaku sering main bersama. Sejak kecil, Mak Echi suka mengepang rambut teman-teman perempuan, suka merias, main rias-riasan pengantin. 

“Saya tampil wajar, penampilan laki-laki, baju laki-laki, tapi saya modif jadi baju perempuan sedikit. Bagian lengan saya tambah apa gitu, dan celana pendek saya ketatin.”

Berani tampil beda, tak ayal Mak Echi kecil menjadi objek perundungan oleh teman-temannya. “Saya dikatain, ‘kayak perempuan’, ‘bencong.’” 

Beruntung, ia mendapat pembelaan dari teman karib—sebangku di kelas—yang disebutnya cowok asli, “Kalau saya di-bully dengan kata-kata bencong, dia lebih marah.”

Baca Juga: Sejarah Istilah ‘Transpuan’ dan Perjuangan Keadilannya

Menghadapi situasi itu, lulusan SMEA jurusan akuntansi ini berusaha tetap tegar. Selama bentuk perundungan itu sebatas verbal, tanpa pemukulan atau penganiayaan, ia merasa tidak perlu melakukan perlawanan.

Benar saja, sikap cuek membuat aksi perundungan berhenti dengan sendirinya. Tak hanya mengabaikan ulah perundung, ia juga tak mengindahkan saran guru agar berperilaku “normal.” 

Biarin aja lah orang mau bilang apa,” kata Mak Echi, santai. Lama-lama mereka mengerti juga, akhirnya bisa menerima [saya apa adanya]. Tetap tidak bisa [normal], memang saya jiwanya ke sana [perempuan],” aku Mak Echi. 

Ia bersyukur, teman-temannya pun akhirnya bisa menerima kondisinya sebagai transpuan. Sampai detik ini, mereka pun sering reuni-an. 

Setelah menamatkan sekolahnya di SMEA, pada 1989, Mak Echi pun merantau ke Jakarta, mengejar cita-cita sebagai pengusaha salon.

Masa Sulit dan Perjuangan Bangkit

Dia tak menyangka, setiba di Ibu Kota, Mak Echi harus menghadapi kenyataan pahit. Seorang tetangganya di Lahat, Sumatera Selatan, yang semula bertindak sebagai “talent scouter” ternyata ingkar janji. 

“Jujur saja, saya dapat kerjaan yang tidak wajar: saya ‘mejeng’, karena saya belum tahu salon mana yang mau menerima saya,” katanya.

‘Mejeng’ ini merujuk pada aktivitasnya sebagai pekerja seks. Pekerjaan yang pada realitanya tidak mudah dijalani. Sebab bukan hanya risiko kerja yang rentan namun juga stigmatisasi dan kekerasan yang dialami.  

“Senang memang ada, tapi kebanyakan dukanya. Kalau ‘mejeng’ itu di-bully orang, disambit orang. Namanya kita hidup di jalanan, jadi keras,” katanya.

Pada masa itu, Mak Echi biasanya ‘mejeng’ sejak 4 sore hingga 10 malam. Lambat laun, jadwal ‘mejeng’-nya bergeser, mulai tengah malam sampai 5 pagi. Meski sudah bekerja keras dan penuh risiko, pendapatannya pas-pasan. Hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan.

Baca Juga: Sulitnya Menjadi Transpuan, Selalu Dianggap Salah

Mak Echi, tak melupakan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya selama ‘mejeng’. Dia pernah mendapat perlakuan tidak senonoh dari seorang laki-laki yang sempat menggunakan jasanya. Ia dibawa oleh laki-laki itu ke sebuah rumah kosong. Dia kemudian dikeroyok tanpa mampu membela diri. Itu perlakuan paling sadis yang Ia pernah alami.

 “Saya dipaksa, dipukul, disiksa, dilecehkan. Saya enggak bisa melawan karena dia bawa temannya lima orang. Ada trauma yang saya rasakan. Ya, sudahlah nasib saya begini. Di situlah saya kapok mejeng,”  Mak Echi terisak menceritakan peristiwa kelam, pada 2014. 

Sekalipun trauma, Mak Echi tidak melaporkan aksi penganiayaan dan pelecehan yang dialaminya kepada pihak berwajib. Ia tak ingin menambah masalah baru lantaran pada saat itu belum memiliki KTP. Dengan kata lain, masih berstatus pendatang dari luar kota yang bekerja secara ilegal tanpa identitas jelas.

Beruntung, setahun kemudian, pada 2015, ia bertemu dengan Heni Pawaka, Ketua Perkumpulan Waria se-Jakarta Barat. Transpuan yang biasa disapa Kak Heni ini kemudian mengajaknya bergabung dengan Yayasan Srikandi Sejati (YSS), yang berfokus pada pemberdayaan para transpuan di sektor pekerjaan legal.

“Setelah kenal Kak Heni, saya tidak mejeng lagi,” kata Mak Echi.

Dia akhirnya membuka usaha kecil-kecilan: salon di rumah kontrakan. Selain itu, ia juga berkiprah di YSS, dari semula sebagai sukarelawan, hingga menjadi petugas lapangan. Andilnya, antara lain mengampanyekan bahaya HIV/AIDS pada teman-teman transpuan.

Semangat untuk bangkit membuat Mak Echi mampu menepis trauma masa lalu. Lewat pekerjaan baru, ia mengubah dan menyembuhkan diri sendiri. 

“Dalam hati, saya memang bertekad tidak mau selamanya mejeng,” kata Mak Echi yang kemudian juga bergabung dengan Forum Komunikasi Waria, sebagai anggota.

Kematian Teman Transpuan yang Memilukan

Ibarat baru saja melihat pelangi setelah melewati badai, Mak Echi harus menghadapi kenyataan pahit. Satu per satu teman transpuan menjemput ajal di masa pandemik Covid-19. 

Lebih memilukan lagi, para mendiang sempat mengalami kesulitan saat hendak dimakamkan lantaran semasa hidup tidak punya KTP.

Diakui Mak Echi, rata-rata teman transpuan tidak diketahui nama asli maupun identitas pihak keluarganya. Kebanyakan para transpuan ini hanya dikenal nama perempuannya saja. Terpaksa, Mak Echi dan teman-teman transpuan lain berpatungan untuk membuat KTP kilat bagi para mendiang agar bisa dikuburkan di pemakaman umum.

“Dalam sehari, saya bisa nguburin dua teman transpuan yang meninggal dunia karena sakit. Ya, Allah, terjadi lagi dan terjadi lagi. Teman-teman saya kok, begini banget nasibnya,” ujarnya.

Dari peristiwa itu, Mak Echi semakin tergugah. Dirinya dan teman-teman transpuan harus punya KTP. Jangan sampai mengalami hidup seperti itu. 

Baca Juga: Perjuangan Transpuan Mengurus KTP: “Mereka Tetap Memanggil Saya Mas”

Setelah berhasil membuat KTP baru—berisi data nama asli dan jenis kelamin laki-laki, plus pas foto diri berpenampilan ala perempuan, Mak Echi pun mulai aktif mengampanyekan pentingnya transpuan memiliki KTP. Selain bergerilya ke sana kemari dengan bendera YSS, ia juga menggandeng Perkumpulan Suara Kita.

Ia begitu semangat untuk mendukung teman-teman transpuannya agar memiliki KTP. Memang sudah selayaknya, transpuan sebagaimana sama sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang perlu dilindungi haknya. Jangan sampai belum punya KTP dan BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan). 

Demi menggencarkan program KTP, Mak Echi rela menjemput bola, bergerak dari pintu ke pintu, lalu mendampingi teman-teman transpuan di Dukcapil. 

Jadi pendamping teman-teman transpuan dalam pengurusan KTP, Mak Echi makin mengenal karakter masing-masing. Ada yang sibuk berdandan, ada yang heboh mengurus penggantian nama di pengadilan, ada juga yang ngambek lantaran tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal dari petugas Dukcapil.

Baca Juga: Pengakuan Untuk Transpuan dan Trans Laki-Laki di KTP Akan Lindungi Dari Diskriminasi

Suatu kali, Mak Echi bercerita mereka pernah datang beramai-ramai di Dukcapil, tapi tidak dilayani dengan baik. Petugas beralasan blangko habis. Ini bukan hanya sekali, pernah juga sudah tiga-empat kali datang dan dibatalkan.

“Kalau sudah begini, saya terpaksa harus meyakinkan lagi dan menggiring teman-teman yang kadung kecewa,” katanya. 

Setelah memiliki KTP baru, teman-teman transpuan akhirnya merasakan sendiri ternyata ada banyak keuntungan. Kini, mereka bisa mempunyai tabungan di bank, mengakses fasilitas kesehatan secara gratis, bahkan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta kepesertaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Untuk dua fasilitas yang disebutkan terakhir itu, menurut Mak Echi, teman-teman transpuan berumur muda wajib membayar iuran secara mandiri. Sementara teman-teman transpuan berusia lanjut, 50-65 tahun, bisa menjadi penerima manfaat, iurannya dibayar oleh Perkumpulan Suara Kita—yang berasal dari para donatur.

Manfaat BPJS Kesehatan, salah satunya mendapat jaminan biaya pengobatan saat sakit. Sedangkan manfaat BPJS Ketenagakerjaan antara lain memperoleh sekaligus Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP) yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Baca Juga: Cerita Ria, Tiko dan Erni: Perjuangan Transpuan Mengurus Jaminan Sosial

Beberapa waktu lalu, Mak Echi berkesempatan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh International Labour Organization (ILO) yang menjadikannya semakin percaya diri dan terampil dalam urusan pembuatan KTP. 

“Intinya, sekarang sudah tahu prosedur birokrasi, jadi semangat banget mendampingi teman-teman transpuan di Dukcapil,” kata Mak Echi.

Sejauh ini, tercatat 255 transpuan berdomisili di Jakarta Barat yang sedang mengurus KTP, dan 75 diantaranya didampingi oleh Mak Echi. 

“Kalau menolong orang tapi gagal, saya tidak bisa tidur, selalu kepikiran. Sebaliknya kalau sudah [membantu orang], saya lega. Ibarat mati, saya sudah tenang,” kata Mak Echi seraya tertawa.

Mak Echi berharap, bisa mengubah teman-teman transpuan yang semula kekeuh dan ngeyel, hingga akhirnya mau mengurus KTP baru. Di sisi lain, ia juga berharap semua instansi Pemerintah jangan memandang sebelah mata teman-teman transpuan. Mereka juga Warga Negara Indonesia yang harus dilindungi, sesuai undang-undang.

Hidup Tenteram Bersama Keluarga

Tak hanya berkutat mengelola salon dan bantu mengurus KTP teman-teman transpuan, sehari-hari, Mak Echi juga memiliki kehidupan pribadi yang hangat bersama anak angkat dan pasangannya, yang biasa disapa Bang Alex. Tanpa ragu, Mak Echi mengisahkan tentang orang-orang terdekat dalam hidupnya.

 “Saya memang suka anak-anak. Sejak kecil, dalam hati saya sudah ada panggilan [kelak menjadi ibu],” tutur Mak Echi, seraya mengucap syukur.

“Cita cita saya jadi waria, buka salon, terus punya suami, punya anak. Alhamdulillah, ya Allah mendengarkan doa saya, semuanya terkabul,” imbuhnya. 

Ternyata, ada kisah haru di balik kehadiran si kecil (anak angkatnya). 

Baca Juga: Dulu Laki-laki, Sekarang Perempuan, Bisakah Aku Jadi Diriku Sendiri?: Cerita Transpuan

Ceritanya, setelah hampir satu dekade merantau, pada awal 2000, akhirnya Mak Echi menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan Joglo, Jakarta Barat. 

Ibu pemilik rumah kontrakan itu, memperlakukannya dengan sangat baik. Layaknya anggota keluarga sendiri. Pada 2003, sang ibu melahirkan anak ke-delapan, laki-laki. “Saya sering menimang-nimang si bayi,” kata Mak Echi.

Namun pada 2007, sang ibu jatuh sakit. Tak kunjung sembuh, sang ibu pun menghembuskan napas terakhir, setelah sebelumnya sempat menitipkan si bungsu yang masih balita pada Mak Echi. Beruntung, suami dan keluarga mendiang ibu tidak keberatan, karena sudah menganggap Mak Echi bagian dari keluarga.

Bahu membahu bersama Bang Alex, Mak Echi mengasuh si kecil yang kini sudah beranjak dewasa, berusia 20 tahun dan sudah bekerja kantoran. Bang Alex sendiri, dikatakan Mak Echi, pernah bekerja sebagai petugas keamanan. 

Security,” celetuk Mak Echi, kenes, sambil menceritakan pertemuan pertama dengan si abang.

“Sejak awal datang ke Jakarta, saya sudah kenal dia. Kami bertemu saat saya masih ‘mejeng’. Begitu berkenalan, langsung akrab. Keluarga dari kedua belah pihak sudah tahu dan menerima,” tutur Mak Echi tentang pria asal dari Balaraja. Sekalipun sudah terjalin kebersamaan, Bang Alex tak keberatan Mak Echi tetap ‘mejeng’.

Pada akhirnya, Mak Echi sendiri yang memutuskan untuk menghentikan kegiatan ‘mejeng’. Terlebih pasca peristiwa kelam itu, ia sungguh-sungguh tak ingin kembali ke masa lalu. Kini, ia berbahagia bersama keluarga kecil, teman-teman di komunitas, dan tentu saja keluarga besarnya di kampung halaman, Lahat.

Baca Juga: ‘Rumah Bukanlah Rumah Aman bagi Kami!’ Transgender Bergandeng Tangan Pulihkan Trauma

Mak Echi bersyukur, keluarga besar tidak mempersoalkan keputusannya menjalani hidup sebagai transpuan. “Alhamdulillah, keluarga sudah tahu gender saya begini, sudah bisa menerima sampai saat ini,” kata Mak Echi. 

“Saat saya pulang kampung dan tampil dengan dandanan perempuan, keluarga nggak marah.”

Abang ayahnya, yang kini sudah lanjut usia, pun memaklumi. “Lah, memang kamu dari kecil kayak perempuan,” Mak Echi menirukan kata-kata sang ayah angkat. 

Menurut Mak Echi, respon keluarga besar yang penuh pengertian bukan semata didasari oleh pemikiran yang terbuka, melainkan juga kenyataan di keseharian.

“Di kampung saya itu, banyak teman, tetangga juga transpuan. Hampir 35 persen lah. Jadi bukan pemandangan yang langka. Makanya keluarga sudah nggak kaget [melihat penampilan transpuan]. Mereka beranggapan, anak saya tidak sendirian. Transpuan memang ada dan diterima masyarakat,” pungkasnya.  

Feri Latief

Photojournalist
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!