kekerasan berbasis gender online

Revenge Porn, Kekerasan Digital Yang Paling Banyak Terjadi

Revenge porn atau NCII merupakan penyebaran konten yang bertujuan merusak reputasi seseorang dengan memanfaatkan platform digital dengan motif balas dendam.

Kekerasan berbasis gender daring (KBGD) atau juga dikenal sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO) dimungkinkan terjadi dengan adanya teknologi. Hal ini memiliki kesamaan dengan kekerasan berbasis gender di dunia nyata, yakni bertujuan untuk merendahkan korban berdasarkan gender atau seksnya.

Pemanfaatan platform media sosial oleh masyarakat menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi untuk melakukan atau justru menjadi korban kekerasan yang dilakukan secara online. Kurangnya edukasi dan belum siapnya masyarakat terhadap kemajuan membuat kasus-kasus kekerasan berbasis gender semakin tidak dapat dikendalikan. Telah banyak kasus terjadi dan beredar di media sosial—mengharuskan masyarakat untuk lebih peduli dan bijak dalam penggunaannya.

Menurut temuan, satu kasus kekerasan online dapat melibatkan beberapa jenis kekerasan berbasis gender online. Revenge porn, atau yang kini dikenal sebagai non-consensual intimate image (NCII) abuse, menjadi jenis kekerasan paling banyak terjadi hingga mencapai 33% kasus. Hal itu diikuti dengan malicious distribution sebesar 20%. Dari 31 laporan media yang dianalisis, 55% berita daring dan cetak yang membahas NCII juga menguatkan temuan tersebut.

Baca juga: Cerita Korban KBGO; Stres Dan Diancam Fotonya Disebarkan

Keberadaan media sosial telah mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat. Online platform tersebut kini seringkali disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk melakukan kekerasan dengan latar belakang gender. Tidak hanya berkaitan dengan hubungan seksual, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas.

Revenge porn atau NCII sendiri merupakan penyebaran konten yang bertujuan merusak reputasi seseorang dengan memanfaatkan platform digital dengan motif balas dendam. Biasanya, dalam kasus revenge porn atau NCII, pelaku akan melakukan ancaman terhadap korban dengan tujuan melecehkan, mempermalukan, mengintimidasi dan menyuap. Selain itu, dari banyak kasus NCII yang ditemukan, pelaku melakukan hal tersebut untuk merusak kehidupan korban di dunia nyata, biasanya karena pelaku merasa kesal pada korban.

Ketika korban berusaha menghindari ancaman tersebut, pelaku akan menyebarkan konten-konten aibnya di media sosial dengan harapan balas dendamnya tersampaikan. Pelaku juga mencoba balas dendam pada korban dengan sikap yang menyalahkan korban (victim blaming), seolah-olah ia telah melakukan kesalahan yang pantas dihukum dengan ancaman dan penyebaran konten yang bersifat pribadi oleh si pelaku.

Baca juga: Demi Konten Viral, Direkam Tanpa Persetujuan: Stop KBGO Pekerja Seks

Contoh kasus NCII—dulu dikenal dengan istilah ‘revenge porn’—yang baru-baru ini terjadi yakni penyebaran video artis berinisial RC oleh beberapa oknum, salah satunya mantan kekasihnya sendiri. Menurut Viva.co.id, mantannya seringkali mengancam korban karena tidak ingin hubungan keduanya berakhir. Menurut pihak kuasa hukum RC, kliennya bahkan diancam dan diperas hingga mencapai nominal 30 juta. Kasus tersebut menjadi contoh bahwa revenge porn atau NCII merupakan tindak kejahatan yang harus diwaspadai. Pasalnya, kekerasan tersebut akan berdampak terhadap mental dan fisik korban.

Dampak yang banyak terjadi adalah korban mengalami gangguan kekhawatiran, kesedihan, bahkan kesulitan tidur. Korban juga akan dengan mudah merasa terkejut, bingung, mengalami mimpi buruk, dan ketakutan. Bahkan jika konten tersebut tidak sepenuhnya tersebar, korban akan merasa bersalah hingga mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Data Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 yang dirilis Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 71 kasus revenge porn (sekarang dikenal dengan istilah NCII), yang dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Mayoritas kasus tersebut dilakukan oleh mantan pasangan.

Baca juga: Riset PurpleCode: Cerita 9 Penyintas Atasi Kekerasan Berbasis Gender Online 

Korban tindak kekerasan seksual dalam bentuk revenge porn atau NCII berupa penyebaran konten pornografi telah dilindungi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 14 UU TPKS. Isinya mengatur tentang kekerasan seksual melalui media elektronik. Pelaku dapat dihukum maksimal empat tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 200 juta. Selain itu, hukum terkait balasan dendam melalui penyebaran konten pornografi juga tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang melarang penyediaan dan penyebaran konten pornografi. Pelaku penggandaan dan penyebaran konten pornografi juga dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 UU Pornografi, sebagaimana halnya merekam dan memproduksi pornografi. Namun, penetapan hukum dan sanksi terkait kekerasan berbasis gender tersebut tidak menyurutkan angka kejadian kasus revenge porn atau NCII.

Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kasus tersebut adalah kemajuan teknologi yang tidak didukung oleh literasi penggunaan perangkat. Perdebatan masyarakat mengenai kasus tersebut pun cenderung menyalahkan korban (victim-blaming) dan slut-shaming. Lemahnya sistem hukum juga membuat pelaku tidak takut dalam melakukan aksinya tersebut.

Baca juga: Memantau Akun Fake di Media Sosial Yang Mengancam Korban KBGO

Lingkungan masyarakat seringkali bersikap diskriminatif. Namun, hidup dan tumbuh di tengah lingkungan seperti itu tidak bisa dijadikan alasan untuk terus melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap gender tertentu, termasuk di dunia maya. Apa pun gendernya, tidak ada yang berhak menyalahkan seseorang atas tubuh mereka sendiri.

Seharusnya dengan banyaknya kasus yang terjadi, pemerintah dan masyarakat dapat bersatu melawan permasalahan kekerasan berbasis gender ini, agar korban dapat lebih merasa aman dan berani mengungkapkan dan melaporkan kasus yang dialaminya. Pelaku harus menerima hukuman yang sesuai agar dapat memberikan efek jera, dan mencegah terjadinya kasus serupa.

Selain itu, dengan banyaknya kasus seperti itu, masyarakat khususnya para remaja dan anak muda yang sudah terbuka akan teknologi bisa belajar untuk menghindari dan mengantisipasi terjadinya kekerasan tersebut. Di dunia maya, menjaga keamanan data berarti melindungi informasi pribadi, khususnya data yang bersifat sensitif, dari siapa saja yang dapat mengaksesnya, baik melalui internet maupun secara fisik. Salah satu caranya, memisahkan antara akun pribadi dengan akun yang bersifat publik. Juga, jangan mudah mempercayai pihak-pihak ketiga untuk mengakses privasi atau menuruti keinginan orang lain untuk melakukan tindak kejahatan. Kita sebagai pengguna media sosial harus lebih berhati-hati karena kejahatan bisa terjadi dan dilakukan oleh siapa saja, bahkan orang terdekat.

Brilliant Shoffiawinda Sukma Noor

Mahasiswa Semester 2 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Airlangga, tertarik dengan isu kesetaraan gender.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!