Gerakan perempuan Indonesia dan kaitannya dengan feminisme dan Islam.

Feminisme Berkontribusi Bongkar Sistem Patriarki Dalam Islam

Feminisme membongkar budaya patriarki dalam masyarakat dan agama, salah satunya dalam Islam.

Dalam sejarahnya, aspirasi-aspirasi yang menyuarakan hak-hak perempuan di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem sosial kemasyarakatan Indonesia. 

Beriringan dengan urbanisasi dan pendidikan modern yang mulai disebarluaskan oleh pemerintah kolonial. Muncul sosok-sosok perempuan berpikiran maju yang menentang keadaaan sosial yang membelenggu perempuan: sosok Kartini, Roehana Koeddoes, hingga Dewi Sartika memprotes feodalisme dan budaya patriarki yang begitu mengakar. Mereka bercita-cita bahwa perempuan-perempuan Indonesia akan menjadi perempuan yang terdidik dan berpikiran maju.

Perlahan tapi pasti, kesadaran individual ini bertransformasi menjadi kesadaran kolektif dan bersifat institusional. Mulai dari didirikannya organisasi-organisasi perempuan seperti Gerwani, hingga terbitnya koran-koran yang secara khusus menyuarakan perubahan sistem sosial yang lebih ramah untuk kaum perempuan. Seperti koran perempuan Poetri Hindia, Soenting Melajoe, dan Perempoean Bergerak

Organisasi-organisasi dan koran-koran ini ingin mereformasi aturan legal yang mengatur perempuan. Dalam hal akad nikah, talak-cerai, perkawinan usia muda, dan poligami yang semuanya merugikan perempuan.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Multikultural, Perempuan Ditindas Karena Kultur

Namun pertaliannya dengan gerakan nasionalis yang bertujuan untuk memerdekakan Indonesia membuat para perempuan mulai menyuarakan isu-isu di luar kepentingan identitasnya. Hal ini kemudian disadari saat penyelenggaraan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dua bulan setelahnya, organisasi-organisasi perempuan di Indonesia menyelenggarakan kongres perempuan pertamanya di Yogyakarta. Tema sentral yang dibahas adalah konsolidasi perjuangan khusus perempuan dalam upaya memerdekakan Indonesia, tanpa harus meninggalkan agenda khusus memperjuangkan hak-hak perempuan dalam perkawinan.

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan gerakan perempuan di Indonesia makin meningkat. Kaum perempuan bahu-membahu bersama kaum laki-laki untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari menyiapkan dapur-dapur umum sampai menjadi tentara di barisan terdepan. 

Setelah revolusi kemerdekaan, kaum perempuan dan organisasi-organisasinya makin menggiatkan kampanye pemberantasan buta huruf, pengentasan kemiskinan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi perempuan. Mereka juga menuntut akses pendidikan selebar-lebarnya bagi kaum perempuan, menentang poligami dan memperjuangkan jaminan pelayanan hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga unjuk nyali dalam gelanggang politik, misal menjadi ketua partai, diplomat, ataupun pejabat pemerintahan.

Zaman Kegelapan Gerakan Perempuan

Pada saat gerakan perempuan di Indonesia mulai mencapai puncak kejayaannya, datang zaman kegelapan menyelimuti gerakan perempuan Indonesia. Ditandai dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan restrukturisasi kekuasaan rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru, gerakan perempuan di Indonesia mulai didomestikasi dan ditundukkan di bawah kekuasaan laki-laki. 

Mulai dari penghancuran gerakan wanita Indonesia atau Gerwani lewat kampanye media massa yang masif. Sampai pelarangan perempuan membicarakan politik, aktif di organisasi politik atau jadi pengurus partai politik. Para perempuan hanya diperbolehkan mengikuti organisasi sosial dan profesi dengan syarat suaminya aktif di organisasi tersebut.

Di masa Orde Baru, nilai-nilai lama seakan dihadirkan kembali. Seperti keharusan perempuan patuh pada laki-laki, serta pandangan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, di dapur, dan di kasur. Walaupun anggapan-anggapan yang melemahkan perempuan terus merajalela, hal itu tidak serta merta memadamkan api juang kaum perempuan. Meski terbatas, sebagian perempuan perkotaan terdidik aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan selalu mengadvokasi isu-isu kesetaraan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang dirampas.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Marxis, Melucuti Sistem Kapitalisme Untuk Pembebasan Perempuan

Meluasnya pemberontakan rakyat sipil terhadap negara menjadi salah satu penyebab runtuhnya Orde Baru pada 21 Mei 1998. 

Babak baru sistem politik di Indonesia pun dimulai, reformasi besar besaran digagas. Kebebasan pers, keterbukaan politik, pemilu yang bebas, dan terbukanya ruang demokrasi yang memberi peluang terhadap partisipasi rakyat. Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh kaum perempuan. Bertepatan pada tanggal 14-22 desember 1998, LSM perempuan menggelar kongres perempuan Indonesia yang memandatkan isu hak dipilih dalam parlemen. Dari semula keterwakilan perempuan hanya 10 persen, kaum perempuan berhasil memperjuangkannya menjadi 30 persen.

Reformasi politik tahun 1998 yang menjadi antitesa rezim militer Orde Baru adalah parade kebebasan politik yang luar biasa namun tidak dibarengi dengan redistribusi kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, angka kemiskinan, ketimpangan sosial, dan pengangguran semakin tinggi. Yang paling menderita dengan keadaan ekonomi tersebut tentunya perempuan dan anak-anak. Pada momen ini, gerakan kaum perempuan masih menemukan relevansinya, bahwa masih banyak hak-hak dan keamanan perempuan yang diabaikan. Politik redistribusi masih terus disuarakan oleh kaum perempuan. Kebutuhan bahan-bahan pokok yang terjangkau, jaminan kesehatan, dan pendidikan bagi perempuan adalah hal-hal yang terus diperjuangkan.

Baca Juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Sistem sosial kemasyarakatan yang masih tidak ramah bagi perempuan juga menjadi isu sentral bagi gerakan perempuan di zaman kiwari ini. Tuntutan atas adanya jaminan keamanan beraktivitas di luar rumah tanpa gangguan terus disuarakan oleh LSM-LSM perempuan. Tidak dipungkiri, fenomena-fenomena kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan masih banyak bertebaran di masyarakat modern Indonesia.

Perjuangan perempuan, kini menemukan geliat yang lebih intens melalui pertemuannya dengan feminisme. Kontak fisik yang terjadi antara kaum perempuan Indonesia dengan masyarakat internasional baik melalui teman diskusi atau buku yang dibaca, menyadarkan kaum perempuan akan hak-haknya yang ditindas dan tahu bagaimana membongkar sistem sosial patriarki. Seperti kesetaraan hak yang diperoleh, adanya perlakuan yang sama dan akses yang sama terhadap perempuan adalah tujuan yang sama-sama diperjuangkan oleh kaum perempuan Indonesia dan feminisme. Bahwa mimpi feminisme akan suatu sistem sosial kemasyarakatan yang tidak diwarnai dengan sentimen gender dan identitas lainnya. Juga tidak berbeda dengan sistem yang diimpikan oleh gerakan perempuan Indonesia.

Feminisme sendiri lahir dari keresahan terhadap sistem sosial patriarki. Sebelumnya, perempuan hanya sebatas objek, seperti barang yang bisa dinilai dan dilabeli semaunya. Sebelum abad 19, perempuan juga selalu dibatasi ruang geraknya, didomestikasi dan dianggap kaum lemah yang tidak setara dengan laki-laki. Anggapan perempuan yang baik adalah yang di rumah, perempuan tidak layak untuk dapat akses pendidikan, berkiprah di pemerintahan, menjadi pemimpin, dan semua label yang melemahkan perempuan inilah yang menjadi musuh abadi kaum feminim. Geliat kaum perempuan yang terus mendorong, mendesak, dan memerangi penindasan terhadap perempuan pun menjadi objek kajian yang melahirkan feminisme sebagai teori.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Sosialis, Kapitalisme dan Ketidaksetaraan Gender Adalah Titik Opresi Perempuan

Feminisme menurut Wardah Hafidz adalah sebuah teori sosial sekaligus sebagai gerakan pembebasan perempuan yang mengupayakan transformasi bagi satu pranata sosial yang secara gender lebih egaliter. Feminisme sendiri terdiri dari tiga spektrum: sebagai gerakan sosial, sebagai teori, dan sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai teori, feminisme memberikan dasar dasar ontologis dan epistemologis terhadap gerakan perempuan di Indonesia.

Berbeda dengan isme lainnya, diskursus feminisme tidak menggunakan grand-theory yang monolitik, sehingga tidak ada satu standar tunggal yang baku dengan aplikasinya. Dengan demikian, feminisme dapat diartikulasikan secara beragam dalam konteks ruang dan waktu. Serta secara sosio-kultural berbeda-beda selama gerakan tersebut berangkat dari kesadaran tentang terjadinya penindasan fisik maupun mental terhadap perempuan dalam masyarakat. Selanjutnya, kesadaran ini memicu dan memotivasi adanya suatu aksi dari perempuan atau laki-laki untuk dengan sengaja merubah keadaan tersebut. Karena kesadaran akan ketertindasan pasti muncul di belahan dunia mana pun. Sehingga feminisme selalu memiliki tempat dalam masyarakat dunia.

Baca Juga: Dianggap Kurang Populer: Kembalikan Kerja Pendampingan Korban ke Pusat Gerakan Feminisme

Dalam literatur-literatur yang ditulis oleh kaum perempuan Indonesia terlihat keterpengaruhan terhadap teori feminisme dalam membedah penindasan terhadap perempuan. Keresahan RA. Kartini akan perlakuan tidak setara terhadap perempuan di masyarakat Indonesia tentu berawal dari kesadaran alami RA. Kartini. Namun dalam menentukan formula pembebasan dari kungkungan sistem sosial patriarki masyarakat Indonesia tentu tidak terlepas dari literasi dan diskusi RA. Kartini dengan teman Belanda-nya.

Ben Egger mengatakan, prestasi besar dari teori feminis adalah bukan hanya tentang pemahaman, namun juga tentang tindakan. Feminisme sendiri membentuk kesadaran yang dibangun oleh pengalaman khas perempuan tentang kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan. Feminisme menjadi suatu fenomena yang mampu mendesak kemapanan patriarkal yang cenderung mendiskreditkan martabat kemanusiaan perempuan. Yang kemudian kesadaran tersebut mampu menciptakan paradigma baru yang lebih harmonis bagi lagi-laki dan perempuan, serta merumuskan gender yang tidak terlalu tajam terpolarisasi dalam sudut-sudut yang superioritas dan inferior.

Teori feminisme selama ini digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penelitian yang berfokus pada peran dan posisi perempuan dalam semua aspek kehidupan. Teori ini juga digunakan sebagai pisau bedah terhadap ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Feminisme bertujuan untuk memahami dan menjelaskan hakikat ketimpangan gender dengan menyaksikan peran sosial perempuan dan pengalaman hidupnya.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Eksistensialis Perjuangkan Seksualitas Perempuan

Dalam gerakan perempuan di Indonesia teori feminisme berperan dalam membongkar struktur sosial masyarakat Indonesia yang patriarki. Seperti buku kumpulan surat-surat RA. Kartini kepada sahabatnya yang kemudian menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang‘. Buku inilah yang memberi inspirasi bagi kaum perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Sejarah feminisme Indonesia mencatat, tulisan RA. Kartini meletakkan dasar bagi perjuangan perempuan Indonesia. Surat-surat Kartini kapada sahabatnya di Belanda Ny. N. Van Kol ini memberi semangat yang luar biasa bagi kaum perempuan Indonesia.

Surat-menyurat RA. Kartini menjadi bukti bahwa adanya interaksi internasional yang disebabkan oleh kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Secara tidak langsung, kolonialisme di Indonesia membawa feminisme ke pangkuan pribumi Indonesia. Kolonialisme juga berperan dalam meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan Indonesia sebagai manusia. Tindakan represif oleh penjajah kepada terjajah adalah faktornya. Penindasan dalam kolonialisme menumbuhkan kesadaran akan penindasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh orang belanda maupun pribumi. Sehingga kontradiksi kolonialisme memunculkan feminisme di negara-negara jajahan.

Baca Juga: Edisi Khusus Ulama Perempuan: Bagaimana Kiprah Para Ulama perempuan di Indonesia

Kolonialisme di Indonesia juga mempertemukan feminisme dan agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kolonialisme telah menumbuhkan perhatian masyarakat Muslim Indonesia terhadap konsep hak dan dan keadilan terhadap perempuan, sehingga menyebabkan pertemuan antara Islam dan feminisme tidak dapat terelakkan lagi. Sama-sama punya misi dalam konsep kesetaraan gender, feminisme ibarat kepingan puzzle yang telah lama hilang. Feminisme berkontribusi dalam membongkar tradisi dan budaya patriarki dalam masyarakat Muslim. Selain itu, feminisme juga berperan dalam upaya mempertahankan agama Islam akan nilai universalitasnya. bahwa Islam atau tafsiran Islam harus terlepas dari hegemoni kaum laki-laki yang sudah berkuasa terhadap tafsiran agama selama berabad-abad.

Feminisme sebagai epistemologi, metodologi dan teori dapat dikonvergensikan ke dalam studi kritis terhadap tafsiran agama. Dan para cendekia dan aktivis perempuan Muslim yang menggunakan pendekatan ini menujukkan bahwa feminisme Islam bukan hanya memungkinkan tapi merupakan strategi dan alat dalam memperjuangkan keadilan terhadap perempuan dalam konteks masyarakat Islam seperti Indonesia. Merekonsiliasi agama dengan konsep agensi adalah melihat agensi dan otonomi sebagai tantangan terhadap kekuasaan, baik melalui negosiasi maupun subversi atas praktik hegemoni.

Gerakan Musawah dan NGO Sisters in Islam di Malaysia secara eksplisit menyatakan bahwa feminisme adalah bagian dari pendekatan mereka atas jurisprudensi Islam. Di Indonesia sendiri walaupun tidak secara eksplisit, para aktivis perempuan muslim Indonesia dengan didorong pengetahuan tentang feminisme akan strategi gerakan sosial dan ekpresi intelektual selalu memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dalam keluarga muslim yang dilandaskan dengan hasil interpretasi baru akan teks-teks keislaman.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Postmodern, Ketidaksetaraan Gender Terjadi Karena Bahasa dan Budaya

Pernyataan Asma Barlas akan perlunya membangun legitimasi atas bacaan yang membebaskan terhadap al-Quran adalah argumen akan pentingnya menggunakan metode feminis untuk memberi ruang dalam penafsiran al-Quran yang lebih emansipatif terhadap kaum perempuan. Menurut Barlas, al-Quran yang mengakui kekuasaan, dominasi, dan otoritas laki-laki bukan untuk mengadvokasi posisi mereka, melainkan kultur patriarki yang kental dalam budaya arab pada abad 17 yang menjadi faktornya. Mengkontekstualisasikan al-Quran adalah sebuah upaya yang penting. Namun mengetahui dan menyadari sifat universalitasnya adalah yang hal yang harus disadari sebelum berupaya membaca dan mempelajari al-Quran.

Dengan ini dapat diketahui bahwa gerakan perempuan Indonesia, Islam dan feminisme merupakan entitas-entitas yang tidak bertentangan, melainkan saling berkelit kelindan antar satu dengan lainnya. Gerakan perempuan Indonesia butuh metode sebagai kendaraan untuk membongkar sistem sosial patriarki, dan agama Islam menjadi alat legitimasi bagi rakyat Indonesia yang memiliki tingkat spritual yang tinggi. Gerakan perempuan di Indonesia tanpa feminisime bagai tukang yang tidak memiliki peralatan kerja; Islam tanpa feminisme ibarat ruh yang tidak memiliki jasad.

Kisthosil Fachim

Mahasiswa di Universitas al Azhar Mesir.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!