Di masa awal pernikahan, aku, suamiku dan kawan-kawan seperkuliahan punya momen untuk saling memperkenalkan pasangan dan berbagi rencana bagaimana masing-masing dari kami mempersiapkan kehidupan berumahtangga.
Perbincangan itu berlangsung dengan beberapa kawan dekat. Sebagian dari pertemuan itu berlanjut dengan relasi yang saling support terutama bila di antara kami ada yang kesulitan dalam berumah tangga. Tanpa disadari pertemuan itu semacam support group bagi pasangan muda di kala itu, sebagian berlanjut hingga kini. Dari pertemuan itu hanya satu pasangan yang tak lagi mengikutsertakan istrinya saat berjumpa dengan kami. Karena sang istri, sebut saja namanya Rara, berkeberatan bila suaminya sering berbincang dengan kami, yang menurutnya berpikiran bebas dan aku yang feminis. Pandangan istri kawan kami itu sempat membuat kami kaget, tapi lalu kami hormati. Kemudian kami terbiasa berjumpa dengan kawan kami itu tanpa kehadiran istrinya.
Waktu berlalu, aku tak pernah mengingat Rara lagi. Sampai suatu waktu, saat aku berobat di sebuah klinik, aku mengalami perjumpaan yang sedikit aneh dan menimbulkan kecurigaan. Sebelumnya suamiku memang memberikan penjelasan, bahwa ia akan mengantar ke klinik milik kliennya yang masih keluarga dengan Rara. Aku masih berpikir itu hal yang wajar, sampai aku berjumpa dengan sikap Rara yang banyak berubah dibandingkan dengan pertemuan pertama puluhan tahun lalu yang cukup canggung itu.
Rara lebih dulu tiba di klinik, ia menyambutku dengan hangat, bahkan membantu proses pendaftaran, sehingga aku yang sedang sakit gigi dan sakit kepala luar biasa kala itu tidak perlu berlama-lama menunggu proses pemeriksaan. Itu pun masih kuanggap wajar, barangkali demikian cara ia menjaga relasi dengan istri pengacara keluarganya.
Aku mulai merasa berlebihan ketika ia bahkan mengawaniku di ruang tunggu. Bukankah dulu waktu bertemu kami ia cukup pendiam dan tidak nyaman karena aku feminis dan berpikiran bebas?
Baca juga: Jadi Korban Poligami Karena Janji Manis Suami dan Janji Manis Radikalisme
Aku mulai mengamati suamiku yang nampak gelisah, sementara Rara menyala-nyala ingin berbincang denganku. Suasana itu membuatku berpikir apakah perempuan ini yang membuat suamiku bertanya padaku beberapa waktu lalu.
“Bunda bagaimana kalau aku berpoligami?”
Aliran darahku mendesir panas, tapi aku perlu mengumpulkan beberapa keyakinan hingga nanti aku akan mengkonfirmasi kecurigaanku pada suamiku. Kukira pada saat itu, aku lebih sibuk mengelola perasaanku daripada sakit gigi yang merambat ke saraf kepalaku.
Rara duduk di sampingku, mula-mula ia menanyakan kondisi kesehatanku dan upayanya agar aku dapat segera penanganan juga rujukan ke rumah sakit untuk dapat ditangani dokter spesialis. Ya, waktu itu penyakit gigiku butuh ditangani oleh spesialis tertentu. Kemudian ia menceritakan beberapa kesulitan sejak suaminya meninggal, seperti urusan asuransi kematian suaminya dan rumah cicilan mereka. Dimana pada kesulitan-kesulitan itu, suamiku berupaya untuk membantu. Bahkan untuk beberapa pekerjaan yang belum sempat diselesaikan almarhum suaminya.
Aku pernah berjumpa beberapa perempuan yang menjadi klien suamiku. Aku dapat membaca mana klien yang profesional sebagai klien dan klien yang punya tujuan lain. Menurutku Rara terlalu hangat dan akrab berbincang denganku. Seperti lama kelamaan ia pengin berbincang pada bestienya. Tapi untuk menjadi bestie itu kan membutuhkan proses dan bangunan kepercayaan, sementara ini pertemuan ke-2 kami setelah pertemuan puluhan tahun lalu yang canggung itu.
Atas pengamatanku itu, keyakinanaku mencapai 90% bahwa Rara adalah calon isteri suamiku. Ia begitu saja memposisikan diri sebagai sesama perempuan yang disayang suamiku yang hangat dan baik hati. Begitu aku coba berpikir dari sisi Rara. Tapi dari sisi aku yang menolak sistem poligami, cara bersikap-berpikir demikian sesuatu yang tidak mungkin aku terima. Maksudku kewillingnessan dua atau lebih banyak perempuan untuk membangun perbestiean demi satu-satunya penis-patriakh.
Baca juga: Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda
Menurutku Rara tak perlu menunjukan sikap demikian untuk sebuah upaya mendapat persetujuan dariku. Karena persetujuan hierarki jenis kelamin dalam sistem apa pun termasuk sistem poligami tidak akan pernah aku amini, apalagi berharap jauh aku akan bersedia mempraksiskannya.
Semakin lama duduk dengan Rara semakin aku tak mengerti apa yang mendorong kepercayaan dirinya untuk berlaku demikian. Sementara suamiku semakin salah tingkah menunjukan ketidakmatangannya dalam apa yang mereka rancang berdua.
Sulit bagiku untuk menghindar atau berpikir negatif bahwa keduanya memerangkap aku dalam pra-perbincangan minta ijin poligami di poliklinik. Betapa tidak etis sikap keduanya, terutama aku dalam keadaan sakit. Pada momen itu aku belajar cepat, bahwa keduanya begitu berpusat pada kepentingan diri. Mereka hanya memikirkan kebelet nikah tanpa menimbang perasaanku dan terutama keyakinanku.
Di situ aku tidak saja memahami, tapi mengalami bagaimana interpretasi agama yang diselubungi patriarki sungguh menciderai bahkan mengabaikan relasi etis, relasi setara sesama ciptaan yang Maha Rahim.
Baca juga: Pesan Buat Laki-Laki: Stop Poligami Karena Akan Jadi Contoh Buruk Buat Anakmu
Segera aku menyadari, aku ada dalam situasi perbincangan yang gelap dan jauh dari cahaya Illahi. Aku melihat hatiku yang patah, perkawinanku yang retak tapi tidak keyakinanku. Aku menarik nafas dengan berkesadaran dan mengkonsentrasikan kalbuku dengan yang Maha Cinta, sehingga aku tak lagi mendengar dengan jelas kata-kata yang ke luar dari mulut Rara dan tidak peduli lagi dengan gesture suamiku. Yang aku pedulikan saat itu hanya satu, martabatku sebagai ciptaan yang Maha Cinta. Kejernihan berpikir agar aku tidak melakukan tindakan yang dapat merendahkan diriku sebagai perempuan, sebagai ciptaan yang transenden dengan yang Ilahi.
Ya, siang itu aku melihat suamiku, patriakh yang kebingungan dan tak bertanggungjawab atas proses yang selama ini ia jalankan dengan Rara. Dan Rara yang pantang mundur untuk meyakinanku bahwa ia akan menjadi semacam teman seperpenisan, teman hidup –yang dari komunikasi kemudian hari aku tahu– juga teman se jihad yang baik.
Pada momen itu aku mengambil keputusan untuk segera meninggalkan klinik dan mencegah Rara turut serta masuk ke mobil kami. Setidaknya aku tak menghaburkan lebih banyak waktu dan energi untuk melayani perbincangan dari dunia yang gelap itu.
Pertemuan itu menyisakan pertanyaan besar tentang dari mana kepercayaan diri seperti itu Rara dapatkan? Ya, kepercayaan diri untuk meminta izin poligami pada sesama perempuan yang feminis. Maksudku yang sudah pasti tidak akan memberikan izin.
Tapi pertanyaan lebih besar lagi tentunya terhadap suamiku. Karena aku tidak akan berjumpa dengan Rara dalam situasi seperti itu dan percaya diri setinggi itu tanpa proses pacaran yang ditanam dan dirawat kembangkan oleh suamiku.