Ilustrasi keluarga

Keluarga Isinya Tak Cuma Ayah, Ibu dan Anak, Tapi Juga Para Lajang

Tidak usah membatasi makna sempit keluarga. Keluarga tidak cuma berisi ayah, ibu dan anak. Di berbagai penjuru Indonesia ada keluarga yang isinya perempuan sebagai kepala keluarga, ada keluarga tanpa anak, tanpa orang tua, dengan anak adopsi, atau hidup lajang dan serumah dengan teman-teman.

Keluarga adalah topik yang tak kunjung usai untuk diurai sampai akhir zaman. Bahasan yang dekat dengan keseharian keluarga selalu jadi pusat perhatian bagi gerakan sosial. Namun maknanya selalu dibatasi oleh isi keluarga yang ada ayah, ibu dan anak.

Padahal ada juga pilihan untuk hidup membujang bersama teman-temannya, ada juga orang yang menikah di usia 40 tahun, atau orang yang tinggal bersama teman atau saudara dan mereka menyebutnya keluarga.

Lihat saja, di kolom komentar media sosial misalnya, banyak dark joke tentang anak broken home dan anak yatim, lalu ada yang tertawa, ada juga yang tersinggung. 

Di tongkrongan masih menjadi tempat yang seru buat curhat tentang strict parents, perselingkuhan, bapak yang kawin lagi, sampai perjodohan. Sekalipun di acara reuni pertanyaan, “Kapan nikah?”, “Kapan punya anak?”, “Kapan tambah lagi anak?,” masih terus menjadi bahan basa basi tentang keluarga.

Baca Juga: Tak Cuma Laki-laki yang Bisa Jadi Breadwinner, Perempuan Juga Bisa

Topik itu juga kerap menjadi batu sandungan bagi isu-isu kemanusiaan di Indonesia dari advokasi regulasi, pilihan teologi, hingga kultur yang belum berperspektif gender. Bahas keluarga punya daya tariknya tersendiri. Keluarga sebagai bentuk relasi privat dan intim yang dialami oleh banyak orang sekaligus punya peran dan dampak yang signifikan dalam kehidupan publik dan politik. 

Sejatinya membahas hal tersebut bukan sekedar meluapkan kekepoan pada hubungan seseorang dengan orang-orang terdekatnya, tapi juga memandang cara masyarakat sekaligus penyelenggara negara dalam mendudukkan makna gender dan seksualitas.

Sejatinya budaya populer adalah produk modernitas yang mengkonstruksi keluarga sebagai unit kekerabatan yang terdiri atas ibu, ayah, dan anak. Komunitas hidup bersama ini terbentuk melalui ikatan perkawinan. Di dalam keluarga tentu ada pembagian tugas, sebagaimana yang tersosialisasi melalui buku-buku pelajaran, iklan, dan film. 

Tulisan ibu pergi ke pasar dan bapak pergi ke kantor masih kita baca di buku bacaan SD sampai sekarang. Ibu yang mengatur uang, belanja, memasak, mengasuh anak, dan bersih-bersih rumah. Sedangkan ayah pergi ke kantor, ia yang mencari uang, membaca koran, rapat dengan ketua RT, dan mengemudikan mobil. Anak perempuan memakai gaun merah muda dan bermain boneka. Anak laki-laki memakai kaus biru dan bermain mobil-mobilan.

Masih dalam alam pikir masyarakat Indonesia, berkeluarga juga menjadi salah satu fase kehidupan yang harus dilalui oleh setiap orang. Laki-laki menyatakan perasaan cinta dan komitmennya kepada perempuan, maka bertunangan. Lepas itu mereka akan melangsungkan perkawinan. Perempuan dan laki-laki seagama mengikat janji untuk hidup bersama. Malam pertama keduanya melakukan hubungan seksual yang nikmat dan menyenangkan. Sang perempuan hamil, melahirkan, kira-kira begitulah awal membangun keluarga.

Tentu banyak hal yang tak sejalan dengan cita-cita adil dan setara gender. Persoalan keluarga bukan masalah baru dalam sejarah Indonesia. 

Baca Juga: Seperti Awan Tebal di Langit Kelam: Perjuangan Single Mother di Tengah Pandemi

Pada masa Orde Baru, kontrol atas keluarga begitu kentara khususnya melalui ibuisme dengan gagasan dan praktik domestifikasi perempuan. Dalam visi yang bernama pembangunan dan stabilitas nasional ini, peran perempuan akan selalu dilekatkan sebagai istri, ibu, dan anak perempuan. Lalu dipertegas dengan relasi yang timpang dan subordinat di bawah kuasa laki-laki. 

Kekuasaan otoriter juga memposisikan perempuan dalam keluarga sebagai mesin reproduksi untuk menghasilkan anak.

Dua dekade pasca-reformasi, Indonesia mengalaminya kembali, namun kali ini persoalan keluarga berhadapan dengan gerakan keagamaan yang konservatif. Ia berada dalam tarikan yang kuat antara wacana kekerasan seksual yang mengusung otoritas tubuh pribadi dan kelatahan keluarga dengan pondasi konservatisme sosialnya. Konfliknya seputar pembebasan diri dari segala bentuk kekerasan yang dipandang oleh kelompok konservatif sebagai bentuk pengingkaran terhadap moral masyarakat yang religius.

Titik persoalannya terletak pada hubungan seksual konsensual di luar perkawinan yang secara nilai religius arus utama dipandang sebagai bentuk perzinaan, bukan sebagai pilihan. Perkawinan juga dikonstruksi menjadi satu-satunya akses yang sah untuk melakukan hubungan seksual. 

Baca Juga: Cerita Yuni: Tak Semua Majikan Mendukung Pekerja Rumah Tangganya Ikut Organisasi

Perkawinan memang mendapat posisi yang terhormat dalam masyarakat Indonesia, bahkan seakan-akan menjadi inisiasi wajib bagi setiap orang untuk dapat mengakses dan eksplorasi seksualitasnya.

Melalui perkawinan jugalah keluarga terbentuk, berketurunan, dan membangun kehidupan bersama. Di dalam komunitas yang bernama keluarga ini ada peran kepemimpinan, pembagian tugas kerja, serta terselenggaranya peran ekonomi dan edukasi. Sebagaimana yang lumrah orang-orang katakan bahwa ia merupakan satuan institusi terkecil yang ada di dalam masyarakat. Keluarga adalah miniatur negara. Dengan demikian negara yang sejahtera harus muncul dari keluarga yang sejahtera juga, ketahanan nasional harus berawal dari ketahanan keluarga.

Di akar rumput, narasi ketahanan keluarga kemudian justru muncul melalui promosi nikah muda dan poligami yang dipandang sebagai solusi untuk menghindari perzinaan. Sedangkan bagi kelompok progresif dan kritis justru kedua praktik pernikahan tersebut adalah salah satu akar dari persoalan kemanusiaan, khususnya bagi perempuan, karena dalam institusi keluarga terdapat pola-pola penindasan. 

Pada relasi perkawinan dan keluarga biasa pun perempuan kerap berada dalam situasi yang rentan. Misalnya melalui domestifikasi perempuan atau beban majemuk. Apalagi melalui promosi nikah muda dan poligami, kerentanan perempuan akan meningkat menjadi korban perkawinan anak dan pemerkosaan dalam perkawinan.

Baca Juga: Ingat, Istri Adalah Partner Suami Dan Pekerjaan Rumah Tangga Adalah Tugas Semua Orang

Sorotan isunya bukan pada cara pandang teologi terhadap boleh – tidaknya hubungan seksual konsensual di luar perkawinan. Namun jangkauan intervensi negara yang merenggut ruang privat, ruang pilihan warganya. 

Negara layaknya himpunan keluarga besar yang memberikan pilihan, bukan malah mempertahankan hierarki dengan memposisikan warga negara dalam bingkai keluarga batih. 

Matriks hegemoni seperti ini akan mengontrol secara ketat seksualitas warga negara. Praktik ini tentu akan mengerikan jika mengakar secara kultur dan terlembaga dalam struktur. Akan ada banyak orang yang dikriminalisasi karena soal tidur dan kasur, peraturan-peraturan konyol tentang kontrol seksualitas, regulasi busana perempuan, represi ragam identitas gender atau seksual, dan masih banyak lagi.

Di tengah kemajemukan, demokrasi, dan penghormatan akan hak asasi manusia, Indonesia sebagai negara harusnya menjamin kebebasan warga negaranya termasuk dalam keadilan seksualitas dan kesehatan reproduksi di dalam maupun di luar keluarga. 

Berkeluarga merupakan pilihan bebas setiap orang termasuk dalam menentukan bentuk, peran, dan maknanya. Di berbagai penjuru Indonesia ada realitas orang tua tunggal, perempuan kepala keluarga, ada keluarga tanpa anak, tanpa orang tua, dengan anak adopsi, dan berbagai bentuk lainnya. Ada pilihan untuk hidup membujang, orang yang menikah di usia 40 tahun, dan berbagai bentuk relasi lainnya. 

Arfi Pandu Dinata

Sehari-hari saya berkegiatan di gerakan dialog lintas iman, menjadi koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), Bandung.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!