Perjanjian Pra-nikah Bukan Cuma Soal Cinta Pasangan, Tapi Juga Menghindari KDRT

Perjanjian pra-nikah di Indonesia seringnya masih dianggap tabu. Mayoritas orang yang tidak setuju karena menganggap bahwa perjanjian pra-nikah menjadi ancaman terhadap pasangan.

Kalau membahas soal perjanjian pra-nikah, kita seringnya dianggap aneh atau malah kita dipertanyakan pasti kita tidak cinta/tidak mempercayai pasangan.

Padahal pembuatan perjanjian pra nikah ini bukan hanya soal cinta saja, perjanjian pra-nikah juga bisa melindungi kita dari hal-hal diluar kendali. Seperti perilaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Perjanjian pra-nikah disebut sebagai prenuptial agreement atau bisa juga disebut sebagai prenup. Dimana perjanjian hukum yang dibuat oleh 2 orang yang akan menikah atau sudah melangsungkan pernikahan.

Perjanjian ini mengatur dari berbagai aspek, mulai dari harta, hutang, hak dan kewajiban nafkah pasangan tersebut selama pernikahan. Selain itu, perjanjian pernikahan juga mengatur pemisahan harta gono-gini jika pernikahan berakhir baik karena perceraian, pemisahan, atau kematian pada salah satu pihak.

Salah satu penyebab yang mendukung adanya proses pembuatan perjanjian pernikahan untuk meminimalisasi kerugian yang diperoleh bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang memiliki riwayat perjalanan panjang dalam urusan KDRT di tiap tahunnya. Menilik dari data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sejak 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023 telah ditemukan pelaporan kasus KDRT sebanyak 3.173. Tentu jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Proses KDRT ini sangat mungkin akan berujung pada meja hijau perceraian.

Tidak hanya persoalan perceraian yang bermula dari KDRT, namun ada pula dukungan mengenai isu perlunya menyusun perjanjian pernikahan dikarenakan jumlah angka perceraian di Indonesia juga tinggi. 

Salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia, yakni Kota Surabaya. Kota itu menjadi sampel yang menunjukkan bahwa kasus perceraian mengalami peningkatan. Terhitung sejak Bulan Juli 2022 hingga Juni 2023 terdapat 2.426 permohonan cerai talak dan 2.985 cerai gugat.

Dari dua fenomena diatas, bisa dilihat bahwasanya hakikat perjanjian pernikahan memiliki esensi yang penting untuk mendukung harmonisasi dalam berumah tangga. Konstelasi yang muncul dari beberapa pihak guna menanggapi pembaharuan urgent dalam fenomena perjanjian pernikahan ini memang sudah lama terdengar. Tentu masyarakat masih asing dalam penggunaan dan proses pembuatannya.

Baca Juga: Buat Kamu Yang Akan Menikah: Pentingnya Perjanjian Pranikah Untuk Atasi Sengketa Perkawinan

Ketika pembuatan berlangsung, terdapat salah satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu persetujuan kedua belah pihak. Dimana keduanya nanti harus sepakat dengan substansi dalam perjanjian tersebut. Kedua calon pasangan harus sepenuhnya terlibat dalam proses pembuatan perjanjian pra-nikah.

Mereka juga diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau notaris jika mereka menginginkannya, kemudian mereka harus memahami implikasi dari perjanjian tersebut sebelum menandatanganinya. Hal ini menjadi penting karena perjanjian pra-nikah tidak sah jika hanya salah satu satu pihak saja. Maka dari itu, consent disini mempunyai peran penting dan diperlukan untuk membuat perjanjian pra-nikah.

Terlepas dari itu, di Indonesia sendiri perjanjian pra-nikah masih dianggap tabu, mengapa demikian? Mayoritas orang yang tidak setuju karena menganggap bahwa perjanjian pra-nikah menjadi ancaman atau ketidak percayaan terhadap pasangan.

Selain itu karena faktor tradisi atau budaya yang memiliki pandangan bahwa membuat perjanjian pra-nikah adalah tindakan tidak hormat terhadap pernikahan itu sendiri. Belum lagi stigmatisasi yang dinilai negatif. Beberapa orang menganggap prajanjian pra-nikah sebuah prediksi negatif terhadap masa depan pernikahan dan menganggap sebagai persiapan untuk perceraian. Hal tersebut terjadi karena kurangnya edukasi mengenai perjanjian pra-nikah dan bagaimana cara kerjanya.

Baca Juga: Ujung-ujungnya, Kenapa Beban Kegagalan Rumah Tangga Harus Ditanggung Perempuan?

Meskipun banyak pandangan negatif menyoal perjanjian pra-nikah, hal ini sangat krusial untuk diingat bahwa itu alat hukum yang sah. Bahkan banyak yurisdiksi di seluruh dunia dan hal ini pernah dijelaskan juga oleh Mona Evita dalam tulisannya yang pernah disunting oleh media konde.

Di Indonesia sendiri diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”

Terdapat juga peraturan pembuatan perjanjian pra-nikah jika sudah melangsungkan pernikahan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK 69/2015) bahwa “Pada waktu, sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Hal penting yang harus dipahami adalah perjanjian pra-nikah dirancang untuk membantu pasangan mengatur berbagai masalah. Seperti keuangan, keamanan satu sama lain dan harta bersama agar lebih jelas. Keputusan untuk membuat perjanjian pra-nikah adalah hal yang sangat pribadi. Maka, harus didasarkan pada situasi dan kebutuhan individu.

Jika kalian berpikir bahwa perjanjian pra-nikah akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, maka itu adalah hakmu untuk membuatnya dengan persetujuan bersama.

Baca Juga: Pengalaman Sulitnya Keluar Dari Perkawinan Yang Buruk

Urgensi dari sebuah perjanjian pernikahan tentu memberikan dampak persuasif bagi pelakunya. Berkaca dari konflik rumah tangga yang sering terjadi memicu banyaknya lembaga yang telah memberikan atensi penuh pada pasangan suami istri agar menyusun sebuah perjanjian pernikahan. 

Konstruksi dari perubahan tradisi ini tidak berjalan dengan mudah. Pemahaman yang belum mumpuni mengenai keuntungan dalam menyepakati sebuah perjanjian pernikahan akan menghambat realisasi anjuran dalam pemanfaatan perjanjian pernikahan.

Kondisi ini menjadi tugas bagi fasilitator pemberdayaan keluarga untuk memberikan arahan dan statement positif tentang pemanfaatan perjanjian pernikahan. Selain itu, perlu adanya keterbukaan yang dilakukan masing-masing tokoh suami dan tokoh istri untuk membicarakan hal ini. 

Oleh karena itu, pentingnya menyepakati pembuatan perjanjian pernikahan bukan lagi hal yang ganjil. Kesepakatan dalam sebuah bingkai perjanjian pernikahan akan memberikan batas-batas tapal peraturan pernikahan demi keharmonisan keluarga.

Etsha Ari Kusuma dan Ravika Alvin

Pembaca dan penulis di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!