Melawan ucapan perempuan ujung-ujungnya di dapur

Susah Payah Perempuan Meretas Cibiran ‘Ujung-ujungnya Di Dapur’

Nea sering menerima cibiran tentang buat apa sekolah tinggi jika ujung-ujungnya menikah dan bekerja di dapur? Tapi kalimat ini bikin kaget ketika yang bicara adalah Asghar, laki-laki yang dulu dekat dengannya.

Minggu Pagi yang Cerah, suasana Kampung Boneaka amat sangat tenang kali ini. 

Nea sedang duduk di pelataran rumahnya sambil menikmati secangkir teh hangat. Beberapa warga kampung yang melewati jalan di depan rumah Nea terdengar menyapa Nea dengan ramah.

Assalamu’alaikum,”  suara seorang laki-laki menyapa

wa’alaikumsalam warahmatullah,” jawab Nea, sepertinya suara itu tidak begitu asing di telinganya

“Hai, apa kabar? Lama tak jumpa,” ucap Asghar

Asghar adalah kakak Kelas Nea ketika duduk di bangku SMA dulu. Mereka pernah menjalin hubungan dekat hingga Asghar lanjut studi ke perguruan tinggi di negeri orang. 

Baca Juga: Bisa Keluar Dari Dapur Dan Punya Dunia Yang Lain: Cerita PRT Berorganisasi

Tujuh tahun lalu komunikasi mereka putus semenjak Asghar selesai kuliah dan memutuskan mengabdi ke pelosok desa terpencil.

“Kabar baik. Ayok, masuk silahkan duduk,” ucap Nea sambil menyodorkan sebuah kursi rotan yang terlihat usang dimakan usia.

“Ibu di mana? Kamu pasti bertanya-tanya kenapa hari ini saya muncul dihadapanmu?,” ucap Asghar sambil bertanya soal keberadaan ibunda Nea.

“Ibu lagi tidak ada di rumah. saya pikir itu hal yang lumrah, setelah sekian lama tidak bertatap,” sahut Nea

“Saya menghubungimu di media sosialmu Nea, tapi sampai sekarang pun kamu tidak pernah membalasnya.”

“Oh iya. Saya memang jarang membuka media sosial, apa ada hal penting yang membawa Kak Asghar ke rumah?.”

“Iya. Sangat penting, seharusnya pagi ini saya kembali ke desa tempat tugas, tapi saya memutuskan menemuimu sebelum berangkat,” sahut Asghar

Tiba-tiba suara sebuah telepon genggam berbunyi , Asghar meminta izin mengangkat panggilan telepon tersebut dengan sedikit menjauhi Nea. Terdengar pembahasan yang begitu serius hingga telepon dimatikan. Asghar lantas kembali duduk dengan wajah yang sedikit kesal.

“Itu dari mama, ia menelpon bahwa adik perempuan saya, si Nina ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Untuk apa coba? Perempuan walaupun setinggi apapun pendidikannya ujung-ujungnya bakalan kembali ke dapur kan Nea?,” ucap Asghar dengan wajah yang sinis.

Baca Juga: Domestikasi di Tradisi Rewang Perlihatkan Urusan Dapur yang Dilimpahkan ke Perempuan

“Oh, jadi maunya Kak Asghar perempuan cukup di rumah saja, tidak perlu mengenyam pendidikan yang layak?.”

“Bukan seperti itu, maksudnya tidak perlulah sekolah setinggi mungkin, yang hanya menghabiskan duit orang tua, kan pada akhirnya ia akan tetap di dapur memasak, mengurus suami, mengurus anak-anak dan itu tidak memerlukan ijazah,” Sahut Asghar dengan suara yang agak serius

Nea Tersenyum mendengar kalimat yang keluar dari bibir Asghar, ternyata di zaman millenial ini masih saja ada orang yang berpemikiran kolot disaat penjajahan diatas dunia satu persatu dihapuskan.

“Kak Asghar tidak keliru, karena dapur bagi perempuan adalah simbol kehidupan. Tapi pendidikan itu penting bagi setiap orang tanpa mengenal jenis kelamin. Pernah dengar sebuah penelitian bahwa potensi lebih besar tingkat kecerdasan anak menurun dari ibu? para peneliti di University of Washington menemukan bahwa ikatan emosional antara ibu dan anak dapat mempengaruhi pertumbuhan beberapa bagian otak. Jika negara diibaratkan sebuah rumah, perempuan adalah tiang negara. Tiang adalah bagian penyangga yang sangat penting tapi bukan satu-satunya. Jika ingin negara maju, hal yang harus diperbaiki yah, pendidikan. Perempuan harus didorong untuk tumbuh, tidak terbelakang dan berkembang,  jalan yang paling mujarab yaitu melalui pendidikan,” Ucap Nea dengan wajah begitu serius.

Baca Juga: Dari Mulut Ibu, Saya Jadi Tahu Pedihnya Kehidupan Buruh Pabrik

“Hehehe. Iya Nea, contohnya  tetangga saya, ia telah bergelar tapi berujung tinggal di rumah, mengurus dapur. Kalaupun perempuannya berkarir, bagimana membangun ikatan emosionalnya?.”

“Apa salahnya memilih menjadi ibu rumah tangga ataupun memilih berkarir? Kenapa perempuan selalu dihadapkan pada pilihan? perempuan berpendidikan bukan untuk menyaingi laki-laki, tapi untuk membangun sebuah peradaban, karena perempuan adalah madrasah pertama bagi-anaknya. Jika  seorang ayah bekerja di luar rumah, jelas sebagai seorang ibu  juga menjalankan tugas yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak-anak walaupun perempuan itu berkarir. Kita jarang sekali melihat seorang ayah membawa anaknya dalam keadaan bekerja.”

“Kamu masih sama seperti dulu yah, selalu mendebat jika tak sesuai dengan apa yang kamu pikirkan,” ucap Asghar.

Baca Juga: ‘Percuma Sekolah Tinggi, Nanti ke Dapur Juga’: Stop Ungkapan Jadul untuk Perempuan

“Saya hanya meluruskan apa yang Kak Asghar katakan, saya pikir Kak Asghar terlalu memandang remeh pendidikan wabil khusus untuk perempuan, padahal  dalam Undang-undang Dasar (UUD) sangat menjamin hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan. apalagi dalam Islam, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kan, kita disuruh membaca tanpa mengenal jenis kelamin, dan ini  jelas berhubungan dengan pendidikan.”

“Iya iya. Siap salah bu. Ngomong-ngomong kembali ke laptop. Tujuan saya kemari sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan dan ini berhubungan dengan masa yang akan datang dalam sebuah negara. hehehe..”

“Iya ada apa kak?, utarakan saja maksud kak Asghar, biar saya pun tak penasaran,” tukas Nea

“Apa sejauh ini ada laki-laki yang sedang dekat denganmu?,” tanya Asghar

“Kenapa?,” sambung Nea

“Saya ingin menjadikanmu ibu negara dalam rumah tangga, jika kamu mengamini. Apa yang saya katakan ini mungkin terdengar kaku di telingamu Nea, setelah sekian tahun kita tidak saling berkabar. Saya butuh jawaban secepatnya sebelum saya kembali ke tempat tugas, kamu tahu kan disana susah jaringan komunikasi seluler,“ ungkap Asghar dengan wajah yang begitu serius

“Beri saya waktu seminggu kak, untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan menghubungi Kak Asghar melalui salah satu media sosial saya, disitu kak Asghar akan mendapatkan jawabannya. saya harap kak Asghar akan legowo menerima apapun keputusan saya.”

“Iya. Nea, Saya paham kondisimu sekarang. Saya sangat berharap mendapatkan jawaban manis darimu.  Sudah waktunya saya pamit, saya harus beranjak agar tidak ketinggalan kapal. Salam kepada ibu, maaf belum sempat bertemu dengannya.  Assalamu’alaikum.

“Semoga perjalannya lancar kak, wa’alaikumsalam warahmatullah,” jawab Nea dengan nada sedikit kaku.

Baca Juga: Bukan Dapur-Sumur-Kasur: Kodrat Perempuan Itu Haid, Hamil, Melahirkan dan Menyusui

Seminggu kemudian tibalah pada hari yang ditentukan. Nea membuka salah satu media sosialnya dengan mengirim jawaban dari pertanyaan yang Asghar tunggu itu. Nea menolak tawaran Asghar untuk membangun masa depan bersama. Asghar adalah sosok laki-laki yang baik, tampan, dan mapan, tapi bagi Nea yang terpenting adalah mindset dan tabiat. Jika Asghar berpikiran seakan pendidikan tidak penting bagi perempuan , Bagi Nea itu berseberangan dengan pemikirannya, uang bisa dicari, wajah bisa dipermak, tapi pemikiran dan tabiat akan susah dirubah, dan ini akan berdampak kedepannya nanti. Nea jelas punya prinsip tersendiri terhadap kriteria pasangannya.

Membangun rumah tangga tak hanya soal karena cinta saja, ada banyak hal yang dihadapi dan dibicarakan berdua. Tidak hanya soal cinta, jelas itu akan membosankan. kalau mindset dan tabiatnya baik, akan menyenangkan membicarakan segala hal bahkan tentang agama, ekonomi, politik,  bahkan tentang perempuan. 

Relasi yang baik adalah relasi yang saling ingin bertumbuh bersama secara spiritual, intelektual dan finansial tanpa ada yang merasa lebih dominan. Sebagai perempuan, bersama pasangan, kita ingin seiring bukan digiring, apalagi dicibir.

Perempuan harus berpendidikan agar tidak terpinggirkan, terlepas dari apapun keputusannya, entah memilih menjadi ibu rumah tangga ataupun menjadi perempuan berkarir. 

Cibiran perempuan berpendidikan tinggi ujung-ujungnya di dapur hanya akan menjadi pembatas Kesamaan hak laki-laki dan perempuan. Untuk itu kita perlu meretas stigma yang menjadi kendala perempuan untuk mengembangkan diri.

Hajar Tatu Arsad

Pencinta Cahaya Bulan. Bukan mualim, terus ngaji hidup. Sangat menyukai hal-hal yang berbau alam, karena ingin selalu bertumbuh. Tinggal Banggai, Sulawesi tengah. Bisa ditemui di IG : @hta10_
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!