‘Tak Keluar Rumah Dan Nangis Tiap Malam’ Cerita Acne Fighter Susah Payah Bangun Percaya Diri

Buat kamu yang lagi berjuang untuk bertarung dengan jerawat yang parah (acne fighter) jangan pernah merasa sendiri. Tiap proses usahamu adalah valid. Konde.co ngobrol bareng para acne fighter yang berusaha kembali membangun rasa percaya dirinya.

Konde.co menyajikan ‘Edisi Perempuan Muda’, peliputan jurnalistik yang berisi cerita, kisah-kisah di balik keputusan dan pilihan para perempuan muda

Desi Wulandari (28) kini berprofesi sebagai seorang suster di salah satu kota besar di Indonesia. Dia pernah berada di posisi petarung jerawat (acne fighter), yang mengalami masalah kulit berjerawat cukup parah sampai kehilangan kepercayaan dirinya.

Jerawat parah yang muncul di kulitnya bermula saat Ia menjajal sebuah produk skincare viral di sosial media. Desi melihat iklan yang gencar bertebaran dan testimoni yang ‘menggoda’ bahwa meyakini produk itu bisa menstimulasi penampilannya jadi lebih menarik. 

Desi akhirnya tertarik untuk mencoba produk itu. 

Tidak ada yang aneh saat ia menjadi konsumen skincare wajah ini. Hingga 2-3 bulan kemudian, kulit wajahnya mulai ada perubahan. Namun bukannya kondisi kulitnya membaik, malah kian memburuk. 

Saat dia menghentikan pemakaian produk itu, wajahnya mengalami bruntusan. Ketika kembali memakai, wajahnya kembali normal. Panik, Desi memutuskan untuk pergi ke klinik kecantikan dan konsultasi seputar permasalahan wajahnya.

Di klinik, Desi diberi krim dan treatment berupa laser dan peeling. Sekali datang ke klinik, ia mengeluarkan uang paling tidak Rp 500.000. Ia diminta datang 2 minggu sekali. 

Sudah bolak-balik Desi datang ke klinik. Namun, tidak menunjukkan hasil yang berarti. Desi lalu pindah ke klinik kecantikan lain. Di klinik yang baru, ia menerima treatment yang sama, namun permasalahan kulit wajahnya ternyata semakin parah. 

“Dulu jerawatnya cuma di pipi doang, tapi makin lama jadi penuh satu wajah. Yang nggak berjerawat cuma di area mata,” cerita Desi kepada Konde.co beberapa waktu lalu.

Wajah Desi saat sedang breakout (Doc.pribadi Desi)

Upaya Desi untuk sembuh dari jerawatnya, masih berlanjut. Dia mendapat masukan dari teman-temannya soal produk yang bisa dipakai. Salah satunya, ada krim yang membuat kulitnya meskipun jadi bersih, tapi membuat perih. Ternyata setelah dia cari tau, itu krim abal-abal. Dia akhirnya menghentikan pemakaiannya. 

Di saat bersamaan, Ia juga menemukan seorang Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di sosial media Instagram. Desi kemudian melakukan konsultasi online dengan dokter itu. Desi diberi resep untuk menggunakan krim tertentu. Belum ada perubahan signifikan saat Ia memakai produk krim dokter itu. 

Sialnya lagi, saat Desi berhenti menggunakan krim itu wajahnya kembali bruntusan. Padahal krim yang direkomendasikan dokter tersebut, termasuk krim yang terhitung mahal baginya. 

Selain saran untuk mencoba krim, Desi juga pernah mendapat saran “cara tradisional” untuk mencoba menggunakan perasan air jeruk nipis dan garam untuk mencuci muka. Hasilnya, jerawat yang diderita Desi justru semakin terasa perih.

Insecure, Tidak Berani Keluar Rumah, Nangis Tiap Malam 

Segala upaya rasanya tidak juga membuahkan hasil. Permasalahan kulit wajah ini perlahan menyerang kepercayaan diri Desi. Ia sempat merasa insecure atas kondisinya. 

Awal saat Ia berjerawat, Desi pernah sampai tidak keluar rumah hingga seminggu. Mengganti masker tiap 4 jam sekali, dan menangis setiap malam. 

Desi merasa rasa percaya dirinya semakin menurun. Tiap dia keluar rumah, selalu ada saja yang membuatnya tidak nyaman. Mulai dari pertanyaan kepo dari sekitar sampai disalah-salahkan. Dia yang sedang berjuang susah payah melawan jerawatnya, makin terpuruk karena respons sekitar itu.

“Banyak yang tanya kok iso ngono (kok bisa begitu)? Saya mau bilang apa, saya juga nggak tahu. Teman yang tiap hari ketemu saya, tanya kok break out? Udah tau kita berjerawat, tanya kok berjerawat. Coba deh kesini pake krim, tapi hasilnya juga nol. Makanan juga sih, mempengaruhi. Pernah disalahkan, mereka nggak tau keseharian kita gimana. Kadang tipe kulit juga beda, mau nggak cuci muka abis make up ya ada,” ungkap Desi.

Tak hanya keseharian di dunia nyata, Desi juga mulai terpengaruh saat berinteraksi di sosial media. Dia yang sebelumnya aktif menggunakan sosmed dan memposting story-nya, jadi lebih tertutup saat dirinya berjerawat itu. Ia bahkan menggunakan filter Instagram untuk mensiasati permasalahan kulit wajahnya.

Ya, karena tidak percaya diri dengan kondisinya saat itu. Takut, cemas dan khawatir dengan komen-komen negatif yang semakin membuatnya terpuruk. 

Baca Juga: ‘Who is Victoria and What is Her Secret?’: Victoria’s Secret, Dalam Standar Kecantikan Toksik dan Kultur Misogini

Di momennya sebagai acne fighter, Desi tak memungkiri keberadaan support system memang dibutuhkan. Beruntungnya dia masih memiliki ruang aman dari orang tercinta yang menerima kondisi dirinya. Itu datang dari pacar Desi. 

Pasangannya memahami masalah yang terjadi pada Desi. Hal yang Ia syukuri Ia juga tidak memojokkannya dan membiarkannya sendiri. Dia menemani Desi menghadapi masa-masa sulit itu. 

Hari demi hari, situasi Desi semakin tenang. Dia juga terbantu dengan konten empowering di sosial media tentang acne fighter, seperti yang Ia hadapi. Bahwa masalah jerawat apapun, pasti bisa disembuhkan dan fase tak mengenakkannya bisa dilalui. 

Selain upaya menguatkan mentalnya, Desi juga terus berupaya menyembuhkan jerawatnya secara fisik. Terakhir, dia berkonsultasi dengan salah satu aplikasi kesehatan online yang punya kredibilitas terpercaya. Upayanya pun, perlahan membuahkan hasil. 

Jerawat di wajahnya kian membaik usai mengikuti saran dokter itu. Dari segi harga pun, biaya konsultasi dari dokter itu ternyata lebih murah dibandingkan sebelum-sebelumnya. 

Dia menyarankan bagi acne fighter, untuk lebih jeli dan hati-hati dalam memilih rekomendasi saran penyembuhan. 

Wajah Desi sekarang yang sudah membaik (Doc. pribadi Desi)

Stigma Laki-laki Berjerawat

Tidak hanya terjadi pada perempuan, jerawat juga terjadi pada laki-laki. Simpson (1991) menyatakan bahwa 95% anak laki-laki dan 83% anak perempuan terkena dampaknya selama masa remaja dan dewasa muda. 

Asad (23), adalah seorang pengajar di Surabaya. Asad adalah salah satu laki-laki yang merasakan permasalahan kulit jerawat yang cukup parah. Ia pertama kali berjerawat itu saat ia masih SMP. Puncaknya saat ia berada pada kelas 2 SMK, jerawatnya semakin menjadi-jadi. 

Jerawat yang dialaminya terus berlanjut hingga awal-awal Asad kuliah. Sebagai laki-laki yang berjerawat, Asad distigma sebagai “berbeda” karena jerawat diidentikkan dengan perempuan. 

“Kalo jerawat munculnya dari SMP sebenernya, kaya keringat. Mulai berjerawat SMK kelas 1 sekitar tahun 2016-an. Di sekolah jarang ada yang berjerawat apalagi cowok, jerawat identik dengan cewek. Saya merasa berbeda sendiri, sebelum Covid-19 saya sudah pakai masker. Saya sedih, sering menangis waktu itu” ungkap Asad.

Wajah Asad saat breakout (Doc.pribadi Asad)

Karena bingung harus bagaimana menangani jerawatnya, Asad sempat menggunakan produk-produk yang terindikasi berbahaya dan mengandung merkuri. Meskipun sempat agak mereda, namun jerawatnya muncul kembali saat ia berhenti menggunakan produk-produk itu. 

“Paling parah itu semester 2 atau 3 karena hopeless bisa sembuh apa nggak. Pakai produk yang disarankan temen-temen cewek. Karena aku tinggal di desa, jadi akses info untuk produk yang aman itu susah, jadi dulu pernah pakai produk bermerkuri sampai kelas 3 SMK itu sempat reda, tapi beberapa bulan kemudian muncul lagi di semester 2 itu sakit banget,” lanjut Asad.

Baca juga: Ketika Good Looking Jadi Syarat untuk Bekerja, Ini Bisa Sebabkan Diskriminasi Pekerja

Seiring waktu dari berbagai percobaan dan informasi yang dikumpulkan, Asad mulai mengerti cara menangani jerawatnya. Ia mulai konsultasi ke dokter akan masalahnya. 

Asad juga mulai menjaga pola makan dan melakukan manajemen stres. Ia mengurangi makan dan minuman manis serta menjaga pola tidur agar tidak stres. 

Asad menjelaskan, awalnya ia mengira jika konsultasi ke dokter itu adalah suatu hal yang mahal, namun kenyataannya tidak. Tergantung dokter dan treatment yang diberikan. 

Asad selalu meminta treatment basic untuk wajahnya demi menghindari membengkaknya budget perawatan. Asad mulai rutin melakukan konsultasi ini, saat ia kuliah karena mendapat beasiswa. Kini, ia telah bekerja dan mampu mencukupi semua kebutuhan perawatannya sendiri.

“Pernah mengira dokter itu mahal, pas ke klinik dokter juga saranin produk ini itu, kecuali konsultasi online ya, itu kita bisa cari obat sendiri. Kalo konsul ke klinik dokter selalu nyaranin treatment yang mahal, saya minta yang basic aja, saya pikir daripada buat skincare mending buat treatment ke dokter. Kalo budget ke dokter karena dulu aku dapat beasiswa jadi hemat, sekarang ada penghasilan, ada juga uang dari pacar buat tambahan juga,” lanjut Asad.

Pentingnya Support System

Tidak jauh beda dengan Desi, Asad memiliki support system yang bagus dari orang terdekat yang membantunya menghadapi persoalan jerawat ini. Ia memiliki pacar yang mendukung penuh berbagai perawatan dan pengobatan yang dijalani. 

Hal ini yang akhirnya mendorong Asad perlahan semakin percaya diri, ia yang dulunya menggunakan filter saat berfoto, kini tidak lagi menggunakannya. 

Meskipun begitu, Asad pernah berada pada hubungan yang tidak mendukung dirinya dalam mengatasi jerawat. Ia pernah memiliki mantan pacar yang lebih suka melihatnya berjerawat. Padahal, Asad tidak nyaman di kondisi itu. 

“Pacarku yang sebelum ini, malah nggak menyarankan aku untuk treatment apapun karena dia lebih suka orang yang berjerawat. Pas dulu masih bucin ya aku jalani padahal menjaga penampilan untuk diri sendiri, sampai aku ngerasa ada orang di sekitar nggak nyaman. Disitu aku merasa sadar seharusnya dia support kemauanku, akhirnya sama pacar yang ini aku pake skincare dll karena kebutuhan,” jelasnya. 

Lebih lanjut, Asad menjelaskan mengenai permasalahan yang sering dihadapi acne fighter seperti dirinya, diantaranya adalah asumsi-asumsi mengenai penyebab jerawat. Sayangnya, tak jarang asumsi itu cenderung menyalahkan para acne fighter

Baca Juga: Harus Cantik dan Glowing? Beauty Privilege itu Cuma Mitos

Banyak orang yang langsung berasumsi bahwa penyebab jerawat adalah seperti wajah yang kotor, karena tidur terlalu malam dll. Padahal, tidak seharusnya seseorang berasumsi akan hal itu, memastikan penyebab jerawat melalui dokter adalah hal yang paling tepat.

“Pernah orang-orang berasumsi ke aku karena tidur malam, sarung bantal nggak ganti dll. Padahal kita acne fighter itu pegang wajah saja harus cuci tangan dulu, kita pake produk itu biar sembuh cuma belum aja. Jadi menyayangkan yang bilang seperti itu. Sempet disarankan jamu pembersih darah tapi ngabisin uang sampai ratusan ribu, sudah minum beberapa botol tapi nggak ada hasil, jadi mereka perlu tahu jerawat kita sebabnya apa dulu, apakah kurang bersih, breakout atau makan nggak seimbang,” ceritanya.

Dia juga mengingatkan, banyak acne fighter yang menangani masalah jerawat mereka tanpa tahu penyebabnya. Hal ini justru akan membuat penanganan menjadi tidak maksimal dan lama. 

Di satu sisi, Asad juga menyebut bahwa banyak orang yang tergesa-gesa menggunakan atau mencoba berbagai produk untuk jerawat mereka, padahal kebutuhan treatment tiap kulit berbeda. Sementara itu, produk dasar yang dibutuhkan seperti sunscreen dan pelembab justru sering terlewat.

“Banyak acne fighter yang gak tau penyebabnya, padahal adikku juga berjerawat tapi aku selalu bilang cari sebab dulu, akhirnya nggak sampai 1 tahun berkurang. Nah, kesalahan acne fighter itu tergesa-gesa pakai produk atau krim, padahal sebab jerawat beda-beda bisa karena hormon, stres dll. Apapun yang dilakukan kalau nggak tau penyebabnya ya nggak bisa sembuh. Produk yang sebenarnya dibutuhkan itu sunscreen dan pelembab. Ketika kita nggak pake 2 itu wajah kita yang berjerawat akan tidak terlindungi kena matahari jadi merah dan itu sulit disembuhkan. Dua produk itu sudah lebih dari cukup,” terang Asad.

Baca Juga: Kulit Putih Bagus dan Kulit Hitam Jelek? Ini Dikotomi Berujung Diskriminasi

Sementara itu, untuk produk pencuci muka atau facial wash, Asad menyarankan untuk menggunakan produk yang tidak membuat wajah terasa terlalu kencang atau ketarik setelah menggunakannya. Karena facial wash yang membuat wajah terasa ketarik akan membuat wajah kering dan itu membuat kelenjar minyak nantinya akan memproduksi minyak berlebih.

Asad juga berbagi pengalamannya yang dulu pernah mencoba berbagai produk alternatif untuk wajahnya. Ia pernah menggunakan masker dari kunyit, rendaman air beras, sampai jamu pembersih darah karena ketidaktahuannya.

“Aku pernah pake masker kunyit, wajah jadi kuning semua. Rendaman air beras juga pernah dibuat masker, itu rasanya gatel banget, pada akhirnya banyak jerawat yang tumbuh. Pernah pake lemon juga karena vitamin c padahal itu bukan buat kulit. Sempat disarankan jamu pembersih darah tapi ngabisin uang sampai ratusan ribu, sudah minum beberapa botol tapi nggak ada hasil, jadi mereka perlu tahu jerawat kita sebabnya apa dulu, apakah kurang bersih, breakout atau makan nggak seimbang” tambah Asad.

Baca Juga: “Glow Up Challenge”; Standardisasi Kecantikan di Medsos Yang Rugikan Perempuan

Ketidaktahuan acne fighter dalam mengidentifikasi sebab masalah adalah hal yang justru membuat penanganan jerawat menjadi lama dan tak kunjung selesai. Padahal daripada menghabiskan waktu untuk mencoba berbagai produk dan perawatan, lebih baik menggunakan waktu untuk mengidentifikasi penyebab masalah kulit dan menentukan langkah yang tepat untuk mengatasinya.

Wajah Asad kini mulai membaik (doc.pribadi Asad)

Sebagai seorang acne fighter, Asad berbagi motivasinya menghadapi berbagai tuntutan termasuk jika ada tuntutan pekerjaan yang mengharuskan kualifikasi good looking. Ia bercerita bahwa setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan peluang, oleh karena itu Asad tidak pernah merasa minder atau iri dengan orang lain. Satu hal yang Ia pupuk adalah rasa percaya diri untuk tampil menarik sesuai dengan versinya sendiri.

“Aku merasa standar kecantikan orang beda-beda, aku ngerasa aku good looking kok,” lanjut Asad.

Baca Juga: Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea? Girls, Bebaskan Kamu Dari Standar Kecantikan!

Hal lain yang tak kalah penting bagi Asad adalah motivasi diri sendiri dan mengetahui apa yang dibutuhkan. Menyadari tidak ada yang sempurna lalu menerima kekurangan diri sembari memperbaiki terus menerus. Kini ia membagikan perjalanannya sebagai seorang acne fighter di akun Instagramnya @asadulloh.

“Aku memotivasi diriku karena nggak ada yang sempurna ya, dengan jerawat pun bisa cakep, aku nggak pernah membandingkan diri, iri dengki. Sejak aku nggak bandingin diri, jerawat itu hal yang normal, pas aku udah merasa damai, barulah orang menghormati,” tutup Asad.

Selama ini ada sejumlah bacaan atau tulisan soal jerawat, kebanyakan isinya adalah tips agar kita bisa tampil percaya diri dengan jerawat. Namun bagaimana harus menerima omongan orang atau komentar tentang jerawat dan kita bisa menerimanya secara lega, itu masih jadi pekerjaan rumah yang tak mudah.

Tak semua bisa menerima dengan gampang, jadi yang berkomentarpun harus tahu soal ini. Walau tidak mudah, yang paling penting adalah semua orang harus menerima jika semua wajah tak bisa distandarkan, harus mulus, harus glowing, dll karena tak semua bisa memenuhi standar ini. Jadi kita harus lepaskan atau tolak standar-standar yang menjerat ini dan membuat orang menjadi tidak nyaman.

Psikolog, Poedjiati Tan yang dihubungi Konde.co menyatakan bahwa kondisi ini disebabkan standar kecantikan yang sudah ditentukan oleh lingkungan, harus glowing, bersih wajahnya, jadi orang yang tidak memenuhi standar ini, dituntut terus, ini yang membuat orang jadi rendah diri. Padahal jerawat ini proses alami yang dialami manusia.

Yang harus dilakukan adalah stop untuk menjustifikasi soal standar-standar ini karena tidak semua bisa memenuhi ini dan malah membuat stres, dan dari diri sendiri, yang penting adalah ke dokter atau klinik itu untuk kesehatan, bukan untuk memenuhi standar cantik.

Dan untuk keluarga, harus memberikan support system agar yang sedang berjuang untuk lepas dari jerawat tidak jadi lebih down, insecure.

“Selama ini, hal itu yang membuat berat karena kita harus memenuhi standar-standar yang tak bisa dicapai semua orang, banyak orang yang kewalahan, stres mencapainya, karena jika tak mencapainya justru diolok-olok,” kata Poedjiati Tan

Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1990) menyatakan bahwa kecantikan, yang bervariasi di masyarakat, telah menjadi universal dan menjadi simbol yang menyebabkan ketakutan irasional yang tercipta terutama karena politik dan masyarakat yang membesarkan ini, dan bukan karena alasan nyata. 

Menurut Wolf, mitos kecantikan kemudian menentukan urgensi dan kewajiban untuk mendasarkan identitas dan nilai pada kecantikannya. Industri diet, kosmetik, bedah kosmetik berangkat dari modal yang dihasilkan oleh kecemasan-kecemasan yang tidak disadari.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!