Aku Ingin Hidup Sebagai Manusia Biasa, Bebas Berpikir dan Tentukan Jalanku Sendiri

Tidak ada manusia yang dapat memilih lahir sebagai apa dan pada kondisi kehidupan yang seperti apa. Kadang, memang tidak harus terus sama pada poros yang dianggap sebagai terbaik.

Sejak lahir, tidak ada yang dapat memilih akan dilahirkan dari rahim dan keluarga yang seperti apa. Mungkin banyak yang mengatakan bahwa apa yang telah kita bawa sejak lahir merupakan takdir, dan berlandaskan tuduhan pendosa seolah tak ada yang boleh mengubah takdir.

Sedang, takdir selalu dijadikan jawaban ampuh untuk saling menghakimi dan tidak bersyukur atas kehidupan yang diberikan Tuhan.

Andai sejak awal Tuhan yang selalu diagungkan dapat berbicara kepada hati manusia, bahwa Ia tidak pernah mengekang makhluk ciptaannya. Semua manusia pasti ingin selalu mendapatkan kehidupan yang nyaman tanpa embel-embel rasa bersalah telah menjadi diri sendiri.

“Kamu ini perempuan, masa’ rumah kotor begini? Bantu mamakmu rapiin rumah, jangan malas,” ungkap yang kusebut Paman.

“Perempuan itu harus rawat badan, masa’ gendut gini, nanti gak ada yang mau loh,” ungkap yang kusebut Bibi.

Baca Juga: Memilih untuk Tidak Menikah Bukanlah Kegagalan Bagi Perempuan

“Kamu gak bisa bantuin mamak ya? Kamu gak mau cuci piring? Gak bisa sama sekali dimintai tolong ya?,” tambah Abangku, yang sebelumnya aku pikir sangat mengerti keadaanku.

Terlahir sebagai perempuan satu-satunya dan anak terakhir, aku pikir ini akan membahagiakan sebagaimana yang sering dilontarkan orang-orang kepadaku. Kenyataannya aku sama sekali gak pernah merasakan kebahagiaan itu. Aku iri dengan abang-abangku yang gak pernah dibebankan hal-hal moral sejak kecil.

Belum dewasa pun, aku sudah ditugaskan untuk tetap di rumah dan hidup merawat orang tua ku. Tidak ada satu pun yang butuh persetujuanku atau sekedar bertanya, “Kamu maunya apa sih?.”

Semua sikap  dan celetukan itu terekam jelas di memori kepalaku. Bahkan, hal tersebut menjadikan aku kadang merasa, “Aku sebenarnya keluarga mereka bukan ya? Kok aku merasa  jauh terus dan selalu dikucilkan?.”

Sepanjang aku terus bicarakan isu perempuan dan diskriminasi sosial sejak statusku masih pelajar SMK, aku selalu bertanya, “ Kenapa harus peduli dan terus hidup memikirkan orang lain?.”

Baca Juga: Gerakan Feminis Milenial di Media Sosial: Gelombang Baru Feminisme di Indonesia

Dua tahun terakhir ketika aku berani berkata tidak atas semua pandangan sosial, aku tahu bahwa hal-hal di atas yang melatar belakangi aku untuk hidup menggaungkan dan melawan diskriminasi. Sejak awal aku muak dengan semua pandangan sosial  yang mengelompokkan aku pada perempuan, aku muak dengan pandangan remeh mereka soal manusia kudu sempurna seperti di kepala kebanyakan orang.

“Seksisme” kata yang aku baru temukan di 2019. Menarik, satu kata pantikan yang membawaku untuk mengetahui banyak hal soal diriku. 

Awalnya, aku sangat skeptis dan percaya bahwa hanya ada dua gender di dunia ini. Saat itu, aku sangat percaya memiliki vagina ataupun penis merupakan takdir yang tumbuh bersama pandangan sosial dan harus aku telan kepahitannya. Sampai aku kembali balik ke masa lalu, dan terus mengingat bahwa aku tidak pernah ditanya, “Kamu mau gak jadi perempuan?.”

Pertanyaan sederhana itu membawaku ke berbagai pemikiran dan rasaku sejak kecil. Aku tidak pernah mau jadi perempuan, ataupun laki-laki. Aku selalu ingin dipandang sebagai manusia dan aku benci narasi macam “perempuan itu harus…” atau “laki-laki itu memang…”. Narasi itu selalu membungkam perlawanan akan diskriminasi. Semua orang disuruh menelan kepahitan mereka masing-masing. Padahal, mereka resah dan kesal hidup dengan pandangan sosial tertentu, namun merasa tak berdaya melawannya.

Baca Juga: Yang Perlu Kamu Tahu: Apakah itu Konferensi Perempuan Sedunia?

Begitu pun, dengan agama. Aku juga selalu marah saat hidup di antara orang-orang yang merasa super power karena lebih banyak jumlahnya. Tapi, lingkunganku yang berada di lembaga keagamaan menunjukkan, setiap orang didalamnya sebaiknya harus menyudahi narasi beragama ini. Teori-teori agama dibelotkan untuk keuntungan-keuntungan pribadi dan pemuka agama cabul yang telah kutemui sejak SMP.

Seolah tasbih agama adalah sesuatu hal yang mutlak dan tidak dapat diperdebatkan. Padahal,  pengamatanku, mereka ini adalah kelompok orang-orang malas berpikir yang hanya menerima petuah orang lain. Tak lebih dari seekor anjing penjaga yang melindungi pemiliknya.

Sedikit kuceritakan soal kemarahanku yang bukan hanya untuk mereka para pelindung pemuka agama cabul, tapi untuk diriku sendiri yang saat itu sangat terlambat belajar perihal seksisme. 

Malam  itu, aku yang bersekolah di sebuah sekolah agama dengan asrama, sedang menunggu kepulangan seorang guru perempuan yang kuanggap sebagai kakakku. Dia menitipkan pesan untuk selalu mengaktifkan handphone Nokia ku saat itu, karena dia akan pergi bersama salah satu pimpinan sekolah dan pemuka agama ke dokter gigi.

Baca Juga: Hari Paling Buruk Dalam Hidup Ratu Waria: Media yang Sensasional telah Hancurkan Hidupku

Hingga pukul 22.00 Wita saat itu, dirinya masih memberikan update bahwa dokter gigi nya penuh pasien dan memutuskan untuk makan nasi goreng dahulu di pinggir sungai. Dipastikan tempat itu ramai. Setelahnya, saat mobil berhenti, pemuka agama yang juga pimpinan sekolahku memaksa mencium guruku. Guruku berteriak, menangis, dan berusaha keluar dari mobil. Namun pintu terkunci. Setelah melakukan perlawanan dan berusaha meminta tolong, situasi tak terkendali, orang sekitar tidak ada yang menolong atau bahkan tidak mengetahui kejadian tersebut.

Takut ketahuan, pemuka agama memberhentikan aksinya dan kembali ke sekolahku. Saat itu, pukul 00.00 Wita, aku masih terbangun dan langsung berhambur keluar kamar karena mendengar guruku datang sambil menangis, menjerit. Lalu keadaan asrama menjadi riuh dan masih jelas di kepalaku, betapa sedihnya guruku menangis dihadapanku. Aku hanya terdiam, tidak memahami situasi tersebut. Peristiwa itu ditutupi semua orang, pimpinan pesantren setelah dituntut keluarga hanya diturunkan dari jabatan.

Asrama putri saat itu hanya menyebar desas-desus tak beralasan. Salah satunya menyalahkan guruku yang mengapa mau ikut dengan si pemuka pesantren atau bahkan ada yang menyalahi karena dirinya berpacaran. Sampai sekarang, tidak ada yang mengadili di pemuka agama tersebut. Masih bahagia dan menumpuk  jemaahnya setiap minggu di petak-petak ruang ibadah.

Baca Juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua 

Cerita tersebut selalu kuingat sampai hari ini, betapa buruknya dan berdosanya aku yang hanya diam menatap hal tersebut terjadi. Aku sudah berusaha untuk menyinggung terus perihal kasus tersebut,  tapi semua orang bungkam. Kemarahannya akan selalu aku simpan untuk memerangi kasus-kasus lainnya.

Kembali perihal menemukan diri, akhirnya aku bersepakat dengan diriku untuk hidup sebagai non-biner. 

Sejak kecil aku tidak pernah ingin hidup menjadi perempuan ataupun laki-laki. Aku selalu mengerti bagaimana aku hidup. Cerita di atas juga mendasari aku tidak mengelompokkan di agama manapun. Selama agama masih terus dijadikan alat politik, aku akan hidup dengan jalan yang telah aku putuskan sendiri. Aku ingin hidup sebagai manusia, dapat bebas berpikir, dapat bebas hidup dan menentukan jalanku sendiri.

Kapan pun aku bertemu dengan keadaan dan orang baru, aku selalu bilang “Jangan kelompokkan aku dimana pun dalam kepalamu, cukup mengerti bahwa aku manusia.” 

Hal ini justru yang membuat aku semakin memberikan banyak pengertian atas tindakan juga keputusan manusia. Semua orang pasti sangat memahami bagaimana caranya hidup dan merawat kemarahannya agar terus hidup dan berjuang.

(Tulisan ini merupakan kerjasama Qbukatabu dan Konde.co dalam projek komunitas menulis)

Nawal

Seorang non binary dari Kalimantan Timur. Aktif bicara gender, pendampingan korban kekerasan seksual, dan psikologi. Tergabung di Narasi Toleransi dan Savrinadeya Support-Group. Lulusan sarjana psikologi dan bekerja sebagai seorang Jurnalis.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!