CATAHU 2023: Perempuan Pembela HAM dan Politisi Perempuan Dua Kali Lipat Rentan Jadi Korban Kekerasan

Pada Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2023, Komnas Perempuan menyoroti peningkatan signifikan kasus kekerasan perempuan yang terjun di ranah publik dan negara. Kekerasan terhadap perempuan di ranah negara seperti pada perempuan pembela HAM dan politisi perempuan bahkan naik hampir 2 kali lipat.

Fatia Maulidiyanti jadi salah satu perempuan pembela HAM yang akhirnya divonis bebas atas dakwaan pencemaran nama baik pejabat negara. Bersama Haris Azhar, Ia dikriminalisasi karena paparan kritisnya tentang hasil riset ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua’. 

Jaksa menuntut Fatia dengan 2,5 tahun penjara. Usai melalui proses panjang pengadilan setahun ke belakang, hakim memutuskannya tak bersalah. Gemuruh sorai ‘Kami bersama Fatia-Haris!’ pun menguar di pengadilan pada 8 Januari 2024 lalu. 

Fatia hanyalah satu dari sekian banyak perempuan pembela HAM yang menjadi korban kekerasan di ranah negara. Komnas Perempuan dalam CATAHU mencatat, ada peningkatan sebesar 176% kekerasan di ranah negara sepanjang tahun 2023. Jumlah ini menunjukkan, artinya kerentanan perempuan di ranah negara terhadap kekerasan naik hampir dua kali lipat.

Selain perempuan pembela HAM, ada pula kekerasan terhadap para perempuan di ranah negara yang terjadi dengan berbagai latar belakang kasusnya. Misalnya kasus para perempuan korban penggusuran paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat berbasis gender, kebijakan diskriminatif, kebebasan beribadah, pengungsian hingga perempuan di dunia politik.

Kaitannya dengan yang terakhir, Konde.co pernah menuliskan, kekerasan pada perempuan di politik terjadi seperti pasangan bercerai karena KDRT perempuan akibat perbedaan pandangan politik sampai penyerangan seksual pada calon kepala daerah. 

Baca Juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu

CATAHU 2023 juga menyoroti peningkatan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik. Yaitu sebesar 44%. 

Pada data itu disebutkan pula, sebanyak 2.078 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan 2.363 kasus yang dilaporkan ke Lembaga Layanan. Secara spesifik, kekerasan seksual ini banyak terjadi di ranah publik.

Awalnya, kekerasan di ranah publik dimaknai sebagai pelaku kekerasan yang tidak memiliki hubungan struktural dengan korban. Misalnya atasan di tempat kerja, majikan dalam konteks buruh migran, agen dalam konteks trafficking, dan pihak keamanan.

Definisi tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi tempat terjadinya kekerasan sejak 2022. Kini, kekerasan di ranah publik dikelompokkan menjadi di dunia siber, wilayah tempat tinggal, tempat kerja dalam dan luar negeri, tempat umum, tempat pendidikan, dan fasilitas medis.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyebut bahwa kasus yang masuk ke Komnas Perempuan ini memperlihatkan tingginya relasi kuasa antara korban dengan pelaku.

“Relasi kuasanya ini berlapis, baik dia sebagai siswi dengan guru, usia anak dengan dewasa, perempuan dengan laki-laki, kemudian jabatan, pengetahuan, serta otoritas keilmuan dan keagamaan,” ujar Siti Aminah pada paparan CATAHU 2023 di Jakarta yang dihadiri Konde.co, Kamis (7/3/2024).

Sebelum adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, korban lebih memilih diam. Selain karena dianggap mampu mencemarkan nama baik kampus, korban juga rentan direviktimisasi.

Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan

Reviktimisasi–atau dikenal juga dengan victim blaming–berarti menyalahkan korban atas apa yang terjadi padanya. Dalam kasus kekerasan seksual, korban seringkali disalahkan, baik dalam hal berpakaian, keluar pada saat malam hari, dianggap menggoda, dan masih banyak lagi.

Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru dibungkam, baik oleh pelaku maupun orang di sekitarnya. Sebab, cerita korban dianggap bisa mencemarkan nama baik. Tak sedikit pula ditemui kasus di mana korban dinikahkan dengan pelaku agar tidak menjadi aib bagi keluarga.

Peningkatan kekerasan terhadap perempuan di ranah negara dan publik yang signifikan ini, memang berbanding terbalik dengan catatan kekerasan terhadap perempuan secara umum di CATAHU 2023 yaitu berjumlah 289.111 kasus yang dilaporkan, turun sebesar 12% dari tahun 2022. 

Meski begitu, kasus kekerasan terhadap perempuan itu seperti fenomena ‘gunung es’. Artinya, jumlah kasus itu merupakan data kasus yang dilaporkan oleh korban, pendamping, maupun keluarga. Sehingga, realita yang terjadi di lapangan atau tidak dilaporkan bisa jadi jauh lebih besar. 

“Ini adalah fenomena gunung es. Artinya, data yang masuk itu bukan menjadi potret faktual dari realita yang ada sesungguhnya,”ujar Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad di kesempatan sama. 

Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Tak Mau Melapor: Karena Banyak Yang Salahkan Mereka 

Ini bisa banyak hal sebabnya. Di balik angka itu, ada banyak kendala korban dalam melaporkan kasus karena sulitnya korban bisa mengenali pengalaman kekerasannya sampai proses pemulihan yang masih jauh dari harapan. Walaupun kini, berbagai kebijakan perlindungan bagi korban berupa tindak pidana telah disediakan. 

Karakteristik korban dan pelaku masih mengalami tren yang sama pada CATAHU terbaru ini. Korban lebih muda dan lebih rendah tingkat pendidikannya dari pelaku. 

Selama tiga tahun terakhir, jumlah pelaku sebagai pihak yang seharusnya melindungi, menjadi panutan, dan simbol kehadiran negara naik 9%. Ini melampaui rata-rata CATAHU 21 tahun sebesar 5%. 

“Ini meneguhkan akar masalah Ktp bersumber dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sumber kuasa pelaku semakin kuat ketika pelaku memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan tokoh keagamaan,” tulis Komnas Perempuan di pernyataan resminya. 

Kekerasan terhadap perempuan di ranah personal masih menempati pengaduan yang dominan dari keseluruhan sumber data. Kontribusi tingginya kekerasan di ranah personal, disumbang melalui data yang dihimpun BADILAG (Badan Peradilan Agama). 

“Mengingat terkait perkara dalam relasi perkawinan dan keluarga,” lanjutnya. 

Peningkatan Kasus Akibat Relasi Toksik

Relasi toksik sejatinya tidak hanya terjadi pada lingkup berpacaran saja, melainkan juga dalam perkawinan. Di ranah personal, kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi jumlah tertinggi sepanjang 2023 yaitu mencapai 674 kasus. Komnas Perempuan mencatat adanya peningkatan kasus sebesar 22 persen dibanding tahun 2022.

Kekerasan terhadap istri rentan terjadi dalam pernikahan di usia muda. Tidak hanya mendapat kekerasan dari suami, perempuan juga mendapat kekerasan dari keluarga. Hal ini menjadi bukti ketidaksiapan mental sebelum menikah yang bisa berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Saya menampilkan power and control kekerasan terhadap istri karena di sinilah cara kerjanya kekerasan dalam lingkup rumah tangga, khususnya terhadap istri,” ujar Siti.

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Dalam hal ini, Komnas Perempuan mendorong pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tinggi (KDRT). Mengingat bahwa UU tersebut merupakan perjuangan panjang untuk memenuhi hak perempuan korban KDRT.

“Tingginya kekerasan terhadap istri memberikan sinyal penting bagi pelaksanaan UU PKDRT yang tahun ini akan memasuki 20 tahun,” ujar Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan.

Kekerasan di ranah personal juga menangkap adanya peningkatan kasus pemaksaan aborsi mencapai 17 kali lipat. Pemaksaan aborsi paling banyak terjadi dalam lingkup berpacaran alias kekerasan dalam pacaran.

“Pemaksaan aborsi yang kami catat meningkat 17 kali lipat, menjadi sekitar 37 kasus yang masuk ke kami,” ujar Siti.

Kasus pemaksaan aborsi ini tidak ditindaklanjuti oleh korban ke peradilan pidana. Ada ketakutan kriminalisasi terhadap korban lantaran dituduh melakukan aborsi. Hukum di Indonesia seolah menutup pintu aborsi aman, khususnya bagi korban kekerasan seksual. Belum lagi prosedurnya yang panjang membuat korban semakin sulit mengakses layanan aborsi aman tersebut.

Desak Turunan UU TPKS Segera Disahkan

Dari cerita di atas, aturan turunan UU TPKS menjadi sangat darurat. Dalam aturan tersebut akan memuat mekanisme perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban secara efektif dan efisien. Aturan turunan ini penting demi kelancaran penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai daerah Indonesia.

Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Kawal UU TPKS terus mendesak adanya percepatan pengesahan aturan pelaksana dan implementasi UU TPKS, baik berupa Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden. Namun, sampai saat ini aturan tersebut hanya berhenti di pembahasan saja.

“Sudah hampir dua tahun UU TPKS disahkan. Namun, hingga saat ini belum ada aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden,” ucap Rena Herdiyani dari Jaringan Masyarakat Sipil pada Senin (27/11/2023).

Baca Juga: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya

Konferensi pers yang digelar oleh JMS tersebut juga menyampaikan hambatan-hambatan pelaksanaan UU TPKS tanpa aturan turunan. Salah satunya adalah rendahnya tingkat pemahaman substansi UU TPKS, perspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Belum lagi soal kesiapan aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut.

Tingginya kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dalam CATAHU Komnas Perempuan 2024 ini diharapkan dapat turut mendesak pengesahan aturan turunan UU TPKS. Dengan begitu, kekerasan seksual terhadap perempuan dapat ditekan dan korban pun bisa mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang efektif.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!