“Kenapa Bandung?”
Sepatah kalimat tanya itu sempat viral di media sosial beberapa waktu ke belakang. Itu terjadi, salah satunya muncul dari Ardan Achsya (@ardan_achsya), seorang content creator di TikTok, yang membuat seri video pendek dirinya menanyakan, “Kenapa Bandung?” kepada orang-orang yang tinggal, pindah, dan berkunjung ke Bandung.
Jawaban mereka beragam. Ada yang menyebut Bandung kota ‘romantis’; ada pula yang menyatakan suasana Bandung nyaman untuk ditinggali. Muncul juga pernyataan bahwa Bandung adalah kota yang santai dan dapat mengakomodir ide-ide kreatif. Tidak seperti Jakarta, misalnya, yang terlalu ‘pesat’ dan ‘sibuk’, dan sebagainya.
Konten ‘Kenapa Bandung?‘ kemudian memicu diskusi mengenai kondisi Bandung yang sebenarnya.
Banyak orang merasa bahwa deskripsi Bandung sebagai kota ‘romantis’ itu berlebihan dan tidak akurat. Penolakan ini terutama hadir dari masyarakat Bandung sendiri. Bahwa beberapa aspek kota Bandung bikin betah, mungkin iya. Tapi paling tidak bagi warga Bandung, banyak hal lain yang terjadi di balik romantisasi Bandung ini.
Baca Juga: Putusan Bebas Maria Ressa, Kemenangan Jurnalis dan Kemerdekaan Pers
Pertanyaan “Kenapa Bandung?” itu sempat menghampiriku pula menjelang Idulfitri tahun ini. Aku menghabiskan dua pekan libur Lebaran dengan kembali ke rumah orangtuaku di Bandung. Saat itu aku sedang duduk di dalam mobil travel, terjebak macet selama 20 menit setelah mobil keluar dari gerbang tol Pasteur. Padahal titik tujuanku hanya berjarak kurang 1 km dari sana.
Aku mencoba memaknai lagi kota asalku ini. Lahir dan besar di Bandung selama 20 tahun sebelum merantau ke Jakarta, kurasa romantisme yang selama ini dielu-elukan dari Bandung sudah lama memudar. Yang kusaksikan di masa beranjak dewasa adalah Bandung yang tergopoh-gopoh mengejar zaman, mungkin menuju renta.
Bandung yang kukenal seiring bertambahnya usia adalah Bandung yang mulai habis digerus pengusaha rakus, yang masih berjuang melawan penindasan. Apakah Bandung lantas menjadi tidak romantis? Tidak juga. Tapi bicara tentang Bandung jangan sampai mengabaikan fakta bahwa kota destinasi wisata ini juga punya segudang masalah.
‘Kenapa Bandung?’ Bumi Pasundan Tidak Seromantis Kutipan Brouwer
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
Frasa tersebut dikutip dari pastor, psikolog, dan budayawan Belanda, Martinus Antonius Weselinus Brouwer. Kutipan berasal dari tulisan Brouwer di sebuah koran nasional pada 10 Juli 1975.
Istilah ‘Bumi Pasundan’ sendiri telah sejak lama digunakan untuk menyebut daerah geobudaya tatar Sunda di bagian barat Pulau Jawa, termasuk Bandung. Kini, kamu bisa melihat kutipan itu terpampang besar-besar di terowongan Jalan Asia-Afrika, Bandung.
Kutipan M. A. W. Brouwer memang sangat populer, apa lagi untuk ‘menjual’ romantisme Bandung. Barangkali itulah pula alasan Pemerintah Kota Bandung di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil saat itu memutuskan untuk memamerkan—tidak, mengabadikan—perkataan tersebut di titik bersejarah Kota Bandung.
Pada tahun 2015, Bandung sedang bersiap menyambut Konferensi Asia-Afrika ke-60. Kawasan Braga hingga Jalan Asia-Afrika ‘dipercantik’, termasuk dengan menambahkan kutipan Brouwer pada sepetak dinding di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) di ruas jalan menuju Alun-Alun Kota Bandung.
Selain menjadi salah satu titik wajib foto bagi para wisatawan yang datang ke Bandung, kutipan itu juga berulangkali diucapkan para narasumber dalam video pendek yang diunggah @ardan_achsya.
Mereka merasa, hal itulah yang bikin mereka betah dan nyaman di Bandung. Salah satu dari mereka menambahkan, “Bahkan bukan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Tapi setiap penghuni atau makhluk yang ada di Bandung pun selalu tersenyum setiap harinya karena adanya Bandung di Bumi ini.”
Baca Juga: Tak Mau Jadi Korban Intoleran, Para Perempuan Jadi Pelopor Perdamaian
Gatal rasanya aku hendak menyanggah kata-kata itu. Sebagai salah satu penghuni Bandung, orang-orang di sekitarku tahu kalau aku tidak tersenyum sesering itu. Atau mungkin pernyataan itu juga melibatkan senyum Noni Belanda yang setia menunggui area SMAN 3 dan SMAN 5? Valid juga. Tapi tentu saja persepsi setiap orang berbeda-beda.
Itu intermezzo. Di sisi lain, benarkah pandangan bahwa Bandung dan segala hal di dalamnya itu romantis?
Tya (25) mengaku risih setiap kali mendengar pernyataan Bandung adalah kota ‘romantis’. Meski tidak lahir di Bandung, Tya menghabiskan masa kecilnya hingga usia 20-an tahun di kota Bandung, sebelum pindah ke Jakarta untuk bekerja.
“Orang suka bilang Bandung ‘romantis’, terus gue selalu… ‘Naon, anjir? (Apa, sih?),” ia mengangkat sebelah alis dengan ekspresi jengah, ditemui Konde.co di Bandung, Senin (2/4/2024).
Sedangkan menurut Okti (31), romantisme Bandung yang dielu-elukan selama ini membuat branding kota ini jadi overrated. Ia lahir dan menetap di Bandung hingga dewasa. Setelah menikah dan hamil pada 2023, ia dan suaminya pindah ke daerah lain di Jawa Barat dan masih menyempatkan diri sesekali pulang ke Bandung untuk menemui keluarganya. Meski nostalgia dan familiaritasnya tidak dapat dipungkiri, Okti tetap merasa masalah di Bandung begitu menggunung.
“Sisanya negatif semua, terutama macet,” katanya kepada Konde.co pada Senin (2/4/2024).
Infrastruktur dan Fasilitas Publik Tidak Ramah Gender
Keluhan lain yang sering terdengar tentang Bandung adalah minimnya infrastruktur dan fasilitas publik, apa lagi yang ramah gender.
Tak banyak lagi angkutan kota (angkot) yang melintas sebagaimana dulu sering aku gunakan saat masih tinggal di Bandung. Maka, mumpung sedang di Bandung dan mempertimbangkan jarak antara titik keberangkatanku di Pasteur menuju Tamansari, rasanya tidak masalah mencapai lokasi dengan bus Trans Metro Bandung (TMB). “Paling waktu tempuh hanya 10-15 menit,” pikirku.
Rupanya aku salah. Di halte bus TMB koridor Sarijadi-Cicaheum yang kumuh dan terbengkalai itu, bersama tiga calon penumpang perempuan lainnya, aku menunggu bus selama dua jam lebih.
Seorang ibu di sebelahku mencak-mencak. “Ka mana sih, ieu bus-na? Meni lila, siga nu euweuh. (Ke mana sih, ini busnya? Lama banget, kayak nggak ada.)” keluhnya.
Namanya Siti (52), warga Cicaheum. Saking lamanya menunggu bus tiba, ia mengajak semua orang di halte itu mengobrol. “Ini mending, saya nggak lagi ada urusan penting. Gimana kalau orang ada yang mau jemput anak, lagi buru-buru, tapi TMB-nya aja nggak lewat-lewat?” Siti melanjutkan omelannya.
Keluhan tentang fasilitas publik di Bandung juga dilontarkan Okti. “Transum (transportasi umum) minim akses, jalanan gelap. Yang tertata ya cuma daerah situ-situ aja, sisanya nggak terencana dengan baik.”
Baca Juga: Saya Dipecat Sebagai Dosen Karena Mengkritik Komersialisasi Kampus
Putri (26) turut berbagi keluhannya mengenai minimnya transportasi umum dan jalur pedestrian di Kota Bandung. Sebagai warga Cibiru, hal itu sangat menyulitkannya bepergian ke pusat Kota Bandung. “Sebenarnya menyayangkan transum yang minim, jalur jalan kaki juga lu bayangin—di Cibiru, mana ada?” tuturnya, Minggu (31/3/2024).
Di lain kesempatan, seorang kawan bernama Sarah (28) menyuarakan hal serupa terkait keamanan di Kota Bandung bagi perempuan. Menurutnya, di Bandung, jalanan sudah cenderung sepi dan gelap sejak pukul 9-10 malam.
“Lampu jalan euweuh (tidak ada), loba begal (banyak begal). Malah rasanya lebih aman jalan kaki sendirian tengah malam di Jakarta karena biasanya masih agak ramai. Di Bandung mah, palaur (kacau),” ujar Sarah kepada Konde.co, Minggu (31/3/2024).
Memang, di beberapa lokasi terutama di pusat kota, sarana infrastruktur sudah mulai dibenahi agar lebih inklusif. Okti mengakui, sejumlah fasilitas publik seperti taman-taman kota sudah cukup layak dibandingkan dengan kota tempatnya tinggal sekarang.
“Ada beberapa hal yang aku agak syukuri dari bandung yang nggak aku temuin di kota tempat aku kerja sekarang. Fasilitas publik Bandung (macam taman kota) udah cukup terawat dan layak, udara Bandung lebih sejuk dan asri (di beberapa daerah), fasilitas kesehatan layak.”
Okti juga menilai, dinas lingkungan dan kebersihan Kota Bandung benar-benar bekerja. Selain itu, tidak seperti di tempat tinggalnya sekarang, pedagang di Bandung lebih memperhatikan penggunaan kemasan makanan yang layak.
“Daerah lain lu beli bubur dibungkus pakai kresek,” katanya.
Baca Juga: Mendapat Predikat Kota Peduli HAM, Mengapa Pemkot Bandung Tetap Lakukan Penggusuran Paksa?
Namun menurutnya pekerjaan rumah Pemerintah Kota Bandung juga masih banyak. Fasilitas publik ramah gender harus betul-betul terwujud. Tidak dengan halte bus yang terbengkalai dan berujung jadi tempat istirahat tunawisma, tidak dengan JPO bertangga curam serta gelap dan rawan kejahatan. Pun tidak dengan jalur pejalan kaki yang begitu kecil, gelap, dan rusak, sehingga jalur disabilitas yang ada di sana malah jadi sia-sia.
Pada akhirnya, Okti tetap merasa deskripsi Bandung oleh orang luar cenderung berlebihan.
“Benar-benar overrated kalau dengar orang luar ngedeskripsiin Bandung,” ujarnya.
‘Adem, Syahdu’, Lalu Banjir
Hal lain yang kerap dibicarakan orang-orang adalah suasana Bandung yang ‘adem, tenang, dan syahdu’, terutama setelah hujan. Deskripsi itu juga dilontarkan para narasumber dalam seri video ‘Kenapa Bandung?‘ Rupanya kenyataan bagi warga Bandung tidak persis demikian.
“Kata orang, Bandung kotanya sejuk, enak, nyaman, semacamnya,” kata Coki (27). “Nyatanya banyak begal, geser dikit ke kota, panas. Macetnya 11-12 kayak Jakarta menurut gue.”
Riri (28) mengomentari pandangan bahwa Bandung ‘romantis dan sejuk setelah hujan’. “Iya sih mungkin, kalau mainnya cuma di Dago,” katanya.
Tinggal di Baleendah, tidak jarang ia terpaksa melewatkan sesi kuliah saat masih jadi mahasiswa karena rumahnya ‘langganan’ terendam banjir. “Hujan kalau deras juga malah nyusahin,” keluhnya.
Masalah banjir masih menjadi catatan buruk bagi Bandung, khususnya di wilayah kabupaten. Baru terjadi pada Selasa (23/4/2024), banjir bandang menerjang kawasan Kertasari, Kabupaten Bandung. Sebelumnya banjir juga terjadi di wilayah lain seperti Dayeuhkolot dan Baleendah. Pada 11 Januari 2024, banjir dari luapan Sungai Cikapundung yang menerjang Braga pun viral di media sosial. Alih-alih ‘syahdu’, hujan di Bandung tak jarang malah membawa petaka.
Kota ‘Ramah HAM’ yang Menindas Warganya Sendiri
Kemudian aku teringat dengan cerita-cerita kelompok marjinal di Bandung. Agustus 2023, aku mampir ke kawasan RW 11 Tamansari dan Dago Elos—dua lokasi penggusuran besar-besaran yang melibatkan brutalitas aparat. Di sana, ada sisi wajah Bandung yang kerap tertutupi oleh embel-embel ‘kota romantis’.
Pada sudut yang terpinggirkan, Bandung berisi perampasan hak warganya sendiri. Ironis, sebab sejak 2015 dan tahun-tahun setelahnya, Bandung sempat dinobatkan sebagai ‘kota ramah hak asasi manusia (HAM)’.
“Kalau bilang ‘Bandung romantis’, ini, itu, asa konyol weh (rasanya konyol saja). Romantis tapi pemerintahnya represif,” ujar Rizky (27), Minggu (31/3/2024).
Lulus dari salah satu kampus di daerah Tamansari, Bandung, ia pernah menyaksikan penggusuran warga RW 11 Tamansari pada 12 Desember 2019 lalu. Beberapa tahun sebelumnya, Pemkot Bandung pada masa jabatan Wali Kota Ridwan Kamil hendak menata ulang kawasan ‘kumuh’ di Bandung. Salah satunya pemukiman di daerah Tamansari. Sebagai gantinya, pemkot mencanangkan pembangunan rumah deret di sana.
Tadinya, dari penggusuran yang melibatkan kekerasan aparat dan tembakan gas air mata ke arah warga itu, hanya tinggal kediaman Eva Eryani (53) yang tersisa.
Konde.co sempat menemui Eva di bangunan bedeng yang jadi tempat tinggalnya usai penggusuran, pada Rabu (16/8/2023). Namun pada Oktober 2023, bangunan satu-satunya di tengah puing-puing rumah warga itu pun dibongkar paksa oleh Satpol PP. Meski demikian, perjuangan Eva sebagai warga Tamansari terus berlanjut.
Baca Juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (2)
Selain Tamansari, wilayah Dago Elos juga masih berjuang di tengah perampasan lahan dan ancaman penggusuran. Warga Dago Elos sekarang ini sedang menghadapi gugatan atas lahan tempat tinggal mereka sejak puluhan tahun yang lalu oleh keluarga Muller—terdiri dari Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Supendi Muller—yang mengaku tanah Dago Elos adalah milik keluarga mereka dari Belanda.
Pada tahun 2016, warga sempat memenangkan gugatan kepemilikan lahan Dago Elos, tapi Peninjauan Kembali (PK) tahun 2022 kemudian ‘merampas’ hak warga yang dilakukan dengan diskriminasi dan kekerasan. Mereka kini terus bertahan dalam perlawanan memperjuangkan hak atas ruang hidup.
Pada 14 Agustus 2023, terjadi bentrokan antara warga Dago Elos dengan aparat kepolisian usai sidang terkait gugatan atas lahan Dago Elos. Ninda Nur Amalia (25), salah satu warga, berkisah kepada Konde.co Rabu (16/8/2023).
Pada hari itu, ia dan para warga berupaya melindungi wilayah tempat tinggal mereka. Hanya memblokade jalan, tidak melakukan apapun untuk memancing kericuhan. “Warga sudah sepakat untuk berdamai, dibicarakan secara baik-baik,” ujar Ninda.
Tak disangka, serangan pertama polisi justru muncul dari arah belakang kerumunan warga. “Kalau nggak salah sih, 4 orang polisi katanya,” Ninda berusaha mengingat-ingat.
Banyak anak-anak dan orang tua mengalami sesak napas dan mata perih akibat serangan gas air mata. Situasi memburuk ketika gas air mata kembali dilontarkan, kali itu mengarah langsung ke pemukiman warga. Aparat juga diketahui memburu para warga hingga ke dalam pemukiman. Suatu tindakan yang sangat bertentangan dengan label ‘kota ramah HAM’ yang pernah disandang Bandung.
Rumah yang Harus Dibenahi
Selama dua minggu berada di Bandung saat Lebaran tahun ini, aku memikirkan pertanyaan yang sama: “Kenapa Bandung?”
Bukannya Jakarta tempatku tinggal sekarang lebih baik—ia sama bobroknya. Tapi, lahir dan besar di Bandung, aku menyadari banyak hal berubah seiring berjalannya waktu. Sayangnya, beberapa perubahan itu buruk. Ada hal-hal tentang Bandung yang hilang karena overpopulasi, para walikota yang korupsi, daerah-daerah resapan air yang dikeruk korporasi, dan sebagainya. Namun di sisi lain, memang pada akhirnya, aku akan tetap pulang juga ke kota ini.
Seburuk apapun, bagi warganya, Bandung adalah rumah—meski rumah yang masih harus dibenahi habis-habisan. Tya mengatakan, sesungguhnya ia tetap lebih betah tinggal di Bandung.
Baca Juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (1)
“Kalau bagi gue, Bandung tuh satu jawabannya: nyaman,” kata Tya. “Mobilisasi ke sana-sini masih nggak terlalu jauh, cukup serba ada, cuacanya adem, emang bikin betah sih. Mungkin karena pernah rasain hidup di Jakarta, jadi rasanya Bandung lebih bearable ya, meski slightly udah mirip-mirip.”
Okti juga merasakan hal serupa, terutama karena kini ia merantau cukup jauh dari kampung halaman. “Sebenarnya karena udah ngerasain merantau, memang ada sih yang bikin kangen,” ujarnya. “Bukan masalah romantismenya, tapi lebih ke personal memories aja dan karena kerasa familier tiap pulang.”
Mungkin bagiku, alih-alih bertanya, “Kenapa Bandung?” saatnya bertanya, “Bandung kenapa?”
(foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)