Mereka bergerak dari pinggiran, jauh dari hingar-bingar perbincangan.
Konde.co memilih 6 perempuan muda marjinal yang dalam kondisi merdeka atau tidak merdeka, tetap menjadi pejuang di lingkungan mereka.
4. Yuni Sri, Dari PRT Menjadi Caleg
Berprofesi sebagai PRT belasan tahun, Yuni Sri perempuan yang pantang menyerah ini tidak menyangka jalan hidupnya bisa sampai menjadi Caleg. Saat ini Yuni Sri jadi Caleg dari Partai Buruh.
Melakoni hidup menjadi PRT yang bekerja pada orang asing sambil membesarkan ketiga anaknya waktu itu, merupakan masa-masa perjuangan bagi Yuni.
“Dulu aku kerja di majikan orang Korea, gajinya masih kecil. Mantan suami pamit merantau ke Gorontalo dan menjanjikan akan cari uang untuk saya dan anak-anak, tapi nyatanya sayalah yang menghidupi anak-anak sendirian,” kenang Yuni.
Baca Juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (1)
Dikhianati sampai mengalami KDRT oleh mantan suami, menjadi pukulan berat bagi Yuni. Ia yang sudah menjaga kesetiaan, banting tulang bekerja sendiri untuk anak-anak, dan membesarkan anak sendirian sambil menunggu suami, tiba-tiba mendengar suaminya bilang begini, “Aku mau nikah lagi.”
Menemukan fakta bahwa suaminya berselingkuh dan sudah punya anak di perantauan, membuat Yuni hampir putus asa dan bunuh diri.
Tidak berlarut dalam kesedihan, Yuni pun tetap bekerja demi anak-anaknya.
“Aku ingin anak-anakku walau tidak punya bapak, tapi mereka tetap bisa mendapat kasih sayang seorang bapak dari aku. Aku berusaha cukupi kebutuhan mereka, beli HP misalnya, aku usahakan, walau istilahnya aku kerja ngosek WC di rumah orang, tapi nggak papa.”
Setelah itu Yuni bergabung di organisasi Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi. Di sana ia belajar banyak hal sambil membentuk diri. Dari mengikuti organisasi Jala PRT, Yuni akhirnya bisa melanjutkan kuliah. Ia juga kemudian banyak ngobrol dengan Lita Anggraini, koordinator JALA PRT.
“Sebenarnya saya tidak kepikiran mau lanjut kuliah lagi. Tapi mbak Lita Jala PRT meyakinkan saya. Saya bilang sama beliau, takutnya otak saya ngga nyampe mbak. Apalagi saya hanya lulusan Paket C. Tapi ya udah aku ikutin aja tesnya, kalau nggak lolos, ya nggak jadi kuliah. Eh ternyata aku lolos.”
Baca Juga: Selamat Satu Dekade SPRT Sapulidi, Organisasi Inilah yang Mendorongku Bisa Kuliah
Dunia kuliah membuatnya harus beradaptasi. Yuni yang mengambil jurusan komunikasi digital ini awalnya minder karena dirinya berprofesi sebagai PRT.
“Tugas yang pertama dikasih itu langsung bikin video, video 2 dimensi, 3 dimensi, bikin konten. Pakai aplikasi Photoshop juga. Tapi ternyata teman-teman banyak yang nggak bisa. Jadi saya ngga minder lagi. Saya bilang kok kalau saya PRT sama mereka. Sekarang saya nggak malu, mau buktiin kalau PRT juga berhak menimba ilmu,” cerita Yuni.
Walau sambil bekerja dan berorganisasi, ditambah mengurus keempat anaknya, tidak membuat Yuni surut mengikuti perkuliahan.
“Sebenernya udah capek kerja, urus anak, organisasi, ditambah khawatir otaknya ngga sampe. Tapi semua ini karena mbak Lita yang jadi support system aku. Sejak kenal mbak Lita, banyak perubahan yang positif dari aku ngga bisa apa-apa sampai di depan umum ngga ada rasa takut. Mbak Lita yang paling semangat suruh aku kuliah. Sekarang alhamdulillah di semester 2 udah UAS dan nilaiku bagus. Kuliahku kan online, jadi bisa kapan saja, jam berapa saja, sudah ada materinya. Aku kerjasama juga dengan kawan-kawan kuliah untuk mengerjakan tugas. Saling kasih jawaban dengan teman.”
Kini, Yuni sudah menikah lagi dan bahagia dengan keluarganya. Ia dan suaminya juga menjalani usaha online dengan berjualan di TikTok.
Sempat merasa gagal menjadi ibu karena anak pertamanya tidak mau sekolah, Yuni merasa sedih.
“Anakku yang pertama itu aku merasa bersalah karena buah kegagalan rumah tangga aku dan bapaknya. Sekarang dia sudah menikah dan punya anak, jadi aku ini udah punya cucu. Mereka tinggalnya di kontrakan sama aku. Walau kemarin dia baru di PHK, aku yang kembali menanggung kebutuhan semuanya. Tapi nggak apa-apa.”
Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik
Ketika ditanya apa yang menjadi harapan Yuni di masa depan, Ia menyebut ingin menjadi orang yang berguna, bisa bekerja menggunakan ilmunya di perkuliahan, anak-anak bisa mengikuti jejaknya kuliah tinggi, punya rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Kini dirinya juga menjadi caleg di Partai Buruh.
“Sekarang aku caleg dari Partai Buruh. Entah ini sudah jalannya mungkin, bismillah, sebenarnya kalau ditanya belum siap juga. Karena itu amanat dari Jala PRT, aku ngga ada modal entah untuk kampanye. Ini kedua kalinya seorang PRT dicalonkan sebagai Caleg, yang pertama itu Ririn dari SPRT Tunas Mulia. Sekarang aku dari SPRT Sapulidi untuk DPRD Provinsi Jakarta, dan ditambah dari SPRT Tunas Mulia, Lek jum untuk DPR RI.”
Di hari kemerdekaan ini harapannya tentu saja RUU PPRT disahkan. Saat ini Yuni dan para PRT lainnya melakukan aksi mogok makan di depan DPR tiap hari sampai RUU Perlindungan PRT disahkan menjadi undang-undang.
Mereka melakukan aksi mogok makan sambil menggelar piring kosong. Aksi mogok makan ini dilakukan sambil mendirikan tenda dan menyajikan piring-piring kosong yang berisi sikat kamar mandi, batu-bata, rantai, dot bayi, spon pencuci piring, dll yang menandakan situasi kerja buruk yang dialami PRT. Salah satu PRT, Adiyati yang mengikuti aksi menyatakan bahwa aksi piring kosong ini menandakan PRT yang menahan lapar karena jam kerja yang panjang dan tidak bisa berkata tidak, karena harus terus bekerja.
“Selain itu aku berharap kita sebagai perempuan bisa merdeka. Aman di tempat kerja. Pekerja perempuan banyak mengalami kekerasan seksual, tapi karena dianggap tabu, mereka nggak bersuara. Harapannya negara ini bisa melindungi pekerja perempuan, Kemerdekaan didapat oleh perempuan di lingkup manapun, di rumah tangga, ngga ada lagi KDRT. Di hari kemerdekaan perempuan tidak takut bersuara!” tutupnya.
5. Jihan Faatihah, Perjuangkan Hak Buruh di Perempuan Mahardhika
Kendala finansial keluarga membuat Jihan Faatihah tidak mampu menempuh gelar sarjana di tahun yang sama dengan teman angkatannya. Di saat temannya kini sudah meraih gelar sarjana atau melanjutkan pendidikan, Jihan baru mulai berkuliah jurusan studi sosiologi beberapa waktu terakhir.
“Aku mengisi empat tahun itu dengan menjadi pekerja harian lepas selama empat tahun lamanya di salah satu restoran cepat saji multinasional.”
Ia bercerita bagaimana industri tempat ia kerja dulu begitu berat baginya. Dituntut fleksibilitas, relasi kerja yang tidak aman, sistem no work no pay, dan juga tidak dibayar uang tambahan walau lembur.
Statusnya sebagai pekerja lepas membuatnya tidak mendapatkan kepastian akan hak-hak normatif, “easy hiring, easy firing” adalah istilah yang digunakan Jihan.
Baca Juga: Kekerasan Pekerja Marak, Tapi Minim Aturan Penyelesaiannya
Tidak adanya daya tawar mengantarkan Jihan dan rekannya pada kerentanan untuk mengalami kekerasan dan pelecehan seksual selama bekerja di sana. Jihan bercerita bahwa pelakunya bisa siapa saja, dari pelanggan, atasan, rekan kerja, pekerja gerai lain, bahkan hingga satpam yang seharusnya menjadi pelindung.
“Situasi ini membangun semangat aku untuk menjalin kekuatan dengan teman-teman kerjaku yang berani bercerita kepadaku tentang pengalaman dilecehkan, mengalami kekerasan dalam pacaran, dan kehamilan yang tidak diinginkan.”
Perlahan, mengalami kekerasan berbasis gender secara kolektif dengan rekan kerjanya menumbuhkan keinginan untuk berkontribusi dan bersuara untuk dan bersama perempuan lainnya.
“Aku merasa bahwa aku dan teman-temanku pantas untuk bicara karena menjadi berani adalah hak kita.”
Baca Juga: Aku Ingin Merdeka, Bahasa Aksi dan Perjuangan Queer Lepas dari Kolonialisme
Jihan lalu berinisiasi untuk memulai percakapan bersama teman-teman kerjanya setelah bekerja, makan siang bersama, atau saat kondisi restoran sedang sepi pengunjung. Bersama rekan kerjanya, ia mendobrak tabu yang selama ini lekat pada pembahasan yang bersentuhan dengan isu kekerasan.
Dorongan internal begitu kuat dalam diri Jihan. Tidak hanya memimpin percakapan dengan rekan kerja, ia juga mulai merambah ke media sosial lewat akun buatannya di Instagram, @puanbekerja. Akun itu ia gunakan untuk mengunggah kampanye poster tentang pekerja restoran cepat saji.
Jihan menilai bahwa kala itu belum banyak yang melakukan kampanye serupa yang juga menyilangkan pengalaman perempuan di dalamnya.
“Walaupun like dan followers-nya sangat sedikit, ada kepuasan tersendiri ketika aku membagikannya ke teman-teman kerjaku. Ini juga menjadi doronganku untuk mengorganisir buruh saat ini.”
Baca Juga: Gerak Bersama Lawan Kekerasan Seksual; Jangan Salah Fokus!
Berangkat dari pengalaman personal, Jihan terus bergerak. Proses-proses dalam diri Jihan yang berusaha menjawab pertanyaan tentang pengalamannya tersebut telah membantunya memahami lebih jauh soal feminisme. Perempuan Mahardhika, organisasi perempuan berbasis massa tempat ia bekerja kini, lalu mengenalkannya lebih jauh soal nilai feminisme dan politik kelas.
“Perempuan Mahardhika mendorongku mampu menganalisis secara sistematis dan struktural pengalamanku sebagai perempuan dan pekerja. Ternyata ‘Oh, bener, ya. Situasi yang terjadi itu bukan sebuah ketidaksengajaan, tapi direncanakan oleh negara dan pengusaha untuk suatu keuntungan. Mereka dapatkan dari tubuhku dan teman-temanku.’”
Jihan percaya bahwa keadilan tidak bisa diraih jika hanya berjuang sendirian, seperti pergerakan feminisme multinasional yang ia baca dalam buku. Ia pun mengenal Perempuan Mahardhika dari aksi perempuan multinasional pada 2020 hingga akhirnya kini menjadi Koordinator Departemen Pendidikan dan Pengembangan Organisasi Komite Nasional (KN).
“Dari Depok ke Patung kuda, sendirian bawa poster tuntutan yang aku buat sederhana. Tema IWD [International Women’s Day] waktu itu adalah ‘Hentikan Eksploitasi Atas Nama Pembangunan’.”
Baca Juga: Merdeka Artinya Bebas Dari Kekerasan Seksual
Atas nama pembangunan, negara korbankan perempuan pekerja. Jihan membayangkan bagaimana jika para perempuan melakukan mogok nasional? Di saat perempuan punya kontribusi besar pada negara. Alih-alih mengapresiasi, negara malahan mengeksploitasi perempuan. Walau masih ada pertentangan dari keluarga, Jihan memutuskan untuk tetap bertahan dengan pilihannya untuk tergabung dalam organisasi ini.
“Organisasi adalah alat perlawananku. Feminisme adalah nafas perjuanganku. Perempuan Mahardhika menyediakan platform di mana aku bisa melawan penindasan atas tubuh perempuan untuk menuju kebebasan,” tegasnya.
6. Ninda Nur Amalia, Perempuan Dago Elos Berjuang Melawan Penggusuran
Konflik agraria di Dago Elos, Bandung, kini menggusur warga seperti yang terjadi pada Ninda. Ia sebagai perempuan muda bersama para warga bukannya tanpa perlawanan. Pada tahun 2016 mereka sempat memenangkan gugatan kepemilikan lahan Dago Elos, tapi Peninjauan Kembali (PK) tahun 2022 kemudian “merampas” hak warga yang dilakukan dengan diskriminasi dan kekerasan. Dia kini terus bertahan dalam perlawanan memperjuangkan hak atas ruang hidup.
Namanya Ninda Nur Amalia, usianya 25 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai administrasi apotek. Sepanjang usianya pula, ia tercatat sebagai warga Dago Elos, Bandung, bersama 8 orang penghuni rumah lainnya. Selama setidaknya 7 tahun terakhir, Ninda dan warga Dago Elos lainnya berjuang menghadapi ancaman penggusuran.
Warga Dago Elos sekarang ini sedang menghadapi gugatan atas lahan tempat tinggal mereka sejak puluhan tahun yang lalu. Konflik Dago Elos mungkin baru viral dan terdengar luas beberapa hari yang lalu. Tapi kasus ini sesungguhnya sudah berjalan lama.
“Kasus ini tuh, kalau nggak salah, dari 2016,” jelas Ninda kepada Konde.co, Rabu (16/8/2023). “Udah hampir 7 tahun. Gugatan awalnya itu dari tahun 2016.”
Baca Juga: YLBHI: Kapan Negara Akan Hentikan Kesewenangan Atas Ruang Hidup Perempuan?
Awalnya, warga Dago Elos hidup dari generasi ke generasi seperti biasa. Keadaan berubah saat pihak keluarga Muller—yang terdiri dari Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Supendi Muller—menggugat mereka di tahun 2016. Keluarga Muller mengklaim bahwa tanah Dago Elos adalah milik keluarga mereka, sehingga warga mesti angkat kaki dari sana.
Ninda tidak tinggal diam, pun dengan warga Dago Elos lainnya. Menurut Ninda, mereka telah menempuh berbagai jalur hukum untuk melawan gugatan itu. Di pengadilan tahun 2019, warga Dago Elos memenangkan kasus tersebut.
Namun kemenangan tersebut tak bertahan lama. Kala keluarga Muller mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di tahun 2022, pengadilan justru memenangkan mereka. Warga pun dinyatakan kalah dan dihantui ancaman penggusuran—masalah yang polanya terus berulang di Bandung selama bertahun-tahun.
“Bisa-bisanya sih, (sudah) dimenangkan, kenapa jadi berbalik gini?” tukas Ninda.
“(Gugatan Muller) baru 7 tahun. Nggak sebanding lah, dengan warga yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sini.”
Baca Juga: Apa Arti Merdeka Bagi Perempuan? Merdeka Itu Artinya Bebas Dari Kekerasan
Perjuangan Ninda dan warga Dago Elos tidak lantas berhenti. Pada Senin (14/8/2023), warga mengajukan laporan bahwa keluarga Muller penipu, kepada Polrestabes Bandung. Mereka menduga keluarga Muller berbohong ketika mengklaim keluarga terdahulu mereka adalah kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda. Dengan dalih itulah, keluarga Muller datang mengancam warga Dago Elos.
Sayangnya, setelah berjam-jam di Polrestabes, laporan mereka ditolak dengan dalih ‘tidak cukup bukti’. Namun, tidak ada kejelasan lainnya terkait penolakan tersebut. Warga Dago Elos pun kecewa dan memblokir Jalan Ir. H. Djuanda atau Dago sebagai aksi protes. Ketegangan mencuat sebelum akhirnya meledak di Senin malam itu.
Ninda bilang, pada hari itu, ia ikut maju bersama para warga Dago Elos. Ia dan para warga berupaya melindungi wilayah tempat tinggal mereka. Hanya memblokade jalan, tidak melakukan apapun untuk memancing kericuhan. “Warga sudah sepakat untuk berdamai, dibicarakan secara baik-baik,” ujar Ninda.
Tak disangka, serangan pertama polisi justru muncul dari arah belakang kerumunan warga. “Kalau nggak salah sih, 4 orang polisi katanya,” Ninda berusaha mengingat-ingat.
Baca Juga: Lahannya Diambil Alih, Kondisi Kerja Buruh Perempuan Buruk dan Tanpa Perlindungan
Warga kontan berhamburan. Banyak anak-anak dan orang tua mengalami sesak napas dan mata perih akibat serangan gas air mata. Situasi memburuk ketika gas air mata kembali dilontarkan, kali ini mengarah langsung ke pemukiman warga. “Nggak jauh dari sini, sih,” kata Ninda.
Semua orang yang berada di dekat rumah Ninda pun lekas berlindung di sana. Suasana mencekam sebab polisi menyisir pemukiman warga dan melakukan berbagai tindakan represif.
“Sampai ke sini, sampai ke depan,” kata Ninda, menunjuk gang sempit di dekat rumahnya. “Menyisir sampai ke sini, ke gang-gang kecil. Rumah warga digedor secara acak. Bahkan ada yang didobrak, di dalamnya terdapat anak kecil. Katanya mengalami luka di dahi akibat dorongan pintu.”
Ninda dan warga Dago Elos melakukan segala cara untuk mengamankan diri. Mulai dari mematikan lampu, hingga memastikan tidak ada yang bersuara atau menimbulkan kecurigaan aparat. Menangis pun tak bisa.
Baca Juga: Apa Arti Merdeka Bagi Perempuan? 9 Perempuan Bicara Soal Arti Merdeka
“Karena tidak boleh ada pergerakan,” Ninda bercerita. “Jadi itu polisi akan curiga. Karena yang digedor itu ditemukan ada pergerakan dan suara, terus di luar kelihatan ada sepatu. Itu yang jadi sasaran polisi.”
Ninda jelas tidak terima diperlakukan bak penjahat di tempat tinggalnya sendiri. “Kita ini warga sini, lho. Kita yang tinggal di sini. Tapi berasa kita yang nyuri.”
Ironisnya, kerusuhan yang pecah di Dago Elos terjadi hanya beberapa hari sebelum perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 tahun ini. Tidak ada karnaval dan perlombaan bagi Ninda dan warga Dago Elos, selain perjuangan atas hak-hak mereka sebagai warga negara.
Ninda hanya bisa berharap, segalanya dapat segera membaik dan kasus Dago Elos selesai.
“Kita mengharapkan kemerdekaan yang sesungguhnya,” pungkasnya. “Hak kita tetap menjadi hak kita tanpa direbut siapapun.”