“When the going gets tough, the tough get going.”
Ini adalah ungkapan dalam Bahasa Inggris yang sulit diterjemahkan secara harfiah karena melibatkan permainan kata “tough” yang mempunyai makna ganda: kekuatan atau ketangguhan, dan kesulitan. Sadurannya kurang lebih sebagai berikut: “bila kita menghadapi kesulitan, keadaan itu justru akan memunculkan kekuatan kita”.
Ungkapan ini sering diucapkan untuk menyemangati, tetapi terkadang akhirnya angan-angan atau harapan belaka, karena realitanya jauh lebih kompleks, dan menghambat bahkan menghalangi Anda menunjukkan kekuatan atau ketangguhan Anda tersebut.
Saya berikan tiga contoh.
Yang pertama adalah Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 – 19 September 1904), pahlawan nasional emansipasi perempuan. Dia adalah seorang perempuan ningrat yang mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Oleh karena itu, ulang tahunnya diperingati setiap tahun.
“Kekuatannya” terletak pada semangat belajarnya yang membara, sikap egalitarianismenya, kepeduliannya terhadap rakyat biasa, dan visinya untuk “Indonesia” (yang ketika itu belum ada) yang bebas dari penjajahan. Ia amat gemar membaca, dan melahap buku-buku, tidak hanya mengenai hak-hak perempuan tetapi juga mengenai sosialisme, sastra (termasuk bahasa Jawa klasik dan Yunani), kisah perjalanan, filsafat, agama, etika, dan kejahatan kolonialisme.
Baca Juga: 4 Catatan Kritis Belum Optimalnya Implementasi UU TPKS
Sebagai putri bupati, ia bisa bersekolah di ELS, sekolah dasar Belanda khusus untuk orang Eropa dan keturunan bangsawan pribumi. Namun pendidikannya terputus ketika, pada usia 12 tahun, sebagai perempuan bangsawan, ia dikenakan pingit hingga saat ia dinikahkan. Hal ini dilakukannya pada usia yang relatif tua yaitu 24 tahun. Ironisnya, hal ini bertentangan dengan prinsipnya, namun karena menghormati ayahnya, ia memasuki pernikahan poligami dengan Raden Adipati Djojoadiningrat, juga seorang bupati.
Namun sebelum menikah, ia mengajukan beberapa syarat, salah satunya adalah untuk mendirikan sekolah khusus perempuan, menjadi guru, dan mewujudkan cita-citanya memajukan perempuan di Hindia Belanda, yang disetujui suaminya.
Sayangnya, cita-citanya kandas ketika dia wafat pada usia 25, empat hari setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, kemungkinan karena diracuni oleh madunya yang lebih senior. Untungnya, ide dan cita-cita Kartini tetap hidup melalui kumpulan suratnya Setelah Gelap Terbitlah Terang, yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Belanda pada tahun 1911.
Meski Kartini adalah simbol emansipasi perempuan, ia juga menaruh perhatian besar pada nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, kesetaraan, kesehatan, kemiskinan, dan kolonialisme, karena tentu saja semuanya saling terkait.
Contoh kedua adalah kuota 30 persen keterwakilan perempuan. “Ketangguhannya” terletak pada mekanismenya yang efektif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, mempercepat partisipasi politik perempuan dan “memperbaiki ketidakseimbangan gender yang terjadi sebelumnya di berbagai bidang dan tingkatan”.
Baca Juga: Jangan Cuma Seremonial, Ini 5 Hal Penting Yang Dilakukan Kartini
Pada tanggal 3 April, saya menghadiri diskusi tentang partisipasi politik perempuan, diselenggarakan Maju Perempuan Indonesia (MPI), sebuah koalisi longgar aktivis dan politisi perempuan, untuk merefleksikan pemilu pada Februari lalu. Diskusi tersebut bertujuan menjawab pertanyaan: Sejauh mana angka keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan hasil pemilu 2024?
Angka sementaranya adalah 21,1 persen, naik dari 20,5 persen kursi DPR yang diisi perempuan pasca pemilu 2019. Hal ini menunjukkan bahwa upaya khusus sementara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan melalui UU Pemilu membuahkan hasil. Berbagai ormas juga telah memantau langkah-langkah ini untuk memastikan penerapannya. Wah, hebat!
Eits, nanti dulu. Artikel Kurnia Yunita Rahayu berjudul “Pemilu 2024, Pukulan Telak bagi Keterwakilan Perempuan” (Kompas, 8 Maret 2024). Kalimat penjelasan berikutnya sebagai berikut: “Komitmen negara dalam memperkuat keterwakilan perempuan pada pemilu 2024 dinilai melemah”. Waduh!
Artikel tersebut disertai foto tiga demonstran perempuan yang sedang memegang poster. Salah satunya menyatakan “Keterwakilan perempuan adalah prasyarat demokrasi”.
Mengingat kemerosotan demokrasi di Indonesia, terutama pada masa jabatan kedua Presiden Joko “Jokowi” Widodo, apakah mengherankan jika keterwakilan perempuan juga mengalami penurunan?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendesak partai politik untuk memasukkan perempuan dalam 30 persen calon legislatifnya. Sekalipun ini merupakan persyaratan mutlak, ada kemungkinan partai tidak mematuhinya. Apalagi KPU hanya mengimbau, yakinlah bahwa partai politik yang sangat maskulinistis itu tidak akan melakukannya.
Baca Juga: Kampanye Digital Perempuan Muda Melesat Jauh, Internet Dipakai untuk Social Movement
Selain itu, kenyataan di lapangan juga problematis mengingat adanya berbagai persaingan ide dan program. Dan para pemilih juga bersifat pragmatis; mereka memilih berdasarkan besaran bantuan yang diterimanya dari calon legislatif. Sekalipun mereka mempunyai pilihan antara akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan misalnya, mereka cenderung memilih bantuan langsung, baik tunai atau non tunai (misalnya beras dan bahan makanan pokok lainnya).
Representasi perempuan? Itu hal yang mungkin paling jauh dari pikiran rata-rata pemilih.
Contoh ketiga adalah pemilu. “Ketangguhan” pemilu terletak pada kenyataan bahwa ia bersandar pada prinsip jujur dan adil (jurdil). Cukup sederhana bukan?
Nyatanya tidak. Hal ini terlihat jelas pada pemilu tanggal 14 Februari, di mana tiga kandidat bersaing untuk menjadi presiden kedelapan Indonesia. Paslon nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menang telak dengan perolehan suara 58,59 persen, hampir 60 persen. Wow!
Hasil tersebut ditentang oleh pasangan calon lainnya, Anies Baswedan dan pasangannya Muhaimin Iskandar (24,95 persen). Serta Ganjar Pranowo dan pasangannya Mahfud MD (16,47 persen), yang mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mengklaim terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan menuntut adanya pemungutan suara ulang.
Bahkan sebelum pemilu, Dirty Vote, sebuah film dokumenter berdurasi 117 menit, telah menimbulkan kehebohan (lihat “Film ‘Dirty Vote’ causes stir days before the elections”, The Jakarta Post, 13 Februari 2024).
Baca Juga: Edisi Kartini: Suara Perempuan Muda Adat Talang Mamak
Akademisi dari sekitar 60 universitas menuntut agar demokrasi ditegakkan, dan menyampaikan keprihatinan yang sama seperti yang disuarakan dalam Dirty Vote. Juga agar Jokowi tetap netral. Mereka mengajukan petisi yang menyebut pelanggaran etik Mahkamah Konstitusi (terutama penurunan usia calon presiden dan wakil presiden), keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, dan pernyataan Jokowi terkait keterlibatan pejabat dalam kampanye politik, yang dianggap kontradiktif. Tentu saja, media sosial juga ramai dengan diskusi dan perdebatan seputar pemilu.
Pada hari Senin (22 April 2024), Mahkamah Konstitusi menolak gugatan paslon satu dan tiga. Ketua Hakim Suhartoyo mengatakan, “Permohonan penggugat tidak mempunyai dasar hukum untuk seluruhnya.” Namun, tiga dari delapan hakim menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Terkait artikel di Kompas (23 April 2024) yang berjudul “Dissenting Opinion” Pertama dalam Sejarah Sengketa Pemilu Hampir Berakibat pada Pemilihan Ulang Pemilu, Farid Gaban, jurnalis senior dan aktivis politik, berkomentar, “Jarang MK mengabulkan tuntutan pemohon yang merugikan penguasa […]. [Bagaimanapun,] hakim MK ditentukan oleh presiden, DPR, dan Mahkamah Agung”.
Baca Juga: Jadi Kartini Masa Kini? Berani Bermimpi dan Tentukan Hidup Sendiri
Oke, lalu apa persamaan Kartini, kuota perempuan, dan pemilu yang jurdil? Mereka semua “tangguh”, yaitu memiliki kekuatan, dalam teori. Namun semuanya beroperasi dalam konteks: budaya patriarki, yang berorientasi pada kekuasaan, tidak mengenal etika dan tanpa integritas.
Jika Kartini masih hidup, berbeda dengan hakim MK, ia akan paham bahwa pemilu bukan sekadar soal perolehan suara dan perebutan kekuasaan.
Jadi mungkin kita harus mulai menyebut Kartini sebagai aktivis demokrasi juga, karena sebagai seorang feminis, dia memahami hubungan antara etika, keadilan, kesetaraan, keadilan dan kekuasaan. Termasuk kekuasaan negara.
(Artikel ini pernah dimuat di The Jakarta Post 24 April 2024, dimuat kembali dengan seizin The Jakarta Post dan penulis)