Ilustrasi ibu dan anak Boenaka, Sulawesi Tengah

Aku Belajar Akar Budayaku dari Ibu, Cerita Anak Muda Kampung Boneaka

Adat Kampung Boneaka, Banggai, Sulawesi Tengah menempatkan perempuan dan laki-laki dalam peran yang sama penting. Karena ibu habiskan lebih banyak waktu dengan anak-anaknya, ia jadi orang pertama yang ajarkan nilai-nilai budaya pada anak. Simak kisah Nea berikut.

Sebut saja perempuan muda itu dengan panggilan Nea. Ia harus bergegas pulang ke kampung halaman tempat ia lahir dan dibesarkan, Kampung Boneaka, Banggai, Sulawesi Tengah.

Ada sebuah kegiatan yang harus dirayakan dengan penuh hikmat dan kalau sempat harus dihadiri, sebab kegiatan ini tidak berlangsung setiap tahun. Kegiatan ini hanya digelar di waktu tertentu. Yakni setiap enam tahun, enam bulan dan enam hari dari waktu yang telah ditentukan selama turun-temurun.

Semalam ibunya menelepon dan mengabarkan Kamis depan akan diadakannya puncak ritual upacara pendirian bendera adat. Tentu saja Nea harus datang menyaksikan upacara adat tersebut, sebab ibunya anggota pemangku adat di kampungnya.

Sebagai anak perempuan, Nea harus menjunjung tinggi adat budaya karena ia generasi selanjutnya yang akan mewarisi dan menggantikan ibunya kalau kelak ibunya wafat. Karena itu penting buat Nea hadir dalam ritual upacara tersebut. Jadi ia bisa belajar dan melihat langsung tata cara dan proses ritual upacara adat itu.

Baca Juga: Seniman Perempuan Bertubuh Mini: Tidak Pernah Merasa Kecil Meski Kerap Dikecilkan

Sesampai di rumah, Nea segera ke kamar menaruh tas pakaiannya lalu bergegas mencari ibu Mardia. Ternyata ibunya tidak ada di rumah, ia sedang berada di Bonua Kamali, rumah adat Kampung Boneaka.

Para pemangku adat baik laki-laki maupun perempuan berkumpul dan bermusyawarah membicarakan persiapan ritual upacara adat tersebut. Di Bonua Kamali, perempuan dan laki-laki mengambil dan memegang peran penting tanpa melihat jenis kelamin. Konsep kesetaraan bisa jadi sudah ada sejak dulu, bahkan perempuan sangat dimuliakan. Ia mengisi posisi-posisi strategis dalam struktur organisasi adat kampung tersebut.

Karena tak menemukan ibunya, Nea kembali ke kamar merebahkan diri sambil melihat dunia luar lewat beranda di layar gawainya

“Sudah tiba rupanya anak ibu?” sapa ibu di balik pintu kamar.

“Iya bu, dari mana saja?” tanya Nea dengan nada sedikit ketus.

“Ibu baru saja dari Bonua Kamali. Sedari tadi para Pakanggi berkumpul di sana membicarakan soal persiapan ritual Upacara nanti!” jawab ibu sambil berjalan ke dapur. Pakanggi adalah orang-orang khusus pemangku adat.

Nea segera bangun dari tempat tidurnya sembari mengikuti langkah ibunya ke dapur.

“Akan ada banyak orang yah bu nantinya, apa ada tamu undangan dari luar daerah?” sambung Nea.

“Bisa jadi, yang jelas tamu undangan dari pemerintah daerah tetap ada karena ini juga bagian dari memperkenalkan wisata budaya daerah ini. Kali ini tidak seperti enam tahun lalu beberapa perempuan yang memiliki peran penting dalam Ritual upacara tersebut seperti nenek Darsia telah wafat. Tentu kami harus segera menemukan penggantinya!” ucap ibu dengan wajah serius.

Baca Juga: Nonton Kirab Dugderan, Ini Tradisi Ramadan Yang Penuh Keberagaman

“Kenapa tidak ibu Surti saja bu? Akan memudahkan jika ibu Surti yang menggantinya. Sebab sebagai anak ibu Surti mungkin telah melihat dan belajar langsung bagaimana sepanjang hidup nenek Darsia berproses menjadi Pakanggi Kamali.”

“Alangkah baiknya seperti itu, tapi kali ini ibu Surti sedang sakit. Kami takut saat hari upacara adat tiba, ibu Surti tidak bisa hadir. Ini jelas akan lebih merepotkan, paling tidak ada pilihan penggantinya yang paham tugas dan tanggung jawabnya dibagian khusus Bu Surti.” ungkap ibu.

“Bagaimana kalau pak Arif? Dia juga kan anaknya nenek Darsia! Apa harus keturunan nenek Darsia sebagai penerusnya yang menggantikan status Pakanggi Kamali?” sambung Nea lagi.

“Tidak dibolehkan nak, sebab pak Arif punya peranan lain lagi dalam Ritual Upacara Adat. Sebagai Pakanggi Kamali, laki-laki dan perempuan punya peranan masing-masing dan itu sangat penting demi sesuainya proses ritual adat yang berlangsung. Tidak harus anak-anaknya tapi alangkah baiknya kalau anak-anaknya, terutama dalam hal pengganti nenek Darsia,” kata ibu.

Ibu Mardia menjelaskan seorang ibu dapat memperkenalkan secara langsung kepada anak-anaknya tentang cerita-cerita kearifan lokal. Dia juga bisa menyanyikan lagu-lagu tradisional yang pernah ia dengar dari orang tuanya dahulu secara turun-temurun. Apalagi soal adat-istiadat yang sangat sakral. Anak-anak dapat melihat langsung proses Ritual Adat yang berjalan karena dalam upacara adat ini perempuan terlibat dan berperan penting. Jadi kadang kala mereka membawa anak-anaknya ke tempat Ritual Upacara adat. Secara tidak langsung anak-anak melihat serta belajar tentang proses Upacara Adat yang ada di sekitarnya. 

“Ini terjadi pada ibumu ini juga, tidak terkecuali juga pada ibu Surti, tentu nenek Darsia juga secara langsung memperkenalkan perannya dalam Upacara Adat tersebut. Jadi ibu Surti tanpa harus belajar dan diajar lagi sudah tahu pasti perannya jika ia menggantikan Nenek Darsia,” papar ibu.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Postmodern, Ketidaksetaraan Gender Terjadi Karena Bahasa dan Budaya

“Saya berharap bu Surti lekas sembuh sebelum hari upacara Adat tiba. Biar ibu dan pemangku adat lainnya tidak lagi pusing memikirkan siapa penggantinya!” ucap Nea sambil menyodorkan secangkir teh hangat pada ibunya.

“Amiin. ibu juga berharap seperti itu!”

Percakapan ibu dan anak itu terus berlanjut.

“Ternyata perempuan merupakan sosok utama pembentuk sekaligus pelestari budaya ya bu?” ucap Nea. 

Ia pun teringat dulu ibunya sering menceritakan nunuton (semacam dongeng ) sebelum ia tidur, Ibu selalu mengajak Nea ketika menyiapkan upacara adat. Ibu juga selalu menyanyikan lagu-lagu daerah dan berbicara dengan Nea memakai bahasa lokal. Ibu selalu menanamkan kepada Nea soal kebaikan, etika, norma dalam kehidupan apalagi soal tingkah laku keseharian di masyarakat. 

“Nea ingat saat duduk di bangku sekolah dasar, ketika pelajaran seni budaya disuruh membawa kerajinan tangan. Ibu lalu membuatkan Nea sebuah kerajinan tangan merajut bunga di sebuah kain” ucap Nea dengan penuh semangat.

“Tentu nak, lihatlah banyak peran perempuan dalam segala lini, apalagi sebagai pelestari budaya, sebab ia adalah madrasah utama bagi anak-anaknya. Ia menjadi penjaga dan pelaku budaya sekaligus sebagai inovator dan transformasi budaya,” jawab ibu Mardia sambil mengedipkan mata pada Nea.

Ia mengajak Nea mengingat dari dirinyalah Nea belajar soal adat istiadat dan kearifan lokal yang dipunyai daerahnya. Termasuk juga belajar bahasa daerah dan mengenal cerita-cerita lokal. Dari ibu juga Nea belajar soal kerajinan dan kesenian termasuk membuat ketupat dari daun kelapa ketika lebaran.

Baca Juga: Suka Nonton Drakor? 5 Film ini Bisa Bantu Kamu Pelajari Budaya Korea

“Siap salah bu, semoga nanti ritual upacara adatnya berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun. Nea akan mengajak teman-teman Nea menyaksikan upacaranya, setidaknya sebagai generasi muda kita tahu soal adat dan budaya kita” tukas Nea.

Ibu Mardia tersenyum mendengar perkataan Nea, sambil membuka tas berisi pakaian khusus untuk dipakai saat Ritual Upacara Pendirian Bendera Adat.

Peran perempuan secara umum dalam kehidupan adalah sebagai anak, istri, ibu dan anggota masyarakat. Perempuan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Disinilah peran pentingnya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sebab ia adalah sosok pertama pembentuk dan pelestari budaya. 

Anak-anak akan belajar kepada ibunya, karena ibu (perempuan) punya lebih banyak waktu di rumah bersama anak-anaknya. Meski tidak bisa dipungkiri ada pelibatan ayahnya juga. Ibu memberi ajaran tentang nilai-nilai kebaikan, norma yang berlaku di masyarakat, etika dan tingkah laku yang wajar kepada generasi penerusnya.

Perempuan sering terlibat langsung dan kerap memegang peran penting dalam upacara adat, ritual keagamaan, tari-tarian, bahkan pelaku musik itu sendiri. Ia menjadi pemelihara budaya, penjaga keseimbangan budaya karena terlibat langsung dalam menjaga norma-norma sosial, etika dan tata nilai budaya. Ia juga menjadi inovator dan mentransformasikan budaya sebab melalui pemikiran-pemikirannya yang kreatif banyak menciptakan kerajinan tangan juga kesenian. Ia sekaligus bisa menjadi pelaku budaya dalam praktik berbudaya. Perempuan sebagai tonggak utama pelestari budaya, ia menjadi kekuatan bangsa yang menginspirasi, melibatkan bahkan mendukung dalam menjaga dan melestarikan budaya kita. 

Hajar Tatu Arsad

Pencinta Cahaya Bulan. Bukan mualim, terus ngaji hidup. Sangat menyukai hal-hal yang berbau alam, karena ingin selalu bertumbuh. Tinggal Banggai, Sulawesi tengah. Bisa ditemui di IG : @hta10_
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!