Perempuan odapus mengasuh anak

Saya Mama Odapus yang Besarkan Anak, Terkena Baby Blues Karena Bayi Hiperbilirubin dan Penyakit G6PD

Saya adalah perempuan Odapus atau Orang dengan Lupus. Walau luar biasa bersyukur, mempunyai anak adalah perjuangan bagi kami, para perempuan Odapus.

Sejumlah orang yang saya temui, selalu menyebut bayi saya, Baby K badannya besar.

“Gede badan Kamil ya bund!.” 

“Keren memang ASI bunda!.”

Kalimat ini diucapkan oleh seorang bidan (di bulan Juni 2024) di Puskesmas Cempaka Putih ( Cemput), Jakarta Pusat tempat saya dan anak saya (Baby K) ketika saya mengantarnya kontrol 

Seingat saya, bukan sekali ini ia mengucapkannya. Sepertinya ada 2-3 kali berulang diucapkan dalam waktu yang berbeda. Bu bidan yang satu ini memang baik terhadap saya dan anak. Ia mengucapkan kalimat tersebut karena, pertama ia respek dan empati, dan boleh dibilang, ia mengetahui bagaimana lika-liku perkembangan Baby K, termasuk bagaimana pasang surut saya memberikan Air Susus Ibu (ASI) pada Baby K. 

Ini tidak terjadi saat pertama kali saya kontrol ke Puskesmas Cemput, kondisi Baby K kurang baik. Ia mengalami hiperbilirubin. Ini membuat saya sangat takut mengingat saya adalah Odapus atau Orang dengan Lupus.

Saya masih ingat pertama kali Baby K didiagnosis hiperbilirubin. Yakni pada Kamis, 1 Februari 2024. Diagnosis ini diberikan setelah Baby K menjalani cek laboratorium di Puskesmas Cempaka Putih dan yang menyampaikan hasil lab tersebut (sekaligus diagnosis-nya) ialah bu bidan tadi. 

Antara shock dan sedih serta khawatir bercampur jadi satu. Soal bayi kuning (bilirubin), saya sudah pernah mendengar. Pernah saat sedang antri mendaftar di suatu RS daerah Jakpus, ada pasangan suami istri yang sedang menggendong bayi mereka dan saat saya tanya, mereka mengatakan dirujuk ke RS ini karena permasalahan bayinya kuning. Tak terbayangkan bahwa kini bayi saya atau anak saya sendiri mengalami hal serupa. Bahkan skor bilirubinnya termasuk tinggi sehingga disebut hiperbilirubin.

Baca Juga: Karina Lin: Saya Perempuan Odapus, Orang Yang Hidup Dengan Lupus

Terkait ini, sang bidan sempat menjelaskan bahwa kasus bilirubin pada bayi baru lahir merupakan kasus yang umum terjadi. Berapa banyak? Entahlah, saya tak pernah kepo untuk mencari tahu. Biasanya si bayi baru terlihat kuningnya pada saat berusia 3 hari pasca lahir. Ia mengatakan penyebab kasus bilirubin yang terjadi pada anak saya (dan juga umumnya) bisa karena perbedaan golongan darah antara bayi dan sang ibu atau kurang minum alias kurang ASI. 

Meskipun dibilang umum, ya tetap saja saya khawatir. Atas saran dari bidan tersebut dengan berpatokan pada hasil lab, diputuskan Baby K dirujuk ke RS untuk penanganan lebih lanjut. 

Botol Dot dan Sufor

Waktu sudah menunjukkan maghrib saat saya dan Baby K tiba di IGD RS dalam daerah Jakarta Pusat. 

Keputusan ke IGD ini karena beberapa pertimbangan, yang pertama, lantaran Fasilitas Kesehatan (Faskes) pendaftaran untuk kontrol ke DSA (Dokter Spesialis Anak) sudah tidak bisa. Lalu kedua, IGD tempat saya membawa Baby K merupakan IGD pada RS tempat Baby K lahir. Jadi otomatis lebih mudah dalam hal rekam medik-nya dan syukur-syukur penanganan. Ketiga adalah dorongan naluriah dari seorang ibu. Saya ingin anak selekasnya mendapat penanganan untuk kondisi hiperbilirubinnya. 

Setelah menjalani rangkaian pemeriksaan oleh dokter jaga IGD dan juga interview medis oleh perawat di meja penerimaan IGD, akhirnya diputuskan Baby K perlu dirawat inap. 

Ketika berpindah dari ruang IGD menuju ke ruang perinatal yang berbeda gedung, sebenarnya ada sedikit perasaan lega. Sebagai mama, saya lega anak bisa segera mendapat penanganan. Juga lega karena tak harus melihat kondisi dalam IGD yang tentu saja penuh oleh bermacam jenis manusia yang membutuhkan pertolongan segera.

Tapi setelah Baby K berada di ruang perawatan perinatal, sebenarnya juga masih tak begitu baik. Kenapa? Karena kemudian dokter anak yang jaga menginformasikan fototerapi boks-nya tidak ada. Fototerapi boks ini yang nantinya digunakan untuk menyinari Baby K sehingga kadar bilirubinnya menurun dan kembali normal. Dokter jaga-nya sempat menawarkan opsi untuk dipindah ke RS lain yang ada fototerapi boks-nya. Namun urung dan bersyukur ketika keesokan hari saya datang menjenguk Baby K, ia sudah berada dalam fototerapi boks. Sedang disinar biru. Dugaan saya, bukannya tidak ada, akan tetapi sedang dipakai dan perlu antri untuk bisa mendapat giliran pakai (bergantian). Tentu dengan bayi-bayi lainnya.

Baca Juga: Karina Lin: Selamat Hari Lupus 10 Mei, Ini Alasanku Menulis Blog Lupus

Oke, jadi permasalahan fototerapi boks ini beres. Tapi dari hiperbilirubin inilah yang kemudian menjadi awal liku perjuangan saya memberikan ASI atau meng-ASI-hi Baby K. 

Saya masih ingat yang dikatakan oleh dokter jaga anak saat itu, bahwa penyebab Baby K mengalami hiperbilirubin adalah kurang minum. Definisi kurang minum disini jelas artinya kurang ASI dan disini saya merasa betapa bodohnya. Karena saat dan setelah anak mengalami hiperbilirubin, baru tahu kalau bayi newborn wajib disusui tiap 2/3 jam sekali. Tapi bukan itu saja, saya juga masih mengalami kendala pelekatan saat meng-ASI-hi anak. 

Guna mengatasi masalah kurang minum-nya ini maka diputuskan untuk memberi “bantuan” sufor (susu formula) kepada Baby K. 

Saya sempat bingung tapi secara hati yang terdalam “menolak” pemberian sufor. Tapi setelah mempertimbangkam berbagai urgensi dan efek samping-nya, saya pun menyetujui. Tujuan utamanya ya itu tadi, guna mengatasi kurang minum-nya Baby K dan mencegahnya semakin kuning. Dan meskipun diberi sufor, saya tetap diperbolehkan memberi ASI. Namun semua ini dengan menggunakan botol dot alias ASI yang saya berikan kepada anak merupakan ASIP atau ASI perah.

Obat Autoimun yang Tak boleh Diminum Ketika Memberikan ASI?

Sejak itu, sudah 5 hari Baby K dirawat inap di ruang perinatal di sebuah RS milik pemerintah dalam kawasan Jakarta Pusat. 

Selama itu juga saya selalu datang kesana, bukan sekedar menjenguk, tapi ya siapa sih yang tidak rindu dengan anak sendiri? Bahkan lebih dari itu. 

Sebenarnya pada hari kelima itu (Senin, 5/2/2024) dokter jaga sudah menginfokan bahwa kadar bilirubin anak saya sudah turun dan boleh “andaikata” mau dibawa pulang. Saat mendengar kata boleh dibawa pulang tadi, betapa membuncahnya hati saya.

Tapi, terpaksa saya harus menahan rasa senang tadi karena diputuskan Baby K masih harus lanjut rawat inap. Saya harus lebih dahulu bisa menyusui Baby K dengan menggunakan botol dot dan juga ada kekhawatiran dari pihak “sana” mengenai perawatan Baby K. Pasalnya saya hanya berdua saya dengan Baby K dan sebagai mama, statusnya newbie. 

Saya lupa kapan tepatnya. Tapi hari itu DSA konsulen datang untuk melakukan visit/ kunjungan ke ruangan ranap yang ada Baby K. Pada saat itu saya sempat menanyakan kepada DSA konsulen terkait status saya yang odapus (orang dengan lupus) dan menyusui anak saya (ASI). Saya juga menginformasikan kondisi terkini autoimun saya tak terkecuali jenis obat dan dosis obat yang diminum. Si dokter konsulen tersebut lugas mengatakan tidak boleh. 

Lebih detailnya, jika saya mau meng-ASI-hi maka saya harus stop meminum obat-obatan autoimunnya. Sebaliknya jika tetap diminum (karena mempertimbangkan kondisi saya juga) maka ASI harus diganti susu formula. 

Kala mendengar jawaban dari DSA konsulen, saya dibuat shock. Khususnya penekanan pada “tidak boleh karena masih minum obat-obatan” lupus. 

Baca Juga: Saya Perempuan Odapus, Orang Yang Hidup Dengan Lupus

Hanya saja saya tidak “menyerah” lantaran sewaktu ranap pra operasi caesar, dokter yang mem-visit saya mengatakan “aman dan minum obatnya seperti biasa.” 

Jadi ada perbedaan pendapat antara DSA dan dokter imunologi yang merawat saya (DPL) terkait obat-obatan yang diminum pada kondisi busui Odapus. Waktu itu saya masih meminum obat steroid (methylprednisolone) dengan dosis 1x4mg/ hari dan hidroksiklorokuin sulfate dengan dosis 1×1/ hari. 

Memang, pasal obat-obatan autoimun dan meng-ASI-hi ini masih simpang siur. Jadi tidak mengherankan bila terdapat perbedaan pendapat diantara dokter-dokter yang merawat dengan dokter lain (dalam hal ini spesialis anak). 

Habis Hiperbilirubin, Terbitlah G6PD

Setelah menjawab pertanyaan saya, DSA tersebut kemudian berkeliling dalam ruangan untuk mengecek bayi-bayi yang juga sedang dirawat bersama Baby K. 

Tiba-tiba, suatu hari dia datang menghampiri dan menanyakan berapa dosis obat hidroksiklorokuin yang saya minum. 

“200mg, dok,” jawab saya. 

Ia meralat jawabannya dengan mengatakan kalau dosis segitu boleh menyusui (ASI), yang tidak dibolehkan bila dosisnya lebih tinggi dari itu. Mendengar jawabannya, saya pun lega.

Hingga akhirnya pada Rabu, 7 Februari 2024, Baby K diperbolehkan untuk pulang. Tapi itu pun ada prasyaratnya. Apa? Lagi-lagi saya harus bisa menyusui Baby K dengan menggunakan botol dot dan susu yang diminum Baby K dari botol tersebut haruslah tak bersisa. Kalaupun bersisa, wajib hanya segaris saja. 

Dua kali saya menyusui Baby K menggunakan botol dot dan selama menyusuinya itu saya selalu merayu-rayu Baby K dengan mengatakan ini adalah susu mama.

“Anggap saja susu ini adalah ASI mama, minum yang banyak ya supaya nanti kita bisa pulang. Ntar kalau sudah di rumah, dedek bisa minum ASI mama lagi sepuasnya.” 

Baca Juga: 6 Hari Penting Perempuan di Bulan Mei: Hari Marsinah sampai Hari Kanker Ovarium

Bersyukur Baby K mengerti. Yang sesi siang, dia mampu menghabiskan susunya, sedangkan yang sore, dia menyisakan sedikit. Bukan main senangnya waktu itu saat akhirnya saya bisa menggendong pulang Baby K ke rumah.

Hujan turun deras tak menyurutkan kebahagiaan saya. Untunglah pekerja rumah tangga yang biasa bekerja dengan saya, bisa menemani (menginap) di tempat saya malam itu. Ke depannya, ia sempat menginap beberapa malam di tempat saya. Selain mendampingi, ia juga sedikit banyak mengajarkan saya soal “meng-ASI-hi” yang benar. 

Tapi, kebahagiaan ini hanya sebentar. Lagi-lagi saya harus mengalami “diberikan saran untuk stop meng-ASI-hi dan menggantinya dengan susu formula. Penyebabnya karena Baby K memiliki kasus G6PD yang baru ketahuan setelah saya melakukan cek laboratorium secara mandiri (namun dengan surat rujukan dari DSA). Hasil laboratorium menyebutkan, Baby K adalah abnormal low. Mengutip Jurnal Medis online NCBI (https://www-ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/pmc/articles/PMC9433064/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc) dijelaskan bahwa Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) adalah penyakit genetik terkait-X yang merupakan cacat enzim paling umum di dunia, mempengaruhi sekitar 400 juta orang yang sebagian besar terdiri dari etnis Afrika, Asia, dan Timur Tengah. 

Defisiensi G6PD dapat menyebabkan timbulnya hemolisis, hiperbilirubinemia, dan/atau penyakit kuning pada bayi baru lahir, namun gejala ini biasanya dapat diatasi dengan intervensi medis.

Baca Juga: Dear Anak Muda, Gak Usah FOMO dengan Pernikahan Anak ala Tiktoker Gus Zizan

Bikin parno kalau kita mau baca lebih lanjut lagi mengenai G6PD. Tapi secara sederhana, saya mengasumsikan kasus G6PD ini ibarat alergi. Kenapa ibarat alergi? Sebab kita diwajibkan berpantang (misal) makanan atau minuman yang berpotensi memicu alergi kita muncul. Namun pada G6PD, yang dipantang adalah obat-obatan. Sedangkan untuk makanan, hanya satu jenis yang harus dihindari Baby K, yakni kacang wafa. 

Ketika pertama kali rawat jalan di Poli Hematologi Anak, dokter yang menangani Baby K, langsung memberikan sehelai kertas fotokopian yang isinya merupakan list obat-obatan yang wajib dipantang tadi plus si kacang wafa.

Sayangnya, lagi obat antimalaria (biasa namanya memakai akhiran kuin/quine) juga tercantum dalam list sebagai yang wajib dihindari. Sayangnya lagi, obat antimalaria ini merupakan salah satu jenis obat-obatan yang saya minum, si hidroksi klorokuin tadi. 

“Ibu kasih Sufor merk apa saja,” kata dokter di poli hematologi anak ketika menjawab pertanyaan saya seputar merk Susu Formula (Sufor) yang “rencananya bakal” saya berikan untuk Baby K. 

Saya merujuk kepada advis medis dari si dokter yang menyarankan untuk memberi Sufor lantaran kondisi G6PD anak saya. 

Jujur, saya sama sekali tidak punya informasi apapun seputar Sufor. Ya karena semenjak awal (selama kehamilan dan persalinan dan berlanjut hingga kini merawat anak) tak pernah terpikir untuk memberi Sufor kepada anak. Hanya ASI yang ada dipikiran saya. Bahkan cara menyeduh Sufor juga saya nggak paham. Walau saya pernah minum susu bubuk yang penyajiannya harus diseduh air panas.

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran

Saya hanya mengiyakan jawaban si dokter walau dalam hati masih bimbang dan pikiran juga sejalan dengan hati. Namun dengan menimbang baik-baik, akhirnya saya memutuskan untuk tidak memberikan Sufor seperti yang disuruh oleh si dokter. Tambahan, saat saya mengkonsultasikan soal ini ke DPL (Dokter Pemerhati Lupus) di poli alergi imunologi, obat hidroksiklorokuin yang saya minum disimpulkan aman untuk kasus G6PD. Tak sembarang DPL membuat kesimpulan ini. Ada jurnal medisnya dan ini ditunjukkan oleh si dokter kepada saya. Jadi atas rekomen DPL, saya tetap melanjutkan minum hidroksiklorokuin.

Lega lah hati ini. Terutama sih pikiran saya. Dan mulai dari situ, satu per satu terurai. Baby K oleh dokter di Poli Hematologi Anak diwajibkan kontrol 2 minggu lagi dan saat tiba waktunya kontrol, bersyukur kali kontrol kedua di Poli Hematologi Anak, anak saya dihandle kali oleh dokter yang berbeda dengan kontrol yang pertama. Dokter yang ini sangat komunikatif. Penjelasannya atau jawabannya ketika saya mengajukan pertanyaan, dijawab dengan baik. Mungkin ini lebih pas ke perasaan ya. Membuat nyaman pasien atau keluarga pasiennya.

Sang dokter masih mengharuskan kontrol per dua minggu lagi. Namun saat bulan April 2024, jadwal kontrol dijadikan satu bulan sekali saja. Dari hasil observasi (pemeriksaan, interviu medis dan hasil lab) menunjukkan progres baik terkait kondisi Baby K. 

Baby Blues yang Tidak Disadari

“Baby blues!” 

Saya lupa siapa yang menceploskan istilah itu ke saya. Namun, sebelumnya saya sudah mendengar istilah ini dari seorang teman yang kerabatnya mengalami baby blues juga. Belakangan, saya baru menyadari bahwa benar saya mengalami Baby Blues pasca lahiran, tepatnya pasca hiperbilirubin yang dialami Baby K. 

Penegasan baby blues ini saya dapat setelah mengikuti sebuah webinar mengenai mental health ibu menyusui yang diselenggarakan oleh BKKBN Indonesia. Disebutkan soal mood swing, dll yang menjadi indikator seorang busui mengalami masalah mental health dan Baby Blues adalah salah satunya.

Eh kok sama, saya juga mengalami mood swing juga beberapa gejala lain. Seperti yang sudah saya tulis di atas, saya mengalaminya pasca hiperbilirubin Baby K. Jadi sepulang dari Baby K ranap, saya merasa insecure khususnya kalau pergi sendirian hanya bersama Baby K. Entah kenapa saya merasa takut kenapa-kenapa dan tidak ada yang mau membantu saya. Ketika sedang di unit (kami tinggal di apartemen), saya kepingin selalu ditemani.

Mood swing lain? Ada! Kebetulan bulan 2 Februari ( sampai dengan awal Juni 2024) itu termasuk musim hujan. Cuaca menjadi tidak jelas. Ketika pagi, cuaca cerah dan siang jelang sore malam berubah menjadi mendung. Nah pada saat cuaca cerah itu, rasanya mood saya enak sekali. Tapi pada saat cuaca mulai mendung dan bahkan hujan, mood saya menjadi tidak nyaman.

Sebelum benar-benar mengakui bahwa saya mengalami Baby Blues, saya masih berusaha mencari semacam pembuktian. Apa iya saya benar-benar mengalami Baby Blues? 

Baby K yang Bertumbuh Baik

Bukan Bu bidan saja yang mengatakan bahwa Baby K bertumbuh baik. Rata2 yang mengenal kami dan pernah bertemu secara langsung dengan Baby K mengatakan hal yang sama. Selain bertumbuh baik, Baby K dikatakan gemoy, streck, padat, sekel, badannya bagus dan akhirnya menyinggung soal ASI mamanya.

Ada perasaan bangga ketika mendengar anak dipuji seperti itu. Yang secara tak langsung memuji plus memberi support kepada ibunya karena buat saya, meng-ASI-hi Baby K (walau hal yang membahagiakan namun tetap) sekali lagi penuh liku perjuangan. Mengalami Baby Blues yang untungnya masih di tahap ringan, pada akhirnya dalam bulan Mei 2024 saya putuskan mencari “bantuan” dengan berkonsultasi ke psikolog. Layanan ini saya dapat di puskes dekat tempat tinggal.

Baby K sempat terkena hiperbilirubin yang membuat saya “merasa bersalah dan kok bodoh banget sih!” Kalau soal perlekatan (karena Baby K menyusui langsung alias DBF) memang masalah umum yang sering dialami oleh newbie busui. Tapi soal bayi newborn yang wajib disusui per 2-3 jam sekali, kenapa saya bisa luput? Pokoknya saya merasa “bego sekali” dan rasa bersalah ini kemudian menjadi berkepanjangan. Saya yakin, Baby Blues yang saya alami banyak terpicu dari ini. 

Baca Juga: ‘The Platform 2’: Gambaran Kapitalisme yang Terus “Membunuh” Kalangan Menengah ke Bawah

Saking sebegitu parno-nya dengan si hiperbilirubin tadi, pascaranap dan pulang ke unit – Baby K setiap jam saya susui. Kebetulan, Baby K juga mengalami fase Growth Spurt atau percepatan pertumbuhan. Kala malam hari pastinya para orangtua yang memiliki bayi (apalagi newborn) harus siaga. Mereka harus siap kurang tidur, kurang istirahat dan capek. Ini juga yang saya alami. Bahkan saya ingat jelas, tidak tidur sama sekali (melek) di malam hari. Kenapa? Karena saya takut kejadian hiperbilirubinnya terulang lagi. Saya takut Baby K kekurangan minum dan satu lagi, saya takut “selip” tidak mendengar suara tangis anak yang lapar minta menyusui pada malam hari. Jadi saya benar2 tetap melek. Mungkin ada sekitar 3-4 bulan saya seperti itu. Hingga terkadang saya kecapean dan pernah bablas ketiduran juga saking lelahnya.

Pernah juga saya berada dalam kondisi kurang fit, mengalami mencret dan tidak enak badan. Tapi tetap saya jalani, meng-ASI-hi anak. Pernah disarankan untuk memberikan sufor ke anak lantaran masih ngobat autoimun lupus saya. Namun saya tetap bersikukuh memberi ASI kepada anak. Meski Baby K didiagnosis G6PD, perlahan saya mendapat insight soal ini. 

Baby K Kini Berumur 6 Bulan

Baby K kini telah berusia 6 bulan. Dalam dunia per-ASI-an dikatakan mendapat ASI eksklusif.  Tentu saya sangat bersyukur atas pencapaian ini. 

Saya juga mulai memaafkan diri untuk kesalahan meng-ASI-hi yang pernah saya lakukan, sebagai bentuk self love pada diri sendiri dan juga kepada anak. 

Dalam perkembangannya, saya pun bergabung dengan grup WA (WAG) seputar menyusui atau ibu-ibu hamil dan menyusui, dan disitu mendapatkan cerita yang kurang lebih sama seperti yang saya alami. Terkendala perlekatan saat meng-ASI-hi hingga (juga) masalah bilirubin. 

Bahkan diantara cerita-cerita itu ada mama yang berbagi pengalaman anaknya yang sempat mencapai skor 24 untuk bilirubinnya. 

“Wah, lebih tinggi dari Baby-K,” pikir saya segera. 

Tapi perjalanan masih panjang. Proses meng-ASI-hi biasanya hingga usia 2 tahun. Dalam hati, saya terus menyemangati diri. 

Saya bisa! Pasti bisa! Sambil tak lupa berserah kepada Ilahi perihal kesehatan. Mengingat status saya yang sebagai mama atau ibu dengan lupus maka memperhatikan kesehatan sendiri (selain anak) adalah harga mutlak. Semoga saya bisa.

Karina Lin

Jurnalis dan Penulis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!