Gaya hidup mewah pejabat

Gaya Hidup Pejabat Mewah, Rakyat Hidup Susah: Wakil Rakyat, kok Tidak Peka?

Fenomena flexing gaya hidup mewah pejabat pemerintah, ironis dengan kondisi hidup rakyat yang miskin dan susah. Sosok ‘wakil’ rakyat justru tidak peka dengan situasi sosial di tengah masyarakat.

Para pejabat pemerintahan yang seharusnya melayani rakyat, malah memamerkan gaya hidupnya yang mewah. Padahal, rakyat masih terjerat kemiskinan dan hidup susah. Kok, bisa-bisanya tidak peka?

Pejabat yang flexing kemewahan harta bendanya bukan sesuatu yang baru. Kita mungkin sering melihat pembahasan mengenai harga tas menteri A, merek jam tangan mewah pejabat B, dan sebagainya. Pada saat bersamaan, ekspos gaya hidup pejabat juga muncul ketika mereka terjerat kasus korupsi.

Misalnya beberapa waktu lalu, ketika ramai pemberitaan soal gaya hidup mewah dua petinggi Kejaksaan. Kedua petinggi tersebut adalah Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dan Febri Adriansyah. Publik menyoroti harga jam tangan yang dikenakan Abdul Qohar, diduga mencapai miliaran Rupiah.

Baca Juga: Riset: Kelas Menengah Indonesia Doyan Belanja Barang Mewah Tapi Palsu

Sedangkan di media sosial, muncul perbincangan mengenai dugaan kepemilikan rumah dan mobil mewah oleh Febri Adriansyah. Ia diduga memiliki fasilitas seperti lift dan brankas pribadi di rumahnya. Gerakan rakyat sipil seperti Barisan Netizen Anti Korupsi (BNAK) pun mendorong KPK untuk menindaklanjuti dan memastikan pencatatan kekayaan tersebut di LHKPN. 

Di sisi lain, mayoritas rakyat Indonesia masih mengalami krisis ekonomi dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik menyebut, sebanyak 25,22 juta penduduk Indonesia masuk pada kategori ‘miskin’ per Maret 2024. Selain itu, data terakhir BPS juga menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir. Ini menjadi ironi. Ketika masih banyak rakyat Indonesia berjuang lepas dari garis kemiskinan agar hidup lebih sejahtera, para pejabat dan wakil rakyat justru mengadopsi gaya hidup hedonisme.

Menurut aktivis perempuan dan Deputy Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami, sebetulnya definisi ‘barang mewah’ harus kontekstual dengan kebutuhan barang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi, barang yang dibutuhkan memang memiliki nilai tertentu, sehingga tampak mahal dan ‘mewah’. Lain ceritanya apabila barang tersebut jadi koleksi yang dikenakan berganti-ganti untuk menunjukkan jati diri. Seperti yang banyak dilakukan para pejabat publik.

“Padahal dia sebenarnya adalah pelayan dari masyarakat,” ujar Budhis saat dihubungi Konde.co, Rabu (6/11/2024). “Yang dilayani sedemikian miskinnya sampai makan pun itu susah, gitu. Nah, di sini membuang-buang uang sebenarnya, tidak cukup kemanfaatannya.”

Baca Juga: Harus Glowing untuk Ngikutin Standar Kecantikan di Tiktok: Sejauh Apa Kita Mengejar yang Tak Realistis?

Lanjut Budhis, yang juga harus dilihat adalah sumber uang pembelian barang mewah tersebut.

“Jadi dari mana uang pembelian itu? Itu yang juga penting,” sahutnya. “Apakah uang itu mengambil yang memang menjadi hak layanan terhadap masyarakat, ataukah memang dari apa? Apa itu dari sesuatu usaha sendiri? Apakah usahanya itu secara fair dia dapatkan keuntungan itu; apakah dengan unfair?”

Selain itu, ia merasa sikap pejabat memamerkan harta adalah bentuk ketidakpekaan sosial. Hal itu menunjukkan mereka tidak peduli pada kesengsaraan rakyat di depan mata. Seakan-akan tidak ada solidaritas dan nilai kemanusiaan, apa lagi ketika seharusnya pejabat publik menjadi wakil dan ‘pelayan’ rakyat.

Hidup Rakyat Dibuat Makin Susah: Kemiskinan Struktural Itu Nyata

Komentar mengenai hedonisme gaya hidup pejabat kadang disanggah dengan tudingan bahwa seseorang hanya ‘iri’ dan ‘kurang bekerja keras’. Padahal, semua orang bekerja keras dalam hidupnya. Tapi ada yang dengan mudah menjadi kaya, ada pula yang tak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Faktanya, kemiskinan struktural itu terjadi, dan pemerintah turut andil di dalamnya.

“Memang orang-orang itu enggak kerja keras tiap hari?” tukas Budhis. “Yang miskin, susah makan—dia jualan keliling, pagi-sore, jalan berkilo-kilo, enggak ada yang beli. Merugi. Terus dia enggak ada modal lagi.”

Kerja keras semata tidak bisa dijadikan tolok ukur kemampuan seseorang menjadi kaya. Pasalnya, kemiskinan struktural juga hadir dan diorkestrasi oleh penguasa.

Baca Juga: ‘Home Sweet Loan’ Memvalidasi Keresahan Perempuan Pekerja Kelas Menengah

Banyak kebijakan negara yang seringkali tidak berpihak pada orang miskin. Salah satunya UU Cipta Kerja yang kerap merugikan buruh dan rakyat kecil, terutama perempuan.

Budhis juga mencontohkan kebijakan koperasi yang mengharuskan modal minimal 500 juta Rupiah untuk menjadi koperasi. Ini justru merugikan unit koperasi berbasis rakyat, termasuk yang dibangun oleh perempuan. Meski kebijakan itu dibuat dengan dalih upaya menghindari penipuan dalam koperasi. Namun nyatanya, penipuan justru kerap dilakukan para koperasi dengan modal hingga milyaran Rupiah.

“Ya, kayak gitu-gitu, pasti kita tahu lah; kebijakan-kebijakan yang memang belum berpihak kepada rakyat kecil,” Budhis berkata.

Hedonisme dan Konstruksi Gender Terhadap Perempuan

Sementara itu, dalam pemberitaan dan perbincangan mengenai kemewahan pejabat, publik masih cenderung melihat foya-foya tersebut sebagai sesuatu yang identik dengan perempuan.

Misalnya, saat menghadiri acara kenegaraan, yang dibahas adalah perbandingan harga kalung Iriana Jokowi dan menantunya, Selvi Ananda, dengan Annisa Pohan. Atau, dalam kasus korupsi yang dilakukan pejabat laki-laki, hal yang biasanya jadi perbincangan hangat adalah gaya hidup perempuan di sekitar sosok tersebut.

Budhis menjelaskan, dalam konstruksi gender, perempuan dikonstruksikan untuk menggunakan perhiasan.  Hal itu, konon, dalam rangka mempercantik diri dan melekatkan identitas kekayaan pada dirinya. Fenomena ini barangkali terjadi di setiap kebudayaan di dunia.

Di sisi lain, konstruksi tersebut tidak banyak dipakai laki-laki. Meski sama-sama pamer harta, perempuan sering kali ditampilkan lebih menonjol lewat beragam desain tas, merek pakaian, aksesori yang mencolok, dan sebagainya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pejabat Negara: Bupati Maluku Tenggara Perkosa Pegawai Kafenya

“Jadi memang tubuh perempuan itu dikonstruksikan menjadi sebuah perhiasan,” terang Budhis. “Bahkan dirinya sendiri, tubuhnya itu sebagai ‘perhiasan’nya laki-laki. Perhiasan itu bukan hanya barang-barang yang dia pakai, tapi juga tubuhnya itu sudah dikonstruksikan menjadi perhiasan laki-laki. Itu jadi kekayaan, kemewahan.”

Bukan cuma dalam bentuk materi. Budhis melanjutkan, kemewahan yang dikonstruksikan pada perempuan juga terlihat ketika perempuan dijadikan ‘obyek’ pencucian uang. Seperti dalam kasus penangkapan eks-gubernur Maluku Utara atas korupsi. Setelah dibongkar, disinyalir sejumlah pihak menerima ‘cipratan’ dana korupsinya, termasuk 34 sosok perempuan. Belum lagi perbincangan mengenai ‘perempuan simpanan’ sebagai simbol kekayaan dan kekuasaan.

Tentu, baik pejabat perempuan maupun laki-laki yang menampilkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan hidup rakyat, sama-sama tidak pantas. Namun konstruksi gender juga memengaruhi cara perempuan melihat diri mereka sendiri dan persepsi masyarakat terhadap peran perempuan.

Pantau Terus Wakil Rakyat!

Bagaimana pun, sebagai wakil dan ‘pelayan’ rakyat, seharusnya pejabat pemerintah fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Memantau kinerja dan gaya hidup para pejabat bisa kita lakukan untuk memastikan hal itu berjalan.

“Terlepas kita milih orang itu atau tidak, ketika dia membuat jadi wakil rakyat, maka sebenarnya dia akan menjadi suara-suara rakyat untuk berbagai kebijakan. Untuk kesejahteraan, untuk keadilan, dan lain sebagainya,” tutur Budhis.

“Jadi, sekalipun bukan kita yang memilih, itu memang tetap memantau kinerja, dicatat. Terutama pejabat-pejabat yang bermasalah. Kayak, ‘apakah dia bekerja secara sungguh-sungguh atau tidak?’”

Hal ini penting, khususnya mengingat para pejabat tersebut dibayar oleh uang negara, yang berarti juga uang rakyat. Pun jika ia mewakili partai, seharusnya partai yang mengusungnya dapat mendidik kader agar tidak berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Nilai keadilan dan kesejahteraan yang kerap menjadi jargon mestinya dapat diimplementasikan oleh para kader yang duduk di kursi pemerintahan.

“Dan juga pejabat-pejabat pemerintah itu, karena dia bisa dipecat bisa dipecat, kan jadi kita bisa mengusulkan,” pungkas Budhis. “Tidak pantas, misalnya, dia bersikap seperti itu sebagai pejabat publik, pejabat pemerintah. Karena situasi rakyat, misalnya, dalam situasi kemiskinan.”

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!