Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin

Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, banyak dipertanyakan kemampuannya. Mereka dinilai dari cara mereka berdandan sampai statusnya sebagai janda. Tak Heran jika di tahun 2015-2018, jumlah perempuan pemimpin daerah hanya sekitar 8,49%.

Jangan pilih janda, ya, jangan pilih perempuan, perempuan itu kerjanya cuma di belakang dan tidak bisa memimpin.

Endah Subekti Kuntariningsih, calon pimpinan kepala daerah di Gunungkidul, Yogyakarta, pernah mendapatkan cercaan seperti ini ketika maju dalam bursa Pilkada. Endah Subekti menjadi janda, setelah suaminya meninggal.

Karena dalam setiap bursa Pilkada jumlah perempuannya selalu minim, maka cemoohan terhadap calon perempuan seperti ini dianggap lazim. 

Cercaan lain juga diterima kader perempuan lainnya yang masuk bursa Pilkada. Mereka dinilai dari cara pakai baju, cara dandan, warna rambut pun dinilai. 

Yuni Satia Rahayu, yang pernah menjadi wakil bupati Sleman di Yogyakarta pada tahun 2010-2015, pernah dipersoalkan karena rambutnya yang kecoklatan. Jika ada pertemuan, akhirnya Yuni memakai kerudung.

“Saya dulu kan gak berjilbab mbak, rambut saya waktu itu warna dark brown atau cokelat-cokelat begitulah. Jadi ada kader tua PDI Perjuangan itu sampai WA saya, mbok kalau mau maju Pilkada itu rambutnya disemir hitam, katanya. Ternyata rambut saya pada 2010 itu menjadi masalah begitu. Ya tapi, ya sudahlah, akhirnya rambut saya cat hitam. Kalau pertemuan akhirnya saya pakai kerudung,” tutur Yuni pada jurnalis IDN Times.

Empat bulan menjelang Pilkada serentak yang akan digelar pada November 2024 mendatang, bursa bakal calon kepala daerah mulai ramai. Sejumlah nama mulai muncul baik untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati maupun wali kota dan wakil wali kota.

Baca Juga: Kita Bisa Belajar dari Kartini, Pemilu Bukan Soal Perolehan Suara dan Rebutan Kekuasaan

Data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait rekapitulasi hasil Pilkada tahun 2015 – 2018 menunjukkan, hanya ada 92 perempuan dari 1.084 kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih. Data ini menunjukkan, bahwa perempuan yang terpilih persentasenya hanya 8,49 persen. 

Temuan riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) menunjukkan, hambatan terbesar bagi perempuan baik dalam pencalonan maupun keterpilihan justru datang dari partai politik.

Ada sejumlah identifikasi soal hambatan yang dialami perempuan dalam berpolitik. Dianne G. Bystrom, Iowa State University dalam artikel berjudul: “Women as Political Communication Sources and Audiences” misalnya menyebutkan bahwa perempuan mengalami hambatan kultural dan pengetahuan, walau perempuan mempunyai kelebihan seperti sangat persuasif, hangat dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Secara kultural, perempuan distereotipkan sebagai orang yang: pemalu, takut, suka menangis. Sedang laki-laki identik dengan: berani, pantang menyerah, tidak pernah menangis. Inilah yang menyebabkan perempuan mempunyai kendala dalam melakukan komunikasi  di depan publik karena stereotype inilah yang kemudian menyebabkan menjadi  minder, tak punya keberanian dan rendah diri ketika mendapatkan kritikan.

Hambatan kultural lain, perempuan juga distereotipkan masyarakat sebagai ibu rumah tangga, pekerja domestik, tak pantas tampil di publik dibandingkan laki-laki.  Inilah yang menyebabkan perempuan tidak mudah untuk percaya diri.

Baca Juga: ‘Hunger Games’ di Pemilu 2024, Membuat Trauma Generasi

Perempuan juga distereotipkan sebagai orang yang: tak pantas memimpin. Identitas inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara terbuka, malu, tidak percaya diri. Stereotype yang dibesarkan masyarakat ini terus melekat pada perempuan.

Selain secara kultural, perempuan juga mempunyai banyak hambatan pengetahuan. Banyak perempuan yang tidak punya waktu untuk pergi dari rumah karena ia bertanggung jawab secara domestik. Perempuan yang bekerja di luar rumah misalnya di kantor, juga tak banyak mempunyai akses untuk berkomunikasi/ berjaringan/ mencari pengetahuan karena ia juga diberikan beban harus mengurusi urusan domestik.

Inilah yang menyebabkan laki-laki mempunyai banyak waktu dalam mengakses pengetahuan dan banyak waktu untuk berjaringan. Dalam berkomunikasi secara politik, ini menyebabkan perempuan menjadi minder ketika berbicara di depan publik.

Identifikasi tentang politik yang kotor dan korup juga menyebabkan perempuan menjadi takut untuk berkiprah di dunia politik. Dalam berkomunikasi secara politik, di satu sisi ini merupakan hambatan bagi perempuan untuk maju dalam berpolitik.

Begitu juga dalam hal mendapatkan akses dalam ruang publik. Di media, karena tak banyak tampil di depan publik dan merasa tak punya pengetahuan cukup, maka perempuan tak berani berbicara di depan media. Inilah yang mengakibatkan banyak laki-laki yang mengisi media sebagai narasumber untuk berkomunikasi di depan publik.

Pilkada dan Perempuan, Kondisi Hari ini

Bagaimana dengan kondisi sekarang? Saat ini nama-nama yang sudah dikenal publik karena pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat publik sebelumnya, ramai dibicarakan. Diantaranya ada Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, Ida Fauziyah, dll.

Bahkan sejumlah artis disebut ikut masuk dalam bursa pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Mereka antara lain Marshel Widianto (Tangerang), Raffi Ahmad (Jateng), Jeje Govinda (Bandung Barat), Ahmad Dani (Surabaya), Desy Ratnasari (Jabar). Selanjutnya ada Kris Dayanti (Batu), Rano Karno (Banten), dll.

Sejumlah nama perempuan juga tercatat muncul dalam bursa pencalonan di beberapa daerah. Di Jakarta misalnya, sejumlah nama tokoh politik perempuan sempat mencuat dalam bursa pemilihan gubernur (Pilgub). Nama-nama seperti Tri Rismaharini (PDIP), Ida Fauziyah (PKB), Okky Asokawati (Nasdem) dan Rahayu Saraswati (Gerindra) mengemuka. Namun sayangnya dalam perkembangannya, nama mereka menghilang seiring dinamika politik menuju pendaftaran kandidat cagub dan cawagub ke KPU Jakarta.

“Salah satunya yang terjaring itu nama Anies Baswedan. Ada Pak Ahok, ada Pak Prasetyo Edi Marsudi, ada Pak Andika Perkasa,” kata Sekretaris DPD PDIP Jakarta, Pantas Nainggolan, pada jurnalis Tirto.id, Senin (3/6/2024).

Hasil survei Katadata Insight Center yang dilakukan pada 3-9 Mei 2024 mencatat tak ada nama politisi perempuan dalam daftar tersebut. Hanya Tri Rismaharini di urutan keenam dengan elektabilitas 3 persen. Di atas Risma ada Basuki Tjahaja Purnama, Anies Rasyid Baswedan, Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni dan Sandiaga Salahuddin Uno. 

Baca Juga: Uhuy! Komeng Masuk Parlemen Bukti Ampuhnya Komedi di Dunia Politik

Di Kota Solo, enam nama perempuan masuk dalam bursa pencalonan. Empat diantaranya maju untuk posisi wali kota dan dua lainnya wakil wali kota. 

Menilik sejarahnya, Kota Solo belum pernah dipimpin wali kota dan wakil wali kota perempuan. Di pilkada sebelumnya pada 2020, tercatat satu perempuan mendaftar sebagai bakal calon wakil wali kota. Sayangnya, ia gagal dalam proses kandidasi, yakni proses rekrutmen dan pencalonan melalui partai politik (parpol).

Jurnalis Kompas.com menelusuri, keempat figur perempuan yang maju dalam bursa bakal calon wali kota Solo adalah Astrid Widayani (Rektor Universitas Surakarta/Unsa), Sekar Tandjung (Ketua DPD II Partai Golkar Solo). Berikutnya, Anna Budiarti (Wakil Ketua DPC PDIP Solo) dan Diah Warih Anjari (pegiat sosial). Sedang dua sosok perempuan yang maju dalam bursa bakal calon wakil wali kota adalah Sukma Putri Maharani atau Riri (Putri politikus PDIP Aria Bima). Serta R.Aj. Mayyasari Timoer Gondokusumo (pengamat politik).

Astrid, Sekar, dan Diah sudah mendaftarkan diri menjadi bakal calon wali kota lewat Partai Gerindra dan PSI. Sedangkan Anna Budiarti mendaftar melalui PDIP. Sementara Riri dan Mayyasari mencalonkan diri lewat DPC PDIP Solo. 

Astrid Widayani menyadari sejarah Kota Solo yang tidak pernah dipimpin oleh perempuan. Tetapi, ia telah membulatkan tekad untuk maju dalam Pilkada ini. Astrid menyatakan tidak takut terlibat dalam kontestasi perebutan kursi kepemimpinan di Solo yang sebelumnya belum pernah dipimpin laki-laki.

Baca Juga: Akademisi Sebut Program Kerja Prabowo-Gibran Lemah Pada 7 Isu Krusial Meski Unggul Quick Count

“Saya kira ketika bicara pemimpin sudah tak relevan lagi didasarkan pada gender. Tapi, itu lebih pada kapasitas dan kontribusi yang dapat seseorang berikan kepada masyarakat. Itulah yang saya usahakan selama ini sebagai rektor dan aktif di berbagai organisasi,” ucapnya, pada jurnalis Kompas.com, Senin (24//2024).

Sementara di Sulawesi Selatan, jurnalis Harian Fajar mengumpulkan, serupa dengan Kota Solo tetapi di level provinsi, kontestasi pilgub belum pernah diikuti figur perempuan. Kali ini nama sejumlah perempuan masuk dalam bursa bakal calon wakil gubernur. Diantaranya Indah Putri Indriani yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Luwu Utara selama dua periode.

Kemudian ada Fatmawati Rusdi yang sebelumnya menjadi Wakil Wali Kota Makassar periode 2021-2024. Ia mengundurkan diri pada November 2023 untuk berkontestasi dalam pemilu legislatif sebagai calon anggota DPR RI. Selanjutnya ia akan maju dalam Pilgub Sulawesi Selatan sebagai bakal calon wakil gubernur.

Fatmawati sudah mengantongi tiket pencalonan dari Partai Nasdem. Sekretaris DPW Nasdem Sulsel, Syahruddin Alrif memastikan partainya mengusung Andi Sudirman Sulaiman berpasangan dengan Fatmawati Rusdi. Di Sulsel Nasdem tidak perlu berkoalisi untuk mengajukan calon kepala daerah lantaran sudah memenuhi ambang batas perolehan kursi. 

Pragmatisme Parpol dalam Kandidasi

Proses di atas menunjukkan sejumlah perempuan yang maju sebagai bakal calon kepala daerah memakai jalur parpol atau gabungan parpol. Jalur ini memang lebih banyak dipakai oleh para kandidat.

Kalau merujuk pada aturan, selain lewat partai politik atau gabungan partai politik, seorang kandidat bisa maju lewat jalur independen. Namun ada sejumlah persyaratan yang cukup rumit dan berat kalau seseorang mau mencalonkan diri melalui jalur independen.

Syarat utamanya adalah mereka harus mengantongi dukungan dari masyarakat dengan jumlah minimal tertentu berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut. Dukungan itu dikumpulkan pasangan kandidat dalam bentuk daftar nama pendukung yang dilampiri dengan salinan atau fotokopi KTP. 

Berikut data perbandingan jalur pencalonan yang dipakai para perempuan terpilih pada pilkada langsung, mulai dari pilkada 2005 hingga 2018.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh
Tabel 1: Perbandingan Jalur Pencalonan Para Perempuan Terpilih
PilkadaJumlah Perempuan terpilihJalur partai/gabungan partaiJalur Independen
200512 orang12 orang0 orang
20067 orang7 orang0 orang
20073 orang3 orang0 orang
20083 orang3 orang0 orang
201027 orang27 orang0 orang
20115 orang5 orang0 orang
20127 orang7 orang0 orang
201316 orang15 orang1 orang
201545 orang42 orang3 orang
201713 orang13 orang0 orang
201830 orang30 orang0 orang
Sumber: Data CWI diolah tim Konde.co

Jumlah calon perempuan dari jalur independen memang jauh lebih sedikit. Yolanda Panjaitan, peneliti dari Cakra Wikara Indonesia (CWI) mengungkapkan kita dihadapkan pada fakta bahwa perempuan di dalam politik jauh lebih terbatas pengalaman politiknya dibandingkan laki-laki. Dalam konteks ini maka penting mendapat dukungan partai.

Jadi diharapkan mesin partai bekerja pada saat proses pencalonan, kampanye dan pasca terpilih. Walaupun sebenarnya data CWI menunjukkan pada saat kampanye pun sebenarnya calon perempuan banyak memakai relawan sendiri. Mereka membentuk organisasi relawan sendiri dan mereka inilah yang justru banyak bekerja, karena mereka langsung turun ke akar rumput.

Dari tabel 1 tersebut kita bisa melihat bahwa parpol memegang peran kunci dalam proses pencalonan kandidat. Ini dilakukan dengan memberikan tiket pencalonan bagi calon kepala daerah perempuan yang maju lewat jalur partai politik.

Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran

Sayangnya, temuan riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) menunjukkan hambatan terbesar bagi perempuan baik dalam pencalonan maupun keterpilihan justru datang dari partai politik. Yolanda Panjaitan, peneliti CWI menjelaskan perempuan yang mencalonkan yang punya latar belakang bukan kader partai kerap menemui tantangan.

“Perempuan yang potensial, yang punya jaringan dan basis massa di lokal, dalam temuan riset CWI terlihat bahwa mereka kerap kali menemui penolakan di kepengurusan partai di tingkat lokal. Di tempat calon perempuan ini maju mencalonkan diri, terutama mereka yang bukan kader partai,” papar Yolanda kepada Konde.co, Jumat (14/6/24).

Ia menambahkan bahkan perempuan kader partai juga sering mendapat penolakan dari pengurus partai di tingkat lokal. Ini lantaran pengurus partai di tingkat atas sudah punya kandidat untuk diusung.

“Karena biasanya pengurus partai di tingkat kabupaten/kota itu sudah punya calon sendiri yang akan mereka jagokan. Dan biasanya ini laki-laki,” katanya.

Riset CWI juga menemukan para perempuan baik kader atau bukan yang berhasil mendapatkan tiket pencalonan dari partai baik di tingkat kabupaten/kota atau provinsi rata-rata punya kedekatan dengan pengurus partai di tingkat pusat.

“Karena pencalonan boleh datang dari kepengurusan partai di tingkat lokal. Tetapi rekomendasi untuk secara resmi partai mengajukan calon tersebut, itu harus datang dari DPP di tingkat pusat. Jadi memang hambatan terbesar bagi perempuan untuk mencalonkan diri itu memang datang dari partai politik,” beber Yolanda.

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Lely Zaelani, aktivis perempuan yang selama ini bekerja untuk pengorganisiran perempuan di desa-desa di Deli Serdang, Sumatera Utara, selama belasan tahun memperjuangkan proporsi perempuan di ranah politik. Ia pernah mendirikan partai alternatif di tahun 2005, yaitu Partai Perserikatan Rakyat (PPR) sebagai otokritik pada partai politik yang selama ini  mengabaikan suara perempuan dan politik yang maskulin.

“Tantangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah begitu besar, saya setuju dengan penelitian Cakra Wikara Indonesia/ CWI. Penelitian ini betul. Sekarang ini, hari ini semakin kuat, kalau tidak punya uang itu, akan sulit kalau jadi calon, baik Caleg maupun calon di Pilkada. Jika bicara politik, semua ngomongnya sama, semua butuh duit, orang butuhnya amplop. Saya punya teman, ada 3 teman perempuan yang mau maju Pilkada, gimana perkembangannya? Kayak orang traktir-traktir pacar gitulah kak, kata mereka, jadi setiap ketemu bakal calon kepala daerahnya, kalau gak ada uang, gak usah, jadi kita mesti traktir-traktir biar kita bisa jadi calon wakil mereka.”

Jadi benar penelitian CWI menurut Lely Zaelani, bahwa perempuan yang mau maju harus punya relasi dengan pejabat publik, harus terkenal di publik, dan ada uang. 

“Meskipun pintar, sekolah tinggi,  tapi kalau gak ada uang, ini susah sekali, apalagi jika ia belum ada pasangan untuk maju Pilkada. Yang ada pasangannya pun bisa ditelikung, loh,” kata Lely Zaelani pada Konde.co

Baca Juga: UGM Larang Aktivitas LGBT, Aktivis: Institusi Pendidikan Diskriminatif dan Abaikan HAM

Pendapat senada disampaikan Kurniawati Hastuti Dewi, peneliti Pusat Riset Politik LIPI/BRIN. Menurutnya akar masalah rendahnya jumlah pencalonan dan keterpilihan perempuan salah satunya ada di proses kandidasi yang dilakukan parpol.

Kurniawati menjelaskan proses kandidasi meliputi penjaringan, penyaringan dan penetapan. Hampir semua parpol melakukan penjaringan dari bawah, baik itu lewat survei atau menjaring masukan dari anggota partai di tingkat kecamatan.

Sementara penyaringan prosesnya membutuhkan validasi dari pengurus partai di tingkat kabupaten. Bahkan perlu ada lobi-lobi juga dengan pengurus partai struktural di tingkat provinsi. Tahap penetapan fungsinya sebagai sentral kontrol yang ada di parpol tingkat pusat. Tahap ini menurut Kurniawati menjadi titik krusial lantaran dalam pilkada tidak ada kebijakan tindakan afirmasi.

“Padahal dalam proses lobbying dari penjaringan, penyaringan ke penetapan itu kalau dari riset kami biasanya membutuhkan endorsement dari elite-elite partai politik yang ada di DPW di tingkat provinsi dan juga pusat. Sementara biasanya calon-calon perempuan potensial itu tidak cukup memiliki jaringan yang bagus di dalam internal struktur partai,” papar Kurniawati kepada Konde.co, (14/6/24).

Berbeda halnya kalau perempuan tersebut berasal dari keluarga politisi. Misalnya suami atau ayahnya sudah lama ada di partai sehingga struktur-struktur partai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat sudah dikuasai.

Baca Juga: KPU Terbukti Langgar Kuota Caleg Perempuan: Koreksi 267 DCT Harus Dilakukan

“Kalau tidak ada afirmasi atau positioning dari partai politik sejak proses pencalonan atau penjaringan ya hampir dipastikan perempuan yang tidak punya kekuatan lobbying ke elite struktur partai akan kalah,” ujarnya.

Kita bisa lihat misalnya posisi Fatmawati Rusdi yang menjadi bakal calon wakil gubernur Sulsel. Proses pencalonannya bisa dibilang cukup mulus dengan tiket pencalonan dari Partai Nasdem sudah dipegang. Bisa dibilang ini tidak lepas dari relasi kedekatannya dengan pengurus parpol di tingkat wilayah, yang salah satunya adalah suaminya.

Kita juga menyaksikan figur perempuan kader partai seperti Tri Rismaharini, Ida Fauziyah, Okky Asokawati dan Rahayu Saraswati bisa dengan mudah tersingkir. Parpol lebih memilih mencalonkan bakal calon gubernur yang punya elektabilitas tinggi. Dari keempat sosok kader partai tersebut, hanya Tri Rismaharini yang terjaring dalam survei Katadata Insight Center. Ia ada di urutan keenam dengan elektabilitas 3 persen.

Beberapa hari ke depan kita akan menilik apakah Astrid Widayani, Sekar Tandjung, Anna Budiarti dan Diah Warih mendapat tiket pencalonan? Apakah Sekar Tandjung dan Anna Budiarti sebagai kader partai akan lebih berpeluang mendapatkan tiket pencalonan? Apakah mereka berempat akan tersingkir seperti yang dialami Tri Rismaharini, dkk, di pilkada Jakarta?

Baca Juga: Awasi Pemilu, Pemilik Media Gunakan Televisi untuk Kepentingan Partainya

Sementara itu kehadiran artis dalam bursa pencalonan yang diusung oleh parpol menegaskan sikap pragmatis parpol. Alih-alih mengusung kader partai atau figur potensial, pengurus parpol mencari jalan pintas; mencalonkan artis yang dipandang punya elektabilitas tinggi agar menang.

Wardani (2018) menjelaskan perubahan regulasi pilkada seperti memberi landasan formal menguatnya pragmatisme parpol. Ini lantaran keterpilihan pasangan calon diubah dari adanya ambang batas (threshold) minimal 30 persen suara menjadi suara terbanyak (mayoritas).

Menurutnya aturan ini membuat partai sangat selektif dalam menjaring bakal calon dengan mempertimbangkan popularitas dan potensi elektabilitas. Pasalnya tidak ada kesempatan putaran kedua.

Selain itu keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 7 huruf r UU Pilkada No. 8 tahun 2015 jadi angin segar buat parpol. Pasal tersebut mengatur tentang pembatasan kekerabatan politik dalam pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah. Jaringan hubungan kekerabatan menjadi salah satu faktor penting dalam kemenangan pilkada.

Konsekuensinya kekuatan modal dan jaringan figur bakal calon kepala daerah punya posisi penting dalam kandidasi pilkada.

“Dalam situasi sepeti itu, kandidasi perempuan dalam pilkada pun dipahami oleh partai politik dalam kerangka memenangkan kompetisi dan penguasaan sumber daya politik, sosial, dan ekonomi di daerah.”

Serangan karena Identitas Gender

Tantangan yang dihadapi perempuan ketika hendak mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah, tidak hanya terjadi di awal ketika proses kandidasi. Saat bakal calon kepala daerah berhasil mendapat tiket pencalonan dan mengikuti kampanye atau proses pemilihan, ia juga menghadapi tantangan. Begitu juga ketika ia berhasil terpilih dan menjalankan kepemimpinannya.

Di Yogyakarta misalnya, Endah Subekti Kuntariningsih mengaku statusnya sebagai janda diungkit-ungkit saat maju pilkada sebagai calon pemimpin di Kabupaten Gunungkidul.

Posisinya sebagai kader partai dan menjabat sebagai Ketua DPRD Gunungkidul, tak membuatnya terhindar dari serangan semacam ini. Selain identitas gender, penampilan juga jadi penilaian. Endah sempat dianggap kafir karena tidak berjilbab.

Soal penilaian terhadap penampilan juga dialami oleh Yuni Satia Rahayu, mantan Wakil Bupati Sleman tahun 2010-2015. Ia mengaku rambutnya yang dicat warna cokelat mendapat komentar bahkan ia disarankan untuk menyemirnya menjadi hitam. Yuni akhirnya mengikuti saran tersebut termasuk memakai kerudung saat ada pertemuan. Ia juga sempat mendapat penilaian berbeda lantaran bermata sipit.

Yuni yang kala itu mempunyai warna rambut kecokelatan mengaku kaget lantaran rambut pendeknya menjadi bahan gunjingan. 

Baca Juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Selain penampilan hal yang juga membuat perempuan sulit untuk ikut pencalonan adalah pilkada membutuhkan dana yang tak sedikit. Hal ini diakui oleh Endah dan Yuni. Mereka mengungkapkan biaya ini dibutuhkan untuk keperluan saksi di tiap tempat pemungutan suara dan biaya kampanye.

Tantangan juga dihadapi perempuan saat ia sudah terpilih dan menjalankan kepemimpinannya. Di Solo Raya Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni, Bupati Klaten Sri Mulyani dan Bupati Sukoharjo, Etik Suryani membeberkan pengalamannya.

Mereka mengaku pernah menghadapi narasi perempuan tidak dapat menjadi pemimpin. Mereka juga harus menegosiasikan identitas gendernya di ranah publik dan privat.

“Perempuan cenderung harus melakukan negosiasi lebih beragam, termasuk menyangkut peran domestik di keluarga,” ucap Mulyani.

Baik Sri Mulyani, Etik, maupun Yuni mengakui perempuan yang diidentifikasi berlatar belakang kekerabatan cenderung dinilai tidak punya kapasitas dan otonomi. Penilaian serupa dirasa jarang dialami laki-laki yang sama-sama punya latar belakang kekerabatan. Padahal mereka bertiga punya pengalaman panjang sebagai profesional maupun kader partai sebelum ikut pencalonan. 

Partai Politik Perlu Lakukan Perbaikan

Situasi yang dihadapi para perempuan dalam proses kandidasi di pilkada menunjukkan partai politik punya banyak pekerjaan rumah. Kurniawati berpandangan partai politik harus punya aturan internal yang pro terhadap perempuan. Misalnya ketentuan di AD/ART, atau aturan internalnya berupa endorsement bagi perempuan potensial untuk maju sebagai kader calon kepala daerah.

Lebih lanjut Kurniawati juga berpendapat ketentuan soal tindakan afirmasi juga diperlukan dalam proses pilkada. Misalnya dengan memasukkannya sebagai klausul dalam UU Parpol.

“Saya tidak yakin kalau misalnya endorsement ke calon kepala daerah perempuan yang potensial tidak masuk dalam klausul Undang-Undang Parpol apakah parpol mau mengikuti?” ujarnya.

Namun Kurniawati juga tidak menampik kemungkinan penolakan dari parpol.

“Tapi saya yakin juga lobi-lobi di tingkat dewan juga akan keras ya karena setahu saya dari beberapa wawancara dalam riset itu parpol selalu berargumen, ‘Kita tidak pernah melihat by gender ketika kandidasi itu. Yang penting mau perempuan atau laki-laki kalau memang potensial mendulang suara bagi kemenangan partai ya itu dicalonkan.’ Beberapa kali saya wawancara jawabannya seperti itu,” papar Kurniawati.

Baca Juga: Demokrasi Ada di Tanganmu, Jadilah Pemilih Kritis di Pemilu 2024

Ia menambahkan ada juga parpol yang sudah punya kebijakan internal untuk mendorong perempuan potensial maju ke kandidasi pilkada. Ini lantaran ketika perempuan potensial yang didukung partai tersebut menang, yang akan mendapat keuntungan adalah parpol.

Namun kalau advokasi dari sisi regulasi agak sulit, Kurniawati berpendapat upaya lain yang bisa dilakukan adalah memperkuat dari sisi perempuannya. Ketika seorang figur perempuan potensial punya kapital sosial yang sangat kuat dan menguasai dapilnya, maka parpol akan melihat daya tarik tersebut. Bahkan akan mengangkat figur tersebut sebagai calon dalam proses penjaringan.

Selain itu penting juga bagi parpol untuk menyiapkan kader-kader perempuan yang potensial. Ini bisa dilakukan misalnya dengan membuat sekolah kader eksekutif, sekolah kader legislatif, dst. Dalam pengamatan Kurniawati, beberapa parpol sudah punya sekolah kader, seperti Nasdem, PDIP dan PKS.

Sementara itu Yolanda melihat kecenderungan partai politik yang pragmatis. Ia juga menggarisbawahi pernyataan Kurniawati soal posisi partai yang cenderung netral gender dalam proses pencalonan.

“Dari hasil riset CWI, mereka biasanya bilang, ‘Kami nggak lihat laki-laki perempuannya. Tapi elektabilitasnya seperti apa. Hasil survei kami menunjukkan mereka popularitasnya tinggi atau tidak.’ Tapi lagi-lagi yang sudah punya skill politik yang lebih baik biar gimana pun adalah politisi laki-laki. Ini semata-mata karena perempuan potensial belum mendapatkan kesempatan,” beber Yolanda.

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Karena itu menurutnya revisi di dalam Undang-Undang Partai Politik tentu akan baik. Ini lantaran afirmasi sampai saat ini baru ada di dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif.

“Tentu akan baik kalau bisa memasukkan afirmasi untuk kepemimpinan perempuan di tingkat daerah. Tapi kita tahu sendiri bagaimana sulitnya mendobrak partai politik untuk melakukan reformasi internal,” katanya.

Menurut Yolanda perlu ada tekanan dari luar untuk partai politik. CWI sendiri mendorong agar partai politik membuka mekanisme recruitment untuk pencalonan kepala daerah dengan kriteria dan mekanisme seperti apa.

“Kita mendorong mekanisme yang inklusif dan yang penting transparan. Dengan demikian publik tahu siapa saja calonnya, kriteria untuk terpilih menjadi calon yang dimajukan sebagai calon dari partai itu apa. Dengan demikian kita bisa menilai ini adil atau tidak. Ini memberikan kesetaraan untuk calon laki laki maupun perempuan. Jadi pantauan publik itu bisa menjadi tekanan tersendiri bagi partai politik.”

Sementara itu alasan parpol soal sulitnya mencari calon kandidat perempuan dinilai tidak cukup kuat. Pasalnya perempuan pemimpin di tingkat lokal tersebar di berbagai tempat. Perempuan pemimpin di banyak tempat sudah terbentuk dan mereka punya jaringan dengan komunitas di akar rumput. Mereka punya kerja-kerja nyata di tingkat lokal.

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

“Menurut saya alasannya tidak kuat kalau bilang kami (parpol) cari calon perempuan sulit. Karena saat kita datang ke berbagai tempat di Indonesia, kita ketemu aja begitu dengan pemimpin perempuan yang memang punya kapabilitas untuk memimpin dan tahu persis masalah dan isu-isu masyarakat lokal gitu,” tutur Yolanda.

Ia menegaskan partai politik harus punya keberpihakan, mau menjemput bola untuk menjaring perempuan potensial di tingkat lokal. Untuk kemudian dikuatkan agar menjadi calon kepala daerah.

Nasib Perempuan dan Penyelenggara Pemilu

Selain Parpol, dalam konteks perempuan, saat ini masih ada pekerjaan rumah soal pelecehan seksual dalam konteks Pemilu secara umum. 

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari yang mengurus Pemilu Capres hingga Pilkada misalnya baru-baru ini diduga melakukan pelecehan seksual. Hasyim memberikan janji-janji dan memanipulasi informasi dengan cara merayu perempuan korban. Semua ini dilakukan karena berbasis relasi kuasa. 

Sejumlah aktivis perempuan mempertanyakan, apakah pemimpin seperti ini bisa mengurai persoalan Pilkada dan perempuan jika diduga melakukan pelecehan seksual?

Kasus ini terjadi ketika seorang perempuan, yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) melaporkan Ketua KPU, Hasyim Asy’ari ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Kamis (18/4/2004). 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Laporan ke DKPP dilakukan oleh kuasa hukum pelapor dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) dan LBH APIK Jakarta. Tim kuasa hukum pelapor mendatangi kantor DKPP dan menggelar konferensi pers yang dihaadiri Konde.co setelah pelaporan.

Kuasa hukum korban, Aristo Pangaribuan menjelaskan bahwa pihaknya melaporkan Ketua KPU ke DKPP atas pelanggaran etik integritas dan profesionalitas.

“Pelanggaran etik integritas dan profesionalitas ini diduga melibatkan tindakan-tindakannya dalam membina hubungan personal dengan seorang PPLN di luar negeri,” katanya.

Maria Dianita dari LKBH FHUI menjelaskan kasus ini berawal pada Agustus 2023. Saat itu Ketua KPU melakukan kunjungan dinas dan bertemu pertama kali dengan korban. Setelah itu Ketua KPU mendekati, merayu bahkan melakukan perbuatan asusila terhadap korban.

Tindakan Ketua KPU diduga menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya dengan memakai berbagai fasilitas kedinasan. Bahkan Hasyim Asy’ari selalu mengasosiasikan dirinya dengan kekuasaan. Ketua KPU juga memberikan janji-janji dan memanipulasi informasi untuk merayu korban agar memenuhi nafsu pribadinya.

“Selain itu catatan dari kami adalah adanya relasi kuasa. Pola perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang karena tidak hanya terjadi kepada pengadu (pelapor) tapi juga ada putusan-putusan sebelumnya,” kata Maria Dianita dari LKBH FHUI.

Tindakan Hasyim Asyari yang secara aktif dan terus-menerus mendekati, merayu dan melakukan perbuatan asusila tersebut membuat korban merasa dirugikan. Meski korban sudah menyampaikan keberatan, tapi terlapor tak menghiraukannya. Hingga akhirnya korban mengundurkan diri sebagai PPLN sebelum pemilu Februari 2024 lalu.

Baca Juga: Perempuan Bisa Menang Dalam Kontestasi Pemilu: Belajar dari Khofifah dan Dewanti Rumpoko

Kelembagaan yang tidak direformasi ini menyebabkan buruknya pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Di kalangan masyarakat, wacana soal ini tidak banyak muncul.

Organisasi perempuan, Kalyanamitra menemukan dalam riset Kalyanamitra tentang kekerasan berbasis gender, apa yang dialami perempuan dalam Pemilu 2024 di Jakarta, di 4 wilayah seperti di Ambon, Jakarta, Makassar dan Aceh. Listyowati dari Kalyanamitra mengungkap dalam Diskusi Publik Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu pada 1 Juli 2024, bahwa banyak peserta Pemilu, pemilih termasuk penyelenggara Pemilu mengalami diskriminasi, intimidasi, narasi seksis terhadap Caleg perempuan, kekerasan seksual, kekerasan di ranah privat, mobilisasi perempuan dan kelompok rentan untuk pemilihan, pemungutan suara yang yang tidak inklusif dan beban kerja berlebih pada penyelenggara pemilu.

“Ini hasil studi kami dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, kekerasan berbasis gender yang kami temukan.”

“Para korbannya adalah perempuan ekonomi rendah, minoritas gender, perempuan kepala keluarga, kelompok disabilitas, lansia, akademisi, jurnalis, relawan, Caleg, aktivis,” kata Listyowati.

Baca Juga: ‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Hal ini mengakibatkan sedikitnya jumlah perempuan yang mencalonkan diri, terbatasnya visibilitas perempuan dalam partai politik

Lisytyowati menyebut, terdapat 5 faktor dan akar kekerasan dalam Pemilu.

“5 faktor ini antaralain ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kuasa, kurangnya kesadaran pendidikan, kurangnya perlindungan, dan impunitas.”

Lely Zaelani menyatakan, pekerjaan rumah Pilkada ini masih banyak. Di komunitas masyarakat di desa-desa seperti di Deli Serdang, dari waktu ke waktu wacana Pemilu hanya jadi obral janji dan uang. Calon perempuan di Pilkada tidak jadi wacana. 

“Yang aku mau bilang, perempuan sebagai kepala daerah itu tidak populer, yang pasti itu calon harus laki-laki, karena calon perempuan itu bukan atau gak ada wacananya. Bupati itu ya laki-laki, di Deli Serdang, ya dari kakeknya, anaknya, cucunya  dan selalu laki-laki, tidak ada calon perempuan. Jadi wacana pilkada perempuan itu juga tidak ada.”

Baca Juga: ‘Infobesity’ Rentan Terjadi Pada Pemilih Pemula Menjelang Pemilu 2024

Lely Zaelani menambahkan, faktor lain adalah kelelahan melihat kondisi politik saat ini, padahal harusnya ada banyak pendidikan politik untuk perempuan.

“Mungkin sudah lelah karena infrastruktur politiknya memang bukan untuk perempuan, jadi tidak ada yang melakukan itu. Kami gak punya sumber daya untuk melatih agar ada calon pemimpin perempuan yang muncul, karena ini mahal, melatih kesadaran banyak orang,” kata Lely Zaelani.

Peliputan “Perempuan dan Pilkada” ini merupakan kolaborasi antara Konde.co, Harian Fajar, IDN Times, Kompas.com dan Tirto.id

Koordinator: Anita Dhewy (Konde.co)

Jurnalis: Febriana Sintasari (IDN Times), Irawan Sapto Adhi (Kompas.com), Irfan Amin (Tirto.id), Sakinah Fitrianti (Harian Fajar), Anita Dhewy dan Luviana Ariyanti (Konde.co) 

Anita Dhewy dan Luviana

Redaktur Khusus dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!