Diskriminasi dan KBGO terhadap LGBTQ+ tahun 2024.

KBGO Terhadap LGBTQ+ di 2024: Mencari Ruang Digital Aman Bebas Diskriminasi

Di tahun 2024, KBGO terhadap LGBTQ+ marak terjadi. Mewujudkan ruang digital bebas diskriminasi dan queerfobia mungkin masih menjadi jalan panjang yang harus ditempuh.

Internet dan media sosial menjadi dilema bagi kebebasan ekspresi gender dan seksualitas, khususnya di Indonesia. Di satu sisi, komunitas ragam gender dan seksualitas atau LGBTQ+ banyak menggunakan internet untuk mengekspresikan identitasnya serta berjejaring. Namun, di sisi lain, sepertinya masih panjang mewujudkan ruang aman digital bagi mereka di tengah maraknya diskriminasi, perundungan, dan persekusi di ranah digital.

Diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBTQ+ di ruang digital pun masih terekam sepanjang tahun 2024. Di tengah upaya orang-orang dengan ragam gender dan seksualitas mempertegas visibilitas mereka di internet, hampir selalu muncul perdebatan konservatif yang berujung pada perundungan hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap mereka.

Seperti munculnya sentimen ‘transpuan bukan perempuan’ usai aksi Women’s March Jakarta (WMJ) 2024. Awalnya dari cuitan transpuan yang mengunggah foto diri sebagai dukungan terhadap WMJ dan pemenuhan hak-hak perempuan, cis maupun trans. Unggahan tersebut mendapat berbagai respon—sayangnya, termasuk juga dari warganet yang transfobik, queerfobik, dan konservatif. Mereka membalas dengan penolakan untuk mengakui transpuan sebagai bagian dari ‘perempuan’. Bagi mereka, transpuan, “Tetaplah laki-laki,” “Membahayakan (cis)perempuan,” dan mereka merasa transpuan tidak perlu ‘sok’ mewakili isu-isu perempuan.

Di antara waktu tersebut pula, sebuah akun X mengunggah foto display penampilan musisi di acara musik punk dengan tulisan “F*CK LGBT”. Banyak warganet yang merespon dengan setuju; di sisi lain, tak sedikit yang mempertanyakan unggahan tersebut. Apa lagi karena foto itu berasal dari skena punk yang seharusnya sepakat melawan sistem normatif dan penindasan atas kelompok marginal, bukan justru menjadi penindas itu sendiri terhadap kelompok rentan seperti LGBTQ+.

Baca Juga: Polemik Subsidi KRL Berbasis NIK, Kelompok Marjinal Sampai Transpuan Paling Terdampak

Hal-hal tersebut tentu tidak baru. Perdebatan mengenai LGBTQ+ serta pengakuan transpuan sebagai perempuan atau bukan sudah berkali-kali hadir di media sosial sejak beberapa tahun terakhir. Entah saat membicarakan kesetaraan gender, kemampuan fisik, hingga penggunaan toilet. Ini tidak seharusnya menjadi pembenaran atas diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas ragam gender dan seksualitas.

Berbagai perdebatan di internet yang berujung pada KBGO terhadap LGBTQ+ pun membuat Utari (27, bukan nama sebenarnya), seorang transpuan dan mahasiswa, trauma. Kini sudah nyaris setahun Utari meninggalkan akun X-nya. Diskursus dan keributan yang kerap menyudutkan transpuan dan komunitas ragam gender dan seksualitas membuatnya stres.

“Sebetulnya, ya, kalau kekerasan online begitu pasti selalu ada. Tapi setahun belakangan buatku kayak lebih intens, bikin overwhelming. Jadi kayaknya mending aku aja yang menjauh dulu dari medsos,” ungkap Utari kepada Konde.co, Jumat (27/12/2024).

Ia sempat ingin kembali bebas bermedia sosial akhir-akhir ini. Namun, ramainya persekusi terhadap transpuan usai aksi Women’s March Jakarta 2024 lalu membuatnya mengurungkan niat. Utari merasa, kondisi mentalnya lebih penting untuk dijaga di tengah queerfobia dan transfobia yang belakangan kian kentara di internet.

Baca Juga: Rully Mallay, Pengelola Rumah Aman Transpuan Mendapat SK Trimurti Award

Sementara itu, ada pula Vira (30), yang mengidentifikasi diri sebagai queer dan merasa ‘berjalan di atas lapisan es tipis’ selama menggunakan internet di tahun 2024. Media sosial selama ini menjadi tempatnya mengekspresikan diri dan pemikiran. Namun, queerfobia yang kembali marak akhir-akhir ini membuatnya berpikir bahwa ia harus lebih waspada.

“Nggak tahu, rasanya kayak lebih hati-hati aja tahun ini di medsos,” ujar Vira kepada Konde.co, Kamis (26/12/2024). “Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kita yang queer, yang LGBT, di tengah situasi rentan seperti ini.

‘Keributan’ mengenai LGBTQ+ di media sosial sesungguhnya tidak lantas membuat Vira berhenti mengutarakan pendapatnya seperti biasa. Akan tetapi, untuk itu, ia jadi merasa perlu meningkatkan keamanan digital untuk meminimalisir risiko KBGO. Vira juga kini lebih sering mengunggah foto diri atau kegiatan sehari-hari hanya di fitur close friends, demi menghindari penyalahgunaan konten hingga penyerangan berbasis gender

Negara Menambah Kerentanan

Kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap LGBTQ+ masih marak terjadi, kalau bukan meningkat trennya. Alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, pernyataan mengenai identitas gender dan seksualitas sering kali mendapat cemooh, hujatan, hingga ancaman serangan digital, fisik, maupun seksual.

Queerfobia, homofobia, dan transfobia di Indonesia, seakan makin kentara di tahun 2024. Penggerebekan dan diskriminasi di internet masih marak terjadi. Ironisnya, diskriminasi dan kerentanan juga bertambah dengan cara penguasa memberikan pernyataan tentang LGBTQ+ di tingkat legislatif dan eksekutif.

Seperti pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI. Kamis, 14 November 2024, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan tentang kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional. Ia juga mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua dan sebagainya.

Dalam sesi tanya-jawab di RDP tersebut, diskusi yang memposisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI. Dilansir dari Youtube DPR RI, Oleh Soleh minta Wantannas untuk serius mengatasi fenomena maraknya LGBTQ dan menurunnya angka pernikahan di Indonesia.

Baca Juga: Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Waria yang Kurang Taat Agama

“Saya belum melihat ada gerakan konsen soal penanganan LGBTQ ini. Belum ada yang kedengaran bersuara keras lantang terkait LGBTQ,” ujar Oleh Soleh dalam rapat dengar pendapat, di ruang rapat Komisi I DPR RI, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (14/11/2024).

Padahal selama ini, LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan, dan persekusi.

Survei LBH Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan sejumlah hasil. Dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.

Maka dalam situasi tersebut, sikap Wantannas dan perwakilan fraksi dalam RDP justru makin menyulut api serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Diskriminasi dan Resiliensi

Menurut aktivis queer Nurdiyansah Dalidjo, di satu sisi, ada orang-orang yang melela sebagai apa yang kerap disebut sebagai ‘bencong’—dalam pelekatannya kepada transpuan atau laki-laki dengan gaya dan tampilan feminin—dan nyaman dikategorikan demikian. Maka mereka bisa menjadi agen perubahan moral. Di sisi lain, mereka memiliki kerentanan dalam struktur sosial yang cenderung lebih tinggi sejak masih anak-anak. Kerentanan itu terutama lebih ekstrem bagi kelompok waria atau transpuan, ketimbang laki-laki feminin atau sissy.

“Ya, ini soal bencong yang menjadi target perundungan dan kekerasan. Bahkan persekusi dan kriminalisasi,” kata Nurdiyansah, yang juga merupakan staf Project Multatuli, melalui tulisan yang dimuat dalam blog-nya.

“Bukan hal yang mudah untuk menerima diri dan membuat kita lepas dari beban. Untuk menjadi sosok lain yang tidak kita inginkan dan tetap berani menampilkan diri secara jujur dan melawan.”

Kendati demikian, lanjutnya, mereka pun punya kekuatan sekaligus daya lenting terkait pengalaman perundungan mereka.

Baca Juga: Pameran ‘Ruang Rasa’, Transpuan Memaknai Trauma dan Keberanian

“Maka, jika kita ingin berbicara soal perubahan dalam konteks gender yang normatif seperti sekarang ini. Bukan hanya bicara terbatas pada perempuan dengan vagina. Namun (juga) mereka yang dianggap bencong. Yaitu waria atau trans (sebab transpuan adalah perempuan) dan lelaki atau gay yang ngondek,” tegas Nurdiyansah. Di sisi lain, menurutnya, bicara soal queer dan LGBTQ+ seharusnya diawali dengan feminisme.

Sementara itu, laporan PurpleCode 2024 berjudul ‘Resiliensi di antara Represi Kebebasan Berekspresi’ menunjukkan target yang paling rentan mendapatkan KBGO adalah karena identitas gender. Riset yang melibatkan 134 responden ini, mengungkap identitas gender menempati posisi teratas (19,83%), orientasi seksual (17,82%), dan ekspresi gender (14,96%). Hal lainnya seperti, usia (10,25%), ras dan atau etnisitas (10,8%), pekerjaan (9,08%), agama (7,9%), disabilitas (7,9%) dan lainnya (2,18%). 

Terkait kerentanan dalam menghadapi risiko serangan KBGO, sebagian besar responden menyebut bahwa pihak paling rentan adalah perempuan (35,25%) dan komunitas LGBT+ (33,81%). Data ini menginformasikan bahwa kelompok keragaman gender menjadi target sasaran yang besar menerima serangan KBGO di dunia digital. 

Akibat identitas gendernya yang berada di lapisan terbawah dalam struktur kuasa berbasis gender, kelompok perempuan dan transgender lebih rentan menjadi sasaran utama kekerasan berbasis gender. Kerentanan terus mengikuti saat mereka beraktivitas di media sosial dalam bentuk KBGO sehingga mereka berada di dalam suatu kontinum kekerasan. Dengan kata lain, kelompok perempuan dan transgender berada dalam posisi tidak aman dan tidak bisa merasa aman di manapun mereka mengekspresikan diri. 

Baca Juga: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi

Responden mengalami secondary traumatic stress. Yaitu sebuah keengganan untuk berekspresi dalam bentuk tertentu, dengan tujuan agar tidak mengulang atau menjadi korban KBGO. Ketakutan ini muncul bukan hanya karena sudah pernah mengalaminya secara langsung pada masa lalu, melainkan juga karena paparan informasi tentang KBGO. 

Sekretaris Umum Arus Pelangi, Echa Waode mengungkapkan KBGO yang menyerang kelompok minoritas gender dan seksualitas termasuk transgender turut disebabkan karena adanya kebencian (homofobik). Sehingga, apapun yang dilakukan oleh kelompok ini, bisa jadi pemicu serangan KBGO. 

Echa mencontohkan saat momen Women March Jakarta (WMJ) dalam kurun dua tahun ini. Ada komentar-komentar dari warganet di media sosial yang menyerang identitas gendernya. Ini berkaitan dengan foto-foto aksi para transpuan di momentum WMJ 2024, yang sempat ramai komentar homofobik di media sosial. 

“Kemarin ada sempat yang komen transpuan itu bukan perempuan ya. Jadi perlu diingat ya, jangan macam-macam deh, pas WMJ. Komentar itu juga pernah terjadi di WMJ 2023. Itu banyak penyerangan, dan itu kayak dampaknya ke teman-teman trans,” ujar Echa kepada Konde.co, Rabu (18/12/2024). 

Menurut Echa, KBGO terhadap kelompok transpuan berupa ujaran kebencian hingga serangan berbasis gender tersebut, seringkali terjadi berulang. Bagi Echa, itu bukan kali ini terjadi. Terakhir, saat dirinya bicara di salah satu podcast tentang hak pekerja beberapa waktu lalu. 

Ada banyak komentar yang menyerang identitas gender Echa seperti “Yaudah, sadar diri, Lu kan laki.”

Baca Juga: Cerita Kerukunan Bissu Transpuan di Sulawesi Selatan

“Asumsiku mereka itu karena lebih besar kebenciannya pada kelompok LGBT, khususnya transpuan. Sehingga mereka gak menelaah lagi, kurang memahami maksud dan tujuan dari podcast atau aksi (WMJ) yang dilakukan oleh kawan-kawan trans,” terangnya. 

Padahal dalam aksi ataupun podcast yang dilakukan oleh Echa tersebut adalah bentuk kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Dia sebagaimana warga negara Indonesia lainnya, yang mestinya dijamin Undang-undang dan tak boleh mendapatkan diskriminasi. 

Menyoal KBGO yang menyerang, Ia menyatakan selama ini dirinya dan Arus Pelangi melakukan mitigasi dan penanganan di media sosial. Salah satunya, membatasi komentar dan memfilter pengikut media sosial. Pihaknya juga menjalin kerja sama dengan lembaga yang mengadvokasi KBGO seperti SAFENET. 

Selain itu, Arus Pelangi aktif pula melakukan pembekalan keamanan menyeluruh termasuk digital di komunitasnya di berbagai kota di Indonesia. Ini termasuk pengenalan soal KBGO dan bagaimana upaya memitigasinya. 

Bagi kelompok keragaman gender yang menjadi korban KBGO, pihaknya juga membuka posko pengaduan sampai penyediaan layanan psikologi yang ramah gender. 

Sebab menurut Echa, dampak yang ditimbulkan KBGO terhadap kelompok ragam gender ini bisa dalam jangka panjang terutama soal mental. Echa bercerita pernah mendampingi salah seorang transpuan yang menjadi korban KBGO dari pasangannya. Ia mendapatkan ancaman penyebaran foto pribadi dan teror yang membuatnya ketakutan dan paranoid.  

“Tidak mau salah memilih psikolog yang tidak ramah (gender). Sudah takut karena jadi korban KBGO, jadi stres. Di AP sudah kerjasama dengan yayasan psikolog itu,” pungkasnya. 

Salsabila Putri Pertiwi dan Nurul Nur Azizah

Redaktur dan Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!